Page11: Baekstard

Hacker
Please Subscribe to read the full chapter

—3rd POV—

"Dia... siapa? Rupanya kau kenal?" Theyo bertanya dengan herannya. Sementara Luhan pun terkejut dan langsung menatap gadis itu. Dia menggeleng perlahan seakan tadi dirinya tidak melihat apapun padahal ia mengangguk pada pemuda tadi. "Kau menyembunyikan sesuatu?" tudingnya sambil menunjuk wajah Luhan penuh kecurigaan. Mengangkat salah satu alisnya sebagai bentuk ketidakpercayaan atas jawaban yang diberikan Luhan. Dia pun kembali menggeleng cepat seperti seorang anak kecil.

"Tidak ada. Aku salah orang." jawabnya semakin terdengar mencurigakan.

"Kenapa nada bicaramu seperti itu? Kau tidak suka aku bertanya? Hah?"

"Berisik benar gadis ini..." gumam Luhan pelan saat mereka sudah berada di luar kafe.

"Yak! Aku dengar apa yang kau bilang tadi, brengsek! Diam-diam kau menggerutu tentangku!"

"Makanya tenang sedikit, Theyo."

Entah kenapa mereka berdua memutuskan untuk bertengkar kembali. Tetapi, karena tahu ia cukup normal untuk tidak membuang waktu, Theyo segera melangkah pergi. Luhan pun menyusulnya dari belakang sambil bersungut-sungut sendirian.

Mereka berdua segera mencari halte terdekat. Ketika sampai keduanya duduk bersebelahan dengan jarak dari ujung ke ujung. Tidak ada yang tahu kenapa mereka memilih posisi seperti ini.

Tidak ada yang memulai pembicaraan ketika keduanya duduk bersebelahan di halte maupun di dalam bis. Luhan malah disibukkan dengan menu-menu pada ponselnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia melakukan hal itu. Menurutnya mungkin hanya bentuk pengalihan suasana.

Kesunyian kembali mendominasi kala mereka sampai pada jalan besar kompleks perumahan Luhan. Hanya suara langkah kaki pelan dan sesekali salah satu dari mereka menghela nafas berat. Ini sungguh suasana yang canggung dan atmosfer itu kentara sekali. Tidak ada topik yang cocok untuk dibicarakan kecuali tentang website itu di antara mereka berdua.

"Kenapa sepi sekali..."

Kalimat pertama keluar dari mulut Luhan. Namun Theyo hanya memutar bola matanya menyadari situasi mereka berdua. Lebih baik ia menghitung mulai dari 1 sampai 20 nomor rumah yang berada di sisi kirinya ini.

 

 

—Theyo's POV—

Setelah sampai pada jalanan aspal luas kompleks perumahan tempat tinggal Luhan kami berdua terus terdiam seperti orang dungu. Tidak ada yang mampu keluar dari mulutku selain menghela nafas panjang atau menggumamkan 'hm' dan 'mm'. Ia juga melakukan hal yang sama. Situasi bodoh macam apa ini? Setidaknya kau berkata sesuatu 'kan?

Lagipula, ia 'kan memang pria yang aneh. Belum lagi dia itu bodoh. Kalau dia memiliki wajah tampan yang girly sekaligus—ugh, aku terpaksa harus mengatakannya sendiri dalam hati. Sekilas, terkadang wajahnya terlihat angelic. Harusnya bisa disimpulkan kalau penampilan dia itu sempurna. Di sekolah gadis-gadis kadang suka mengelilinginya. Yang menjadi penghalang adalah kepribadian dan sifat buruknya itu. Apalagi dia pelupa akut.

Yeah, tidak usah sibuk memikirkan dia. Sekarang sudah...

Nomor 4...

Nomor 5...

Nomor 6...

Kenapa nomor 20 lama sekali...

"Kenapa sepi sekali..."

Baru dia bersuara. Kenapa tidak dari tadi? Aku menggerutu sambil memutar bola mataku. Aku pun kembali menghitung nomor rumah yang kami lewati. Ini cukup melelahkan. Untuk sampai dari rumah satu kerumah yang berada disebelahnya memerlukan 30 langkah orang dewasa. Apa yang harus kulakukan? Memintanya menggendongku? Apa yang kau pikirkan Nam Theyo... Bagaimana bisa hal seperti itu terlintas?

***

Setelah agak lama kami lalu sampai di rumah nomor 20. Hal pertama yang muncul di kepalaku: sangat besar. Rumah ini benar-benar besar. Yeah... sama seperti rumah yang lain. Tapi kurasa ini jauh lebih besar. Memangnya ada berapa kakak dan adiknya?

Setelah menekan bel rumah, seseorang pun muncul, membuka pintu utama rumah mereka lalu menoleh ke arah pagar rumah. Ia seperti memberi kode pada Luhan. Dia sempat melirik kearahku lalu pemuda tadi langsung kembali menutup pintu. Itu mungkin kakaknya... Tapi topi yang ia kenakan itu...

"Rupanya yang ini di kunci. Kita lewat pagar yang satu lagi saja." ujar Luhan tiba-tiba.

Inilah yang memancing emosiku. Kenapa dia harus lewat pagar besar ini sementara dia bisa melewati pagar kecil di ujung sana. Aku juga yang bodoh karena tidak bertanya.

"Tadi itu dongsaeng atau hyung-mu? Aku merasa topinya sama dengan pria yang berdiri di seberang jalan tadi." tanyaku penasaran selagi Luhan membukakan pagar. Dia belum menjawab sampai kami berdua masuk dan langsung berjalan ke arah rumahnya. "Kau tidak menutup pintu pagar?" tanyaku memperingati sambil menoleh ke arahnya heran. Dia pun membalas tatapanku dan sempat terdiam. Kurasa dia sengaja membiarkannya terbuka, karena mungkin ada pelayan rumah yang akan menutupnya. Namun aku menghilangkan pendapatku itu setelah melihatnya berhenti.

"Astaga. Aku lupa."

Ya, tentu saja... Si bodoh itu pun langsung berlari kembali ke arah pagar. Aku mendengar suara pagar yang tertutup dengan kasar lalu suara kakinya yang kembali melangkah menyusulku.

Begitu dia tepat di sebelahku...

"Mungkin sekarang aku harus memanggilmu dengan julukan baru. Julukan yang cocok untuk orang bodoh, pelupa, keras kepala, dan menjengkelkan,"

"Tapi aku tampan. Aku punya penggemar,"

"Eww... whatever," balasku lalu meliriknya yang sedang mengangkat sebelah alis ke arahku.

"Semenjak aku mengurangi makianku sekarang kau jadi sering membalas apa yang kukatakan padamu. Aku tidak akan diam kalau kau kembali menggerutu padaku seperti di kafe tadi dan... Oh! Itu terakhir aku akan mengajakmu kesana."

Bisa kudengar Luhan hanya mendesah acuh tak acuh setelah mendengar perkataanku. Kurasa itu bagus. Dia harusnya, takut padaku. Yeah, takut kembali kumaki seperti biasa.

Jujur saja, ketika mengumpat atau memaki orang dengan kata-kata kasar itu seru karena mereka kadang tidak mengerti apa yang kukatakan. Walaupun tidak benar-benar menyenangkan kalau harus menyakiti perasaan orang lain. Tapi Luhan, apa dia sendiri punya perasaan? Sudahlah. Peduli apa aku? Kata-kata seperti itu akan dengan mudahnya muncul di otakku dan akan secara otomatis terlontar. Dan kurasa selama ini belum pernah ada orang yang bisa balas memakiku kembali. Habis, aku tahu mereka tidak diajarkan berbicara seperti itu. Atau mungkin mereka takut dibalas dengan perkataan yang lebih tajam dariku? Mereka seharusnya tahu bahwa aku menguasai banyak kosakata kotor dalam bahasa asing itu.

Akhirnya Luhan dan aku pun sampai ke depan pintu rumahnya. Aku tidak berniat mengedarkan pandanganku kemana pun dan hanya terpaut pada pintu rumahnya yang besar.

"Aku pulang," Luhan membuka pintu rumahnya, dan aku segera menyusulnya masuk dengan langkah kecil setelah ia kembali menutup pintu rumahnya.

"Kalian tinggal berdua?" tanyaku setelah perlahan berjalan masuk. Aku tidak melihat pelayan yang mondar mandir di rumah sebesar ini. Mungkin menggunakan jasa cleaning service. Menjadi orang yang selalu penasaran diriku, aku lalu menoleh ke segala arah melihat berbagai furnitur rumahnya yang sangat klasik. Ruang tamunya tampak berdebu—jadi aku mencoret asumsiku tentang cleaning service itu. Rasa ingin tahuku sampai pada saat melewati sebuah ruang televisi yang besar berwarna biru turqoise, diisi televisi plasma dan Playstation, tumpukan kaset dan majalah, deretan sofa yang aku yakin cukup untuk lebih dari 15 orang, dan aku langsung terkagum-kagum pada bowl kecil berisi ikan hias yang tidak sengaja mencuri perhatianku di ruang televisi ini. Setelah memuji-muji rumahnya dalam hati, aku baru sadar Luhan kembali tidak menjawabku untuk kedua kalinya. Ada apa dengannya? Bukankah biasanya dia akan cepat menyahut segala pertanyaanku? Dia malah berjalan lurus ke arah tangga dan naik dengan perlahan. Karena hanya bisa mengikutinya, aku pun melangkah juga kemana ia melangkah. Kamarnya kah? Ini pertama kalinya aku kerumah teman selain alasan tugas kelompok. Dan kalau ada tugas kelompok pun biasanya kami mengerjakannya di kafe-kafe.

Tapi kamar Luhan? Apa aku harus mengikutinya?

BRAKK!

Aku terkejut mendengar suara bantingan pintu tertutup dari lantai bawah. Aku yang sudah mau sampai ke lantai dua pun segera menoleh mencari sumber bunyi itu. Mungkinkah itu adik atau kakaknya? Ugh, mereka sepertinya tidak suka kalau kedatangan tamu sampai mereka harus membanting pintu secara terang-terangan. Apalagi kalau tamunya itu perempuan mungkin. Tapi, tenang, aku cantik, jika kakaknya melihatku pasti tidak akan membawa omelan macam apapun. Setidaknya mungkin akan muncul kalau aku mengucapkan kata-kata kotor di sini pada Luhan.

"Tidak usah dipikirkan. Mungkin itu dongsaeng-ku." ucap Luhan membuatku mengendikkan bahu tak peduli.

"Siapa yang memikirkannya? Lagipula, banyak sekali pintu... yang mana kamarmu? Lalu... kenapa kau tidak menyuruhku menunggu di ruang tamu?" tanyaku penasaran. Luhan hanya angkat bahu. Aku kembali merasa jengkel dan memutar bola mataku.

"Aku akan menunggu di bawah. Mustahil aku ke kamarmu 'kan?" ujarku lalu buru-buru kembali turun. Karena kukira kamar Luhan sudah dekat dari posisi terakhirku tadi. Namun, ketika aku hampir sampai di pertengahan tangga ini, aku melihat beberapa orang muncul serentak dari sebuah kamar. Dari situ munculnya bunyi bantingan pintu tadi kurasa.

"Sial." kudengar Luhan mengumpat dari atas sana.

Siapa mereka semua? Mereka semua tampak sebaya... 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10...

"! You're such an Chanyeol! Kau menubruk bokongku!"

Apa? Kudengar salah satu dari mereka baru saja memaki seseorang. Aku tidak salah dengar kata '' di situ 'kan?

"Siapa perempuan—" salah seorang dari mereka menatapku. Tidak. Mereka semua menatap dan memandang ke arahku. Apa satu keluarga mata mereka berwarna biru? Aku lantas hanya mematung pada posisiku sekarang berpikir mengenai kejadian yang sekarang terjadi. Mustahil mereka semua bersaudara. Tak ada satupun dari mereka yang wajahnya mirip. Mereka sungguh terlihat sebaya. Mereka terlihat seperti grup berandalan dari sekolah-sekolah yang pernah kutonton dalam drama Korea. "Siapa ini?" lanjut pria dengan shirt bercetak Donnal duck kemudian.

"Hey, kalian menakutinya," tiba-tiba, Luhan menggenggam pergelangan tanganku dari belakang. "Kenapa kalian semua memandanginya begitu? Perkenalkan diri kalian,"

"Lepaskan tanganku." desisku langsung menyingkirkan tangan Luhan.

"Jadi kau berniat membawa seseorang ke rumah dan bekerja sama dengan Chanyeol?"

Ada apa dengan mereka, ketika menatap Luhan, warna bola mata mereka berubah kecoklatan, dan ada yang berwarna hitam. Tapi kenapa, beberapa orang dari mereka kembali menatapku dan berubah kembali menjadi biru? Apa Luhan juga seperti itu? Aku tidak memerhatikan tapi aku yakin sekali kalau Luhan juga seperti itu.

Apa sekarang aku baru sadar kalau keluarga Luhan semuanya adalah manusia fantasi? I

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Riaa_Osehhlovu #1
Chapter 48: Antara ecxited sama sedih tokoh utamanya ganti :')
Tapi tetep bakal nunggu sekuelnya koks
ChanCartSoo #2
Chapter 48: Save offline nya di disable ama authornya


Bgst
ChanCartSoo #3
Chapter 48: Q suka lah ni cerite
zaa29b_byeol
#4
Chapter 47: Ini aku belum baca ya? Ah bodo amat. Bagus, bloom! Great one!
crunchymiki
#5
Chapter 47: ane nyengir-nyengir sendiri bacanya anjjayyy >\\\\<
alterallegra #6
Chapter 47: Wow.. Great ff Story i have read ever..
Jongin-ahh #7
Chapter 47: Endingnya gantung bgt gitu authornim T.T
Jongin-ahh #8
Chapter 47: Gue senyum2 sendiri baca ini T.T lebih sweet dr es krimnya theyo ini mah:3
Jongin-ahh #9
Chapter 44: Gue baca dari awal masa T.T chapter ini menggemaskan ><
keyhobbs
#10
Chapter 47: wwoahh!!!author jjang! Gmana bisa endingnya sekeren ini, ya ampun, dan Taehyun akhirnya sama Dara yeyy!! Terus terus Theyo sama Luhan, awalnya aku lebih suka kalo Theyo sama Baek tpi pas baca scene yg mereka jadian jadi ikutan seneng juga, jdinya bingung-_- sebenernya aku suka Theyo-Luhan atau Baek-yo hihi, tpi y sudahlah ya, yg penting pada akhirnya semuanya bahagia,hihi!