Page34: Struggling

Hacker
Please Subscribe to read the full chapter

He is leaving

And I can't do anything

Love is leaving

Like a fool, I'm blankly standing here

I'm looking at him, getting farther away

He becomes a small dot and then disappears

Will this go away after time passes?

I remember the old times

I remember you

If you...

If you...

If it's not too late

Can't we get back together?

If you...

If you...

If you're struggling like I am

Can't we make things a little easier?

I should've treated you better when I had you

How about you?

—IF YOU

 

Bonus foto Luhan yang paling bloom suka (:

***

Saat Luhan membuka matanya, kemudian menurunkan arah bola matanya memandang ke bawah perlahan, yang ia lihat pada perempatan di bawah sana adalah sebuah mobil taksi datang dari arah kanan perempatan, saat itu juga sebuah mobil putih dengan cepat melintas. Mereka sudah bertubrukan beberapa detik lalu. Mobil putih itu menimbulkan decitan memekakkan telinga saat ban mobil yang gagal untuk di rem berakhir nahas. Keadaannya sekarang buruk. Benar-benar buruk. Asap putih keluar dari kap depan mobil. Orang-orang mulai berhamburan ke arah tempat kejadian. Luhan hanya memerhatikan, wajah datar yang ada di wajahnya tidak berubah untuk beberapa saat selama ia menyaksikan kecelakaan maut yang terjadi di bawah sana.

Pandangannya kembali teralihkan saat ia mendengar sirine ambulans. Sekarang ia memerhatikan dua mobil ambulans yang baru datang. Beberapa orang keluar dari dalam mobil ambulans dengan benda yang Luhan tidak tahu istilahnya apa, gerakan mereka sangat cepat dan gesit, dan beberapa orang membantu mengeluarkan korban yang ada di dalam mobil putih dan supir taksi. Pada stretcher pertama, korban yang diangkut kesana membuat Luhan mengernyitkan dahinya. Ia mengernyit semakin dalam dan perlahan, mulutnya terbuka tidak tahu ingin mengatakan apa-apa. Namun ia sendiri tidak tahu kalau ia telah berbisik, menahan nafasnya tanpa sadar kurang lebih sepuluh detik.

"Nam... Theyo—A-akh!"

Tiba-tiba Luhan memegangi kepalanya dengan kedua tangan, terjatuh berlutut. Kepalanya seperti tertusuk jarum, dengungan yang hebat membuatnya tidak dapat mendengar apa pun. Ia menutup telinganya, lalu bertambah dengan denyutan di kepala yang jauh lebih menyakitkan. Urat di lehernya kentara jelas dan wajahnya memerah sepenuhnya. Ia tidak dapat berfikir apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Nafasnya terengah-engah, ia mencoba kembali berdiri sekuat tenaga setelah serangan kecil pada telinga dan kepalanya yang hampir membuat Luhan berfikir ia akan mati. Dadanya ikut terasa sesak. Ia melawannya dan berpegangan pada pembatas rooftop. Luhan kembali memejamkan matanya kuat setelah tahu rasa sakit tak wajar yang tiba-tiba muncul menyerangnya sedikit mereda. Tanpa aba-aba kakinya bergerak cepat berlari dengan arah berlawanan masuk ke dalam toko buku untuk turun ke bawah sana.

Saat ia sampai, menembus kerumunan orang-orang itu, mendorong mereka semua untuk menyingkir, Luhan masih belum dapat melihat dengan jelas korban yang diangkut di atas stretcher pertama. Ia bahkan mendorong petugas ambulans itu saat mereka buru-buru mendorong stretcher itu masuk ke dalam mobil ambulans lebih kasar. Kakinya melemah karena meneriakan nama itu kuat. Ia ditarik paksa untuk ikut menyingkir oleh beberapa polisi yang entah kapan muncul di tempat kejadian—mungkin saat telinganya berdengung dan suara sirine polisi yang datang tidak terdengar. Ia berteriak menyuruh mereka melepaskan kedua tangannya karena ia harus memastikan wajah korban dengan seragam sekolah itu sekali lagi. Kalau bisa ia akan berlutut. Sekali saja, tidak bisa? Kalau ia meraung disini sekarang juga, masih tidak bisa?

Sirine mobil ambulans pertama berbunyi, mereka kemudian melaju disusul oleh mobil ambulans kedua. Luhan masih ditahan di tempatnya saat mobil putih itu sudah tiga meter melaju kencang.

Apa mereka takut Luhan mengejarnya?

Mereka takut Luhan berbuat nekat?

Walau mustahil, tapi ya, polisi itu harus mengakui, kalau nyatanya memang hal itu yang terjadi.

Luhan berlari, ia tidak berharap bisa berlari secepat rusa atau cheetah dan melupakan fakta kondisi paru-parunya yang lemah. Ia berteriak hampir putus asa dan berakhir tersungkur pada aspal. Memegangi dadanya yang mulai mengerang sendiri tanpa suara dibalik tulang rusuknya. Tangannya mengepal kuat, memukuli permukaan kasar jalan. Bahkan untuk mengangkat lututnya saja ia tidak bisa. Ia tidak merasa menjadi orang lemah sekarang, ia hanya butuh sebuah uluran tangan, membantunya berdiri.

Malam itu, ia menangis. Ia masih tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan dalam diam berharap kalau itu bukan seseorang yang...

 

 

Flashback skipped.

—Theyo's POV—

Aku terbangun untuk ketiga kalinya dan dalam kondisi yang sama. Saat mataku terbuka aku langsung menangis menunjukkan ekspresi kesakitan. Kepalaku sakit. Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mau menjawab pertanyaanku?

"Aaaaakh!!!" aku berteriak membuatnya memenuhi ruangan terang denganku di dalamnya. Tidak ada orang di sini. Ke mana mereka semua? Aku menggeliat di atas ranjang memegangi sesuatu bertekstur kasar di kepalaku. Sesuatu membalut kepalaku dan saat teraba olehku tanganku basah. Bau anyir membuatku semakin kuat berteriak. Di dahiku menetes sesuatu hingga mengaliri sudut mata dan menetes melalui tulang rawan hidungku. Hingga akhirnya aliran itu mengenai bibirku dan saat terkecap rasa paling aneh yang pernah kurasakan tertelan ke dalam tenggorokanku.

"Theyo!"

Pintu terbuka, dibanting kasar. Beberapa orang langsung berlari tergesa-gesa dan mengelilingi ranjang. Menarik tanganku yang berlumur darah agar tidak dengan tidak sengaja menarik perban yang mengelilingi tengkorak kepalaku.

Lalu ibu dan ayah menangis. Aku ingin tahu, apa yang terjadi padaku. Kenapa rasanya sakit sekali... setelah kecelakaan itu...

"Ibu..." Aku membuat tanganku melingkar di lehernya saat ia datang memelukku yang bersusah payah terduduk untuk meraihnya. Memendam wajah, meredam tangisanku di lehernya. Aku ingin bertanya semua hal padanya. Aku ingin bercerita tentang mimpi buruk yang berada dalam otakku selama aku tertidur. Mimpi buruk yang sudah jelas tidak untuk diingat. Aku tidak bisa untuk tidak mengingatnya kalau mereka berputar-putar mengelilingi pikiranku. Di sana, dalam mimpi itu, mimpi yang dengan senang hati mengulang-ulang kecelakaan mobil denganku dan Taehyun. Kekehan lucu mengejeknya padaku dan teriakan histeris terakhirku saat sebuah taksi muncul dari arah kanan perempatan jalan. Mereka masih berada dalam otakku. Mereka terus berada di sana.

Apa dia tahu seberapa sakit kepalaku saat ini? Itu tidak jauh lebih menyakitkan dibanding saat seseorang yang...

Seseorang yang...

"Sayang," setidaknya, suara ibu yang terdengar dengan sekaan hidungnya membuat diriku sedikit lebih tenang.

Setelah kecelakaan itu sampai detik ini, apa saja yang telah terjadi? Mereka bilang sudah tiga minggu? Aku tidak bisa mengingat dengan jelas. Kecuali bahwa fakta kalau aku absen dari acara ulang tahun sekolah. Kecuali kalau fakta bahwa aku juga absen dari acara penerimaan penghargaan murid teladan. Kecuali kalau nyatanya aku tidak dapat menghadiri pesta selebrasi pembukaan kafe ibu untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Melewatkan ujian mingguan matematika. Dan... setelah kecelakaan itu, Taehyun baru pulang kerja 'kan? Lalu...

"Taehyun..." namanya keluar dari bibirku. "Laptop..." aku melepas pelukan ibu yang sekarang kerah bajunya menyebar noda berwarna merah. Aku lalu mengangkat kedua telapak tanganku perlahan dengan wajah syok. "...ibu," aku menatap matanya yang mungkin sama kondisinya seperti milikku. "Mana Taehyun?"

Dia diam.

"Mana dia... katakan padaku..."

Sekarang ayah menarik paksa tanganku saat menarik-narik baju ibu dan berteriak di depan wajahnya.

Lalu ayah berjalan pergi ke arah tirai yang berada tak jauh dari ranjangku berada. Mataku secara otomatis mengikuti gerak geriknya yang berakhir dengan membuka tirai biru muda dan membuatku melihat gambaran seorang pasien lagi dalam kondisi berbaring tak sadarkan diri. Tapi dia harus bangun. Dia harus terbangun.

Saat aku ingin bergerak, sesuatu dari bagian atas perutku terasa sakit. Aku langsung memeganginya dan noda darah menyebar di bagian sana. Apa ini? Aku menatap sendiri kondisiku yang terlihat dan terasa sangat mengerikan. Menatap nanar telapak tanganku dan saat mereka benar-benar menunjukkan warna yang kontras dari kulitku yang pucat. Aku belum pernah melihat mereka keluar sebanyak ini dan membasahi baju pasien longgar yang sedang kukenakan. Pandangan mataku secara tiba-tiba mulai kehilangan fokus. Apa yang dilihat mataku berbayang-bayang. Sampai akhirnya tubuhku terhempas lagi ke atas ranjang.

***

Seminggu berlalu sejak aku keluar dari rumah sakit. Otakku buntu tidak bisa berhenti bertanya pada ayah dan ibu di mana laptop Taehyun tapi mereka tetap menyuruhku untuk istirahat. Mereka terus menjawab: rusak.

Jadi aku membalasnya dengan argumen kecil dengan mereka tanpa bisa menjelaskan kenapa.

Aku tidak bisa diam di rumah berbaring atau memakan bubur atau sup asin buatan ibu. Kepalaku terus terasa sakit kalau nyatanya aku sangat tidak tenang sekarang.

Bahkan kehadiran teman-teman sekolah yang menjengukku di rumah sakit dan dirumah tidak membuatku merasa jauh lebih baik. Atau saat mereka bercerita seseru apa pesta ulang tahun sekolah dua minggu lalu.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Mereka tertawa janggal.

Tapi aku memang tidak berniat menyimak atau mendengar lelucon apapun dari Luna, Bomi, dan beberapa teman sekelas dan bahkan yang bukan sekelas denganku.

Pagi ini, kondisiku terlihat sangat baik. Menurutku seperti itu saat menatap diriku sendiri di depan cermin lemari pakaian. Berdiri di sana setelah asal mencocokan pakaian yang aku tidak tahu apa cocok dengan tema musim gugur. Benar juga. Pikirku. Kemudian beralih pada kalender yang berdiri tegak di atas nakas. Sekarang bulan September. Dan peduli apa aku mengenai tema-tema pakaian seperti itu kalau aku hanya akan membawa diriku pergi ke kantor polisi.

Celana panjang putih yang pas di kakiku dan sweater rajutan berwarna cantaloupe dengan pattern aztec. Aku lalu menarik sampiran syal maroon di atas kasur. Melingkarkannya di leherku hingga hidungku tenggelam di baliknya.

Sekali lagi aku melihat pantulan diriku di cermin, menyisir rambutku dengan tangan agar menutupi bagian dahiku yang terluka—lucu sekali, letaknya hampir sama seperti milik Harry Potter.

"Ugh," aku mengeluh saat menggerakkan kakiku. Terkadang, sesuatu yang ketat tidak membuatku nyaman. Tapi ini tidak terlalu ketat memang, yang penting saat mengayuh sepeda aku tidak jengkel. Karena terburu-buru aku lalu segera memasangkan kacamata berlensa tebal milik Taehyun. Aku tidak tahu jenis style apa yang sedang kupakai sekarang.

Mengendikkan bahu tak acuh, kemudian menyambar tas punggung berukuran mini berwarna putih yang kuletakkan di atas kasur. Hanya berisi botol air minum dan dompet.

Pagi ini ayah akan pergi bekerja sekalian mengantar ibu pergi ke kafe. Ngomong-ngomong soal kafe, kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang bisnis baru keluargaku itu?

"Kau akan pergi ke mana?" ibu langsung menghampiriku yang baru sampai ke lantai bawah setelah mencuci peralatan makan bekas sarapan kami.

"Naik sepeda?" jawabku, lebih terdengar menjurus pada sebuah pertanyaan. Oh, baiklah, aku tahu secara otomatis mereka melayangkan tatapan penuh kecurigaan, ketidaksetujuan, dan kekhawatiran padaku sekarang. Yang mana itu mulai terjadi semenjak kecelakaan itu. "Aku ada urusan yang sangat penting." imbuhku.

"Jangan pergi ke mana-mana. Istirahat saja di rumah. Kau sudah harus bersekolah besok,"

Aku mendengus. Perkataan ayah basi sekali.

"Kalau begitu, katakan padaku kondisi sesungguhnya laptop Taehyun."

"Benda itu sudah rusak. Berapa kali harus ayah katakan padamu." balas ayah menatapku kesal akibat sifat menyebalkan yang entah kenapa bisa muncul dalam diriku—keras kepala.

"Aku tidak percaya."

"Untuk apa kami berbohong padamu,"

"Kubilang aku tidak percaya!"

"Sebenarnya apa yang kau inginkan dari benda itu selain untuk kepulihan dirimu sendiri dan oppa-mu agar segera tersadar dari komanya?!"

"Aku pun berdoa agar ia segera terbangun tapi usaha apa yang bisa kulakukan?!"

"NAM THEYO!"

Mataku dengan cepat mengerjap saat tiba-tiba suara ayah terdengar lebih keras membentak di depan wajahku.

Ya, aku tidak percaya. Bagaimana aku bisa percaya kalau nyatanya benda itu rusak dan aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Luhan dan yang lainnya. Bagaimana aku bisa percaya sementara karena benda itu Taehyun menggantungkan pikiranku. Dan bagaimana aku harus percaya jika ada satu kemungkinan yang membuatku terus memarahi mereka berdua, orang tuaku, hanya karena aku memang belum, dan sama sekali tidak siap untuk dijejalkan sebuah kenyataan kalau Luhan dan lainnya itu telah menghilang. Aku berfikir, aku terus dihantui ketakutan konyol yang ada di dalam diriku sendiri, kalau Luhan pada pilihan pertama

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Riaa_Osehhlovu #1
Chapter 48: Antara ecxited sama sedih tokoh utamanya ganti :')
Tapi tetep bakal nunggu sekuelnya koks
ChanCartSoo #2
Chapter 48: Save offline nya di disable ama authornya


Bgst
ChanCartSoo #3
Chapter 48: Q suka lah ni cerite
zaa29b_byeol
#4
Chapter 47: Ini aku belum baca ya? Ah bodo amat. Bagus, bloom! Great one!
crunchymiki
#5
Chapter 47: ane nyengir-nyengir sendiri bacanya anjjayyy >\\\\<
alterallegra #6
Chapter 47: Wow.. Great ff Story i have read ever..
Jongin-ahh #7
Chapter 47: Endingnya gantung bgt gitu authornim T.T
Jongin-ahh #8
Chapter 47: Gue senyum2 sendiri baca ini T.T lebih sweet dr es krimnya theyo ini mah:3
Jongin-ahh #9
Chapter 44: Gue baca dari awal masa T.T chapter ini menggemaskan ><
keyhobbs
#10
Chapter 47: wwoahh!!!author jjang! Gmana bisa endingnya sekeren ini, ya ampun, dan Taehyun akhirnya sama Dara yeyy!! Terus terus Theyo sama Luhan, awalnya aku lebih suka kalo Theyo sama Baek tpi pas baca scene yg mereka jadian jadi ikutan seneng juga, jdinya bingung-_- sebenernya aku suka Theyo-Luhan atau Baek-yo hihi, tpi y sudahlah ya, yg penting pada akhirnya semuanya bahagia,hihi!