The Invitation

Salty Salt

“Nayeon, Mina!” panggil Lisa saat melihat kedua temannya datang mengunjunginya. “Apa kau baru saja tiba, Mina?” tanya Lisa.

“Iya, aku baru tiba tadi. Nayeon tiba-tiba saja mengajakku ke sini untuk menemuimu. Apakah kami tidak mengganggumu?” balas Mina.

“Oh, tentu saja tidak! Anak-anak sedang bermain sekarang jadi aku sedikit santai,” jawab Lisa sembari memandangi anak-anak yang berlari ke sana ke mari.

“Apa aku boleh bermain bersama mereka?” tanya Nayeon dengan antusias. Nayeon memang sejak dulu sangat menyukai anak-anak. Salah satu alasan ia mengajak Mina ke tempat ini adalah untuk bertemu anak-anak kecil.

“Iya, bermainlah dengan mereka. Mereka pasti akan senang,” jawab Lisa. Setelah mendengar jawaban itu, Nayeon langsung pergi bermain dengan anak-anak murid Lisa. Tampaknya Nayeon dapat berbaur dengan anak-anak itu dengan cepat.

“Dia terlihat seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa,” komentar Mina sembari menggelengkan kepalanya.

“Kau tidak ingin bermain bersama mereka juga? Bermainlah bersama mereka!” pinta Lisa lalu mendorong Mina untuk menemui anak-anak itu.

Akhirnya, Mina menaati perkataan Lisa. Ia mulai bermain dengan anak-anak yang berada di situ. Seperti Nayeon, Mina juga berubah layaknya anak kecil. Ia berlari ke sana ke mari mengejar anak-anak itu. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Mina kemudian menghentikan langkahnya saat melihat seorang anak kecil tidak ikut bermain bersama mereka. Anak kecil itu terlihat sedang sibuk menggambar di atas mejanya. Mina lalu berjalan mendekati anak itu dan duduk di sampingnya.

“Sedang menggambar apa?” tanya Mina sembari melihati anak itu menggambar.

“Eomma,” jawab anak itu.

“Eomma? Kelihatannya kau sangat menyayangi eommamu,” balas Mina sembari tersenyum. “Apa aku boleh tahu namamu?” tanya Mina.

“Namaku Kyungwan!” jawab Kyungwan dengan antusias. “Boleh aku tahu nama nuna juga?” Kyungwan balas bertanya.

‘Anak ini sangat ramah,’ pikir Mina.

“Namaku Mina! Senang bertemu denganmu, Kyungwan,” ujar Mina lalu mengelus kepala Kyungwan sembari tersenyum.

“Anak-anak, ayo kembali ke kursi kalian! Ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kalian!” seru Lisa dengan seceria mungkin. Para murid Lisa langsung menuruti perkataannya itu. Mereka duduk dengan manis sembari menunggu pesan yang akan disampaikan oleh Lisa. “Dua minggu lagi kita akan melakukan pentas seni! Jadi, aku ingin kalian memberikan undangan ini pada orang tua kalian!” ujar Lisa sambil menunjukkan setumpuk undangan yang berada di sampingnya.

Lisa kemudian membagikan undangan-undang itu kepada para muridnya dengan bantuan dari Nayeon dan Mina. Setelah membagikan undangan tersebut, Lisa mulai membahas soal pentas seni yang akan mereka laksanakan.

“Kurasa saatnya kita pulang,” bisik Nayeon kepada Mina.

“Baiklah. Kita pamit dulu,” Mina balik berbisik.

“Lisa, kami pulang dulu ya,” Nayeon langsung menyeletuk.

“Oh, ya! Hati-hati di jalan!” balas Lisa lalu melanjutkan pembahasannya lagi.

Setelah dari tempat itu, Nayeon membawa Mina ke rumahnya. Mina sudah tak punya tempat tinggal lagi di negeri Ginseng itu. Maka, rumah Nayeonlah yang menjadi tempat Mina menginap selama ia di Korea.

 

—————————————————————

***

Perkataan Dahyun semalam terus menghantuiku. Aku menyadari bahwa aku kurang menghabiskan waktuku bersama Kyungwan. Maka, hari ini aku memutuskan untuk menjemputnya. Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, aku langsung bergegas meninggalkan kantorku dan pergi ke sekolah Kyungwan.

Saat sampai di sekolah Kyungwan, aku mendapati tempat itu telah sepi. Tidak ada lagi anak-anak yang berada di tempat itu. Aku kemudian menyapa guru Kyungwan yang tampaknya sedang menunggu seseorang di depan sekolah.

“Oh, Tuan Yoo! Kukira Pak Kim yang akan menjemput Kyungwan,” sapa guru Kyungwan.

“Aku ingin memberikan kejutan pada Kyungwan. Dia ada di mana?” balasku.

Guru Kyungwan kemudian membawaku menemui Kyungwan. Saat aku menemuinya, dia ternyata sedang asik menggambar. Dia bahkan tidak menyadari kehadiranku.

“Kyungwan,” panggilku. Kyungwan langsung menghentikan kegiatannya dan memalingkan wajahnya ke arahku. Saat ia melihatku, mata dan mulutnya terbuka dengan lebar.

“Jeongyeon!!” serunya lalu berlari ke arahku. Aku kemudian memeluknya dan menggendongnya.

“Ayo kita pulang!” ujarku lalu mengambil barang-barangnya yang ia letakkan di atas meja dan lantai.

Aku kemudian pamit kepada guru Kyungwan dan membawa Kyungwan keluar dari tempat itu. Aku menggendong Kyungwan hingga kami sampai ke mobilku. Setelah itu, aku mengemudikan mobilku untuk mengantar Kyungwan pulang.

.

.

.

 

“Jeongyeon,” panggil Kyungwan.

“Ada apa, Kyungwan?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari jalanan.

“Ayo kita singgah ke tempat itu!” seru Kyungwan sambil menunjuk-nunjuk sebuah kafe.

“Huh? Kau ingin ke kafe itu?” tanyaku dengan bingung. Kyungwan lalu mengangguk sembari tersenyum. “Hmm, baiklah,” jawabku.

Aku lalu memarkirkan mobilku di depan kafe itu. Kyungwan tampak begitu bersemangat hingga ia keluar dari mobil lebih dulu dariku. Ia berlari memasuki kafe itu dengan membawa tas ranselnya. Tampaknya Kyungwan sangat familiar dengan kafe ini. Mungkin dia sering ke sini bersama Pak Kim?

Tidak lama setelah Kyungwan memasuki kafe itu, aku juga memasuki kafe itu. Saat aku memasuki kafe itu, aku mendengar suara Kyungwan bergema di kafe itu.

”Teman Jeongyeon, aku mau segelas cokelat!” suara Kyungwan terdengar sampai di telingaku.

“Oh, Kyungwan! Baiklah, segelas cokelat untukmu!” suara itu.. suara itu langsung membuat jantungku berdebar-debar. Tentu saja aku mengenali suara itu. Suara yang sudah lama tidak kudengar. Suara yang sangat kurindukan.

“Jeongyeon! Apa yang kau lakukan di situ? Kemarilah!” pinta Kyungwan. Hal itu langsung membuat Sana menyadari kehadiranku. Dia tampak sangat terkejut melihatku. Aku tahu pertemuan ini bukan sesuatu yang diduganya.

Aku berjalan dengan gugup mendekati mejakonter yang berada di depanku.. Kyungwan tidak menyadari bahwa setelah ia memanggilku suasana langsung berubah menjadi begitu canggung. Mulutku serasa terkunci hingga tidak ada satu kata pun yang keluar.

“Apa kau mau minum cokelat juga?” tanya Kyungwan dengan polosnya.

“Eh.. y-ya, satu cokelat lagi untukku,” jawabku dengan terbata-bata.

Sana tidak berkomentar apa-apa setelah mendengar perkataanku. Yang ia lakukan hanyalah menambah pesananku pada sebuah kertas.

“Kalian duduklah. Aku akan mengantarkan minuman kalian,” ujar Sana dengan datar.

Tanpa membalas perkataannya, aku langsung menarik Kyungwan menuju meja terdekat. Aku menyuruhnya duduk dengan tenang sambil menunggu pesanan kami datang.

“Jeongyeon, itu temanmu, kan?” tanya Kyungwan setelah beberapa saat kami duduk. Aku hanya mengangguk dan tersenyum palsu. “Apa kau cemburu karna aku mengenal temanmu?” tanyanya lagi.

“Sebenarnya, bagaimana kau bisa mengenalnya, Kyungwan?” aku balik bertanya.

“Aku mengenalnya karna bertemu di sini?” jawabnya dengan sedikit ragu.

“Apa Paman Kim sering membawamu ke sini?” aku bertanya lagi. Rasanya sudah terlalu banyak hal yang kulewatkan mengenai anakku sendiri.

“Paman Kim membawaku beberapa kali ke sini karna minumannya sangat enak!” jawabnya sembari tersenyum. Betapa polosnya anak ini..

“Ehem..” aku mendengar suara dehaman. Aku lalu memalingkan wajahku ke asal suara itu dan mendapati Sana sedang memegang sebuah nampan. Di atas nampan itu terdapat dua gelas minuman cokelat yang merupakan pesanan kami.

“Ini minuman kalian,” ujarnya dengan sedikit ketus. Ia lalu meletakkan kedua minuman kami di hadapan kami.

“Terima kasih!” ucap Kyungwan sambil tersenyum dengan lebar.

“Sama-sama,” balas Sana lalu mencubit pipi Kyungwan. Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika berhadapan dengan Kyungwan. Dia tampak begitu ramah dan manis..

“Oh, ya! Aku ada sesuatu untukmu!” ujar Kyungwan lalu merogoh tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah benda yang tampak seperti undangan. “Ini untukmu!” seru Kyungwan sembari menyerahkan benda itu.

“Undangan? Undangan apa ini?” tanya Sana sambil menerima undangan itu. Ia kemudian membaca isi undangan itu dengan seksama.

“Datanglah ke pentas seni kami!” pinta Kyungwan dengan begitu bersemangat.

“Ehm, tapi.. undangan ini ditujukan kepada orang tua. Kenapa kau tidak memberikan undangan ini pada ayahmu?” tanya Sana lalu melirikku sepintas.

“Jeongyeon pasti tidak akan bisa datang. Jadi, aku ingin nuna yang datang!” jawab Kyungwan. “Maukan??” lanjutnya.

Setelah mendengar jawaban itu, Sana langsung menatapku seolah-olah menyalahkanku. Tatapannya seperti mengatakan bahwa aku bukan seorang ayah yang baik. Ya.. aku tidak membantah hal itu. Aku memang bukan seorang ayah yang baik.

“Kau sungguh tidak bisa datang?” tanyanya kepadaku sambil menyerahkan undangan itu. Aku lalu mengambil undangan itu dan membacanya. Sejenak aku terdiam setelah melihat kapan acara pentas seni itu akan diadakan.

“Kau pasti tidak bisa.. kan?” tanya Kyungwan dengan wajah cemberut. Ini membuatku semakin tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tega mengatakan bahwa aku ada pertemuan penting di hari itu dan tidak bisa membatalkannya.

“Maaf Kyungwan.. nampaknya kami tidak bisa menghadiri pentas seni kalian. Aku bukan orang tuamu jadi tidak bisa dan nampaknya..” Sana melirikku dengan sinis. “Ayahmu juga tidak bisa,” lanjutnya.

Setelah pembicaraan itu, Sana meninggalkan kami berdua dalam keadaan hening. Kyungwan nampak begitu sedih setelah mengetahui tidak ada yang dapat menghadiri pentas seni mereka. Aku juga tak dapat menghiburnya. Sejak ia lahir, aku memang tidak pernah menjadi ayah yang baik.

Setelah menyelesaikan minuman kami, aku membayar tagihan pesanan kami dan membawa Kyungwan pergi meninggalkan tempat itu. Tak ada ucapan yang keluar dari mulutnya. Hanya wajah cemberut yang ia pasang sedaritadi.

 

—————————————————————

***

Sementara tangan kiriku memegang sebuah laptop, tangan kananku perlahan-lahan membuka pintu kafe Jihyo. Bel yang berada di atas pintu itu kemudian berbunyi dan mengalihkan perhatian semua orang ke arahku. Namun, aku tidak memperdulikan hal itu. Yang kupedulikan adalah meja konter yang berada tak jauh dariku.

Sesampainya di depan meja konter itu, aku mendapati wajah Sana dan Jihyo begitu tegang saat melihatku. Mereka seolah-olah melihat hantu di depan mereka. Ada apa dengan mereka?

“Kenapa kalian melihatiku seperti itu?” tanyaku dengan terheran-heran.

“Apa kau tidak berte...” kalimat Jihyo tidak dapat terselesaikan karena tangan Sana langsung menutup mulut Jihyo.

“Kau mau pesan apa?” Sana langsung mengambil alih situasi ini.

Entah apa yang membuat mereka bersikap seperti itu. Namun, aku sudah tidak memperdulikannya lagi. Yang kuinginkan adalah segera memesan pesananku dan duduk di salah kursi yang masih tersedia.

“Duduklah. Akan kuantarkan~” ujar Sana setelah aku mengatakan pesananku.

Aku lalu duduk di salah satu kursi yang tersedia dan meletakkan laptopku di atas meja. Aku membuka laptopku dan menyalakannya. Setelah itu, aku mulai mengerjakan pekerjaanku yang telah tertunda cukup lama.

Tidak sampai sepuluh menit aku bekerja, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari mejaku. Aku lalu memalingkan wajahku dan mendapati Sana sedang membawa pesananku. Ia kemudian meletakkan pesananku itu di atas meja dan duduk di kursi yang berada di depanku.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya sambil menopang dagunya.

“Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku. Aku sudah menundanya terlalu lama,” jawabku lalu tertawa kecil.

“Kukira kau orang yang rajin,” komentarnya setelah mendengar jawabanku.

“Aku juga manusia biasa. Rasa malas itu halangan bagi semua orang,” balasku tanpa menghentikan pekerjaanku. “Tapi, aku bertekad untuk menyelesaikannya hari ini. Setelah itu, mari pergi berkencan,” ujarku sembari tersenyum.

“Yeayy, akhirnya kau mengajakku berkencan!”  dia tampak begitu senang mendengar ajakanku. “Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kerja yang baik ya!” ujarnya lalu meninggalkanku sendirian. Dari kejauhan, aku bisa melihatnya sedang bercakap-cakap dengan Jihyo. Dia tampak begitu kegirangan.

Aku mengerjakan pekerjaanku dari matahari masih tampak di langit hingga matahari tidak terlihat lagi dan langit menjadi gelap. Orang-orang datang silih berganti, tetapi aku tidak beranjak dari tempat dudukku. Bahkan hingga Jihyo memasang tanda tutup pada pintu kafenya, aku masih terduduk dengan manis.

“Heol.. kau masih kerja?” tanya Jihyo sembari menggelengkan kepalanya.

“Sedikit lagi.. sedikit lagi aku akan menyelesaikannya,” jawabku yang masih berkutat dengan laptopku.

“Pulanglah duluan, Jihyo. Nanti aku yang akan mengunci kafe ini,” ujar Sana.

“Hmm, baiklah. Aku pulang duluan ya! Chaeyoung, jaga Sana baik-baik!” pinta Jihyo kepadaku.

“Tentu saja!” balasku lalu melihat Jihyo meninggalkan kafe ini. Sana kemudian duduk di depanku dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.

“Masih banyak?” tanyanya lalu meletakkan dagunya di atas kedua tangannya. Ia menatap laptopku yang menutupi wajahku dari sudut pandangnya.

“Tinggal sedikit. Maaf aku harus membuatmu menunggu,” jawabku yang masih sibuk mengetik.

“Aku tidur sebentar ya,” ucapnya lalu menyandarkan kepalanya di atas meja dan menutup matanya.

Tidak berapa lama setelah itu, aku mendapati benar-benar tertidur di atas meja. Melihatnya tertidur seperti itu membuatku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku membuatnya menunggu seperti ini.

Setelah sekian jam berkutat dengan laptopku, akhirnya pekerjaanku selesai juga. Aku mematikan laptopku dan menutupnya. Kulihat Sana masih tertidur dengan pulas di atas meja. Rasanya tidak pantas untuk membangunkannya. Oleh karena itu, aku menggendongnya lalu membawanya hingga ke mobilku. Setelah membawanya ke dalam mobil, aku mematikan seluruh lampu dan mengunci kafe Jihyo. Kemudian, aku kembali ke mobil dan mulai mengemudikan mobil itu.

Sudah setengah jam aku mengendarai mobil itu, tetapi aku belum juga menemukan sebuah restauran untuk kami makan malam. Tampaknya hampir seluruh restauran telah tutup karena saat ini sudah hampir larut malam. Akhirnya, aku memutuskan untuk singgah di salah satu restauran cepat saji yang buka 24 jam.

“Sana,” panggilku sambil menepuk-nepuk lengannya dengan pelan. Perlahan-lahan ia terbangun karena tepukan itu. “Maaf karena aku tidak bisa menemukan restauran lain yang  masih buka. Apa tidak apa-apa?” tanyaku dengan gugup.

“Oh, tidak apa-apa. Yang penting kita bisa makan. Aku sudah sangat lapar~” jawabnya sambil memegang perutnya. “Ayo kita masuk!”  ujarnya yang kembali bersemangat setelah tidur panjangnya.

Kami kemudian memasuki restauran cepat saji itu dan memesan makan malam kami. Tidak ada hal spesial yang terjadi selama makan malam itu. Kami hanya bercakap-cakap sambil menikmati makan malam kami. Setelah menyelesaikan makan malam itu, kami kembali ke mobil dan aku mulai mengemudikan mobilku menuju apartemennya.

“Boleh singgah ke taman itu?” tanyanya ketika kami hampir saja sampai di depan gedung apartemennya.

“Tentu saja,” jawabku sambil tersenyum. Aku lalu mengubah arah tujuan kami dan singgah ke taman itu.

Sesampainya di taman itu, Sana membawaku mengelilingi taman itu. Taman itu tidak begitu luas, tetapi tidak juga begitu kecil. Kurasa berjalan mengelilingi taman itu tidak akan menguras banyak tenaga.

“Maaf karena semua ini tidak tampak seperti berkencan,” aku memulai percakapan.

“Maksudmu berjalan berdua dengan kekasihmu bukan berkencan?” dia membalasku dengan sebuah pertanyaan.

“Entahlah.. aku juga tidak tahu,” jawabku lalu tertertawa kecil. “Apa menurutmu ini berkencan?” aku balik bertanya.

“Tentu saja!” jawabnya dengan antusias. Melihatnya tetap ceria walaupun tidak ada yang spesial dari kencan ini, membuatku bertanya-tanya apa yang kulakukan hingga pantas mendapatkannya.

Sudah beberapa putaran kami mengelilingi taman itu. Namun, aku masih saja belum berani. Walaupun punggung tanganku telah beberapa kali bersentuhan dengan punggung tangannya, aku tetap saja belum berani. Aku belum berani menggenggam tangannya.

“Sana,” panggilku.

“Ya?” jawabnya sambil menatapku.

Setelah mendengar jawabannya itu, aku langsung memberanikan diriku untuk menggenggam tangannya. Entah mengapa hal kecil seperti itu sangat berat untuk kulakukan. Bahkan Sana sampai menertawaiku.

“Kau tahu ini sudah berapa putaran? Ini sudah lima putaran dan kau baru berani sekarang,” ujarnya sambil tertawa.

“Entah kenapa aku merasa sangat gugup untuk melakukan ini,” balasku sambil menggaruk tengkukku.

“Padahal kau langsung menciumku tanpa ragu?” tiba-tiba Sana mengingatku pada ciuman waktu itu. Wajahku langsung memerah setelah mendengar ucapannya itu.

“Ah, aku tidak tahu lagi,” jawabku sambil menundukkan kepalaku. Lebih tepatnya aku ingin menyembunyikan wajahku.

Setelah ucapanku itu, kami terdiam untuk beberapa saat. Aku masih menggenggam tangannya dengan erat sambil berjalan di sampingnya. Walaupun suasana saat itu sangat hening, suasana dalam dadaku tidak hening sama sekali. Dulu maupun sekarang, kehadirannya selalu mempengaruhiku.

“Sebenarnya, aku bertemu dengan Jeongyeon tadi,” tiba-tiba Sana membuka mulutnya.

“Apa?” tanyaku yang masih tak percaya dengan apa yang kudengar.

“Sebelum kau datang, dia datang bersama anaknya ke kafe,” jawabnya sambil menatap jalanan yang berada di depan kami. Entah mengapa aku merasa ia menghindari tatapanku.

“Lalu, apa yang dilakukannya?” tanyaku yang masih berusaha mengontrol emosiku.

“Dia hanya berperilaku seperti pelanggan biasa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya lalu akhirnya menatap wajahku. “Kudengar sebelum kau pergi keluar negeri, kau bertengkar dengannya. Apa itu betul?” tanyanya lalu tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah jalan. Aku pun menghentikan langkahku.

“Ya, itu betul. Dari mana kau tahu hal itu?” jawabku lalu balik bertanya.

“Jihyo yang mengatakannya padaku. Apa sampai sekarang kalian belum baikan?” tanyanya lagi. Aku kemudian tidak dapat berkata-kata dan hanya menggelengkan kepalaku. “Ya, sudah mari lupakan hal itu!” ujarnya lalu wajahnya mulai ceria lagi.

Tiba-tiba ia mendekatiku dan berjinjit di depanku. Sama seperti yang dilakukannya saat di Everland, dia mengecup bibirku. Namun, kali ini dia tidak memberikanku kecupan kilat. Ia menciumku cukup lama hingga aku memiliki kesempatan untuk membalas ciumannya.

 

Kringg kringg

 

Ponselku tiba-tiba berbunyi hingga ciuman kami harus berakhir. Aku lalu mengambil ponselku dari kantung celanaku. Aku melihat sebuah nama tertera pada layar ponselku. Tzuyu.

“Tzuyu, ada apa?” tanyaku setelah menerima panggilannya.

“Kau tidak ada acara besok, kan? Ayo kita main pedang-pedangan!” jawaban Tzuyu itu langsung membuatku mengernyitkan alisku.

“Apa?!” balasku.

 

————————

kyungwan ini anak yg sangat menggemaskan ya :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
momomoguring
Spin-off: A Poem Titled You
https://www.asianfanfics.com/story/view/1411438/a-poem-titled-you
Mungkin ini termasuk spoiler(?)

Comments

You must be logged in to comment
poplarbear #1
Chapter 30: AAAAAAAAA will you someday update this story? :'))
poplarbear #2
Chapter 12: Soo... Jeongyeon knows about Chae's past??
poplarbear #3
Chapter 10: Wew cerita bagus gini kok upvotesnya kurang yah :')
poplarbear #4
Chapter 2: AAAAAAA
babibu #5
Chapter 30: ah elah jeong udah deh move on aja ntu bukan jodoh elu, gw tabok kalo bikin onar lagi jeong
ini lagi emaknya kyungwan siapa sih? masih kepo nih
Kim6Ex
#6
Chapter 29: Aarrrrrr ga sabar update trozzz min,,,,,
SanaCheeseKimbap_
#7
Chapter 29: PEDANG PEDANGAN HAHAHAHAH
oncezara #8
Chapter 28: aaaaa :'))
Kim6Ex
#9
Chapter 28: Ahh.... Hemmm..... Ga bisa ngomong apa2
babibu #10
Chapter 27: sianjir jitzu angst banget sihh yalord swedih banget gw, ini lagi ceyong nembak aja lemotnya bukan maen malah asal nyosor doang! belum nembak loh, oh ya tuhkan gw sempet lupa kalo nama aslinya sana itu mina