Maaf Yang Tertunda
NICE GUY FF - After The EndingEungi POV
Mendung menggantung di ujung jendela mobilku. Hujan masih enggan untuk turun, namun badai telah meronta di dalam senyap. Kuputar lagu San Francisco kesukaan Maroo. Kutatap fotonya yang tersenyum cerah di layar handphoneku. Aku merindukannya… sangat merindukannya. Ah… Kang Maroo… sedang apa ia sekarang? Kuedarkan pandanganku ke luar mobil. Di sana, tak jauh dari tempatku menunggu. Eunsuk tengah berbincang dengan Ibunya. Jae Hee menangis, tangannya mencoba menahan lengan adikku yang ingin bergegas pergi dengan segera. Eunsuk belum memaafkannya. Lelaki kecil itu sama keras kepalanya denganku. Kami memang mirip dalam banyak hal.
Eunsuk berlari masuk ke dalam mobilku setelah mengenyahkan tangan Jae Hee terlebih dulu. Aku memalingkan wajah, pura-pura tak melihat segala gamang dan amarah di matanya yang mulai diserbu Kristal bening.
Kami larut dihentak keheningan sementara lagu San Francisco masih mengalun dengan merdunya dan tanpa dosa.
Ini pertama kalinya aku melihat adikku itu menangis di usianya yang beranjak remaja. Dulu, dulu sekali saat ia masih berusia 4 tahun, aku adalah alasannya menangis. Bentakan dan segala sikap kasarku adalah penyebabnya menangis setiap kali kami bertemu. Namun kini, rasanya aneh melihat Eunsukku menangis.
Aku ingin memeluknya, mengusap punggungnya dan membisikkan seribu kalimat menyenangkan untuk mengurangi debit airmatanya tapi, ada yang menahanku. Bukan siapapun, namun perasaanku sendiri.
Biarlah Eunsuk menangis sepuasnya… biarlah ia menjadi manusia sebagaimana mestinya… apa yang salah dengan airmata? Semua orang memilikinya dan tak ada peraturan bahwa mereka harus menahannya.
Mobil melaju menuju rumah di bawah kendali sopir kami. Begitu sampai di rumah, Eunsuk diam seribu bahasa. Ia berlari masuk ke kamarnya. Aku maklum, sangat maklum dan berniat untuk tak menganggunya setidaknya sampai waktu makan malam tiba.
Adikku butuh waktu sendiri.
Aku duduk di atas ranjang kamarku. Kutekan sebuah nama di atas layar handphoneku. Sebuah wajah muncul setelahnya. Sesosok pria tampan yang aromanya kurindukan.
“Sudah kuduga, kau tidak bisa menahan rindumu dan meneleponku duluan,” pria itu tersenyum sok keren. Aku melengos malas.
Maroo tertawa, ia menatapku santai.
“Kau marah padaku karena belum menghubungimu hari ini? Bukankah kau bilang akan datang ke pensi di sekolah Eunsuk, jadi aku mengalah dan belum menghubungimu,” ia memberikan penjelasan.
Aku menatapnya dengan raut wajah sedih.
“Maroo…” ucapku tertekan.
“Ada apa? Terjadi hal buruk?” ia mulai menanggapiku dengan serius.
“Aku bertemu Jae Hee hari ini….” Jawabku pelan.
Maroo terlihat bingung dan daripada ia salah paham, akhirnya kujelaskan semuanya. Kuceritakan dengan detail termasuk mengenai Jae Hee yang mematung di depan gerbang rumahku kemarin lusa.
Maroo menatapku teduh, berani bertaruh, ia akan memelukku jika saja raga kami tak dijerat jauhnya jarak.
“Kau belum memaafkan Jae Hee?” tanyanya.
Aku mendesah, berat untuk menjawabnya tapi tatapan Maroo menegaskan bahwa ia butuh jawaban.
“Belum,” jawabku nyaris seperti bergumam.
“Kau masih ingin menghindarinya?”
“Entahlah,”
“Kau takut jika ia akan merampas perhatian Eunsuk?”
“Iya,” jawabku berkaca-kaca.
“Eungi-ah…”
“Hmm…” aku menyahutinya dengan menunduk.
“Biar bagaimanapun, Jae Hee adalah ibu kandung Eunsuk. Mereka berdua sudah sewajarnya bersama,” ucap Maroo.
“Aku tahu itu, aku hanya mencoba menghindari kenyataan,” dengusku agak ketus.
Maroo tersenyum tipis, memaklumiku yang pemarah.
“Kau tidak bisa membiarkan Eunsuk meninggalkan rumah kalian, tapi di sisi lain, kau merasa sangat aneh melihat Jae Hee kembali berlarian di sekitar hidupmu? Kau ingin mengenyahkannya sejauh mungkin?”
Aku mengangguk, bagaimana Maroo bisa memahamiku sedalam ini.
“Aku tidak akan memintamu untuk menerima Jae Hee kembali, tapi demi Eunsuk, kurasa kau seharusnya mulai berdamai dengan masa lalu, sayang…”
~oOo~
Aku termangu sendirian di ruang makan. Perbincangan terakhirku dengan Maroo benar-benar membuat hatiku makin gamang. Berdamai dengan masa lalu? Berdamai jenis apa yang ia maksud? Baiklah, Jae Hee memang ibu kandung Eunsuk tapi memangnya mereka harus tinggal serumah? Aku bisa hidup tanpa Ibuku dulu, jadi kenapa Eunsuk tidak bisa? Bukankah ia laki-laki, harusnya ia lebih kuat dan mandiri.
Aku mendesah emosi, makanan di atas piringku masih belum tersentuh sama sekali.
“Tuan Muda tidak menjawab ketukan saya, Nyonya,” Bibi Penjaga rumah menghampiriku dengan cemas.
“Biarkah saja, biar aku yang menyuruhnya makan,” kataku lantas bergegas menuju kamarnya. Kuketuk pintunya pelan, tak ada jawaban.
“Eunsuk… Eunsuk… waktunya makan malam!” aku berteriak lebih keras dan masih tak ada sahutan apapun.
Kubuka pintu kamarnya yang rupanya tidak terkunci. Aku melangkah masuk dengan hati-hati.
“Eunsuk?” panggilku padanya yang meringkuk di balik selimut.
Hening.
Aku duduk di tepi ranjangnya, kusingkap selimutnya dan kugoncang bahunya agar bangun.
Astaga! Badannya dingin sekali. Wajahnya pucat.
Ia mengerjap lemah ke arahku.
“Eunsuk! Kau sakit?” kuusap keringat dingin yang menjalari keningnya.
“Perutku… perutku sakit, kak…” erangnya.
Usus buntu! Dokter mendiagnosis Eunsuk dengan penyakit itu dan aku baru saja menandatangani berkas operasinya. Hatiku berdebar tak karuan.
Aku belum berbicara dengan Maroo mengenai ini. Aku tadi meneleponnya tapi tidak diangkat, sepertinya suamiku memang sedang sibuk.
Ia juga seorang Dokter dan menjadi Dokter artinya harus siap menolong pasien kapan saja.
Pukul 8 malam, aku termenung menunggui jalannya operasi bersama bibi penjaga rumah kami.
Kutatap layar handphoneku dengan resah, haruskah aku menghubunginya? Menghubungi Ibu kandung Eunsuk!
Kubelai janin kembarku, berada di antara ego dan perasaan sebagai seorang Ibu membuatku ingin berteriak marah.
Dengan ragu kutekan nama Jae Hee di kontak telepon. Aku harap selama 8 tahun ini, ia masih menggunakan nomor lamanya itu. Meski agak mustahil namun aku tetap ingin mencoba. Ajaib! Terdengar nada sambung. Nomornya masih aktif!
“Halo?” suara Jae Hee menyapaku di ujung sana.
~oOo~
Jae Hee berlari dengan kepanikan yang teramat sangat. Ia menghampiriku dan menanyakan tentang kondisi Eunsuk. Aku menggeleng karena operasi memang belum selesai.
Kuajak ia menunggu di sisiku. Kami berdoa bersama. Jae Hee menoleh ke arahku.
“Terima kasih…” ucapnya dengan sedikit terisak. Aku mengernyit heran.
“Terima kasih kau sudah sudi memberitahuku mengenai Eunsuk,”
Aku tak menjawab, kupalingkan wajahku darinya. Kami kembali larut dalam doa masing-masing.
Pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Kami berdiri seketika. Dokter datang dengan senyum di wajahnya. Ia bilang operasi berjalan lancar dan adikku hanya perlu dirawat sekitar 1 minggu. Syukurlah….
Kami – aku dan Jae Hee memekik lega. Kami – aku dan Jae Hee spontan berangkulan. Kami – aku dan Jae Hee menarik diri masing-masing agak canggung.
Kami – dua wanita yang menyayangi Eunsuk dengan sepenuh hati. Ya, kami… aku dan… Jae Hee.
~oOo~
Siapa yang mengira bahwa suatu hari aku akan sangat menyayangi lelaki kecil yang terbaring itu. Siapa yang mengira bahwa suatu hari aku akan sangat bersyukur tentang keberadaannya. Ya, siapa yang mengira. Aku bukan kakak yang baik. Dari awal, aku adalah yang paling buruk.
Kehadiran Eunsuk mulanya terasa seperti sebuah kutukan. Aku membencinya dan ingin mengabaikan fakta jika sebagian darah di tubuh kami mengalir dari Ayah yang sama. Aku bahkan pernah berharap ia celaka atau mati sekalian. Tapi sekarang, dunia terasa terbalik. Matahari mungkin sedang menari mengitari planet-planet di sekitarnya dan rembulan seakan menyembul di terik siang. Aku duduk di sisi ranjangnya, menggenggam jemarinya erat dengan tatapan penuh kasih.
Di belakangku, ada Han Jae Hee. Ia mematung, masih tak berani untuk mendekati Eunsuk yang mabuk obat bius.
“Kemarilah! Jaga dia, gantikan aku! Aku perlu istirahat,” ujarku dingin.
Jae Hee tergagap, ia menatap kaget bercampur bingung.
“Bukankah kau ibunya? Kenapa harus seorang kakak tiri sepertiku yang menjaganya jika ibunya masih hidup?” kataku ketus.
Kulangkahkan kaki keluar ruangan bernomor 201 itu. Kuintip Jae Hee yang kini terisak di sisi Eunsuk. Aku tersenyum tipis, “Kau harusnya membiarkan mereka bersama sejak awal, Eungi…” ucapku pada diri sendiri.
~oOo~
“Tidurlah! Bukankah sudah ada Jae Hee di sana?,” ujar Maroo yang akhirnya berhasil kuhubungi pukul 11 malam ini.
Kami berbincang melalui telepon karena wajahku sudah terlalu lelah untuk menyapanya dengan video call. Aku tidak mau ia melihat kantong mataku lalu mulai mengomel.
“Baiklah, kau juga istirahat ya. Besok akan kuhubungi lagi mengenai Eunsuk,” kataku.
“Selamat tidur, istriku. Mimpi indah! Aku mencintaimu,” ucapnya.
“Aku mencintaimu,” bisikku sebelum mengakhiri telepon kami.
Ah… aku membutuhkan Maroo saat ini. Aku ingin berada di pelukannya. Kupejamkan mata, berharap kami akan bertemu meski hanya dalam alam mimpi.
~oOo~
Waktu berlalu dengan begitu cepat. Keadaan Eunsuk berangsur-angsur membaik. Kabar lainnya yang perlu kusampaikan pada Maroo adalah tentang Jae Hee. Mantan kekasihnya itu kini selalu kulihat sepanjang waktu. Ya, aku mengijinkannya mendampingi Eunsuk. Mereka mulai akur meski mulanya Eunsuk berkeras untuk menolak kedatangan Jae Hee. Entah aku harus senang atau sedih melihat mereka bersama lagi. Sesaat, aku merasa sendirian. Terasing. Kuputuskan untuk pergi keluar, menghirup udara bebas di sebuah taman di dekat Rumah Sakit. Kuhubungi priaku. Kami berbincang sebentar karena Maroo kedatangan seorang pasien di sela jam makan siangnya.
“Jaga kesehatanmu! Jangan lupa makan! Aku akan mengunjungi kalian secepatnya,” pesannya.
“Iya, aku mencintaimu,” ucapku.
Angin berhembus pelan dan menggelitik dedaunan yang menggantung di ranting pohon yang menaungiku. Jae Hee duduk di sampingku yang baru saja menutup telepon dari Maroo.
“Eungi…” suaranya pelan menyapaku.
Aku menoleh, cukup terkejut mendapati keberadaannya.
“Aku membuat dua, Eunsuk bilang kau suka nasi goreng kimchi sepertinya,” Ia menyodorkan kotak berisi bekal makan siang.
Aku menatapnya tajam, “Kau sedang berusaha merebut hatiku juga?”
Jae Hee tersenyum kecil, ia menanggapi tuduhanku dengan santai.
“Wah… bagaimana ini, sudah ketahuan ya? Hehe… aku lupa kalau Seo Eun Gi bukan seseorang yang sanggup untuk kuraih meski bertahun-tahun telah berlalu,” ia manyun.
Kutatap kotak bekal darinya yang berada di pangkuanku.
“Jangan hanya memandanginya! Kau harus makan yang banyak! Bayimu dan Maroo perlu banyak gizi!” ucapnya.
“Apa Eunsuk memberitahumu soal kehamilanku?” tanyaku cukup terkejut.
Jae Hee menggeleng, “Maroo yang memberitahuku,” jawabnya.
“Maroo? Kapan?” Aku memandang tak nyaman. Apa mereka diam-diam masih berkomunikasi tanpa sepengetahuanku?
Jae Hee tersenyum geli, ia melihat dengan jelas apa yang sedang merasuki pikiranku.
“Hubungan kami tidak seperti yang kau pikirkan, Eungi. Maroo dan aku hanya masa lalu,”
“Makanlah! Jangan khawatir, aku tidak menaruh racun di dalamnya,” lanjutnya ramah membuatku diam-diam sedikit menyunggingkan senyum.
“Aku harus kembali menunggui Eunsuk. Cepatlah menyusul! Eunsuk mencarimu tadi. Anak itu selalu terobsesi untuk berada di dekat kakaknya,”
~oOo~
Author POV
Setelah seminggu dirawat, Eunsuk akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Sore itu, Eun Gi bersama Jae Hee mengantarkan kepulangannya. Sekilas mereka nampak sebagai keluarga yang kompak dan harmonis.
“Sekarang Ibu pulang ya,” Jae Hee berpamitan pada Eunsuk begitu mereka tiba di dalam kamar.
Eunsuk mengangguk meski ia begitu berat hati untuk melepaskan kepergian Jae Hee. Eun Gi tahu itu, namun ia bungkam.
“Aku titip Eunsuk padamu. Kumohon, jaga dia baik-baik,” pinta Jae Hee pada Eun Gi sebelum pergi. Matanya berkaca-kaca dan sebelum tangisnya meledak, wanita itu berlari pergi.
Eungi duduk di sisi ranjang, ditatapnya Eunsuk dengan simpati.
“Kau menahan perasaanmu demi kakakkan? Kau pasti sangat merindukan Ibumu tapi merasa tak nyaman untuk mengatakannya karena mempertimbangkan perasaan kakak, maafkan kakak, Eunsuk…”
Eunsuk tak menjawab, ia sibuk menahan airmatanya yang kini mengembun pedih.
Eun Gi tersenyum sedih, diusapnya sebutir airmata yang turun di atas pipi Eunsuk.
“Jae Hee benar-benar kejam! Bagaimana bisa ia menghadiran malaikat kecil sepertimu untuk Seo Eun Gi yang sangat jahat sepertiku,” Eun Gi ikut terisak. Ia memeluk Eunsuk dengan erat.
“Kakak… huhuhu….”
“Maafkan kakak, Eunsuk… Demi kakak, kau menahan perasaanmu… Maafkan kakak….” Sesal Eun Gi.
Sementara itu, di halaman, Jae Hee tengah menangis juga. Ia belum siap untuk berpisah dengan Eunsuk.
“Ibunya Eunsuk…” Eungi memanggil Jae Hee dengan panggilan yang lama tak didengarnya.
Jae Hee menghapus airmatanya dengan cepat dan menoleh.
“Kau mau kabur kemana? Jangan pergi! Tinggallah di sini… bersama kami….” Pinta Eun Gi tak terduga.
~oOo~
Jeng Jeng Jeng…
THEY LIVE TOGETHER AGAIN.
Hahaha…
*evil smirks*
Well, the romance will comeback later.
Just like Eun Gi, I miss EunMaroo moments^^
This chapter is so full with Jae Hee-Eunsuk-Eungi moments.
And there will be a wedding!
Whose wedding? You’ve already known! Xoxo
Comments