Gift

Salty Salt

“Ah, maaf aku hanya bercanda,” ucapku lalu tertawa.

“Sebenarnya aku percaya tentang reinkarnasi dan mungkin saja apa yang kau katakan itu benar,” ucapnya lalu tersenyum padaku.

“Lalu jika memang benar, menurutmu kita mempunyai hubungan seperti apa?” aku bertanya dengan penuh keberanian.

“Hmm.. kakak beradik? Aku merasa kau memiliki sikap yang cocok sebagai seorang kakak.”

“Ehm.. menarik,” betapa aku mengharapkan jawaban lebih.

“Pernah bertemu ataupun tidak di masa lalu, yang penting sekarang kita dapat saling mengenal. Bukankah begitu?”

“Ya.. kurasa begitu. Aku senang dapat bertemu denganmu (lagi).”

“Aku juga. Kau orang yang sangat menarik, Chaeyoung.”

“Benarkah? Apa kau tidak berpikir bahwa aku orang yang membosankan?”

“Tidak sama sekali.”

“Aku tidak menyangka hal itu. Hmm, baiklah kurasa aku akan pulang sekarang.”

“Ah, tunggu! Mari bertukar nomor telpon!”

“Oh, baiklah.”

Kami saling menukarkan nomor telepon kami dan saat itulah aku tidak bisa menyangkal bahwa aku merasa senang. Setelah itu, aku berpamitan padanya dan berjalan meninggalkan apartemen itu. Dengan gembira, aku berjalan tanpa menghiraukan orang lain. Aku terus tersenyum sepanjang kuberjalan. Sana, Sana, Sana.. hanya dia yang ada di pikiranku saat ini.

Ring! Ring!

Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah panggilan. Jantungku berdebar-debar dan hatiku benar-benar gembira. Aku berharap bahwa itu adalah panggilan dari Sana. Namun, kenyataan tidak seindah ekspetasi.

“Chaeyouuunggg.”

“Ada apa, Dahyun? Kau tidak sedang mabuk, kan?”

“Siapa yang mabuk siang-siang begini? Datanglah ke tempatku. Aku tahu sekarang ini kau butuh tempat curhat.”

“Maaf, semalam aku pasti sangat merepotkanmu.”

“Tidak apa-apa. Aku tahu kau mengalami hal yang berat, kawan. Makanya datang ke tempatku sekarang.”

“Baiklah, baiklah.”

—————————————————————
“Jadi, ceritakanlah apapun yang ingin kau ceritakan sekarang,” ucap Dahyun, sahabatku sejak kecil.

“Aku habis bertemu dengannya tadi,” aku mulai bercerita.

“Lalu? Apa yang kau lakukan?”

“Aku hanya berbincang-bincang dengannya.”

“Dia tidak mengenalimu sama sekali?”

“Kurasa tidak. Dia hanya menganggapku orang asing sekarang.”

“Pasti berat rasanya. Sabar! Aku akan mengambilkan minuman untukmu.”

Dahyun berjalan menuju kulkas dan mengambil dua kaleng minuman bersoda. Dia lalu meletakkan kedua minuman tersebut di atas meja dan kembali duduk di hadapanku. Wajah tampak serius ingin mendengarkan ceritaku yang menyedihkan ini. Betapa beruntungnya aku mempunyai seorang sahabat sepertinya.

“Seberapa besar kekacauan yang kubuat di barmu kemarin?” tanyaku dengan nada bersalah.

“Hmm.. yah, kemarin kau memukul tiga orang dan kau memecahkan dua botol minuman di depan semua orang.”

“Ah, maafkan aku, Dahyun. Aku pasti sangat merepotkanmu.”

“Itu bukan seberapa jika dibandingkan dengan perbuatanku dulu. Kau tahukan dulu aku sampai dibawa ke kantor polisi? Dan kau yang membantu keluar dari tempat itu.”

“Kita berdua memang orang gila ya.”

“Kau baru sadar sekarang?”

Kami tertawa terbahak-bahak menyadari kebodohan dan kegilaan kami. Seperti inilah kami. Tidak pernah berubah dan selalu seperti ini. Menertawai diri sendiri dan saling mengejek. Namun, tak lupa kami juga selalu saling berbagi. Berbagi cerita, berbagi kesedihan, berbagi kebahagiaan, dan berbagi rahasia. Itulah sebabnya dia mengetahui rahasiaku.

“Oh, ya. Lalu bagaimana dengan Mina? Setelah mengetahui dia berpacaran dengan orang yang kau bilang ‘sahabat’ itu, apa yang akan kau lakukan?”

“Hei, kenapa kau selalu begitu sinis dengan Jeongyeon?”

“Karena aku tidak pernah memperpercayainya. Aku yakin dia sendiri tidak pernah menganggapmu sahabat.”

“Apa kau cemburu? Aigoo, aku tidak pernah menyangka kau cemburu~”

“Ya, sudah. Terserah padamu saja. Bagaimana kalau kau menjawab pertanyaanku saja? Jadi, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku belum memikirkannya, tapi kurasa aku tidak bisa mengganggu hubungannya dengan Jeongyeon.”

“Pasti sangat berat rasanya melihat orang yang kau cintai bersama dengan orang yang kau sebut ‘sahabat’ itu.”

“Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin merusak kebahagiannya. Dia juga sudah bersama orang yang tepat.”

“Orang yang tepat? Aku merasa kaulah orang yang tepat. Empat ratus tahun telah berlalu, tapi perasaanmu tidak pernah berubah. Kalau pria itu? Mungkin dengan sedikit goyangan pinggul saja, hatinya bisa berubah.”

“Hentikan omonganmu itu! Kau tidak tahu betapa Jeongyeon sangat menyayangi Sana!”

“Tapi kau lebih menyayanginya lagi!!”

“Dahyun, cukup! Kumohon jangan membuatku semakin bingung.”

“Ma-maafkan aku, Chaeyoung. Maaf aku lepas kendali.”

“Tidak apa-apa. Mari lupakan ini untuk sejenak.”

Aku mengambil sebuah kaleng minuman bersoda lalu membukannya dan meminumnya. Suasana begitu tegang dan aku tidak bisa berada di suasana seperti ini dengan Dahyun. Aku harus menenangkan diri terlebih dulu. Bahaya jika aku juga lepas kendali. Aku tidak ingin melihat adegan berdarah di tempat ini.

“Chaeyoung..” panggilnya.

“Hemm..” aku menjawabnya dengan singkat.

“Wanita yang kemarin menjemputmu itu.. dia yang bernama Momo, kan?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Boleh aku meminta kontaknya?”

“Ha? Untuk apa?”

“Ehm.. sabar sebelum itu.. apa dia sudah punya pacar?”

“Ha?? Jangan bilang.. kau naksir dengannya?”

“Jawab saja pertanyaanku. Apa dia sudah punya pacar?”

“Belum, dia sama sepertiku belum pernah pacaran.”

“YESSSSS!! Tapi tunggu.. dia belum pernah pacaran? Wanita secantik dia belum pernah pacaran?

“Sudah kuduga kau naksir dengannya.”

“Kau bohong padaku, kan? Ayo katakan yang sebenarnya.”

“Iya, dia belum pernah pacaran dan sebaiknya kau minta kontaknya secara langsung saja.”

“Apa? Ayolah.. bagaimana caranya aku bisa memintanya langsung?”

“Nanti akan kuajak dia ke barmu.”

“Benarkah?! Woah, kau memang terbaik!!” Dahyun memelukku dengan sangat erat sampai aku tidak bisa bernapas. Dasar anak ini..

—————————————————————
“Tumben Momo belum datang,” ucapku sambil melihat-lihat ke sekelilingku.

“Aku sudah mengirim pesan padanya, tapi belum dijawab juga,” ucap Jeongyeon yang sedang membuka handphonenya.

“Hei! Hei! Hei!”

Aku bisa merasakan seseorang sedang memelukku dari belakang. Aku memalingkan wajahku dan kulihat Momo sedang memelukku sambil tersenyum. Kudengar nafasnya yang tidak beraturan tampak habis berlari.

“Kau dari mana saja? Tumben baru datang,” tanya Jeongyeon dengan nada heran.

“Dosen itu lagi-lagi menambah daftar masalahku,” jawab Momo dengan nada kesalnya.

“Tenanglah, Momo. Kau harus tenang,” ucapku menenangkan.

“Ah, dosen itu benar-benar merusak moodku,” ucap Momo dengan kesal.

“Sudah, lupakan dosen itu. Sekarang sebaiknya kalian membantuku dulu,” ucap Jeongyeon mengganti topik pembicaraan.

“Membantumu apa?” tanya Momo masih dengan nada kesalnya.

“Aku ingin membuatan kejutan untuk Sana,” ucap Jeongyeon dengan wajahnya yang berseri-seri.

“Bukannya ulang tahunnya sudah lewat?” tanya Momo dengan heran.

“Iya, aku tahu ulang tahunnya sudah lewat, tapi aku belum sempat memberikan dia kejutan. Jadi, aku mohon bantuan kalian,” ucap Jeongyeon lalu tersenyum dengan lebar.

“Hanya ulang tahun Sana saja yang kau pedulikan. Ulang tahunku selalu kau lupakan,” Momo mengucapkannya dengan kesal.

“Hei, meskipun begitu aku tak pernah lupa memberikanmu hadiahkan?” Jeongyeon berusaha membela diri.

“Iya, setelah Chaeyoung mengingatkanmu,” Momo tampaknya sangat kesal.

“Sudah, sudah. Kalian jangan bertengkar di sini,” ucapku berusaha melerai mereka.

“Kalau aku tidak ingin membantumu, bagaimna?” tanya Momo yang sedikit pun tidak melihat wajah Jeongyeon.

“Ayolah.. kau juga sahabatnya, kan?” Jeongyeon berusaha membujuk.

“Ya, sudah anggap kau lakukan ini untuk Sana, bukan untuk Jeongyeon,” ucapku berusaha menenangkan Momo.

“Iya, benar! Kau lakukan ini untuk Sana, bukan untukku,” ucap Jeongyeon.

“Terserah padamu saja,” Momo menjawab dengan singkat.

“Anggap saja itu sebagai iya,” bisikku pada Jeongyeon. Setelah itu, Jeongyeon memberi gestur OK.

—————————————————————
Matahari mulai terbenam dan udara semakin dingin. Dengan segelas kopi di tanganku, aku berjalan melewati beberapa pertokoan. Belum ada sesuatu yang menarik di mataku. Tas? Baju? Perhiasan? Aku rasa bukan sesuatu yang cocok untuk kuberikan pada Sana. Sudah hampir sejam aku mencari kado untuk Sana, tetapi aku belum juga mendapatkannya.

“Ouch!”

“Astaga, maafkan aku!” aku mulai panik karena menumpahkan kopiku pada mantel seseorang.

“Lihatlah ke depan saat kau berjalan. Jalan ini bukan milikmu sendiri.” orang itu menanggapiku dengan dingin.

“Berikanlah mantelmu padaku dan kau boleh memakai mantelku. Ini kuberikan nomor telponku juga. Aku akan mencuci mantelmu dan mengembalikannya besok,” aku melepaskan mantelku lalu menyerahkannya pada orang itu. Aku juga memberikan nomor telponku padanya.

“Tepati janjimu. Aku tidak suka menunggu lama,” ucapnya dengan dingin lalu memberikan mantelnya padaku. Setelah itu, dia pergi meninggalkanku.

Aku berjalan lagi dan mulai mencari tempat cuci pakaian terdekat. Setelah berjalan selama hampir 30 menit, akhirnya aku menemukan sebuah tempat cuci pakaian dan tepat di sebelah tempat itu, aku melihat sebuah toko yang menarik di mataku.

“Apakah ini perasaanku saja? Semuanya seperti telah diatur,” gumamku sambil tersenyum.

Aku memasuki tempat cuci pakaian itu lalu mencuci mantel yang kutumpahi kopi tadi. Sambil menunggu cucianku selesai, aku pun mengunjungi toko sebelah. Di situ aku melihat banyak aksesoris dan syal yang terpajang. Ada satu barang yang telah memikat hatiku sejak aku belum memasuki toko itu. Sebuah jepit rambut.

Flashback
Paman, aku ingin berjalan-jalan sebentar di pasar. Paman pulanglah tanpa aku,” ucapku pada ayah Mina.

“Baiklah. Pulanglah sebelum matahari terbenam, Chaeyoung,” ucap ayah Mina lalu pergi meninggalkanku.

Aku berkeliling pasar sambil melihat-lihat berbagai macam barang dagangan yang unik. Sebenarnya tujuanku hanya ingin berjalan-jalan saja dan tak ada tujuan membeli barang. Namun, tanpa disengaja aku melihat sebuah jepit rambut yang begitu indah dan akhirnya aku teringat akan Mina.

Kau tertarik dengan jepit rambut itu, anak muda?” tanya seorang wanita paru baya.

Jepit rambut ini sangat indah,” ucapku sambil tersenyum.

Apa kau ingin membelinya untuk adikmu?”

“Bukan, aku tidak punya adik.”

“Apakah untuk istrimu?”

“Bukan, aku belum punya istri.”

“Ah, aku tahu. Dia adalah calon istrimu, bukan?”

“Kuharap aku bisa segera menyebutnya seperti itu.”

“Bolehkah aku mengetahui namamu anak muda?”

“Namaku.. Kento.”

“Kudoakan kau bisa segera menikahinya.”

“Baiklah, aku membeli jepit rambut ini.”

Flashback End

—————————————————————
******
“Ah, akhirnya sampai juga di rumah!!” ucapku sesaat setelah memasuki apartemenku. “Hmm.. gelap sekali. Tumben Mina belum pulang.”

“Surpriseee!!!”

Lampu tiba-tiba menyala dan kulihat balon berada di mana-mana. Jeongyeon, Mina, Momo, dan Chaeyoung berada di hadapanku tanpa kusangka. Kulihat Mina memegang sebuah kue di tangannya dan Jeongyeon menyembunyikan sebuah buket di belakang badannya. Chaeyoung dan Momo tampak bersiap menembakkan konfeti ke arahku dan boof!! Mereka menembakkannya. Jujur, aku sungguh kaget dengan semua ini.

“Selamat ulang tahun, Sana,” ucap Jeongyeon lalu memberikanku sebuah buket. “Maaf kami baru bisa memberikanmu kejutan hari ini.”

Aku langsung menarik kerah baju Jeongyeon dan mencium bibirnya. Aku tersenyum padanya lalu berkata, “Setidaknya aku senang.”

“Aww, so sweet,” Mina mengomentari.

“Rasanya aku ingin muntah,” Momo pun ikut mengomentari.

“Dasar jomblo,” ucap Jeongyeon lalu mengeluarkan lidahnya tanda ia mengejek Momo.

“Sudah, sudah. Sebaik kau membuat harapan dan meniup lilin ini, Sana,” ucap Mina kepadaku.

Aku pun berdiri di depan kue itu lalu segera membuat harapan. ‘Semoga aku dan Jeongyeon selalu bersama’ itulah harapan yang kubuat. Setelah itu, aku meniup semua lilin yang berada di atas kue itu. Mereka lalu menyorakiku dan memberikan tepuk tangan.

“Selamat ulang tahun, Sana,” ucap Mina lalu tersenyum kepadaku.

“Terima kasih, Minari~”

“Selamat ulang tahuunnnn, Sanaaaa,” ucap Momo sambil memelukku.

“Terima kasih banyak, Momoring~~” aku memeluknya balik.

“Ehmm.. selamat ulang tahun, Sana. Ini ada hadiah kecil dariku,” Chaeyoung memberikanku sebuah kotak kecil dengan pita berada di atasnya.

“Terima kasih, Chaeyoung,” ucapku sambil menerima hadiah darinya. Aku pun membuka kotak yang diberikannya itu lalu kudapati sebuah jepit rambut yang begitu indah dan sebuah syal yang begitu lembut. “Woah, cantik sekali!”

“Kurasa kau cocok mengenakan itu, jadi.. aku membelikannya untukmu,” ucap Chaeyoung yang masih terlihat canggung denganku.

“Kau manis sekali, Chaeyoung,” tanpa kusadari aku mengatakan hal itu dan tersenyum.

—————————————

#HappySANAday ㅋㅋㅋ

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
momomoguring
Spin-off: A Poem Titled You
https://www.asianfanfics.com/story/view/1411438/a-poem-titled-you
Mungkin ini termasuk spoiler(?)

Comments

You must be logged in to comment
poplarbear #1
Chapter 30: AAAAAAAAA will you someday update this story? :'))
poplarbear #2
Chapter 12: Soo... Jeongyeon knows about Chae's past??
poplarbear #3
Chapter 10: Wew cerita bagus gini kok upvotesnya kurang yah :')
poplarbear #4
Chapter 2: AAAAAAA
babibu #5
Chapter 30: ah elah jeong udah deh move on aja ntu bukan jodoh elu, gw tabok kalo bikin onar lagi jeong
ini lagi emaknya kyungwan siapa sih? masih kepo nih
Kim6Ex
#6
Chapter 29: Aarrrrrr ga sabar update trozzz min,,,,,
SanaCheeseKimbap_
#7
Chapter 29: PEDANG PEDANGAN HAHAHAHAH
oncezara #8
Chapter 28: aaaaa :'))
Kim6Ex
#9
Chapter 28: Ahh.... Hemmm..... Ga bisa ngomong apa2
babibu #10
Chapter 27: sianjir jitzu angst banget sihh yalord swedih banget gw, ini lagi ceyong nembak aja lemotnya bukan maen malah asal nyosor doang! belum nembak loh, oh ya tuhkan gw sempet lupa kalo nama aslinya sana itu mina