......
Love, Lie and RevengeYoona pov
Aku sangat cemas dan khawatir. Sebenarnya apa yang mereka berdua bicarakan? Apa semua ada hubungannya dengan diriku? Sepertinya itu tidak mungkin. Aku rasa ini mengenai kecurigaanku terhadap Hyojoon yang ku ceritakan pada jiyeon kemarin malam.
Aku mengenal hyojoon dengan baik. Aku mengetehui tingkat kelicikannya dan kejeniusannya. Coba bayangkan jika kedua hal itu disatukan, bukankah itu akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Aku tahu hyojoon tak mungkin melukai jiyeon secara fisik. Tapi untuk mental, dia ahlinya. Di ahli memancing emosi dengan kata-kata tajamnya.
Walaupun aku baru mengenal jiyeon beberapa minggu ini, tapi aku tahu dia orang yang paling tulus yang pernah ku kenal. Dan menurut penuturan soyeon, dia sulit mengendalikan emosi. Dia selalu meluapkan segala perasaannya. Senang, sedih teruama marah. Karena itulah dia dijuluki pembuat onar.
Itulah yang aku takutkan, perbedaan emosional mereka. Aku takut hyojoon memancing emosi jiyeon. Dan amarah jiyeon tak terkendali. Itu akan memperkeruh situasinya.
Aku terus mondar mandir di depan pintu perawatan. Ditemani lirikan mata para polisi penjaga pintu yang terus mengikuti setiap langkahku. Langkahku terhenti, saat ku dengar benturan keras, tidak bukan sebuah benturan namun suara vas bunga yang jatuh.
Aku segera membuka pintu, diikuti para polisi tersebut. Apa yang aku takutkan terjadi.
Jiyeon Pov
Aku geram, marah, kecewa dan benci ketika hyungku bercerita apa yang dilakukannya tanpa rasa bersalah.
Hyojoon : "selamat menikmatinya adikku tersayang." tersenyum sinis. "kau harus bertanggung jawab dengan apa yang telah kulakukan. Bayaran yang setimpal bukan?" nadanya kembali meremehkan.
Aku menekan gigiku dan mengepalkan tanganku sedari tadi menahan amarah.
Hyojoon ; "Bayaran yang setimpal bukan? Setelah kau merebut semua cinta yang aku inginkan. Selamat bersenang-senang di balik jeruji, adikku sayang." memukul pelan pipiku sambil tersenyum penuh kemenangan.
Habis sudah kesabaranku. Aku muak melihat wajahnya dan mendengar perkataannya. Ku menarik nafas sejenak, ku tarik jarum infus yang masih menempel. Ku tak perdulikan darah yang keluar dari pembuluh venaku itu.
Aku mendekati hyojoon yang bersiap duduk dikursi rodanya. Tanpa basa basi aku memukulnya keras. Baru dua kali aku memukulnya dia mendorongku cukup keras. Hingga punggungku cukup keras membentur lemari yang tingginya setengah dariku. Hingga vas bunga yang diatasnya jatuh, berserakan kaca pecah dan air bunga segar yang awalnya menemani.
Aku kembali melangkah saat hyojoon berhasil duduk di kursi roda. Aku mencengkaram kerahnya memukulnya keras hingga darah keluar dari sudut bibirnya. Kegiatanku harus terhenti ketika 3 orang memasuki ruang rawatku dan menghalangi aksi brutalku.
Kedua polisi itu mengamankan hyojoon dan menjauhkan hyojoon. Sedangkan yoona memeluk tubuhku agar aku berhenti. Namun aku terus mencoba menerjang hyojoon. Berat badannya yang ringan membuatku mudah menyeretnya dan hendak memukul hyojoon.
Hyojoon : "kau menyalahkan aku atas perbuatanmu? aku akui mungkin ini salahku karena aku memintamu menjadi diriku. Tapi kau bertanggung jawab atas perbuatanmu itu."
Jiyeon : "Biarkan Aku MEMUKULNYA. DIA YANG SALAH. KENAPA AKU YANG HARUS MENANGGUNG SEMUANYA."
Yoona : "tananglah Ji. Tenangkan dirimu."
Kalau saja Yoona tak menghalingku dan kedua polisi itu tak membawa hyojoon keluar pasti aku telah berhasil meluapkan amarahku.
Nafasku masih tersenggal, mataku masih belum mengerjap mengurangi amarah. Yoona mencoba menenangku, tapi it
Comments