Chemistry
NICE GUY FF - After The EndingCHAPTER 5
Hari-hari berlalu seperti itu. Kami menghabiskan waktu bersama seperti kawan lama yang sebelumnya terpisahkan. Ia mulai menghantuiku. Kami seperti medan magnet yang terkadang bertolak belakang dan terkadang menempel sekenanya. Sebagai sesama pendatang, kami berbagi kisah bersama-sama. Aku dan wanita itu. Namanya Seo Eungi. Aku mulai menyukainya.
:::
Maroo menatap cangkir kopi di hadapannya dan sepiring kue dadar beraroma gosong di atas meja. Sementara itu Eungi masih sibuk membersihkan segala perabotan dapurnya.
Orang seperti apakah Seo Eungi itu, Kang Maroo ingin mengingatnya…
“Karena sedikit gosong, aku memberikannya gratis!” ucap Eungi.
Sedikit gosong? Ini benar-benar gosong!
Maroo hanya bisa mendesah pasrah. Ia sungguh tahu usaha Eungi dalam membuat kue dadar ini. Wanita itu memporak-porandakan dapurnya sedahsyat itu.
Maroo sebenarnya heran, bagaimana bisa ia membuat begitu banyak kue untuk dijual pada penduduk desa dengan sempurna sore ini. Sementara memasak 3 lapis kue dadar untuknya saja nyaris seperti sebuah perang. Jujur saja, Maroo merasa bahwa Eungi sama sekali tidak berbakat terjun ke dapur.
“Bagaimana rasanya?” tanya Eungi antusias. Ia melepas celemeknya dan duduk di sisi Maroo.
Maroo tersenyum kecil, daripada berbohong ia lebih baik diam. Tangannya sibuk menjejalkan kue dadar beraroma gosong ke dalam mulutnya. Anehnya, rasa makanan ini familiar. Maroo terdiam, ada kilasan kejadian mengisi ingatannya. Eungi dan dirinya di dalam sebuah rumah, sedang makan bersama. Maroo berhenti mengunyah, ia mengangkat wajahnya dan menatap wajah Eungi penuh pertanyaan.
“Tidak enak ya?” tanya Eungi curiga.
Ia hendak menyendok sedikit kue di piring Maroo namun pria itu cepat-cepat menarik piringnya dan menghabiskan semua kue dadar yang tersisa untuk menutupi sikapnya yang mulai salah tingkah.
“Ini milikku!” ucap Maroo membuat Eungi menggeleng seraya berdecak sebal.
“Ckckck… pelit sekali!” dengusnya.
Handphone Eungi mendadak berbunyi, sebuah panggilan masuk. Eungi langsung tersenyum saat melihat nama si penelepon.
“Halo?” sapa Eungi antusias. Ia berdiri dan berjalan menjauh dari hadapan Maroo yang memandanginya dengan penasaran.
Tak kurang dari 15 menit berlalu dan Eungi akhirnya menutup teleponnya setelah mengatakan “Selamat tidur dan mimpi indah!” dengan manisnya.
“Kau terlihat girang sekali karena telepon itu,” tanya Maroo datar, menyembunyikan perasaan tak nyamannya.
“Benarkah? Ah, kurasa aku sangat merindukannya,” jawab Eungi dengan terkekeh.
“Kekasihmu?” tanya Maroo lagi dan kali ini lebih dari sekedar kekehan, Eungi tergelak.
“Kekasihku? Hahaha…”
“Kenapa malah tertawa? Apa aku salah? Kau tidak punya kekasih?” Maroo berlagak tak tertarik meski ia terlihat sekali begitu ingin tahu.
Eungi terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku punya,” Ia tersenyum dan mengambil tisu lantas mengusap sedikit noda di bibir Maroo.
Mendengar jawaban Eungi dan diperlakukan semanis itu membuat Maroo nyaris tersedak.
Wanita ini sudah punya kekasih? Dan bersikap seperti ini kepadaku?
Maroo menghindar dan mengusap bibirnya sendiri.
“Kau tidak merasa bersalah?” tanya Maroo tanpa basa-basi.
“Bersalah? Kejadian nyaris kebakaran itu? Aku sudah minta maaf pada penduduk desa kok,” jawab Eungi ringan.
Maroo mengangguk, ia tidak berminat untuk melanjutkan kalimatnya meski ingin sekali ia memaki Eungi karena bersikap manis padanya seolah tak memiliki kekasih.
Maroo hanya menyesap sedikit kopi di cangkirnya lantas berdiri, moodnya rusak seketika. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menaruhnya di atas tangan Eungi yang melongo pada perubahan sikap Maroo yang tiba-tiba.
“Aku membayar penuh karena telah membuatmu membuka kembali tokonya,” ucap Maroo dingin. Eungi memandangi uang di tangannya.
“Kau kenapa?” tanya Eungi setengah berteriak.
Maroo berhenti sejenak, ia menoleh.
“Tidurlah! Kekasihmu akan marah jika tahu kau mengorbankan waktu istirahatmu untuk pria lain!” jawabnya.
Eungi melotot mendengar ucapan Maroo.
“Mengorbankan waktu istirahat untuk pria lain??? Pria lain apa?!?” Eungi mulai mengomel sendiri sampai ia menyadari jika Maroo sedang cemburu.
“Dia cemburu?” Eungi termenung, sedetik kemudian matanya berbinar cerah seolah baru saja menemukan harta karun. “Kang Maroo cemburu!!!” pekiknya girang.
:::
Masa lalu apa? Wanita itu sudah punya kekasih. Aku mungkin benar-benar berkhayal jika kami saling mengenal. Kepindahannya ke tempat ini pasti hanya kebetulan, atau dia sedang ingin membuat kekasihnya merindukannya. Seo Eungi… wanita itu sudah punya kekasih!
Maroo menutup buku hariannya dengan kesal.
:::
Sementara itu di Seoul, Eunsuk tengah mengemasi barang-barangnya secara diam-diam. Ia bertekad untuk menyusul Eungi. Ia merindukan kakaknya dan berbicara melalui telepon ternyata tidak menuntaskan rasa rindunya sama sekali.
:::
Maroo memandangi jam di dinding klinik kecil milik pemerintah yang menjadi tempatnya mengabdi secara sukarela.
“Kemana si Paman Jung? Bukankah ia berjanji untuk memeriksakan dirinya lagi hari ini?” tanya Maroo pada perawat Min.
“Sepertinya ia tidak akan datang, Dok. Ada festival musim dingin, semua orang mungkin sedang berkumpul di sana,”
“Festival musim dingin?”
:::
Maroo berjalan menyusuri jalanan berbukit yang dikelilingi oleh pepohonan dan pemandangan nan indah dari dua buah gunung yang mengapit tempat ini.
Ia melihat keramaian di bawah bukit, di dekat hilir sungai. Penduduk desa sedang bersorak, mereka menyemangati 5 orang bertelanjang kaki tengah sibuk mondar-mandir menyebrangi sungai untuk menyusun tumpukan batu hingga tinggi.
Maroo sama sekali tidak tertarik sampai ia melihat si wanita pemilik toko roti di antara kerumunan manusia di tempat itu.
Dokter tampan itu segera bergerak menuruni bukit untuk mendekati pusat keramaian. Maroo ingat bahwa semalam, di sela kesibukannya mengaduk kopi, Eungi bilang bahwa besok akan ada festival musim dingin khas pulau ini.
Dilihatnya Eungi sedang asyik bersorak dan bertepuk tangan menyemangati para peserta lomba.
Maroo pelan-pelan mendekat dengan gaya kebetulan belaka. Eungi yang tak sadar, terus bersorak. Merasa teracuhkan, Maroo akhirnya buka suara.
“Kau tidak berjualan?” tanya Maroo setengah berteriak.
Eungi menoleh dan sedikit takjub mendapati Maroo di sisinya tapi ia bersikap biasa saja.
“Aku kehabisan bahan kue,” jawab Eungi berteriak juga.
Maroo mengangguk, ia berlagak mengalihkan perhatiannya pada meriahnya perlombaan padahal sebenarnya ia sedang mencari-cari topik pembicaraan.
“Kau menutup klinikmu?” teriak Eungi.
“Tidak ada pasien, semua orang sibuk di sini,” jawab Maroo.
Perlombaan babak itu usai, kini panitia membuka babak baru dengan peraturan dimana para peserta akan berpasangan.
“Kau tidak ingin mencoba?” bisik Eungi, terlihat sekali ia ingin mencoba.
“Aku menyayangi kakiku,” bisik Maroo disambut tawa kecil Eungi.
Sebenarnya keberadaan Maroo aman-aman saja di tempat itu seandainya wajahnya yang tampan dan statusnya sebagai dokter serta pendatang baru tak terendus oleh Paman Ketua Desa. Pria tua nyaris bongkok itu pun menggoda Maroo untuk ikut dalam festival tahunan khas pulau ini. Maroo ingin sekali menolak karena tidak memiliki pasangan, namun Eungi muncul dan menawarkan dirinya sebagai partner.
“Apa nama timnya, Nona?” tanya salah seorang panitia.
“Eunmaru!” jawab Eungi antusias.
“Kau mau bertanggungjawab jika satu-satunya Dokter di desa ini jatuh sakit?” bisik Maroo geram.
“Berikan nomor teleponmu! Saat kau sakit, kau bisa meneleponku dan aku akan merawatmu!” jawab Eungi santai. Maroo tak berkutik.
Peluit dibunyikan dan secara bergantian Maroo yang berpasangan dengan Eungi menyebrangi sungai yang airnya nyaris membeku untuk mengumpulkan batu di seberang dan menyusunnya setinggi mungkin.
Dingin menjalar cepat dan melumpuhkan syaraf mereka, namun EunMaru tetap melangkah dengan gesit meski sesekali menggigil kedinginan dan melompat-lompat menghindari salju.
Di antara semua pasangan lomba, mereka berdua nampak menggemaskan dan serasi.
Akhirnya peluit tanda waktu berakhir dibunyikan. Eungi langsung berlari ke pinggir, dan disambut Maroo yang segera memakaikannya sepatu serta menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang disediakan oleh panitia.
Meski tidak menang dan bisa dibilang gagal total karena Eungi selalu mengacaukan batu yang telah Maroo susun dengan baik, namun hati keduanya riang.
Mereka berjalan pulang bersama, menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pemandangan indah.
Maroo menyodorkan kue manis berbentuk ikan yang masih mengepul panas di dalam kantong kertas. Hadiah hiburan bagi semua yang telah berpartisipasi.
“Lihat hadiah kita!” ujar Maroo. Eungi tertawa kecil dan hendak mencomot kue itu namun Maroo menghentikannya.
“Jangan bilang kau akan mengakuinya sebagai milikmu sendiri?!” Eungi melotot gemas, ia masih ingat betul dengan kejadian di toko rotinya semalam saat Maroo tak ingin membagi kue dadarnya.
“Apa otakmu diisi banyak prasangka buruk, huh? Jangan-jangan jika ada yang menolongmu, bukannya berterimakasih, kau malah mencurigainya?” ledek Maroo.
Eungi memalingkan wajahnya, ia merasa tersindir telak. Kalian tentunya masih ingatkan kalimat pertama yang dikatakan Eungi pada Maroo dahulu kala, saat pria itu mengorbankan dirinya demi boneka Barbie si Nona keras kepala.
“Kau benar-benar pernah melakukannya?” tanya Maroo.
“Sudahlah! Aku ingin makan kuenya!” Eungi mencoba menarik kantong kue dari tangan Maroo tapi sekali lagi, Maroo menghentikannya. Ia menangkap jemari Eungi dengan tangan kanannya.
Mereka berpandangan dalam hening. Eungi memerah sementara Maroo tak mengubah ekspresi di wajahnya sama sekali.
“Kuenya masih sangat panas, meski kau tidak merasakannya karena cuaca yang dingin,” bisik Maroo seraya melepaskan tangan Eungi dari genggamannya. Ia melangkah pergi, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.
Setelah 10 menit berjalan, mereka akhirnya sampai di bawah tangga RuKo milik Eungi.
Hari menjelang petang, senja berarak manis di atas dermaga.
Maroo memberikan kantong kue di tangannya pada Eungi.
“Setelah ini mandilah dengan air hangat dan minum teh gingseng agar tidak terserang flu!” saran Maroo. Ia melangkah pergi begitu saja tanpa melambaikan tangan atau mengucapkan selamat tinggal.
Kekecewaan Eungi sedikit terhibur oleh kue di dekapannya. Ia berbalik dan bersiap menaiki tangga, tapi belum 2 langkah, seseorang meneriakkan namanya.
“Nona Seo…” panggil Maroo. Eungi berhenti, ia berbalik. Maroo melangkah naik ke arahnya. Pria itu menarik kantong kue di tangan Eungi dan dengan cepat menuliskan sesuatu di lipatannya yang tak terkena minyak.
Eungi menatapnya kurang paham. Maroo tersenyum dan berkata, “Itu nomor teleponku. Kirimi aku nomormu! Kau ingatkan kalau kau akan bertanggungjawab kalau satu-satunya Dokter di desa ini jatuh sakit?”
Maroo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan pergi dengan santai, meninggalkan sumringah di wajah Eungi.
~oOo~
Comments