Red Lines

NICE GUY FF - After The Ending

Aku melotot kaget melihat sosok berwajah asing namun tampan di hadapanku. Pria itu berkelopak lebar, berahang tegas dengan hidung mancung mempesona. Namun, sungguh aku tak merasa terpesona sama sekali. Usianya mungkin 2 atau 3 tahun lebih tua dariku. Kedua tangannya mengunci lenganku kuat. Tatapannya tajam dan penuh harap. Sekilas aku melihat setetes airmata menggenang di sana. Siapa dia sebenarnya dan kenapa dia berulang kali memintaku memaafkannya.

Aku tak paham, aku hanya tahu bahwa aku ketakutan. Siapapun pria ini, aku bukan mangsa yang tepat untuknya. Aku Seo Eungi, bukan wanita sembarangan yang akan berteriak atau berbisik minta dikasihani. Kuinjak kaki kanannya tanpa ampun, kudorong raganya pergi dan aku berlari setelah menendang punggungnya keras.

Pria itu bangkit dengan erangan kesakitan yang melengking kuat di sepi setapak Tong Yeong. Lucu rasanya, tadi aku berlari dari dekapan Maroo dengan riang dan sekarang aku berlari menghindari seorang pria asing dengan deru napas mencekam.

Aku penghapal yang baik sebenarnya, jika kalian mau tahu. Tapi, jalanan Tong Yeong yang gelap tak mengijinkanku menggunakan kemampuanku itu. Aku hanya mengandalkan insting. Tak perduli kemana, yang penting aku mencari cahaya dan jalan yang lebih lebar.

Aku sampai di sebuah gang sempit dengan struktur menanjak. Melelahkan! Aku terus berlari hingga menabrak sesuatu, oh tunggu… bukan sesuatu tapi seseorang.

Aku mengenal baunya, suaranya dan cengkraman hangat tangannya. Kang Maroo!

Suamiku terlihat begitu cemas, matanya tajam menghujamku. Dan kisah selanjutnya, seharusnya sudah dapat kalian terka. Ia menghujaniku dengan banyak pertanyaan dan aku memberinya jawaban yang mengkhawatirkan.

Maroo memelukku. Lebih erat dari pelukannya sebelumnya. Pelukan ini terasa familiar. Ini adalah jenis pelukan yang kurasakan di malam ia mencariku sebelum menjalani operasi. Sebuah pelukan yang kurang lebih bermakna, “Syukurlah, kau baik-baik saja. Jangan menghilang dari pandanganku lagi setelah ini,”

“Kakimu kenapa?” tanya Maroo padaku yang sedikit terseok di sampingnya. Kami dalam perjalanan pulang ke rumah.

Aku menggeleng, karena aku memang tidak tahu. Maroo berjongkok dan mengamati kakiku.

“Apa di sini sakit?”

Aku mengaduh saat ia memegang kaki kiriku. Maroo terlihat menahan amarahnya, siapapun pria yang mengejarku tadi, kurasa akan ia hajar habis-habisan jika kami sanggup menemukannya malam ini.

“Naik!” Maroo memintaku naik ke punggungnya.

Aku agak ragu, karena aku tahu hari ini suamiku sangat kelelahan dengan pekerjaannya. Aku menyaksikan sendiri ia menangani puluhan bayi yang tak berhenti menangis.

“Tidak!” Aku berjalan mendahuluinya yang berjongkok di depanku. Maroo menggeleng geram. Ia bangun dan berlari mendahuluiku yang terseok kesakitan.

“HYA SEO EUNGI!” teriaknya kesal. Jujur saja, aku merasa hatiku berdebar bahagia setiap kali ia berteriak dan memanggil namaku seperti itu. Di dunia ini, hanya Kang Maroo yang dapat membuatku lebih mencintainya bahkan saat ia sedang marah.

“Ijinkan aku menjadi suami yang baik!” Maroo mengucapkan kalimat itu. Aku tak berkutik dan menurutinya.

Ia berjalan pelan menuju RuKo yang kusewa, tempat dimana mahligai pernikahan kami berpijar setahun belakangan ini. Kusandarkan kepalaku di atas pundaknya dengan kedua tangan melingkari lehernya. Tas dokternya berayun-ayun di genggamanku.

Rasanya sangat nyaman, ketakutan yang 10 menit lalu menyergapku kini lenyap entah kemana. Pikiran buruk tentang si pria asing kurang ajar menghilang begitu saja.

Kami sampai di depan pintu rumah. Maroo menurunkanku dari gendongannya lantas membuka kunci pintu dan memapahku masuk. Ia membantuku duduk di tepi ranjang.

Rumah kami gelap gulita, Maroo dengan cepat menyalakan lampunya dan mengambil sebongkah es batu serta kain kompres. Ia duduk bersila di bawah dan mengompres kakiku yang bengkak karena terkilir.

Maroo sangat telaten.

Kupandangi ia dalam, pria ini… kurasa aku jatuh cinta padanya lagi. Berkali-kali, sekali lagi. Tanpa sadar kuusap keningnya yang berkeringat.

Maroo mendongak, menatapku sekilas lantas fokus kembali pada bengkak di kakiku.

“Aaawww…” aku berteriak karena Maroo memijat bagian yang terkilir. Nyaris kusepak wajahnya dengan spontan.

Maroo memegangi kakiku dan terus mengurutnya.

“Diamlah! Aku sedang mengobatinya!”

“Bagaimana bisa aku diam? AAAWWW… SAKIT!!!” omelku.

“Besok kita lapor ke Kepala Desa. Aku harus menghajar pria itu!” seru Maroo berapi-api, pijatannya makin keras dan aku kelonjotan dibuatnya.

“MAROO!!! AAAAWWHHH… SAKIT!!!” aku menarik kakiku dari tangannya ke atas ranjang.

“HYAAA… SEO EUNGI!” Maroo berteriak, menatapku geram.

Aku menggeleng, mendekap kaki kiriku erat, tapi Maroo memaksa dan malam itu pun dipenuhi teriakan. Teriakan yang kesakitanku karena suamiku mendadak berubah menjadi tukang pijit sok professional.

“Pelankan suaramu! Aku bisa dituduh KDRT!”

“Hyaaa!!! Bagaimana aku bisa diam kalau… AWWWH… MAROOO!!! JANGAN TEKAN DI BAGIAN ITU!!!” Aku protes.

“LALU AKU HARUS MENEKAN DIMANA? HIDUNGMU? KEPALAMU???”

“MAROOO!!!”

~oOo~

“Hari ini tutup saja tokonya, kau ikut aku ke klinik saja!” Maroo meletakkan tas dokternya di atas meja makan. Ia duduk dan menatapku yang masih merengut karena peristiwa semalam.

Aku tak menjawab.

“Kau mulai lagi! Kau semakin jelek kalau cemberut begitu! Harusnya kau berterimakasih karena sekarang kakimu sudah tak sesakit kemarin,” ujar Maroo cuek. Ia menggigit roti selai di atas piring.

“Aku  akan menutup tokonya tapi, aku mau tinggal di rumah,” jawabku keras kepala.

Maroo menaruh rotinya kembali, ia menatapku tak mengerti.

“Bagaimana kalau pria gila itu menemuimu lagi? Kau tidak takut?”

“Kau lupa menikahi siapa? Aku ini Seo Eungi. Aku justru ingin bertemu dengannya lagi dan menghajarnya!” desisku geram. Kedua tanganku mengepal kuat.

Maroo tidak setuju, “Kau tega membuatku tidak berhenti memikirkanmu dan kehilangan fokus saat mengobati pasien? Bagaimana jika karena mencemaskanmu aku jadi salah memberikan obat? Kau mau bertanggungjawab, istriku yang keras kepala?”

“Hyaaa!” Aku tidak suka dipanggil keras kepala.

Maroo tersenyum geli melihat kesewotanku.

“Karena itu, tinggallah di dekatku sampai kita menemukan pelakunya!” pintanya.

Pagi ini, desa cukup gempar. Cerita tentang peristiwa yang menimpaku kemarin meledak dengan cepat ke segala penjuru Tong Yeong yang memang tak terlalu luas. Semua orang membicarakannya dan kebanyakan mencurigai sebuah nama.

Maroo menatap surat berwarna merah muda yang kuterima dari si pemuda gila.

“Kau kira aku yang mengirimkannya huh? Kau kekanak-kanakan sayang!” ledeknya seraya menahan tawa.

Aku melirik tak ikhlas dan kutarik surat itu dari tangannya.

“Kalau ini bukan bukti penting, aku tidak akan menunjukkannya padamu. Sudah kuduga ekspresimu akan seperti ini,” dengusku.

Paman Kepala Desa yang duduk di dekat kami, ikut menahan tawanya. Ia bahkan mengatakan bahwa euforia pengantin baru yang kami miliki, mengabur lebih awal dari semestinya.

Lantas ia bercerita jika RuKo tempatku tinggal dulu ditempati oleh sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah dan anak gadisnya. Gadis tersebut rupanya menjalin cinta dengan seorang pemuda tapi ayahnya tidak setuju. Mereka putus, si pria masuk wajib militer dan siapa sangka si gadis jatuh sakit kemudian meninggal. Ayahnya pergi meninggalkan desa di hari ke 49 setelah kematian putrinya. Beberapa minggu sebelum aku datang ke desa ini bersama Maroo, mantan kekasih dari gadis itu menyelesaikan wajib militernya. Ia sadar bahwa ia masih sangat mencintai gadis itu, jadi ia memutuskan untuk menemuinya. Tapi kenyataan pahit harus dihadapinya. Sosok yang ia cintai telah tiada dan dari desas-desus yang berkembang. Pria itu jadi gila. Ia sering menampakkan diri tak jauh dari RuKo yang kusewa dan memandangi RuKo kosong itu dari kejauhan.

Tatapannya sayu dan menyedihkan.

Ia sudah lebih dari setahun tak terlihat dan beberapa hari lalu kembali lagi. Otaknya yang tak waras mengira jika kekasihnya masih hidup dan itu adalah aku. Sementara Maroo mungkin terlihat seperti Ayah dari kekasihnya tersebut.

Benar-benar seperti menginjak kotoran alias sial. Dari sekian rumah di desa ini, kenapa aku harus menyewa RuKo ini. Ah, jika bukan karena tempatnya yang dekat dengan klinik serta rumah dinas Maroo, aku pasti sudah memilih tempat lain.

“Namanya Kang Min Woo?” tanyaku memastikan sekali lagi.

Kepala desa mengangguk.

“Berapa usianya?” Maroo ganti bertanya.

“Sekitar 29 tahun,”

~oOo~

“Kau memaksaku kemari tapi malah sibuk membaca buku sendiri,” kusindir Maroo yang tenggelam dalam sebuah buku bertema kedokteran di hadapanku.

Pria itu hanya tersenyum tipis dan membalik halaman selanjutnya. Aku mendengus kesal dan menguap lebar.

Kusandarkan kepalaku ke meja kerjanya.

“Aku bosan,” desahku panjang.

Maroo menutup bukunya dan ikut menyandarkan kepalanya ke meja, wajah kami berhadapan, saling menatap.

Ia menyibak pelan rambutku ke belakang telinga.

“Dimana Eungi yang mengatakan bahwa ia sanggup pergi jauh ke belahan bumi manapun demi bersama Kang Maroo?” Maroo terus membelai keningku penuh perhatian.

Aku terdiam, mengingat-ingat kapan aku memberitahunya bahwa aku pernah mengatakan itu.

“Mungkinkah?” aku mendelik kaget, bertanya-tanya apa Maroo telah mengingat hal lain tentang kami lagi.

Suamiku tersenyum misterius dan tepat saat itu, seorang pasien datang. Maroo bangun meninggalkanku menuju tempat pemeriksaan.

Kupandangi ia dari belakang, tidak salah lagi. Ingatan Maroo tak berhenti di suatu titik, ia pasti diam-diam telah mengingat banyak hal.

Aku penasaran!

~oOo~

Beberapa hari berlalu penuh ketenangan, tak ada tanda maupun bayang si pria gila hadir di desa. Maroo membiarkanku sendirian di rumah sejak kemarin dan aku baik-baik saja sejauh ini.

Eunsuk baru selesai menelepon, kami berbincang banyak selama hampir 2 jam. Segala hal kami bagi kecuali tentang kisah si pria gila. Aku tidak mau adikku ikut cemas.

Eunsuk masih belum mau menemui Jae Hee, ibunya. Aku tak akan ikut campur karena sebenarnya aku juga belum rela mereka kembali menjadi dekat. Kurasa, sama seperti obsesiku pada Maroo, aku juga diam-diam ingin menguasai Eunsuk seorang diri.

Kulirik jam di dinding, pukul 7 malam, suamiku belum pulang. Aku dengar paman Jung mendadak mengalami kejang saat memancing tadi sore. Sepertinya Maroo ikut mengantarnya ke Rumah Sakit yang lebih besar di dekat pelabuhan.

Kudengar decit pintu dibuka, pasti Maroo pikirku. Aku bangkit dengan segera dari depan TV dan bersiap untuk menyambutnya dengan sebuah pelukan dan secangkir teh yang mengepul panas. Panas oleh rinduku padanya.

Tapi senyum di wajahku langsung mengendur lantas menghilang saat tapak-tapak kaki itu bukan berasal dari sepatu milik Maroo. Kang Min Woo, si pria gila akhirnya kembali. Ia tersenyum seperti seorang psikopat ke arahku.

Bulu kudukku seketika merinding tapi aku tak berlari maupun melangkah mundur. Hatiku memang merasa gentar tapi sebisa mungkin tak kutunjukkan itu. Kutatap wajahnya penuh ketenangan. Kusandarkan diriku ke tepian meja, satu tanganku bersembunyi di belakang, siap meraih piring, gelas atau apapun benda yang dapat kehantamkan ke kepalanya sewaktu-waktu jika diperlukan.

“Seung Mi-ah… maaf aku baru datang menemuimu lagi, aku perlu memastikan jika ayahmu tidak ada di rumah,” Min Woo mendekat. Herannya bukannya semakin takut, aku malah merasa kasihan. Aku melihat ketulusan di matanya.

Ia mencari-cari tanganku, lantas menggenggamnya seraya menunduk. Airmatanya yang hangat jatuh di atas punggung tanganku.

Pria gila ini menangis.

“Kau mau memaafkanku kan Seung Mi-ah?” ia menatapku dalam. Aku mengangguk dan kupeluk pria asing yang baru kukenal minggu lalu itu.

Kalian mau menuduhku berselingkuh dan terpesona olehnya? Baca dulu sampai selesai. Dengarkan apa yang akan kuceritakan!

Kutinggalkan Min Woo di ruang tamu, kuberikan teh yang kusiapkan untuk Maroo padanya. 10 menit berlalu selepas Min Woo meneguk habis teh buatanku. Si malang itu kemudian jatuh tertidur di pangkuanku. Bukan kebetulan tapi memang kami sudah merencanakannya. Kami yang kumaksud adalah aku dan Maroo.

Tak lama setelah itu, Maroo datang dengan beberapa penduduk desa dan membawa Min Woo pergi entah kemana.

“Aku tidak menyangka menikah dengan wanita sepemberani dirimu,” puji Maroo di atas ranjang hangat kami. Sekarang pukul 10 malam.

Lengannya yang kokoh melingkari punggungku, menopangku dengan lembut.

Aku tersenyum dan memeluknya gemas.

“Kau tidak cemburukan melihatku membiarkannya tidur di pangkuanku?” godaku.

Maroo terkekeh pelan, ia menggelitik leherku dan berbisik, “Sejujurnya iya, tapi…”

“Tapi?” kutatap wajahnya penasaran.

Maroo tidak menjawab, ia hinggap di atas tubuhku begitu saja. Pandangannya berubah nakal dan aku tahu, sangat tahu apa yang ia inginkan.

Kulingkarkan tanganku di sekitar bahunya. Maroo mulai melepaskan kancing piyamaku satu persatu.

“Kurasa lampunya perlu dimatikan,”

“Perlukah?”

Aku mengangguk, kulihat Maroo menyeringai tipis, ia melompat turun dari atas ranjang, tangannya menekan sebuah tombol dan kamar kami menjadi gelap. Kunyalakan lampu meja yang pijarnya kekuningan dengan watt seadanya.

Maroo menyalakan mp3 di handphonenya.

Aku tertawa, Maroo tertawa.

Ia merangkak naik kembali ke atas ranjang, aku tak dapat melihat dengan jelas karena kamar kami yang begitu remang. Tangannya menarik tubuhku telah polos sepenuhnya untuk duduk di atas pangkuannya.

Ah, dia juga sudah melepaskan semua pakaian di tubuhnya.

Kurasakan lengkuk tubuhnya yang hangat dan sedikit berkeringat.

Tangannya mulai bergerak liar dan menjelajah ke setiap penjuru tubuhku. Kami gaduh sendiri di atas ranjang yang berderit-derit kepayahan.

Seprei yang kusut, bantal guling yang pontang-panting dan segala kegelisahan tak kami hiraukan. Maroo menyatu dalam tubuhku, ia membagi partikel-pertikel kecil dalam dirinya, membiarkan mereka berenang sesukanya lewat celah di bawah ragaku. Kubiarkan Maroo meledak, menghambur memintal rahimku.

Basah, pekat dan menyenangkan. Kami terengah menikmati kumpara sang dewi malam. Jarum jam berotasi, menyekat gairah kami dalam satu kata; “Cinta,”

Meski cinta dan seks adalah dua hal yang berbeda tapi pada prosesnya cinta menciptakan kecipak kesenangan yang orang sebut sanggama bila haram adanya.

Maroo tahu aku masih begitu menginginkan anak darinya. Ia sendiri juga menginginkan seorang Seo Eungi atau beberapa Eungi kecil dalam hidupnya.

Di akhir peraduan kami, Maroo membisikkan sebuah kata yang begitu jarang kudengar dari mulutnya, “Aku mencintaimu, Seo Eungi-shi…”

Kami terlelap berdua, di bawah temaram malam, di balik kusutnya selimut dan di atas ranjang yang sedikit goyang.

~oOo~

Sore itu Kepala Desa datang menemuiku dan Maroo. Ia dan kecemasan di wajahnya mengatakan jika ada yang tidak beres. Naluriku bergerak cepat, aku tahu ini tentang siapa.

Min Woo perlu bertemu denganku dan aku perlu menyakinkan pria itu jika aku bukan Seung Mi-nya. Aku hanya seorang pendatang yang kebetulan menyewa bekas rumah Seung Mi.

Maroo menolak pada awalnya, ia pikir ini akan sia-sia tapi aku membujuknya. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Maroo menolak bukan karena ia berpikir jika ini tak berguna namun karena ia takut Min Woo yang labil melukaiku.

“Biarkan aku mencoba menyakinkannya, ya?!” bujukku pada Maroo.

Ia dengan berat hati mengantarkanku ke sebuah Rumah Sakit di dekat pelabuhan. Rumah sakit yang cukup besar.

“Maroo, kau tahu kenapa aku ingin menolongnya?”

Maroo menggeleng mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba. Kami berhenti sejenak di lobi Rumah Sakit yang lenggang.

“Aku melihat diriku sendiri saat menatapnya. Kurasa aku lebih beruntung karena berhasil mendapatkanmu, jika tidak kurasa aku sedang menghabiskan waktu di bangsal sebelahnya,” gurauku lantas tertawa. Maroo memandangku lembut, ia mengerti. Maroo pasti mengerti perasaanku.

Kami berpisah di depan sebuah lorong panjang. Seorang suster menggandengku masuk, sementara Maroo menunggu di depan pintu bertuliskan ‘Dilarang Masuk Tanpa Ijin Khusus’

~oOo~

Sudah 15 menit berlalu sejak Eungi masuk ke dalam lorong panjang itu. Aku menunggunya dengan cemas. Kebiasaan lamaku muncul, kuketuk-ketukkan ujung sepatuku ke lantai tanpa sadar.

Aku mendengar teriakan melengking kencang. Suster yang tadi menemani Eungi berlari keluar dengan wajah kalut. Ia memberi isyarat melalui tangannya yang menunjuk-nunjuk ke dalam dengan tergesa. Aku berlari masuk, sementara ia melanjutkan perjalanannya untuk memanggil dokter atau security yang dapat ia temui.

Aku mencari di mana asal suara itu. Sebuah kamar di ujung lorong. Kakiku berlari lebih cepat, kulebarkan langkahku.

Aku melihat Eungi tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai, sementara si gila itu terdiam ketakutan di dekatnya. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi. Kuterobos ruangan itu, kudorong keparat gila itu hingga terjengkang jatuh menumbuk dinding yang keras. Ia mengerang tapi tak melawan.

Kutarik kerah bajunya dan kuhajar ia habis-habisan. Darah mengucur mengaliri kepalan tanganku. Cairan anyir itu berasal dari hidung dan ujung bibirnya yang sobek parah.

Dokter dan beberapa petugas keamanan datang setelah itu. Mereka menarikku, memisahkanku dari si gila itu.

Eungi… kugendong Eungi keluar dari kamar itu. Aku berlari menuju UGD.

~oOo~

“Maroo…” adalah kata pertama yang keluar dari mulut Eungi saat siuman. Maroo dengan setia berada di sampingnya, memegangi tangannya.

Eungi merasa sangat pusing. Kepalanya berkunang-kunang. Sekilas ia teringat dengan apa yang telah terjadi. Ia ingat bagaimana ia menjelaskan pada Min Woo jika dirinya bukan Seung Mi. Pria itu tak paham, ia mencoba menyangkal kenangan pahit di dalam memorinya. Ia lantas histeris sendiri dan memukul-mukul kepalanya ke tembok. Min Woo menyiksa dirinya sendiri. Eungi dan Suster mencoba menghentikannya namun tak cukup kuat. Eungi akhirnya meminta suster untuk meminta bantuan.

Saat tengah mencoba menahan Min Woo dari tindakan gilanya yang jika dibiarkan akan menjadi sebuah tindakan bunuh diri, Eungi tak sengaja terdorong dan terpelanting hingga jatuh menghantam lantai.

Maroo yang mendengar penjelasan Eungi langsung termenung. Ia salah paham. Ia kira Min Woo menyakiti Eungi.

Seorang dokter wanita berjalan memasuki bilik dimana Eungi dibaringkan. Ia menggenggam secarik kertas hasil pemeriksaan Lab.

Dokter itu tadi memeriksa Eungi saat masih pingsan. Maroo yang cemas, meminta pemeriksaan secara mendetail.

Dan hasilnya akhirnya keluar.

Eungi tak mengalami luka yang parah. Kepalanya baik-baik saja meski bahunya agak memar.

Selain itu, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya ada satu hal yang perlu Eungi jaga. Kandungannya.

Eungi sedang hamil, sekitar 2 minggu.

Maroo menatap hasil laporan Lab di tangannya dengan tak percaya. Eungi gemetar di sampingnya. Mereka berpandangan seperti sedang saling meminta kepastian jika ini bukan mimpi.

Eungi merebut kertas di tangan Maroo dengan tak sabar. Ia membacanya berulang-ulang, menocba menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar sedang mengandung.

Airmatanya tumpah begitu saja, Eungi terisak. Ia memeluk Maroo yang sama gemetarnya.

Penantian yang panjang akhirnya terjawab sudah.

~oOo~

Maroo berlari dengan begitu bahagia menuju apotek yang berada di depan Rumah Sakit. Eungi menunggunya di lobi sambil menonton TV yang terpasang di dinding untuk dinikmati bersama.

Wanita itu tak henti memegang perutnya dengan perasaan tak percaya. Jantungnya masih berdebar-debar.

Matanya merah dan sembab karena menangis dalam haru.

Maroo mengulurkan kertas resep kepada apoteker, ia tersenyum lebar. Hatinya diliputi sukacita.

“Maroo?” sapa seorang wanita di sebelahnya.

Maroo menoleh, mencoba mengingat wajah cantik di hadapannya.

“Kang Maroo?” Wanita itu memanggil namanya lagi, mencoba memastikan.

Bagai disambar petir, Maroo mengingatnya. Kenangan suram itu bangkit kembali dan menggerayangi hidupnya yang tenang.

Wanita di hadapannya ini adalah salah satu mantan kekasihnya. Wanita yang ia putuskan di Jepang sebelum ia bertemu Eungi di atas pesawat.

“Mustahil jika kau melupakanku,” seru wanita itu percaya diri.

Maroo masih tak merespon, tatapannya datar dan dingin.

Tak disangka, Eungi muncul dari belakang dan mengait lengannya dengan manja.

“Kau lama sekali? Aku tidak sabar,” kata Eungi ceria.

Maroo tersenyum pada Eungi dan itu membuat si wanita dari masa lalunya menatap penasaran.

“Maroo, siapa dia?” tanya Eungi tak nyaman.

~oOo~

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
Si Maroo berasa sialan banget ah! Cekaka~ Sok kagak butuh, sok jaim, sok dingin tapi ngarep! Marooo... aku padamu! *Nulis sendiri, ngomel-ngomel sendiri*^^

Comments

You must be logged in to comment
Alexasky
#1
Chapter 6: Hii i would really love to read the story. Do you happen to know how to translate the story to English please?
kyuhaeni #2
Chapter 42: annyeong.. reader baru di sini..
Kang Maroo di sini ga jauh beda sma Yoo Shi Jin ya yg palyful..
makasi ff nya.. aku yg blm puas nonton Nice Guy baca ini jadi suka bgt! comedy romance lagi.. waah harapan aku tuh kelak Joongki main com-rom drama..
oladilia1310 #3
Chapter 41: Kalo aku berani ngomelin eungi, pasti udah kuomelin! Udah masa" mau melahirkan kok ekstrimnya gk ilang sih *gemesssss* hahahhh
Trus ini gimana eungi lahirannya masa di pulau tanpa RS??!!! Semoga Maroo bisa nanganin kalo emg gk bisa balik ke Seoul :')
And.... i miss ChaeKi Couple so much ㅠㅠ
Semangat kak author!! Kutunggu update selanjutnya! 파이팅! ♡♡
Chaeki_Novit #4
Chapter 38: aku udh baca chapter 39 nya d wattpad
dan waaah cerita'y makin menarik dan seru,, apa yg mencelakai jang mi itu eungi??
d tnggu chap selanjut'y ya :)

*maaf ya aku komen disini. wattpad aku lg gk bsa buat komen

oya aku mulai setuju dngan author-nim kaya'y klu cerita eunma datar2 aja gk kn trasa eunma'y n pasti'y krang menarik hihi jdi aku prcayakan alur'y kpada sang pakar'y aja
semangatt ya thor :D
emoonsong #5
Chapter 38: Hmmm joahhh... ditunggu next chapnya....hehehe
Chaeki_Novit #6
Chapter 38: ayoo ayoo cepat tes DNA biar semua tau (trutama eunma) kalau itu bukan anak'y maroo n jang mi juga harus jujur n selesain msalah dia sendiri sama ex husband'y

aduuhh ini nyonya song kalau lg ngmbek sifat asli'y kluar hahaha lupa ya kalau lg ngandung dede kembar hehehe

semangat thor, next chapter'y jgn lama2 ya
give me sweet happy ending. really happy ending. jeballl
Chaeki_Novit #7
Chapter 38: ayoo ayoo cepat tes DNA biar semua tau (trutama eunma) kalau itu bukan anak'y maroo n jang mi juga harus jujur n selesain msalah dia sendiri sama ex husband'y

aduuhh ini nyonya song kalau lg ngmbek sifat asli'y kluar hahaha lupa ya kalau lg ngandung dede kembar hehehe

semangat thor, next chapter'y jgn lama2 ya
give me sweet happy ending. really happy ending. jeballl
eonnifan
#8
Chapter 38: kan.. udh ketebak jonghyun bukan anak maroo hahhahahaha

sabarlah eungi
tp entah knp aku pengen eungi ky ngelakuin sesuatu yg ekstrim gitu lol
jgn2.. yg jd pembunuhnya.. eungi :O
emoonsong #9
Chapter 37: Komen selanjutnya dariku....

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°©©©°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Jong Hyun tinggal bersama Eng Gi? Kurasa ini baru namanya saingan yang seimbang...
Eng gi tdk mungkin kalah dr wanita manapun dihati Maroo... tp dgn Jong Hyun?....
Aku rasa Maroo akan sedikit bingung bukan?
Meski hatix untuk Eng Gi tapi Maroo tak mampu mengabaikan Jong Hyun...
Dan ini yang akan menyakiti Eun Gi... bukan begitu?
Ah sial bagimu Kang Maroo...

Eun Gi akan mendapat dukungan penuh dr semuanya bahkan dr si Twin...
Dan krn Jong Hyun tdk memiliki siapa siapa disisinya? Kau mungkin akan mengambil tanggung jawab itu...

Dan itu yg tidak diinginkan Eun Gi...
Kau berada bersebrangan dengannya...
Karena itu Eun Gi menginginkan mesin waktu... untuk bisa menemukanmu lebih dulu...
Tapi tentu sj hal yg mustahil... krn ini bukan fanfic doraemon tapi ini ff chaeki...
Hak paten mesin waktu hanya untuk doraemon, nobita dan kawan kawan Readers dan Eun Gi tau itu..
*plakkk abaikan*

Krn itu... kita akan berharap seperti biasa untuk Eun Gi sekali lagi berlari ke pihak Kang Maroo tanpa memedulikan apapun...
Meski itu artinya dia berada dipihak yang sama dengan Jong Hyun... si anak kecil yg menjadi saingannya...

Hey tunggu dulu...
Kurasa Eun Gi tdk sebodoh itu untk mempercayainya...tanpa mengkonfirmasinya dan ayolah Maroo bahkan seorg dokter ... apa mereka bahkan tdk terpikir untk melakukan tes DNA...?
Mengapa perkataan seorg wanita dari masa lalu menjadi begitu terpercaya? Hingga diterima tanpa pembuktian...
#mungki Eun Ma Lelah... butuh piknik...

Hemm meski tes DNA tdk murah tp biaya bukan hal yg perlu dirisaukan oleh seorg Eun Gi kan?
Yah cukup mnngirim sampel rambut Kang Maroo dan Jong Hyun kurasa... hal Ini bisa dipecahkan...





©¶©¶©¶

Eun Gi bisa saja menyerah untuk apapun dan siapapun tp Eun Gi tdk akan menyerah untuk Kang Maroo ...

©¶©¶©¶