Playboy

Kai, Sang Pejuang Cinta

Pa2ceZd.jpg

 

"Cium gue plis. Bikin gue lupa sama ini semua."

Kai tertegun. Dari semua kata-kata di dunia, dia sama sekali nggak nyangka Borin ngucapin ini. Rasa deg-degan di dada bikin Kai bingung. Bahkan rasanya mengedipkan mata aja salah.

Ekspresi di wajah Borin tak bisa terbaca. Ada sedih di wajah itu, tapi ada kecewa juga, gundah, galau, frustrasi dan sedikit harapan. Harapan untuk dicium kah?

Mata Borin tak pernah lepas menatap Kai. 'Those puppy eyes though. And those inviting lips. Sial gimana gua bisa nolak?' Kai berperang sendiri dengan kata-kata di hatinya.

Kai mau nanya untuk memastikan apa Borin emang benar-benar mau dicium. Tapi nggak jadi, Kai takut Borin berubah pikiran kalo dia nanya.

Akhirnya karena merasa terlalu lama mikir, dengan masih menggenggam tangan Borin, Kai mendekat. Tangan kirinya yang bebas memegang tengkuk Borin dan membuat kepalanya terangkat. Kai menundukkan dan memiringkan kepalanya.

Keduanya menutup mata saat bibir mereka bertemu. Lagi.

Untuk beberapa saat mereka begitu. Tangan Kai menggenggam erat tangan kiri Borin. Sedangkan tangan kirinya mengelus leher bagian belakang Borin. Dan bibir mereka bersentuhan.

Tiba-tiba hujan deras turun yang membuat Borin langsung menarik dirinya. Kai dengan sigap menarik tangan Borin dan mengajaknya lari ke depan greenhouse untuk berteduh. Kai coba-coba membuka pintu greenhouse. Terbuka. Dia lalu memberi kode buat Borin untuk masuk. Kai masuk duluan, diikuti Borin yang agak ragu-ragu.

Sejumlah tanaman hijau dalam pot menyambut Kai dan Borin. Kai menutup pintu greenhouse perlahan, lalu memperhatikan suasana sekeliling yang mendadak terasa segar dengan tanaman-tanaman yang ada.

Kai melihat Borin di sampingnya yang sedang merapikan rambut panjangnya yang basah. Kai tak bisa melepas pandangannya dari Borin. Suasana hijau di dalam greenhouse baginya tak ada apa-apanya dengan kecantikan Borin, meskipun rambutnya sedikit berantakan karena basah.

Entah dapat keberanian dari mana, Kai lalu menarik tubuh Borin. Dipeluknya erat pinggang Borin dan diciumnya lagi bibir gadis yang disayanginya.

Beda dengan ciuman di depan greenhouse tadi, kali ini Kai tidak lagi melakukannya dengan lembut. Karena berada di dalam ruangan, Kai jadi lebih berani. Kai tau Borin nggak siap dengan ciuman tiba-tiba ini, tapi dia yakin Borin tak akan menamparnya.

Kai melumat bibir Borin. Dia ikut naluri aja, nggak tau ciumannya benar atau nggak, karena pengalamannya berciuman juga sama Borin semua.

Kai masih mencium bibir Borin, kali ini dengan mengelus punggungnya. Dan rasanya jantung Kai mau meledak, saat Borin melingkarkan kedua tangannya di leher Kai. Borin pun membalas ciuman Kai.

Kini mereka saling berciuman. Bahkan keduanya seakan berlomba siapa yang lebih baik dalam mencium.

Mereka masih berciuman saat Kai mendorong tubuh Borin perlahan, hingga punggungnya bertemu dengan pintu kaca greenhouse. Kai melepas ciumannya dan menatap mata Borin. Sekejap saja, karena sedetik kemudian bibirnya melumat bibir Borin lagi.

Tak perlu waktu lama, Borin segera balik mencium bibir Kai lagi. Tangannya masih di leher Kai dan jari-jarinya memainkan rambut Kai.

Ciuman mereka kali ini lebih dalam dari yang sebelumnya.

Kai tiba-tiba merasa ponsel di saku celananya bergetar. Ada yang menelepon. Tapi masa bodo, dia nggak peduli. Kai sama sekali nggak ada niat mengangkat panggilan itu, meskipun getarannya sedikit ganggu konsentrasinya dalam mencium Borin.

Tapi tiba-tiba, Borin melepas ciuman mereka dan sedikit minta cela untuk mengambil sesuatu di saku jas seragamnya. Ponsel. Rupanya ada yang menelepon Borin juga. Mereka melihat nama Bu Haneul di layar ponsel.

Borin berniat menerima panggilan Bu Haneul. Tapi Kai merebut ponsel Borin. Dia menggeleng-gelengkan kepala, memberi tanda agar Borin tak mempedulikan panggilan ini.

Kai langsung mencium lagi bibir Borin yang bersiap mau protes. Untung bagi Kai, Borin tak berniat komplain lagi dan membalas ciumannya. Saat menikmati ciuman ini, Kai menyelipkan ponsel Borin ke dalam saku jasnya sendiri. Biar kalau ada panggilan lagi, Borin nggak terganggu dalam menciumnya.

Hanya dalam hitungan menit, Kai merasa dapat bakat baru, yaitu berciuman. Entah ini dia yang pintar apa emang yang dicium cewe yang disuka, Kai mendadak jadi expert gini.

Ciuman Kai dan Borin, berlangsung lumayan lama. Bukan lagi ciuman innocent seperti yang mereka lakukan di depan ruang ganti pemain bola, setelah Kai dapet kartu merah dulu.

Mereka baru berhenti setelah merasa benar-benar butuh oksigen. Tepat saat hujan di luar tak lagi turun dengan deras.

Kai menempelkan keningnya di kening Borin. Jari-jarinya mengelus lembut pipi si gadis. Keduanya juga sama-sama bernafas dengan berat, seperti baru ikut lari maraton.

"Udah nggak ujan," kata Borin pelan, setelah merasa cukup dapat oksigen, dengan posisi wajah yang masih dekat banget dengan wajah Kai.

"Iya."

Borin mengangkat wajahnya untuk melihat Kai lebih jelas. "Hmm balik ke bus?" tanyanya ragu-ragu.

Kai menatap Borin, yang wajahnya bersemu merah muda. 'Gila, cute banget sih' kata Kai dalam hati.

Ditariknya pinggang Borin hingga tubuh mereka bersentuhan. Kai kemudian menyeringai. "Satu kali lagi."

Kai mencium Borin. Oke lagi untuk kesekian kalinya hari itu. Tapi ciuman yang ini jauh lebih lembut daripada yang sebelumnya.

Kalau yang tadi Kai pengen bantu Borin buat lupa masalah Olimpiade (dan efek hormon remaja), kali ini dia mau menunjukkan rasa sayang. Ciuman Kai tak lagi menuntut seperti tadi. Kai lalu tersenyum saat Borin mengikuti gerakan bibirnya. Rasanya Kai makin sayang sama Borin kalo gini ini.

Kai akhirnya dengan berat hati, berinisiatif mengakhiri ciuman seperti janjinya tadi, yang bilang cuma nambah sekali lagi. Kai lalu memeluk Borin. Aslinya dia agak malu sih setelah ciuman barusan.

"Balik ke yang lain yuk!" Bisik Kai.

Borin mengangkat kepala supaya bisa liat wajah Kai. "Kalo kita ditinggal gimana?"

"Nggak bakal lah. Tega banget kalo sampe ninggalin kita."

"Terus kalo mereka nanya kita dari mana, kita jawab apa?"

Mendadak Borin gemesin banget sampe hati Kai leleh rasanya dan pengen cium dia lagi, tapi ditahan. Sebagai gantinya, Kai menepuk kedua pipi Borin. "Udah tenang aja, ntar gue yang jawab. Nih hape lo." Kata Kai, memberikan ponsel Borin yang disimpan di sakunya.

Mereka berdua lalu keluar dari greenhouse. Keduanya berjalan menuju bis SMA 1 diparkir, nggak pake ngomong tapi saling bergandengan tangat erat. Kai juga sambil senyum-senyum mengayun-ayunkan tangan mereka.

Ketika memasuki halaman parkir, secara refleks, mereka melepas tangan yang bergandengan. Borin juga melangkah sedikit lebih cepat dari Kai. Suho ternyata udah menunggu di luar bis.

"Dari mana kalian?" tanya Suho.

"Dari mana-mana. Nunggu kita doang ya?" Kai tanya juga, sambil mengangguk ke Borin yang ngasih kode mau naik ke bus duluan.

"Nggak juga sih. Sunyoung sama Somin katanya masih beli minum. Lu ditelepon nggak diangkat-angkat," protes Suho.

"Emang lu nelpon?" Kai lalu merogoh saku celana dan mengambil ponselnya. "Ah....sorry. Dari final tadi hape gue silence soalnya," kata Kai, penuh dusta, tapi masuk akal bohongnya.

"Kalo sama Borin lupa segalanya ya," goda Suho, maklum dia sama sikap Kai.

"Ya sama kalo lu udah sama Joohyun," kata Kai ketawa, nepuk pundak Suho, lalu naik ke bus juga.

Kai nggak duduk di samping Borin, tapi di belakangnya lagi. Dia takut bakal nggak bisa menahan gejolak asmara kalo deketan sama Borin soalnya.

Dan bisa diduga, sepanjang perjalanan, Kai lupa caranya berhenti senyum-senyum bahagia.

 

Jangan angkat dering teleponmu, mari kita abaikan saja
Tidak perlu memberitahu siapa pun selain kita berdua
Mari kita biarkan saja, kenapa kau mengkhawatirkannya?

Tidak apa-apa, tidak apa-apa, aku tahu isi hatimu, tidak apa-apa
Tidak apa-apa, tidak apa-apa
Tunjukkanlah semua rahasiamu padaku

Hatiku yang terselubungi warna hitam ialah tempat untukmu
Hatimu yang putih menggebu, tempat untukku
Tentu saja kau tak dapat bosan dalam permainan ini
Kau tahu apa itu?

kata-kataku yang terlupa, hitam, ialah dasarku
kata-katamu yang lenyap, putih, ialah jejakmu
Tentu saja kau tak dapat membalikkan keadaan dalam permainan ini

Aku sudah memutuskan saat aku
memanggilmu, hanya satu ciuman, itu saja
Apakah itu keberuntungan atau kemalangan telah bertemu dengan seorang pria sepertiku
Ini akan seperti jalan yang terhimpit, ya, seperti halnya wiski, kau telah menelan suatu kesalahan
Aku akan membuatmu lebih panas, lebih bersemangat
Aku buruk, aku suka melakukan hal-hal yang kau beritahukan untuk tidak kulakukan
Seperti kataku, permainan intinya bahkan belum lah dimulai
Dorong dan tarik aku lebih kuat
Aku yakin aku akan menang

Oh, aku tidak bisa berhenti, begitu juga denganmu
Kau tidak ingin kehilangan aku. iya, kan?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment