Hostage

NICE GUY FF - After The Ending

Maroo POV

Aku benar-benar tidak pernah membayangkan diriku akan terjebak bersama seseorang sepertinya. Sosok yang skeptis, keras kepala, menjengkelkan dan susah diatur. Sungguh, aku tak pernah berpikir jika aku akan takluk dalam pelukannya.

Cinta? Aku bukan seorang pria yang memuja cinta secara berlebihan. Aku sangsi pada kata itu. Aku bahkan cukup atheis pada kata yang berbunyi love dalam bahasa Inggris itu. Kalian tahu dengan pasti alasannya dan aku tak perlu memberitahu kalian mengenai kisah itu sekali lagi. Aku sudah berdamai dengan masa lalu, dengan si cinta pertama yang membuat hatiku koma dan kini aku tengah meneguk manis cinta seorang Seo Eungi.

Seo Eungi… sosok skeptis bla bla bla yang kuceritakan di awal tadi.

“Maroo, kadang aku bertanya pada diriku sendiri… betapa panjang perjalanan yang kita lalui untuk sampai ke titik ini,” suara Eungi mengalun merdu di telingaku. Kupandangi wajahnya yang merona manja dalam pelukku.

“Memangnya apa yang kau tanyakan?” tanyaku dengan jemari yang menari di sekitar dagunya.

“Sesekali dalam tujuh tahun itu, saat menunggumu, saat mengintaimu dari kejauhan, saat benar-benar merindukanmu… aku bermimpi, mimpi yang sangat panjang….” Eungi mengusap keningku.

“Ceritakan padaku!” bisikku lembut.

“Aku bermimpi bertemu denganmu dalam situasi yang berbeda. Kadang kita menjadi tetangga sebelah, kadang kita menjadi teman sekelas, kadang kita menjadi orang asing yang menunggu bus bersama dan kadang kita menjadi kawan lama yang bertemu kembali. Sayangnya, dalam setiap mimpiku itu, aku selalu terbangun dengan sebuah pertanyaan…”

Aku mengernyit penasaran, menunggunya selesai berkisah.

“Jika kita bertemu di situasi yang lebih baik, jika kau tak harus terjebak di sisiku, jika segala hal mengalir apa adanya, apakah kita ditakdirkan bersama? Apakah kita akan jatuh cinta? Jujur saja, aku bukan typemu kan?” Ia melirikku, mematut dagunya di atas dadaku.

“Entahlah,” jawabku singkat. Aku benci berandai-andai, aku lelah mengira-ngira dan aku terlalu malas untuk berpikir rumit.

“Maroo, sampai sekarang aku masih menyimpan pertanyaan ini tapi, semakin lama aku semakin penasaran. Sejak kapan sebenarnya kau jatuh cinta padaku?”

Aku tersenyum gemas, “Sejak kapan aku perduli pada hal-hal seperti itu? Bukankah asal aku bersamamu, perasaanku tidak penting?” godaku.

Eungi merengut, ia melotot curiga.

“Apa kau sedang mengatakan jika bahkan sampai saat ini, kau tidak mencintaiku?” ia mulai bersungut-sungut dan aku menikmati kesensitifannya.

“Apa itu penting, sayang?”

“Akhir-akhir ini, aku merasa itu penting,” jawabnya.

Aku pura-pura berpikir sementara ia menunggu dengan tak sabar.

Beberapa menit berlalu dan aku baru sadar, aku sendiri tak benar-benar tahu kapan hatiku mulai mencintainya.

“Maroo?”

“Apa aku harus menjawabnya sekarang? Ini akan jadi kisah yang panjang, bukankah Eunsuk pulang sekolah sebentar lagi?” kulirik raganya yang berkelendot di balik selimut. Aku belum menyentuhnya, kami belum memulai apapun.

Wanitaku mungkin tersenyum, aku tak dapat melihatnya dengan jelas karena listrik masih mati dan kamar ini hanya diterangi oleh 2 batang lilin yang kutemukan beberapa menit lalu dari dalam laci.

Ia menaruh kepalanya di atas dadaku, memelukku penuh kedamaian.

“Kau akan menjawabnya kan?” ucapnya meminta kepastian.

Aku tersenyum dan mengecup keningnya, “Saat kutemukan jawabannya,” bisikku.

Kami terkekeh berdua.

Di luar sana, gerimis masih menjejak dengan riangnya di atas tanah. Aroma ketenangan itu menghujam dan bersenandung membius perasaan kami. Suara rintiknya ibarat denting piano di tengah samudra, menenangkan namun juga membuat sedikit rasa kesepian.

Kubelai kening Eungi, terasa hangat. Aku mengajaknya duduk, kubantu ia melepaskan semua benda di tubuhnya. Kami melemparkan semua penghalang yang ada. Dingin menyergap dan aku semakin tak sabar untuk menyesap anggur-anggur cintanya.

Kali ini, kami harus berhati-hati. Eungi sedang hamil, kandungannya masih dalam usia yang sangat muda. 4 minggu.

Pertama-tama, kupijat bahunya dengan kedua tanganku. Aku duduk di belakangnya, Eungi menyandarkan punggungnya di dadaku.

Lengkuk tubuhnya, desah napasnya dan detak jantungnya mulai menyergap seluruh kesadaranku pergi. Dari bahu, tanganku bergerak menyusuri punggung dan berhenti di pinggangnya.

Kuremas pelan pinggangnya, tak ingin menyakitinya, hanya ingin menegaskan keberadaanku di atas ranjang ini, bersamanya.

Kesepuluh jariku meraba perutnya, masih sangat rata. Kupejamkan kelopak mataku, suara napas Eungi terdengar lebih nyaring.

Secara statis, kedua tanganku naik ke atas dan terhenti oleh pesona lain yang dimilikinya sebagai kaum hawa. Sesuatu yang dianugerahkan Tuhan pada para wanita. Sesuatu yang tak mungkin seorang adam miliki. Telapak-telapak tanganku bermain, menari, bertamasya di dada Eungi. Kurekam setiap jejak yang kubuat di sana dalam keheningan. Tubuh Eungi menegang perlahan-lahan lalu mengendur pula pada tempo yang sangat singkat.

Bibirku mengendus leher dan bahunya yang mulus serta beraroma cherry.

Kusesap lipatan-lipatan di dekat tulang belikatnya.

“Eungi-ah…” kubisikkan namanya.

Ia menjawabku melalui desah napasnya yang sendu.

Jemari Eungi meremas pahaku yang memagari kakinya.

“Maroo….” Eungi melafalkan namaku dengan sedikit pekik kesakitan.

Kusandarkan bahuku ke kepala ranjang yang telah dihiasi bantal. Kuangkat sedikit tubuh Eungi hingga menempeli pangkuanku, lantas kuhidangkan padanya milikku yang berharga. Eungi menggeliat menikmati peraduan kami.

Ujung kakinya bergerak ke sana ke mari, mengusik lututku yang menekuk di kanan dan kirinya.

Ia meremas lututku disertai oleh napas yang menderu-deru. Kupedal tubuhnya pelan namun pasti. Beberapa menit berlalu dengan dialog-dialog kosong yang kebanyakan terisi oleh suara kami yang sahut menyahut menyerukan nama.

“Aarrrghh… Maroo…”

Eungi sampai pada batasnya, tubuhnya bergetar kemudian menjadi kaku sejenak dan melemas di dekapanku. Aku belum berhenti, masih setia menyuruk dalam raganya.

Ranjang ini doyong ke kanan dan kiri seumpama kapal yang kehilangan arah. Kutekan liang miliknya lebih giat. Kupoles seluruh inci dari lorongnya yang dalam dengan kuas-kuas cinta yang kupunya.

“Eungi-aaaah….” Aku menggeliat tak berpola, kudekap tubuhnya sangat erat, ia mungkin sesak dan aku meledak, membanjir, memenuhi rahimnya.

Tubuh kami basah, ranjang kami basah, jiwa kami basah… dihujani cinta.

Sejak kapan aku mencintainya? Aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan itu, yang kutahu, detik ini aku makin mencintainya, bahkan sangat mencintainya.

Bulir air hujan mengalir di atas jendela, kupeluk wanitaku lebih erat.

~oOo~

Eungi POV

Hari itu berlalu dengan menyenangkan, aku bertemu Eunsuk yang langsung berlari dan memelukku sepulang sekolah. Ia memintaku untuk menginap dan kupikir, bukan ide yang buruk. Maroo berpamitan untuk mengambil koper-koper kami di rumah Jae Gil setelah makan malam, tak lupa kubisikkan padanya untuk meminta maaf karena telah membuat mobil Jae Gil diderek paksa karena salah parkir.

Maroo tersenyum, ia mengecup keningku sebelum pergi dengan menggunakan salah satu mobil milikku. Selepas Maroo pergi, aku duduk di ruang tamu, berdua dengan Eunsuk yang semakin hari semakin tampan. Ia mewarisi hidung mancung Jae Hee, sementara bibir dan matanya serupa milikku, warisan ayah kami.

“Kakak, nanti saat bayinya sudah lahir, kalian akan kemarikan?” tanya Eunsuk antusias. Ia mengelus perutku. Membuatku tergelitik geli.

“Pasti, kami akan berkunjung,” janjiku.

“Aku tidak sabar ingin segera menjadi paman, hehehe…” seru Eunsuk penuh semangat. Kuacak rambutnya dengan sayang.

“Kau ingin keponakan perempuan atau laki-laki?” tanyaku.

“Aku ingin laki-laki saja, biar bisa diajak bermain bola,” jawab Eunsuk ceria.

“Tapi bagaimana jika yang keluar perempuan?” kugoda ia.

“Tidak masalah, bukankah kakak dulu bilang ingin punya Sembilan anak dengan Kak Maroo?” celetuk Eunsuk dan aku tertawa mendengarnya.

Ia masih ingat segala ceritaku. Ya, di rumah ini tidak ada orang lain yang dapat kuajak bicara serta kujejali dengan mimpi-mimpiku selain Eunsuk. Lagipula, ia bukan balita berusia 4 tahun lagi, jadi aku yang dahulu sering kesepian, selalu menjadikannya tempat curhat.

Aku menyalakan televisi, sudah lama aku tidak menonton TV. Kulirik jam di dinding, pukul 9 malam. Mendadak aku teringat pada Sekretaris Hyun, mungkin sekarang ia sedang berkencan dengan Jae Shik. Aku tersenyum dan memindah channel TV sekenanya. Di sisiku, Eunsuk sedang asyik bermain game di tabletnya.

Aku terhenti pada sebuah tayangan berita di TV. Aku merasa familiar dengan tempat di dalam tayangan itu. Tempat itu adalah halaman di luar Tae San. Begitu banyak orang menyemut di sana. Kudengarkan narasi si pembaca berita dengan seksama, kukeraskan volume. Eunsuk mendongak dan ikut menyimak dengan penasaran bersamaku.

Demo! Demo besar-besaran tengah terjadi di sana.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mengabaikan janjiku pada diri sendiri beberapa tahun lalu. Sebenarnya, aku sudah berjanji untuk berhenti terlibat dalam segala urusan mengenai Tae San tapi, demo sebesar ini. Kenapa tak ada yang memberitahuku dan aku malah menontonnya dari TV.

“Kakak, bukankah itu perusahaan kita?” Eunsuk menatapku bingung.

Aku meremas remote dengan emosi. Kumantapkan diri untuk menekan nomor Sekretaris Hyun maupun Pengacara Park, dua orang yang paling kupercayai. Tapi, di luar dugaan, keduanya sama-sama tak menjawab.

Tidak kehabisan akal, kuhubungi Jae Shik. Aku tadi sempat bertukar nomor dengannya. Pria itu mungkin sedang bersama Sekretaris Hyun atau terserahlah, yang pasti aku perlu informasi lebih.

Jae Shik mengangkat teleponnya dan menjawab pertanyaanku dengan resah. Ia mengatakan jika para pengunjuk rasa menyemut dan memblokade jalan keluar maupun masuk Tae San. Ia sudah datang sejak pukul 5 sore tadi dan masih menunggu Sekretaris Hyun keluar dari dalam gedung.

Dugaanku benar, orang-orang itu sedang menggila dan secara tak langsung ingin menyekap para pekerja di Tae San agar tak bisa meninggalkan gedung sampai tuntutan mereka dipenuhi. Aku tidak kaget, aku sudah beberapa kali terlibat dalam situasi serumit ini. Terakhir kali memang tidak separah ini, hanya beberapa butir telur dan beberapa gram tepung menghampiri kepalaku saat itu.

“Kakak harus memastikan sesuatu!” kuucapkan kalimat itu pada Eunsuk yang mencium rencana ikut campurku.

“Kakak mau kemana?” ia menahan lenganku.

“Tunggu saja di rumah!” aku mengabaikan permintaan Eunsuk yang menyuruhku tetap tinggal.

Dengan menumpang sebuah taksi, aku pergi ke Tae San. Tempat yang sangat lama tak kukunjungi.

Ada perasaan bersalah yang berkecambuk di dalam dadaku. Berapa lama aku mengabaikan tempat itu? Aku resah.

Taksi berhenti di depan gerbang Tae San yang begitu kokoh dan memberikan kesan megah. Banyak orang duduk di halamannya, mereka memakai ikat kepala dan memegang spanduk-spanduk berisi tuntutan di tangannya. Wajah mereka terlihat lelah, tapi kegusaran atas ketidakadilan, menguatkan mereka untuk bertahan.

Banyak kamera dan reporter menunggu di Lobi.

Banyak Polisi berbaris di depanku untuk mengamankan lokasi. Di belakangku, ada banyak orang juga, peristiwa ini menarik perhatian begitu banyak pasang mata.

Kutelepon Jae Shik, aku ingin bertemu dengannya. Kami berbincang dan ia memberitahukan posisinya. Aku menghampirinya yang ternyata menunggu di seberang jalan, dekat tempat parkir. Ia juga tertahan tak bisa masuk.

Kukatakan pada Jae Shik bahwa aku perlu pergi ke dalam, di dalam pasti sedang ada rapat istimewa untuk menyusun kebijakan terkait masalah ini. Masalahku satu, ada banyak Polisi dan Pengunjuk rasa yang menyemut. Kami pasti dilarang masuk.

Jae Shik sendiri bingung harus bagaimana, ia juga cemas akan kondisi Sekretaris Hyun dan ingin ikut masuk.

Sebuah mobil dengan parabola di atasnya melaju pelan, menyibak kerumunan. Bertambah lagi satu media televisi yang datang demi meliput peristiwa ini.

Aku mendadak mendapat ide. Kubisikkan sesuatu pada Jae Shik, pria itu kemudian berlari pergi, 30 menit kemudian, ia kembali dengan terengah bersama sebuah kamera hasil sewaan serta 2 ID card palsu yang baru keluar dari mesin printer.

Kupasang ID card itu di leherku, kami berjalan masuk tanpa larangan Polisi. Status sebagai Wartawan memang memberi beberapa keuntungan di saat seperti ini.

Kulangkahkan kaki melewati ratusan orang yang duduk di depan lobi. Aku berjalan masuk ke dalam lobi yang disterilisasi dari para pengunjuk rasa, di dalam sana ada banyak wartawan.

Mereka tak boleh naik ke lantai selanjutnya dan cuma diperbolehkan menunggu di Lobi. Aku tidak mau terjebak seperti mereka, aku harus menuju ruang rapat di lantai atas.

Diam-diam, bahkan tanpa sepengetahuan Jae Shik, aku menyelinap ke dalam lift. Kutekan tombol 17, tempat biasanya rapat besar diadakan.

Entah kenapa, perutku terasa sedikit nyeri. Untungnya, rasa sakit itu menghilang dengan cepat meski sempat menganggu konsentrasiku.

Pintu lift yang mengantarkanku ke lantai 17 akhirnya terbuka. Aku berjalan keluar dengan tergesa, di lorong secara tak sengaja kulihat Sekretaris Hyun dan Pengacara Park. Wajah mereka terlihat tegang.

Kuhampiri mereka dengan segera.

Mereka terlihat kaget mengetahui keberadaanku di tempat ini.

“Jelaskan padaku ada kekacauan apa!” pintaku emosional.

Mereka mengajakku duduk di dekat jendela, kulongokkan kepalaku ke bawah, kuamati kerumunan di halaman yang entah akan bertahan berapa lama. Pengacara Park mulai bercerita. Ia mengatakan jika Tae San terlibat sengketa tanah dan orang-orang di luar adalah penduduk wilayah sengketa tersebut. Mereka mengklaim kepemilikan tanah dan marah karena rumah mereka telah disegel oleh Tae San.

Aku mendesah prihatin tapi tak tahu juga harus memihak pada siapa. Aku belum mempelajari kasus ini secara mendetail.

Pasti ada kekeliruan, pasti ada yang bermain kotor dalam proyek ini.

Rapat akan dimulai lagi dalam beberapa menit ke depan, sejauh ini menurut pengakuan Pengacara Park, rapat berjalan alot dan ditarik ulur beberapa kali tanpa keputusan. Semua orang gusar karena tak bisa meninggalkan gedung.

Haruskah aku ikut serta dan mencampuri masalah ini? pertanyaan itu berkelebat dalam batinku.

Harus ada yang membuat keputusan, aku punya hak karena memiliki saham yang cukup besar meski selama bertahun-tahun ini keberadaanku bak hantu. Tak pernah terlihat namun tetap sering disebut namanya.

“Bu Direktur, anda harusnya tidak terlibat. Kita mungkin akan tertahan berhari-hari di tempat ini,” Sekretaris Hyun menguarkan kecemasan di dalam hatinya.

Perutku mendadak kembali nyeri, tapi kutahan. Kutatap dua wajah di hadapanku ini dengan serius.

“Aku harus kembali untuk mengatasi masalah ini!” ucapku mantap.

Pintu ruang rapat terbuka lebar, aku melangkah masuk dengan tatapan tajam khas Seo Eungi. Semua pasang mata di dalam ruangan itu nampak sangat terkejut melihat kehadiranku.

“Kotoran apa yang kalian tumpahkan di atas Tae San saat aku tak ada?” adalah kalimat pertamaku yang langsung menghujam seluruh penghuni ruangan ini.

Kutatap mereka satu persatu dengan emosional, “Siapa penanggungjawab proyek ini?” tanyaku tegas, tanpa kompromi.

~oOo~

Di luar situasi semakin memanas, seorang pria mendadak berdiri. Dengan menangis, ia mengatakan bahwa anaknya tengah sakit keras saat rumahnya disegel paksa dan karena tidak mendapatkan perawatan, anaknya akhirnya meninggal. Kini dengan kemarahan yang meledak-ledak, ia mengangkat tangannya dan mengeluarkan pistol.

Ia mengancam akan melakukan bunuh diri jika dalam 12 jam, tuntutan mereka tidak dipenuhi dan tanah mereka tak dikembalikan.

Polisi mencoba menggertak pria tersebut dengan membidikkan senjatanya, namun sebuah bom Molotov meledak begitu saja beberapa meter di hadapan para Polisi yang mencoba maju dan membujuk pria itu.

Situasi menjadi runyam, teriakan demi teriakan pecah. Asap membumbung tinggi ke angkasa. Para wartawan yang berada di Lobi menyemut keluar demi mendapatkan gambar ekslusif, Jae Shik terdorong ke sana ke mari.

Di tengah situasi yang kacau balau tersebut, si pria bersenjata api berlari masuk ke dalam lobi dan menghilang menuju lantai atas.

~oOo~

DAMN!

I can imagine how that crazy man with gun in his hand will run to the meeting room and…

Eungi-sshi… it won’t be easy! Sorry…

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
Si Maroo berasa sialan banget ah! Cekaka~ Sok kagak butuh, sok jaim, sok dingin tapi ngarep! Marooo... aku padamu! *Nulis sendiri, ngomel-ngomel sendiri*^^

Comments

You must be logged in to comment
Alexasky
#1
Chapter 6: Hii i would really love to read the story. Do you happen to know how to translate the story to English please?
kyuhaeni #2
Chapter 42: annyeong.. reader baru di sini..
Kang Maroo di sini ga jauh beda sma Yoo Shi Jin ya yg palyful..
makasi ff nya.. aku yg blm puas nonton Nice Guy baca ini jadi suka bgt! comedy romance lagi.. waah harapan aku tuh kelak Joongki main com-rom drama..
oladilia1310 #3
Chapter 41: Kalo aku berani ngomelin eungi, pasti udah kuomelin! Udah masa" mau melahirkan kok ekstrimnya gk ilang sih *gemesssss* hahahhh
Trus ini gimana eungi lahirannya masa di pulau tanpa RS??!!! Semoga Maroo bisa nanganin kalo emg gk bisa balik ke Seoul :')
And.... i miss ChaeKi Couple so much ㅠㅠ
Semangat kak author!! Kutunggu update selanjutnya! 파이팅! ♡♡
Chaeki_Novit #4
Chapter 38: aku udh baca chapter 39 nya d wattpad
dan waaah cerita'y makin menarik dan seru,, apa yg mencelakai jang mi itu eungi??
d tnggu chap selanjut'y ya :)

*maaf ya aku komen disini. wattpad aku lg gk bsa buat komen

oya aku mulai setuju dngan author-nim kaya'y klu cerita eunma datar2 aja gk kn trasa eunma'y n pasti'y krang menarik hihi jdi aku prcayakan alur'y kpada sang pakar'y aja
semangatt ya thor :D
emoonsong #5
Chapter 38: Hmmm joahhh... ditunggu next chapnya....hehehe
Chaeki_Novit #6
Chapter 38: ayoo ayoo cepat tes DNA biar semua tau (trutama eunma) kalau itu bukan anak'y maroo n jang mi juga harus jujur n selesain msalah dia sendiri sama ex husband'y

aduuhh ini nyonya song kalau lg ngmbek sifat asli'y kluar hahaha lupa ya kalau lg ngandung dede kembar hehehe

semangat thor, next chapter'y jgn lama2 ya
give me sweet happy ending. really happy ending. jeballl
Chaeki_Novit #7
Chapter 38: ayoo ayoo cepat tes DNA biar semua tau (trutama eunma) kalau itu bukan anak'y maroo n jang mi juga harus jujur n selesain msalah dia sendiri sama ex husband'y

aduuhh ini nyonya song kalau lg ngmbek sifat asli'y kluar hahaha lupa ya kalau lg ngandung dede kembar hehehe

semangat thor, next chapter'y jgn lama2 ya
give me sweet happy ending. really happy ending. jeballl
eonnifan
#8
Chapter 38: kan.. udh ketebak jonghyun bukan anak maroo hahhahahaha

sabarlah eungi
tp entah knp aku pengen eungi ky ngelakuin sesuatu yg ekstrim gitu lol
jgn2.. yg jd pembunuhnya.. eungi :O
emoonsong #9
Chapter 37: Komen selanjutnya dariku....

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°©©©°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Jong Hyun tinggal bersama Eng Gi? Kurasa ini baru namanya saingan yang seimbang...
Eng gi tdk mungkin kalah dr wanita manapun dihati Maroo... tp dgn Jong Hyun?....
Aku rasa Maroo akan sedikit bingung bukan?
Meski hatix untuk Eng Gi tapi Maroo tak mampu mengabaikan Jong Hyun...
Dan ini yang akan menyakiti Eun Gi... bukan begitu?
Ah sial bagimu Kang Maroo...

Eun Gi akan mendapat dukungan penuh dr semuanya bahkan dr si Twin...
Dan krn Jong Hyun tdk memiliki siapa siapa disisinya? Kau mungkin akan mengambil tanggung jawab itu...

Dan itu yg tidak diinginkan Eun Gi...
Kau berada bersebrangan dengannya...
Karena itu Eun Gi menginginkan mesin waktu... untuk bisa menemukanmu lebih dulu...
Tapi tentu sj hal yg mustahil... krn ini bukan fanfic doraemon tapi ini ff chaeki...
Hak paten mesin waktu hanya untuk doraemon, nobita dan kawan kawan Readers dan Eun Gi tau itu..
*plakkk abaikan*

Krn itu... kita akan berharap seperti biasa untuk Eun Gi sekali lagi berlari ke pihak Kang Maroo tanpa memedulikan apapun...
Meski itu artinya dia berada dipihak yang sama dengan Jong Hyun... si anak kecil yg menjadi saingannya...

Hey tunggu dulu...
Kurasa Eun Gi tdk sebodoh itu untk mempercayainya...tanpa mengkonfirmasinya dan ayolah Maroo bahkan seorg dokter ... apa mereka bahkan tdk terpikir untk melakukan tes DNA...?
Mengapa perkataan seorg wanita dari masa lalu menjadi begitu terpercaya? Hingga diterima tanpa pembuktian...
#mungki Eun Ma Lelah... butuh piknik...

Hemm meski tes DNA tdk murah tp biaya bukan hal yg perlu dirisaukan oleh seorg Eun Gi kan?
Yah cukup mnngirim sampel rambut Kang Maroo dan Jong Hyun kurasa... hal Ini bisa dipecahkan...





©¶©¶©¶

Eun Gi bisa saja menyerah untuk apapun dan siapapun tp Eun Gi tdk akan menyerah untuk Kang Maroo ...

©¶©¶©¶