Page2: First Glance

Hacker
Please Subscribe to read the full chapter

Gerbang sekolah kadang terlihat horor di mataku. Seperti saat ini. Lebih horor lagi mungkin pandangan mataku kali ini. Tetapi, mengingat kejadian kemarin sama sekali membuatku senyaman orang sakit gigi. Ayolah, aku belum pernah merasakannya. Dan aku hanya tahu bahwa sakit gigi itu menyebalkan. Aku terus berkeringat seperti habis olahraga berat. Atau layaknya orang yang habis berolahraga berat. Kepalaku hampir pecah akibat terfokus pada—jangan diungkit lagi.

Aku tahu, dan merasa lucu, aku jadi boneka? Apa maksudnya?

Okay, aku mengungkitnya lagi. Hal ini benar-benar mengusik pikiranku. Aku tidak mau menjadi gila secara otomatis akibat terlalu khawatir hanya karena ini. Dan... apa aku harus cerita pada seseorang?

Aku butuh bantuan dan... di sekelilingku hanya ada orang-orang bodoh dan idiot yang sekarang sibuk menyalin tugas rumah. Tugas kimia kemarin... Sudah kuselesaikan di perpustakaan, bukan? Pikirku sambil mengingat-ingat kejadian, I mean kegiatanku kemarin. Kenapa aku menyebutnya kejadian?

Aku cukup muda untuk mengingat sesuatu secara langsung. Dan aku ini tidak tua. Aku muda, bukan cukup muda. Dan, oh, aku ingin seseorang menimpuk kepalaku dengan batu besar. Buat kepalaku bocor dan buat aku amnesia tentang kejadian buruk. Dengan begitu, ketika kepalaku pulih dan hanya diisi kenangan indah, aku akan berterima kasih. Bahwa hal ini tidak ada dan tidak pernah terjadi padaku. Maksudku, kejadian dengan website itu. Berbaik hatilah kalian.

Boneka... Boneka, boneka. Apa yang akan terjadi padaku?!

Seraya menggerutu sendiri, tentu saja, mana mungkin aku menggerutu dengan seseorang sekarang. Aku membanting tasku ke meja yang berteriak kesakitan secara otomatis. Semua mata mengarah padaku sekarang. Dan aku dapat merasakan aura berbeda dari setiap pandangan mereka padaku. Ini. Kejadian. Biasa.

Tanpa beban, aku lalu duduk bersandar di kursi sambil kembali terdiam. Mereka masih memandangiku. Namun langsung berpaling kala aku menoleh perlahan dengan tatapan penuh ancaman tulus pada mereka. Why are they all looking at me like I've grown a nose on my forehead? Idiots! Makiku dalam hati. Pertanyaan itu jika kuutarakan dengan teriakan tentu dapat dijawab tanpa pikir panjang oleh mereka.

Setelah aku benar-benar yakin bahwa tidak ada satu ekor pun yang menoleh atau memandangiku. Aku kembali menatap lurus ke depan. Kosong.

Aku menunggu detik-detik berjalannya pikiranku yang tak lagi waras. Kejam sekali. Aku bahkan tak lagi berani melihat atau membuka ponselku. Mereka saja bisa tahu namaku secara—oh ya, mereka ajaib. Wajar sekali. Dan sangat wajar juga kalau kubuka browser-ku nanti, wajah pria dengan Teddy bear itu kembali muncul. Oh, tidak. Gumamku menggeleng pelan dan memasang raut wajah calon pasien rumah sakit jiwa. Aku sedang tidak peduli pada kalian teman-temanku yang baik dan beruntung yang sekarang entah mungkin sedang melontarkan tatapan aneh pada diriku.

Aku tidak berani bertindak apapun lagi. Setelah membaca kalimat kemarin, aku merasa bahwa sekarang hidupku terganggu sesuatu. Dan sesuatu itu tidak kasat mata. Dan semakin lama, mereka semakin menunjukkan wujud mereka. Dan mereka sedang menuju ke arahku. Hanya itu yang bisa terlintas di pikiranku sekarang. Entah kenapa sesuatu yang terlintas di pikiranku itu terasa terlalu dilebih-lebihkan.

Mengusir kembali semua dari dalam pikiranku. Aku lalu mengatupkan tanganku. Aku mulai menunduk dalam-dalam dan meminta dan memohon pada surga, dewa, Tuhan atau apapun itu. Aku gadis baik, jangan biarkan hal buruk terjadi padaku. Aku gadis baik. Dan aku menyayangi orang tuaku dan oppa-ku. Semoga aku akan baik-baik saja. Amien.

Aku kembali mengangkat kepalaku. Kini perasaanku sedikit lebih nyaman. Apa kalau berkaitan dengan agama akan seperti ini? Kusadari bahwa aku... aku ini 'kan... atheis¹... Lantas, pada siapa aku memanjatkan doaku tadi? Surga? Konyol.

Untuk beberapa saat aku terpikirkan sesuatu, well, ini keputusan yang sulit.

Aku harus memilih agama apa sekarang?

Lantas, kalau aku tidak memiliki agama, tentu doaku tidak akan didengar siapapun. Dan yang paling buruk, tidak akan ada yang mengabulkannya. The nerve of being an atheis.

 ***

Bel masuk berbunyi. Kini semua yang berada di luar berlari masuk ke dalam menunjukkan ekspresi gembira. Aneh. Tapi mereka memang aneh. Gumamku ketika memandang siswi-siswi sekelasku itu sekilas dan kembali untuk tidur melipat tanganku. Menutup wajahku dengan buku dan meletakkan kepala seberat batu ini di atas meja.

Entah kenapa, tawa dan suara riang mereka makin berisik dan tolong, kenapa sampai harus masuk ke telingaku. Aku tidak tertarik tapi kali ini mereka meributkan apa sih?

Mereka kenapa senang? Aku mengangkat kepalaku beberapa milimeter dari meja dan menutup buku tulisku tadi. Aku mulai memerhatikan beberapa temanku—sepertinya. Mata mereka terlihat berbinar. Shh... Boy as always. Gerutuku mendesis dan kembali ke posisi ternyamanku tadi. Aku sudah tenang sekarang. Kalian tahu?!

"Okay, class, perhatikan kedepan,"

Malas.

"Ini murid baru kita,"

Peduli apa aku?

"Dia pindah ke sekolah ini karena keluarganya baru pindah rumah,"

Blah, blah, blah... Dumelanku makin panjang kala Mr. Lee memperkenalkan murid baru itu dengan kalimat manisnya. Well, dia itu agak menggelikan karena terkadang ia bisa tersenyum seperti psikopat pada murid-muridnya yang tidak mengerjakan tugas. Dan... murid baru? Aku tak tertarik. Dan aku tidak peduli. Karena murid baru itu membuat kelas makin berisik.

"Perkenalkan dirimu pada mereka."

"Namaku Luhan. Aku lahir di Beijing namun sekarang menetap Korea. Umurku tujuh belas tahun."

Kudengar murid baru itu memperkenalkan diri dengan datarnya. Seluruh isi ruangan tiba-tiba terdiam. Ajaib sekali. Banyak hal aneh yang kutemui dari kemarin. Beginikah aku harus berkata bahwa aku beruntung?

"Aaa... Luhan, kau terlihat kurang ceria. Mungkin kau harus agak yah, bergaul dengan murid Daewoon lebih dalam nantinya."

 

 

—Luhan's POV—

Mendengar dia berkata begitu, aku lalu menoleh kearahnya perlahan. Mengisyaratkan sesuatu melalui tatapanku yang mengisyaratkan kalau aku begitu ingin meletakkan bokongku dan duduk.

"Bahasa Koreamu sungguh lancar, ya. Kau pasti sudah sangat lama tinggal di negara yang kita cintai ini. Lupakan perkataan bapak tadi. Kau boleh duduk di—Nah!? Kau harusnya membawa alas tidur!

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Riaa_Osehhlovu #1
Chapter 48: Antara ecxited sama sedih tokoh utamanya ganti :')
Tapi tetep bakal nunggu sekuelnya koks
ChanCartSoo #2
Chapter 48: Save offline nya di disable ama authornya


Bgst
ChanCartSoo #3
Chapter 48: Q suka lah ni cerite
zaa29b_byeol
#4
Chapter 47: Ini aku belum baca ya? Ah bodo amat. Bagus, bloom! Great one!
crunchymiki
#5
Chapter 47: ane nyengir-nyengir sendiri bacanya anjjayyy >\\\\<
alterallegra #6
Chapter 47: Wow.. Great ff Story i have read ever..
Jongin-ahh #7
Chapter 47: Endingnya gantung bgt gitu authornim T.T
Jongin-ahh #8
Chapter 47: Gue senyum2 sendiri baca ini T.T lebih sweet dr es krimnya theyo ini mah:3
Jongin-ahh #9
Chapter 44: Gue baca dari awal masa T.T chapter ini menggemaskan ><
keyhobbs
#10
Chapter 47: wwoahh!!!author jjang! Gmana bisa endingnya sekeren ini, ya ampun, dan Taehyun akhirnya sama Dara yeyy!! Terus terus Theyo sama Luhan, awalnya aku lebih suka kalo Theyo sama Baek tpi pas baca scene yg mereka jadian jadi ikutan seneng juga, jdinya bingung-_- sebenernya aku suka Theyo-Luhan atau Baek-yo hihi, tpi y sudahlah ya, yg penting pada akhirnya semuanya bahagia,hihi!