Forgotten

Salty Salt

Pagi yang begitu cerah di hari Minggu membuatku ingin berjalan-jalan sembari menikmati udara yang begitu menyegarkan. Aku berjalan keluar dari bangunan apartementku dengan mengenakan kaos putih dan celana pendek yang terasa begitu nyaman. Dengan suasana hati yang begitu bagus, aku berniat untuk pergi ke minimarket lalu berjalan-jalan di sekitar tempat itu.

“Chaeyoung!”

Aku mendengar seseorang memanggilku dan itu membuatku menghentikan langkahku. Aku mencari siapa yang memanggilku dengan memerhatikan sekitarku. Kemudian, kudapati seseorang yang kuhindari selama seminggu ini.

“Sana?” aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ia kemudian berlari ke arahku sembari menenteng sebuah kantong plastik berisi kotak.

“Ke mana saja kau, Chaeyoung? Kenapa kau tidak datang ke toko kami?” gerutu Sana. Aku kemudian tersenyum canggung karena ia tidak tahu harus menjawab apa. “Kenapa juga kau tidak mengangkat telponku? Setidaknya, kau harus memberi kabar!”

“Ah, maaf, Sana. Akhir-akhir ini aku sibuk,” jawabku dengan sedikit canggung. Sejujurnya, kesibukanku bukanlah alasan utama aku tidak datang ke toko mereka.

“Ini kue untukmu! Aku sudah menunggmu selama seminggu, tapi kau tak datang juga,” lagi-lagi Sana menggerutu dan itu terasa lucu hingga membuatku tertawa.

“Kau tidak perlu repot-repot, Sana,” ucapku sambil mengacak-ngacak rambutnya.

“Kau mau ke mana? Pagi-pagi ini tampaknya kau sudah sibuk.”

“Aku mau ke minimarket. Ada beberapa barang yang ingin kubeli.”

“Kalau begitu, aku ikut denganmu!”

“Huh?!”

Sana tampak tidak memperdulikan wajah terkejutku dan langsung berjalan mendahuluiku. Aku kemudian mengikutinya dan berjalan di sampingnya. Aku mulai merasa canggung dan jantung mulai berdebar-debar.  Udara terasa semakin panas ataukah hanya perasaanku saja?

“Aku dengar dari Momo.. artikelmu diterima di jurnal internasional, bukan?” Sana memulai pembicaraan lagi denganku.

“Ah, iya, benar.. aku sudah mengejarkannya selama kurang lebih satu setengah tahun dan akhirnya sudah masuk tahap ‘proof reading’, “ jawabku dengan sedikit canggung.

“Kau benar-benar jenius, Chaeyoung. Kudengar itu bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk mahasiswa S1,” ucap Sana sembari memukul-mukul pundakku. Aku kemudian tersenyum canggung karena pujian yang diberikan oleh Sana.

“Eh, Sana..” aku memanggil namanya dengan ragu. Sana kemudian memalingkan wajahnya ke arahku dan memberikan tatapan kebingungan. Aku menelan ludahku sebagai persiapan sebelum aku mengucapkan beberapa kata. Hatiku masih sedikit ragu untuk berbicara.

“Ada apa?” akhirnya dia bertanya padaku karena aku telah membuatnya menunggu lama.

“Jeongyeon.. bagaimana kabarnya?” aku berhasil mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutku. Pertanyaan yang telah kutahan semenjak aku bertemu dengan Sana.

“Bukankah kau bertemu dengannya di kampus?” Sana menanyaiku balik.

“Akhir-akhir ini aku tidak sempat bertemu dengannya karena aku sibuk dan dia juga sibuk,” jawabku lalu memberikan senyuman terpahitku.

“Yah, dia baik-baik saja. Aku sempat bertengkar dengannya, tapi kami sudah baikan kok!” ucap Sana sambil tersenyum manis. Kemudian, pembicaraan kami berakhir di situ karena kami telah sampai ke tempat tujuan kami, minimarket.

Aku mulai mencari barang-barang keperluanku, sedangkan Sana tampak berjalan-jalan mengitari rak-rak tanpa tujuan yang jelas. Aku mengambil sikat gigi, pasta gigi, beberapa sabun, dan beberapa bungkus mie instan, lalu meletakkan semua itu ke dalam keranjang. Setelah mendapatkan semua yang kuperlukan, aku memanggil Sana dan mengantri bersamanya. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk aku dan Sana berada di depan kasir.

“Totalnya 7000 Won,” ucap penjaga kasir yang melayani kami. Aku kemudian mengeluarkan dompetku dan mencari uangku. Sementara aku mencari uangku, penjaga kasir itu berbisik kepada kami dan itu membuat kami sangat terkejut.

“Kondom?” bisik penjaga kasir itu.

“Huh?!” serentak aku dan Sana menjadi terkejut. Aku mulai salah tingkah dan menjadi panik.

“Kurasa kau salah paham. Kami ini hanya kakak-beradik. Dia oppaku!” ucap Sana lalu tiba-tiba menggandengku.

“Ah, maaf! Kalian terlihat serasi hingga kupikir kalian pacaran,” penjaga kasir itu terlihat canggung setelah mengetahui dia salah paham. Aku kemudian segera membayar belanjaanku dan meninggalkan minimarket. Setelah kejadian itu, aku menjadi sangat canggung dengan Sana.

“Terima kasih telah menemaniku dan untuk kue ini,” ucapku sesaat setelah sampai di depan bangunan apartemenku.

“Jangan lupa untuk datang ke toko setelah kesibukanmu sudah selesai ya!” ucap Sana sembari berjalan meninggalkanku. Melihatnya meninggalkanku membuat hatiku terasa perih. Semakin menjauh ia melangkah, semakin aku menyadari bahwa dia akan sulit untuk kuraih.

 

***

Setelah beberapa langkah aku berjalan meninggalkan Chaeyoung, aku dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba muncul di depanku. Jeongyeon berdiri tepat di depanku dengan raut wajah dan tatapan matanya yang tampak.. kesal?

“Jeongyeon?”

“Apa yang kau lakukan di sini, Sana?” seketika raut wajah berubah setelah mengajukan pertanyaan itu. Ia tersenyum kepadaku.

“Aku habis bertemu dengan Chaeyoung. Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.

“Menjemputmu,” jawabnya singkat lalu ia mendekatiku dan menggenggam tanganku. “Ayo kita pergi!”

 

—————————————————————

***

—Tom Cafe, 11.00 A.M.—

 

“Jadi, kita di sini hanya untuk melihati wanita itu?” tanya Nayeon sambil menopang dagunya. Namun, tak ada yang menjawab pertanyaannya itu. Ia serasa berbicara pada angin. “Nampaknya aku sudah gila karena berbicara pada angin.”

“Aku tidak menyuruhmu untuk menemaniku,” jawab Tzuyu dengan dingin.

“Kau harusnya bersyukur karena ada teman yang senasib denganmu,” ucap Nayeon yang mulai tampak kesal. Tzuyu kemudian terdiam lagi dan tidak menanggapi perkataan Nayeon. Nayeon akhirnya memilih untuk diam juga karena ia sudah lelah berbicara dengan Tzuyu yang bersikap seperti batu.

“Ehem!” sebuah suara memecahkan keheningan mereka berdua. “Maaf jika aku mengganggu kalian. Bolehkah aku bergabung?”

Nayeon tampak terkejut dengan kehadiran Jihyo di hadapan mereka, sedangkan Tzuyu tampak tidak memperdulikannya. Jihyo kemudian menarik satu kursi ke meja mereka lalu duduk di atasnya.

“Aku tahu kalian terus memerhatikanku. Bolehkah aku tahu alasannya?” tanya Jihyo dengan tatapan curiga.

“Eh.. kurasa kau salah paham. Kami tidak memerhatikanmu. Benar kan, Tzuyu?” Nayeon berusaha untuk menutupi kebenaran.

“Kami berdua memang sedang memerhatikanmu,” jawab Tzuyu dengan santai, tanpa perasaan khawatir.

‘Tzuyu bodoh, apa yang kau lakukan?’ ucap Nayeon kepada Tzuyu dari hati ke hati.

“Alasannya?” tanya Jihyo sembari menaikkan satu alisnya.

“Kau tidak perlu tahu,” jawab Tzuyu dengan dingin.

“Apa? Memangnya kenapa aku tidak boleh tahu?” tanya Jihyo yang tampak terkejut.

“Eh.. sebenarnya.. ini tugas kami para ‘Amor’ untuk menjaga orang-orang spesial sepertimu,” Nayeon berusaha untuk berbohong.

“Kami? Kau juga seorang ‘Amor’?” tanya Jihyo yang tampak terkejut mendengar pernyataan Nayeon.

“Oh, iya, tentu saja! Tidak mungkin aku bisa berteman dengan orang ini kalau aku bukan seorang ‘Amor’ juga,” jawab Nayeon sembari berusaha untuk tersenyum.

‘Tzuyu, kau harus bertanggung jawab!’ ucap Nayeon dalam hati.

“Kalau kau tidak senang dengan kehadiranku, aku akan pergi,” ucap Tzuyu lalu berdiri dan bersiap untuk pergi.

“Hei, duduklah. Aku tidak sedang mengusirmu. Aku hanya bertanya,” ucap Jihyo sambil menggenggam tangan Tzuyu untuk mencegahnya pergi.

‘Cie, digenggam,’ ucap Nayeon dalam hati sembari tersenyum dan menatap Tzuyu.

‘Diamlah,’ balas Tzuyu dalam hati. Tzuyu kemudian kembali duduk sesuai dengan perintah Jihyo.

“Aku tidak mengerti kenapa sifat kalian sangat berlainan. Kau terlihat lebih ramah. Boleh aku tahu namamu?” tanya Jihyo sembari melihat ke arah Nayeon.

“Oh, perkenalkan aku Nayeon. Kau tidak perlu takut denganku. Aku orang baik meskipun.. aku seorang ‘Amor’, “ Nayeon berusaha memperkenalkan dirinya dengan sebaik mungkin. Mendengar kalimat terakhir Nayeon membuat Jihyo teringat akan perkataan Tzuyu beberapa waktu yang lalu. ‘Membunuh.. apa itu sungguhan?’ tanya Jihyo di dalam hatinya.

“Kau tampaknya penasaran. Apa kau ingin mendengar ceritaku?” tanya Nayeon yang tampak mengerti isi kepala Jihyo.

“A-apakah tidak apa-apa? Maksudku.. itu privasimu, bukan?” Jihyo merasa tidak enak, tetapi dia juga penasaran.

“Tidak apa-apa. Aku tidak masalah untuk menceritakannya padamu,” jawab Nayeon sambil tersenyum.

‘Apa kau sungguh akan menceritakannya?’ tanya Tzuyu dari hati ke hati.

Nayeon kemudian mengangguk sembari tersenyum kepada Tzuyu. Ia tampak begitu santai, tanpa merasa terbebani. Ia lalu menepuk tangan sekali dan berkata, “Agar tidak ada yang mengganggu, aku menghentikan waktu sejenak.”

(Ini hanya cerita selingan. Kalian bisa skip kalau mau)

—Flashback—

*Zaman Dinasti Joseon*

 

Kehidupan masyarakat pada saat itu masih melekat dengan stratifikasi sosial. Terdapat beberapa golongan dalam masyarakat yang dibedakan berdasarkan ukuran kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Oleh karena itu pada umumnya, terdapat kaum golongan atas dan kaum golongan bawah. Ini adalah kisah tentang seorang Gisaeng dari kaum ‘Cheonmin’, yang dikenal sebagai kaum kelas terbawah.

 

*Rumah Seorang Pejabat Kerajaan*

 

Iringan musik terdengar begitu jelas memeriahkan sebuah pesta yang diadakan oleh salah satu pejabat kerajaan. Para kaum kerabat dan keluarga laki-laki tampak mabuk-mabukan sembari menikmati tarian yang dipersembahkan oleh para Gisaeng. Setiap tamu ditemani dan dilayani oleh seorang Gisaeng yang rupawan. Hanya pejabat kerajaan itu yang memiliki dua orang Gisaeng untuk menemani dan melayaninya.

“Bolehkah kau menambah minumanku?” tanya seorang pria tua kepada seorang Gisaeng yang berada di sampingnya.

“Tentu saja, Tuan,” jawab Gisaeng itu lalu menuangkan arak ke dalam gelas pria itu.

Semuanya tampak bersenang-senang menikmati pendampingan para Gisaeng yang berupa cantik dan manis. Sesekali para tamu dan pejabat kerajaan itu bersikap genit terhadap para Gisaeng.

“Maafkan atas keterlambatan saya,” ucap seorang pria muda sembari membungkuk sebagai tanda penghormatannya.

“Oh, Yeongmin! Kemarilah dan duduk bersama kami,” ucap pejabat kerajaan itu sembari melambai-lambaikan tangannya. Kemudian, pria muda bernama Yeongmin itu duduk di antara para tamu dan berbaur dengan mereka.

“Hei, kau! Duduklah dengannya dan layani dia!” pinta pejabat kerajaan itu kepada salah satu Gisaeng yang sedaritadi menemaninya.

“Baiklah, Tuan,” ucap Gisaeng itu lalu berdiri dan duduk di samping Yeongmin.

“Kau sangat cantik. Apakah aku boleh mengetahui namamu?” bisik Yeongmin sesaat Gisaeng itu duduk di sampingnya.

“Minyeong, Tuan,” jawab Gisaeng itu dengan sedikit malu.

“Wah, nama yang cantik!” ucap Yeongmin sembari tersenyum. “Bolehkah kau menuangkan minumanku?”

“Baiklah, Tuan,” jawab Minyeong lalu menuangkan segelas arak untuk Yeongmin.

Pesta terus berlanjut hingga tengah malam pun tiba. Mereka semua telah mabuk berat. Namun, mereka tetap bersikeras bahwa mereka tidak mabuk dan masih kuat. Mereka kini beradu minum arak.

“Berikan aku arak!” pinta seorang pria tua.

“Baik, Tuan,” ucap Gisaeng pendampingnya lalu menuangkan arak.

“Kau pikir hanya kau yang masih kuat? Berikan aku juga arak!” pinta seorang pria tua yang lain kepada Gisaeng pendampingnya.

“Mereka benar-benar gila,” bisik Yeongmin kepada Minyeong. Namun, Minyeong tidak merespon perkataan Yeongmin. Ini membuat Yeongmin keheranan dan menatapinya dalam waktu yang cukup lama. Ia kemudian menyadari bahwa Minyeong sedang berada dalam keadaan tidak nyaman.

“Ada apa?” tanya Yeongmin. Minyeong kemudian hanya menggelengkan kepalanya dan menunjukkan rasa takut. Yeongmin lalu menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

“Hei, jangan remehkan aku sebagai yang paling muda di sini! Berikan aku arak!” pinta Yeongmin kepada Minyeong. Sembari tersenyum, Minyeong kemudian menuangkan segelas arak untuk Yeongmin. Minyeong seolah-olah berterima kasih dengan senyumannya yang manis.

“Kau seharusnya memberitahuku bahwa pria genit itu menyentuh tanganmu,” bisik Yeongmin. Minyeong kemudian tersenyum lebar sembari mengucapkan terima kasih.

Setelah pesta itu berakhir, para tamu mulai beranjak pulang dan para Gisaeng berusaha membereskan kekacauan setelah pesta. Saat itulah, pria genit, yang menyentuh Minyeong tadi, datang menghampiri Minyeong.

“Hei, kau sangat cantik,” ucap pria genit itu sambil berusaha menyentuh Minyeong. Tak ada yang bisa dilakukan Minyeong selain berpasrah dan menerimanya. “Besok bermainlah denganku,” bisik pria genit itu lalu pergi meninggalkan Minyeong.

“Ada apa denganmu? Mengapa wajahmu seperti itu?” tanya Yeongmin sesaat setelah menghampiri Minyeong.

“Tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih karena Tuan telah membantu saya tadi,” jawab Minyeong lalu membungkuk.

“Senang bisa membantumu,” ucap Yeongmin sembari tersenyum manis di hadapan Minyeong.

 

*Keesokan harinya, Kediaman para Gisaeng*

 

“Malam ini kau akan melayani seorang pejabat kerajaan di kediamannya. Aku harap tidak mengecewakanku,” ucap seorang wanita paruh baya dengan dingin dan tanpa ekspresi.

Minyeong hanya terdiam dan termangu mendengar perkataan wanita itu kepadanya. Jantungnya mulai berdebar-debar karena merasa tak siap. Otaknya pun mulai memutar kembali kejadian semalam yang membuatnya sempat merinding dan ketakutan. Ia tahu pasti siapa yang memanggilnya malam ini.

“Aku tidak ingin kau menunjukkan ekspresi seperti ini di depan seorang pejabat kerajaan dan aku tidak ingin mendengar alasan apapun darimu,” ucap wanita itu lalu meninggalkan  Minyeong sendirian.

Minyeong kemudian terduduk di atas lantai sembari berusaha menahan air matanya yang mulai berjatuhan. Sejujurnya, ia tidak suka dengan kehidupannya sebagai seorang Gisaeng. Ia selalu berharap akan keajaiban yang dapat mengubah takdir hidupnya.

“Aku ingin bertemu dengan seorang wanita bernama Minyeong,” terdengar suara pria dari luar ruangan tempat Minyeong berada.

“Apa urusanmu dengannya?” ucap wanita paruh baya yang tadi berbicara dengan Minyeong.

“Aku ingin bertemu dengannya. Apakah ada yang salah?” ucap pria itu dengan ketus.

Kemudian datanglah seorang wanita muda menghampiri wanita paruh baya itu dan berbisik kepadanya. Perasaan terkejut tidak dapat disembunyikan wanita paruh baya itu setelah mendengar bisikan di telinganya. Namun, ia langsung mengubah kembali raut wajah menjadi dingin.

“Dia ada di dalam ruangan itu,” ucap wanita itu lalu pergi meninggalkan pria itu.

Pria itu mulai tersenyum dengan lebar dan bergegas menuju ruangan yang ditunjuk oleh wanita tadi. Denga hati yang berdebar-debar, ia perlahan-lahan menggeser pintu ruangan itu dan mendapati wanita yang dicarinya sedang terduduk di atas lantai.

“Minyeong?” panggilnya dengan ragu-ragu. Minyeob kemudian langsung berdiri dan mengusap air matanya. Ia berusaha untuk tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Ah, Tuan. Ada apa mencariku?” tanya Minyeong sembari berusaha tersenyum manis.

“Kau baik-baik saja? Aku bisa melihat bekas air mata di pipimu,” tanya Yeongmin yang khawatir melihat keadaan Minyeong.

“Air mata? Tidak ada air mata di pipiku,” jawab Minyeong sembari mengusap-ngusap pipinya.

“Apa wanita ketus tadi melakukan sesuatu terhadapmu?”

“Ah, tidak-tidak! Aku baik-baik saja, Tuan.”

“Baiklah,” ucap Yeongmin sembari mengangguk-angguk. Sejujurnya, ia tahu bahwa Minyeong baru saja menangis. “Bisakah kau ikut aku sebentar?”

“Ke mana, Tuan?”

“Melihat pepohonon di musim semi.”

Yeongmin kemudian membawa Minyeong berjalan-berjalan mengelilingi kediaman para Gisaeng itu sembari memandangi dedaunan yang berwarna merah jambu. Minyeong yang awalnya tampak murung, kini mulai tersenyum dan tertawa mendengar gurauan dari Yeongmin. Siapapun yang melihat mereka berdua akan langsung tahu bahwa benih-benih cinta sedang tumbuh di antara mereka berdua.

 

*Kediaman Seorang Pejabat Kerajaan*

 

Terdengar tawaan yang begitu keras yang memenuhi ruangan itu. Tawaan itu berasal dari pria genit yang tengah mabuk karena arak yang diminumnya. Minyeong yang melayani pria itu sebenarnya risih dengan sikap pria itu. Ia serasa ingin lari, tetapi apa daya ia tidak berani untuk melakukannya.

“Kau benar-benar sangat cantik,” bisik pria genit itu di telinga Minyeong. “Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku lagi.”

Pria itu mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Minyeong. Tangannya mulai menggapai bagian-bagian sensitif dari tubuh Minyeong. Di dalam hatinya, Minyeong berteriak dengan keras meminta pertolongan. Namun, apalah daya dia tidak bisa berbuat apapun. Malam itu dihabiskannya dengan penuh kepedihan dan rasa sakit.

 

—— Flashback End——

 

“Ah, maafkan aku,” ucap Nayeon yang tak dapat lagi membendung air matanya. “Ah, kenapa aku menangis?”

“Apa kau baik-baik saja? Kau tak perlu melanjutkannya lagi,” ucap Jihyo yang tampak khawatir.

“Tenang saja. Aku hanya sedikit terbawa emosi. Aku akan melanjutkannya lagi,” jawab Naeyeon sembari tersenyum.

‘Aku tak sekuat dirimu, Nayeon. Aku bahkan tak sanggup mengingat kisahku,’ ucap Tzuyu di dalam hatinya sambil menatap mata Nayeon. Nayeon hanya membalas ucapan itu dengan senyuman pahit yang hanya dimengerti oleh Tzuyu.

 

——Flashback——

Hari demi hari telah berlalu. Semenjak hari itu, telah terjadi perubahan besar dalam hidup Minyeong. Kini hidupnya bagaikan roller coaster di zaman modern. Di saat pagi datang, hatinya berbunga-bunga bagaikan musim semi. Namun, di saat malam tiba, bunga-bunga yang tadi bersemi dalam hatinya, berguguran layaknya musim gugur. Hal itu terus terjadi hampir setiap hari dan telah menjadi sebuah siklus.

“Eh, Tuan,” panggil Minyeong sembari membungkuk.

“Sudah berapa kali aku katakan jangan panggil aku Tuan. Panggil saja aku Yeongmin,” ucap Yeongmin sembari tersenyum.

“Baiklah.. Yeongmin,” ucap Minyeong yang tersipu malu.

“Oh, ya! Besok ayahku akan mengadakan sebuah pesta. Ayahku akan memanggil para Gisaeng di sini untuk menghibur di pesta tersebut,” ucap Yeongmin yang tampak bersemangat.

“Sungguh?” tanya Minyeong memastikan. Ia mulai tampak bersemangat karena ia tahu bahwa itu pertanda yang baik. Pertanda bahwa besok malam ia tidak perlu melayani pria genit itu.

“Iya! Dan aku ingin kau ada untuk menemaniku,” perkataan Yeongmin itu membuat Minyeong merasa begitu senang dan tidak sabar menanti hari esok.

 

*Esok Malam*

 

Para Gisaeng telah berkumpul di kediaman ayah Yeongmin untuk bersiap-siap menghibur dan melayani para tamu. Minyeong yang saat itu tengah merapikan pakaiannya kemudian menyadari ada yang sesuatu yang kurang pada dirinya.

“Ah, ke mana aksesorisku?” tanya Minyeong sembari meraba-raba rambutnya. Ia mulai panik dan mencari aksesoris rambutnya yang terjatuh. Ia mulai berjalan mengelilingi tempat yang tadi dilewatinya. Sampai akhirnya.. ia mendengar sesuatu yang seharusnya tidak didengarnya.

“Ingat botol ini untuk Tuan Muda. Jangan sampai salah! Karena ini telah kuberi racun,” terdengar suara samar-samar dari suatu ruangan.

Minyeong yang mendengar itu menjadi terkejut dan terdiam. Ia menyadari bahwa Tuan Muda yang dimaksud adalah Yeongmin. Ia mulai menjadi panik dan berkeringat dingin. Kegelisahan pun meliputinya. Ia tahu ia harus berbuat sesuatu, tetapi tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

“Minyeong!” panggil seorang rekan Minyeong. “Kau masih belum mendapatkan aksesorismu? Pinjam punyaku saja! Kita tidak ada waktu lagi untuk mencarinya.”

Dengan perasaan tidak enak, Minyeong akhirnya menuruti kata rekannya itu lalu pergi ke tempat pertemuan berlangsung. Kemudian, pesta dibuka dengan tarian yang dipersembahkan oleh para Gisaeng. Hal itu disambut meriah oleh para tamu yang merasa terhibur. Setelah beberapa saat, hidangan makanan dan minuman akhirnya disajikan untuk menjamu para tamu. Di situlah Minyeong melihat sebotol arak yang disajikan untuk Yeongmin. Ia mulai merasa gelisah akan hal itu.

“Tolong tuangkan minuman itu ke gelasku,” Minyeong mendengar pria di sebelahnya meminta tolong pada rekannya. Ia pun melihat para Gisaeng yang lain mulai menuangkan minuman ke gelas para tamu. Ia kemudian menjadi semakin panik. Lalu, dilihatnyalah wajah Yeongmin yang tampak begitu bahagia pada malam itu. Ia tahu ia tidak mungkin memberikan minuman itu pada Yeongmin.

“Ada apa, Minyeong?” Yeongmin menyadari kegelisahan di wajah Minyeong.

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Minyeong sembari tersenyum. Ia kemudian kembali melihat ke sekitarnya, memerhatikan para Gisaeng yang sedang melayani para tamu. Ia bisa menyadari betapa banyak senyuman palsu yang diberikan oleh para Gisaeng kepada para tamu. Saat itu juga, ia menyadari realita kehidupannya. Ia teringat akan kepedihan yang harus dilewatinya tiap malam bersama seorang pria hidung belang.

“Apa kau sedang sakit?” pertanyaan Yeongmin menyadarkan Minyeong dari lamunannya. Yeongmin kemudian menggenggam tangan Minyeong dengan erat. “Kau baik-baik saja?”

Melihat sikap lembut Yeongmin membuat Minyeong tersadar bahwa masih ada pria baik seperti Yeongmin. Namun, ia tahu bahwa ia hanyalah seorang Gisaeng yang tidak berarti apa-apa bagi seorang Yangban (kelas atas), seperti Yeongmin. Minyeong kemudian memerhatikan botol minuman yang diperuntukkan Yeongmin. Cukup lama ia menatapi botol itu hingga membuat Yeongmin terheran-heran melihatnya. Setelah sekian lama merenung, Minyeong akhirnya mendapatkan jawab atas segala keraguan dalam benaknya. Ia menutup matanya sejenak lalu menarik nafas dalam-dalam.

“Yeongmin.. hiduplah dengan bahagia..” ucapnya dengan suara pelan sembari menatap Yeongmin dengan lembut. Tanpa menunda-nunda lagi, ia langsung mengambil botol itu dan meminum seluruh isinya. Perbuatannya itu membuat syok seluruh tamu dan para gisaeng yang lain. Setelah itu, ia berlari meninggalkan tempat itu tanpa memandang ke belakang. Yeongmin yang terkejut langsung mengejar Minyeong tanpa memperdulikan para tamu yang lain.

“Ada apa denganmu?” teriak Yeongmin masih sambil mengejar Minyeong. Namun, Minyeong sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu dan terus berlari. Yeongmin kemudian mempercepat langkahnya dan akhirnya dapat menggapai Minyeong.

“Minyeong, kau sangat pucat!” Yeongmin tampak terkejut melihat keadaan Minyeong. 

“Tolong.. lepaskan aku..” ucap Minyeong yang tampak lemas. Ia kemudian terjatuh di atas tanah dan hal itu membuat Yeongmin semakin panik.

“Ada apa? Ada apa denganmu? Siapa yang meracunimu?” tanya Yeongmin sambil memegang tubuh Minyeong. “Apa jangan-jangan minuman tadi beracun?”

Minyeong tidak menjawab pertanyaannya Yeongmin. Ia hanya terdiam dan mengepalkan tangannya dengan erat. Ia kemudian tertunduk dan menangis.

“Aku.. tidak sanggup lagi..” ucapnya sambil terisak-isak.

“Aku akan membawamu untuk bertemu tabib ayahku!” Yeongmin tampak bergegas untuk menggendong Minyeong, tetapi Minyeong menahan Yeongmin. “Aku.. tidak sanggup lagi, Yeongmin..”

“Bertahanlah! Aku akan segera membawamu pada tabib ayahku!” Yeongmin tampak semakin panik hingga ia pun meneteskan air mata.

“Yeongmin..” Minyeon tampak semakin sulit untuk berbicara. Namun, ia mengumpulkan semua tenaga terakhirnya untuk mengucapkan satu kata terakhir.

“Saranghae..” Minyeong menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Yeongmin.

 

—— Flashback End —-

 

“Jadi.. itu adalah kisahku,” ucap Naeyeon sambil berusaha tersenyum. “Menurutmu, apakah aku jahat?”

Jihyo terdiam sejenak sembari mengingat kembali apa yang diceritakan Nayeon kepadanya. Ia sendiri merasa ragu apakah yang ada dalam pikirannya ini benar atau tidak. Namun, akhirnya ia berani untuk menanyakan kebenarannya pada Nayeon.

“Kau adalah Minyeong?” tanya Jihyo dengan tatapan yang sedih. Kemudian, Nayeon mengangguk pelan sembari tersenyum dengan pahit.

“Aku tidak menduga kau akan menyadarinya dengan cepat. Kupikir kau akan mengira bahwa aku adalah si pemberi racun,” ucap Nayeon lalu tertawa kecil. Ia masih berusaha tegar walaupun sebenarnya ia sangat rapuh. 

“Itulah sebabnya aku menjadi Amor. Karna aku.. membunuh diriku sendiri,” senyuman pahit terlihat jelas di wajah Nayeon. 

“Apakah kau tidak bertanya-tanya kenapa kau memiliki kemampuan itu, Jihyo? Jelas ada suatu alasan di baliknya,” ucap Nayeon sembari menatap Jihyo yang tidak mengerti apa-apa.

 

———

akhirnya setelah sekian lama bisa update juga :’)

maaf baru sempet update skrg dan maaf jg klu di chapter kali ini agak sedikit membosankan :(

mungkin aku baru bisa update lg bulan depan, tp akan diusahakan secepatnya :)

terima kasih buat yg udah baca sampe sejauh ini!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
momomoguring
Spin-off: A Poem Titled You
https://www.asianfanfics.com/story/view/1411438/a-poem-titled-you
Mungkin ini termasuk spoiler(?)

Comments

You must be logged in to comment
poplarbear #1
Chapter 30: AAAAAAAAA will you someday update this story? :'))
poplarbear #2
Chapter 12: Soo... Jeongyeon knows about Chae's past??
poplarbear #3
Chapter 10: Wew cerita bagus gini kok upvotesnya kurang yah :')
poplarbear #4
Chapter 2: AAAAAAA
babibu #5
Chapter 30: ah elah jeong udah deh move on aja ntu bukan jodoh elu, gw tabok kalo bikin onar lagi jeong
ini lagi emaknya kyungwan siapa sih? masih kepo nih
Kim6Ex
#6
Chapter 29: Aarrrrrr ga sabar update trozzz min,,,,,
SanaCheeseKimbap_
#7
Chapter 29: PEDANG PEDANGAN HAHAHAHAH
oncezara #8
Chapter 28: aaaaa :'))
Kim6Ex
#9
Chapter 28: Ahh.... Hemmm..... Ga bisa ngomong apa2
babibu #10
Chapter 27: sianjir jitzu angst banget sihh yalord swedih banget gw, ini lagi ceyong nembak aja lemotnya bukan maen malah asal nyosor doang! belum nembak loh, oh ya tuhkan gw sempet lupa kalo nama aslinya sana itu mina