Anger

Salty Salt

“Tidak terasa ya besok kau tidak akan bekerja di sini lagi,” ucapku sambil menepuk-nepuk bahu sebelah kirinya.

“Eh.. itu.. aku ingin membicarakannya denganmu,” ucap Chaeyoung yang tampak canggung.

“Ada apa?” aku menanyainya dengan heran. Sejenak dia terdiam seolah-olah ragu untuk mengatakannya.

“Aku ingin tetap bekerja di sini. Apa kau.. bisa tetap mempekerjakanku?” dia menatapku dengan tatapan yang penuh harap.

“Kau ingin tetap bekerja? Bukankah besok liburanmu sudah berakhir?”

“Ya.. aku ingin mencoba bekerja sambil kuliah. Apa kau tidak masalah?”

“Tentu saja! Sejujurnya, aku sangat membutuhkan bantuanmu. Syukurlah, kau masih bisa membantuku mengurus kafe ini!” ucapku dengan senang sambil menepuk-nepuk punggungnya.

 

Kring! Kring!

 

“Oh! Selamat da-..” ucapan Chaeyoung terputus saat menyadari siapa yang datang. Aku pun ikut terkejut melihat orang itu. Lagi-lagi dia datang. Sudah beberapa minggu ini, dia tidak mengunjungi kafeku. Ada apa gerangan dia datang kemari lagi?

“Jihyo, kau ingat dia, kan? Pria yang kutumpahkan kopi itu..” bisik Chaeyoung.

Tentu saja aku mengingatnya. Dia pria aneh yang tiba-tiba saja memasuki hidupku. Aku sendiri tidak mengerti dia makhluk apa. Yang jelas dia bukan manusia. Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Aku tahu itu karena.. dia sendiri yang memberitahuku.

“Ya, aku mengingatnya,” jawabku singkat. Kemudian, kulihat pria itu mulai berjalan mendekatiku. Mungkin lebih tepatnya, dia berjalan mendekati meja konter.

“Chaeyoung, tolong kau layani orang ini. Aku mau ke belakang sebentar,” ucapku yang ingin segera menghindari pria aneh itu.

“Hmm, baiklah,” jawab Chaeyoung yang tampak kebingungan melihat tingkahku.

Aku kemudian membalikkan badanku dan segera berjalan meninggalkan Chaeyoung. Namun, semuanya tidak berjalan sesuai dengan skenario yang ada di kepalaku.

‘Jangan menghindariku.’

Aku kembali membalikkan badanku dan kudapati si pria aneh itu sudah berada di depan meja konter. Lagi-lagi dia menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku pun hanya bisa tersenyum canggung. Aku kemudian ingin membalikkan badanku lagi. Namun, sebelum sempat membalikkannya, aku mendapati sesuatu hal yang aneh.

“A-ada apa ini..?” tanyaku yang keheranan sekaligus terkejut.

“Kemarilah,” ucapnya lalu berjalan menuju salah satu meja.

“Kau yang membuat semua ini? Kenapa mereka semua.. tidak bergerak?” kepalaku terasa mulai penuh dengan pertanyaan.

“Waktu terhenti. Aku yang menghentikannya,” jawabnya tanpa ragu. Ia lalu duduk dan menatapiku seolah-olah menyuruh untuk segera duduk. Aku kemudian menaati kemauannya untuk segera duduk.

“Ada apa? Kenapa kau memanggilku seperti ini?” aku bertanya sembari menatap wajahnya yang datar.

“Aku hanya ingin berbincang-bincang denganmu,” jawabnya dengan nada datar. Entah mengapa aku merasa seperti berbicara dengan robot.

“Kalau hanya ingin berbincang-bincang, kau tidak perlu sampai melakukan hal ini, Mr. Cupid,” ujarku sembari menopang daguku.

“Mereka akan mengganggu kalau aku tidak melakukannya,” jawabnya tanpa memainkan nada sedikitpun. Ugh, aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran si pria satu ini.

Untuk beberapa saat, kami terdiam dan hanya saling menatapi satu sama lain. Entah mengapa tiba-tiba perutku terasa aneh saat menatapinya. Ada sesuatu hal aneh yang tidak bisa kujelaskan. Perasaan, yang tidak kumengerti apa, saat menatapinya.

“Jihyo,” panggilnya. Mendengarnya memanggilku seperti itu membuatku semakin merasa aneh. Perasaan apa ini? pertanyaan itu terus muncul dalam benakku.

“Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan wajah datar.

“Ya, semuanya baik-baik saja..?” jawabku dengan ragu karena tak mengerti maksud pertanyaannya itu. Ia kemudian terdiam setelah mendengar jawabanku. Ugh, dasar pria aneh!

“Apa kau datang sendirian?” aku mengajukan pertanyaan yang paling bodoh. Sudah jelas dia sendirian, mengapa aku bertanya lagi?

“Iya,” jawabnya dengan sangat singkat. Aku lalu hanya mengangguk-ngangguk dan terdiam lagi. Aku bingung harus berbicara apa dengannya dan mengapa pula dia tidak mengatakan sesuatu?

“Apakah seorang.. eh.. armor? Ahmor?” aku ingin bertanya, tetapi terkendala oleh ingatanku yang buruk.

“Amor,” tegasnya.

“Oh, ya! Apakah seorang ‘Amor’ itu hidup abadi? Apakah dia seperti ‘goblin’? “ aku bertanya dengan penuh antusias.

“Kau terlalu banyak menonton drama,” jawabnya sembari tersenyum! Wah, untuk pertama kalinya, aku melihatnya tersernyum seperti itu.

Kami, para ‘Amor’ tidak hidup abadi. Kami akan bereinkarnasi setelah tugas kami selesai,” jelasnya sembari meletakkan tangannya di atas meja.

“Oh, kalian bereinkarnasi? Jadi apa? Manusia?” aku penuh dengan keingintahuan.

“Ya, kami akan bereinkarnasi jadi manusia. Sebenarnya, kami juga adalah manusia sebelum menjadi ‘Amor’ ,” ucapnya lalu tersenyum pahit. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajahnya yang penuh ekspresi. Ini membuatku sedikit terkejut.

“Lalu, kenapa kalian bisa menjadi ‘Amor’ ?” aku bertanya dengan penasaran. Namun, setelah beberapa saat aku menanyakan itu, Tzuyu hanya terdiam. Aku langsung tahu bahwa aku seharusnya tidak menanyakan hal itu.

“Ah, tiba-tiba terasa panas ya di sini,” aku berusaha mengalih topik pembicaraan. Namun, sepertinya Tzuyu tidak menghiraukan ucapanku. 

“Tugas para ‘Amor’ adalah menyatukan mereka yang berjodoh. Kenapa mereka mendapat tugas itu? Itu karena saat mereka menjadi manusia, mereka telah memisah orang-orang yang seharusnya berjodoh,” aku bisa melihat Tzuyu merasa berat untuk menjelaskan hal itu.

“Ah, baiklah..” jawabku singkat karena aku tak ingin mengetahuinya lebih dalam lagi. Lebih tepatnya, aku merasa tidak enak terhadap Tzuyu.

“Mereka telah membunuh manusia lain,” ucapan itu membuatku terkejut dan menelan ludahku sendiri. Membunuh katanya?

“Apa sekarang kau takut denganku? Aku seorang pembunuh,” aku bisa melihat wajahnya yang dipenuhi oleh kesedihan. Sorotan matanya bagaikan pedang yang menusuk hatiku. Terasa sangat menyakitkan hingga membuatku meneteskan air mata.

“Jihyo, maafkan aku,”  ia mengusap pipiku yang telah dibasahi oleh air mata.

.

.

.

.

 

“Mau pesan apa?” aku mendengar suara Chaeyoung yang sedang melayani pelanggan. Aku kemudian menyadari bahwa semuanya telah kembali normal. Aku pun menyadari bahwa Tzuyu tidak lagi berada di depanku. Aku lalu memalingkan wajahku ke arah meja konter dan kudapati Tzuyu berada di depannya.

“Baiklah, pesanannya akan kami antar. Silakan duduk dulu,” ucap Chaeyoung lalu berjalan ke belakang. Sepertinya dia ingin mencariku. Aku kemudian melihat Tzuyu berjalan menuju meja lain tanpa memperdulikanku sama sekali. Ugh, aku bingung apa yang sebenarnya terjadi?

“Jihyo?! Kenapa kau bisa di situ? Bukannya tadi kau ke belakang?” tanya Chaeyoung yang terkejut melihatku.

Aku langsung berdiri dan berjalan mendekati Chaeyoung. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku kemudian membuat pesanan Tzuyu tanpa menunggu Chaeyoung menyuruhku. Aku bisa merasakan tatapan Chaeyoung yang aneh terhadapku, tetapi aku tidak memperdulikannya.

 

***

Apa aku bermimpi? Aku dengan jelas melihat Jihyo ke belakang, tetapi tiba-tiba saja dia duduk di salah satu meja? Aku sendiri tidak melihatnya ke meja itu. Apa Jihyo sedang bermain sulap denganku? Atau memang aku yang tidak menyadarinya?

 

Kring! Kring!

 

“Oh! Sana, Mina!” ucapku yang terkejut melihat Sana dan Mina.

“Chaeyoung!!” panggil Sana yang tampak begitu senang. Kulihat dia berlari ke arahku dan meninggalkan Mina di belakangnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu bersemangat seperti ini.

“Ada apa, Sana?” tanyaku setelah Sana sampai di depanku.

“Apa hari ini kau bisa ikut kami pergi nonton?” tanya Sana dengan antusias.

“Eh, kalau itu, nampaknya..”

“Sudah kubilang Chaeyoung masih bekerja, Sana,” ucap Mina yang baru saja sampai di depanku.

“Iya, aku masih be-..”

“Tidak apa-apa, Chaeyoung! Kau bisa pergi dengan mereka,” ucap Jihyo lalu tiba-tiba membuka celemek yang kukenakan. “Pergilah bersenang-senang dengan mereka.”

“Eh, tapi Jihyo..”

“Ah, sudah-sudah! Aku akan baik-baik saja,” ucap Jihyo sembari mendorongku.

“Apa sungguh tidak apa-apa?” tanya Mina pada Jihyo.

“Iya, tidak apa-apa. Kalian pergilah bersenang-senang!” ucap Jihyo sambil tersenyum lebar.

“Terima kasih, Jihyo,” ucapku lalu tersenyum padanya.

“Terima kasih banyak!” ucap Sana lalu membungkuk sebagai tanda terima kasihnya.

 

***

Setelah melihat kepergian Chaeyoung bersama kedua orang temannya itu, aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Kemudian, aku melirik ke arah Tzuyu dan kudapati ia sedang menikmati pemandangan yang ada di luar sana. Aku tersenyum kepadanya sambil berkata dalam hatiku, ‘Aku sudah membantu pekerjaanmu, bukan?’

‘Terima kasih,’ aku mendengar sebuah suara di dalam kepalaku. Aku kemudian melihat Tzuyu memalingkan wajahnya ke arahku dan tersenyum kepadaku. Hari ini, untuk kesekian kalinya aku melihat Tzuyu tersenyum.

 

Kring! Kring!

 

“Tzuyu! Tzuyu! Apa kau tidak mengikuti mereka?” tiba-tiba seorang wanita datang membawa kehebohan.

Aku melihat Tzuyu tampak membuang muka dan tidak ingin melihat wanita itu. Wanita itu kemudian sadar bahwa ia telah membawa kehebohan di kafeku.

“Ups, maafkan aku!” ucapnya dengan sedikit canggung. Aku kemudian menatapi wanita itu dari ujung kepalanya hingga ujung kakinya. Semua yang dikenakannya adalah barang-barang mewah. Ini membuatku bertanya-tanya.. Siapa wanita ini?!

 

—————————————————————

***

“Di mana Momo? Kenapa dia belum datang juga?” tanya Sana dengan gelisah. “Padahal filmnya sebentar lagi akan dimulai.”

“Aku sudah mengiriminya pesan, tapi dia belum membalas pesanku sampai sekarang,” ujar Mina yang juga sedang gelisah. “Mungkin aku akan mencoba untuk menelponnya.”

Mina kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Momo. Setelah beberapa saat, Momo belum juga menerima panggilan dari Mina. Ini membuat kami semakin gelisah.

“Momo belum jawab juga. Bagaimana ini?” tanya Sana yang semakin khawatir.

“Oh! Momo?” tampaknya Momo telah menjawab panggilan Mina. “Kau di mana sekarang?”

“Momo, apa kau bisa mendengarku? Halo?” Mina tampak kesulitan berbicara dengan Momo. Mina kemudian berjalan meninggalkan kami untuk mencari tempat dengan sinyal yang kuat. Aku dan Sana hanya berdiri menatapi Mina yang sedang sibuk berbicara dengan Momo.

“Pasti Momo ketiduran lagi,” gerutu Sana. Aku lalu melirik Sana dengan wajahnya yang tampak kesal. Aku mendapati hal itu sangat lucu dan itu membuatku tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” tanya Sana yang kebingungan melihatku.

“Wajahmu sangat lucu,” ucapku masih sambil tertawa. “Aigo, kenapa kau begitu imut?” tanyaku sembari mengacak-ngacak rambutnya.

“Ah, Chaeyoung!” Sana berusaha merapikan rambutnya yang telah kuacak-acak.

“Sana! Chaeyoung!”

Aku melihat ke arah datangnya suara itu dan kudapati Mina yang datang bersama Momo. Aku dan Sana langsung merasa lega setelah melihat kehadiran Momo.

“Untung saja kau datang tepat waktu, Momo. Ayo kita masuk!” Sana mengajak kami untuk segera masuk.

Kami kemudian masuk ke dalam studio dan mendapati studio telah dipenuhi oleh para penonton. Kami lalu duduk di tempat yang telah kami pesan. Aku duduk di paling ujung dengan tangga yang berada di sebelah kiriku. Mina berada di sebelah kananku, Momo berada di sebelah kanan Mina, dan Sana berada di sebelah kanan Momo. Tepat setelah kami duduk, film pun dimulai.

 

—————————————————————

***

“Kenapa kau tidak mengikuti mereka, huh?” tanya seorang wanita yang sedaritadi berjalan di sampingku.

“Ini bukan waktu yang tepat untuk mengikuti mereka,” jawabku tanpa memalingkan wajahku ke arah wanita itu.

“Kenapa? Bukankah ini kesempatan yang bagus?” wanita itu bertanya lagi.

“Aku hanya merasa ini bukan kesempatan yang bagus,” jawabku sembari menatapi jalanan.

“Dasar aneh.. aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Tzuyu.”

“Memang tak ada yang mengerti.”

“Kenapa kau tidak bergerak cepat sih? Apa kau pernah berpikir tentang konsekuensi dari gerakanmu yang lambat ini? Mereka semua bisa tersakiti!”

“Kalau begitu, kau yang harus memelankan gerakanmu.”

“Aku? Kenapa harus aku? Kurasa aku sudah bekerja dengan baik.”

“Terserah padamu saja, Nayeon.”

—————————————————————

***

Ring! Ring!

 

“Ada apa lagi?” tanya Jeongyeon dengan malas.

“Kami baru saja menemukan sesuatu yang menarik, boss!” jawab anak buah Jeongyeon.

“Apa? Kau sudah menemukan wanita j*lang itu?” Jeongyeon tampak mulai tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh anak buahnya.

“Bukan itu, boss..” jawab anak buah Jeongyeon itu dengan ragu karena takut mengecewakan.

“Kalau begitu, jangan menghubungiku!” ucap Jeongyeon lalu berniat untuk memutuskan panggilan.

“Eh, tunggu, boss! Ini tentang pacar boss!”

“Apa? Memangnya ada apa dengan Sana?” Jeongyeon mengurungkan niatnya untuk memutuskan panggilan.

“Kami baru saja melihat jalan bersama seorang pria! Aku telah mengirimkan gambarnya pada boss. Coba boss liat dulu untuk memastikan semua baik-baik saja.”

Setelah mendengar penjelasan anak buahnya itu, Jeongyeon langsung memutuskan panggilan dan segera melihat gambar yang baru saja dikirimkan padanya. Jeongyeon lalu mulai merasakan api amarah yang membakar hatinya. Wajahnya mulai memerah dan ia serasa ingin meledak. Ia dipenuhi oleh kecemburuan dan juga.. ketakutan. Ini membuatnya langsung menghubungi kembali anak buahnya.

“Malam ini juga, aku ingin kalian..”

 

—————————————————————

***

—Keesokan harinya—

 

Chaeyoung berjalan menuju kedua sahabatnya yang sudah menunggunya dari tadi. Ia berjalan sambil menundukkan kepala, tidak ingin kedua sahabatnya itu menyadari sesuatu yang aneh pada wajahnya. Namun, usaha apapun yang dilakukan Chaeyoung, tidak dapat membuat kedua sahabatnya tidak menyadari hal itu.

“CHAEYOUNG, APA YANG TERJADI PADA WAJAHMU?!” tanya Momo dengan sangat terkejut.

“Eh.. itu..” Chaeyoung kebingungan untuk menjelaskannya.

“Kau habis berkelahi dengan siapa, Chaeyoung? Kau tidak bertemu preman di jalanan, kan?” tanya Jeongyeon dengan khawatir.

“Semalam.. aku kurang beruntung. Jadi, aku bertemu dengan.. beberapa preman.”

 

—Flashback—

 

Setelah selesai makan malam bersama Momo, Mina, dan Sana, Chaeyoung pulang dengan menggunanakan subway. Saat itu tepat pukul sepuluh malam, jalanan di sekitar area apartemen Chaeyoung tampak sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang lalu lalang dan tampak tak ada orang yang berjalan di atas trotoar, kecuali Chaeyoung.

“Hari ini benar-benar sepi,” ucap Chaeyoung sembari melihat sekelilingnya. Ia lalu berjalan melewati beberapa pertokoan yang sudah tutup dan satu gang kecil yang gelap dan sempit. Saat itulah..

“Ehem!” terdengar suara yang memanggil Chaeyoung setelah Chaeyoung melewati gang itu.

Chaeyoung membalik badannya dan mendapati tiga pria besar yang sedang berjalan mendekatinya. Perasaan tidak enak mulai meliputi Chaeyoung dan itu membuatnya perlahan-lahan berjalan mundur.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Chaeyoung.

“Kami hanya ingin sedikit bermain-main denganmu,” ucap salah satu pria besar itu sambil tersenyum. “Ayo pukuli dia!”

Tiga pria besar itu mulai menyerang Chaeyoung dan Chaeyoung berusaha untuk bertahan. Sesekali ia juga berusaha untuk menyerang para pria besar itu. Walaupun ia dulunya adalah seorang prajurit, tiga lawan satu bukanlah angka yang bagus. Akhirnya, Chaeyoung terkapar di atas trotoar.

“Lumayan juga ya untuk pria kecil sepertimu ini,” ucap salah satu preman itu.

“Oh! Liat dompet yang ada di sakunya itu!” ucap preman yang lain lalu mengambil dompet yang berada di saku celana Chaeyoung.

“Woah, lumayan banyak! Kita sangat beruntung hari ini!” ucap preman ketiga. Kemudian, preman kedua, yang memegang dompet Chaeyoung, mengambil seluruh uang yang berada di dalam dompet itu. Ia lalu melemparkan dompet yang telah kosong itu ke badan Chaeyoung.

“Terima kasih ya atas uangnya!” ucap preman kedua sembari memamerkan uang Chaeyoung.

“Urusan kita sudah selesai. Ayo kita pergi!” ucap preman pertama. Kemudian, mereka meninggalkan Chaeyoung begitu saja tanpa memperdulikannya.

“Jangan berani melapor polisi ya! Kau akan tambah menderita kalau melapor!” suara salah satu preman itu terdengar dari jauh.

 

—Flashback End—

 

“Jadi, ya begitulah..” ucap Chaeyoung setelah menceritakan kejadian semalam.

“Kau harus melapor polisi, Chaeyoung! Jangan termakan dengan ancaman mereka!” ucap Momo dengan kesal.

“Aku masih ragu untuk melaporkan kejadian semalam pada polisi..” ucap Chaeyoung.

“Kenapa? Sudah harusnya kau melapor, kan?” tanya Momo.

“Tidak sesimple itu, Momo,” Jeongyeon berusaha membantu Chaeyoung menjawab pertanyaan Momo. “Bisa saja para preman itu anak buah mafia, bukan? Itu akan mengancam nyawa Chaeyoung jika berurusan dengan mereka.”

“Tapi, masa membiarkan mereka berkeliaran begitu saja?” Momo tampak tidak terima dengan perkataan Jeonyeon.

“Sudah, sudah. Biarkan aku memikirnya dulu,” ucap Chaeyoung yang sudah tidak sanggup mendengar argumen itu.

“Tapi sudah seharusnya kau..”

“Momo, bukannya kau ada kelas sekarang? Sekarang sudah jam sembilan loh,” ucap Jeongyeon sembari melihat jam tangannya.

“Sudah jam sembilan?! Astaga! Aku harus pergi dulu. Byeee,” ucap Momo lalu berlari dengan secepat mungkin. Chaeyoung kemudian tertawa melihat Momo yang terburu-buru seperti itu.

“Chaeyoung, bisa kita keluar sebentar? Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ucap Jeongyeon dengan nada serius.

“Ada apa?” tanya Chaeyoung.

“Ayo!” Jeongyeon memanggil Chaeyoung untuk mengikutinya keluar.

 

—————————————————————

***

 

“Hoekk!!”

“Mina, bagaimana kalau kita ke dokter saja?” tanyaku dengan khawatir. Ini sudah ketiga kalinya dia muntah hari ini.

“Aku tidak apa-apa, Sana. Mungkin aku cuma salah makan saja,” ucap Mina yang masih berusaha tegar. Aku lalu memberikannya segelas air minum dengan harapan agar dia bisa merasa lebih baik.

“Tapi kau sudah muntah tiga kali hari ini. Kau harus ke dokter!” aku berusaha membujuknya untuk pergi ke dokter.

“Kalau begitu.. aku akan menghubungi kakakku untuk mengantarku ke dokter.”

 

—————————————————————

***

“Ada apa, Jeongyeon?” tanyaku dengan heran.

“Kau nampaknya begitu kewalahan ya melawan ketiga anak buahku semalam,” ucapku Jeongyeon sembari merapikan kemeja yang kukenakan.

“Apa yang kau bicarakan, Jeongyeon?” tanyaku yang masih bingung dengan perkataan Jeongyeon.

“Kuharap kau segera menjauhi Sana jika tidak ingin mukamu semakin hancur,” ucap Jeongyeon dengan tatapannya yang begitu sinis terhadapku. Auranya berubah dan aku merasa dia seperti bukan Jeongyeon yang kukenal.

“Jeongyeon, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kau bicaran.”

“Jauhi Sana atau kusuruh mereka untuk meremukkan tulang-tulangmu,” ancam Jeongyeon sembari menarik kerah bajuku. Di situlah, aku mulai menyadari apa yang dia bicarakan.

“Jadi, kau yang menyuruh preman-preman itu untuk menyerangku? Ada apa denganmu, Jeongyeon?!” bentakku lalu mendorongnya dengan cukup keras.

“Kau yang harusnya tahu diri! Sana itu milikku! Sadarlah kau mau merebut pacar sahabatmu sendiri!” aku sangat terkejut mendengar perkataan itu. Aku tidak percaya Jeongyeon bisa mengatakan hal semacam itu kepadaku. Aku memang mencintai Sana, tetapi aku tidak berpikir untuk merebutnya dari Jeongyeon!

“Aku tidak pernah ingin merebut Sana darimu!”

“Bohong! Aku tahu kau menyukainya, kan? Ah, bukan.. kau mencintainya, bukan?” tanya Jeongyeon dengan penuh amarah. Ia lalu menarik kerah bajuku lagi dan menatap mataku seolah-olah tatapan matanya itu dapat menusuk kedua bola mataku.

“Sadarlah prajurit Joseon tidak pantas mencintai wanita dari kalangan musuhnya sendiri,” bisiknya di telingaku. Ia lalu melepaskan kerah bajuku dan berjalan meninggalkanku. Aku masih terdiam di situ untuk beberapa saat. Perkataannya itu serasa angin musim dingin yang membekukan seluruh badanku.

 

—————————————————————

***

“Jeongyeon!!” panggil Sana lalu segera memeluk Jeongyeon.

“Ayo masuk!” Jeongyeon mengajak Sana untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Jeeongyeon lalu membuka pintu untuk Sana dan mempersilakan dia masuk. Setelah Sana masuk, ia langsung berlari menuju kursi pengemudi lalu menjalankan mesin mobilnya.

“Sejak kapan Mina muntah-muntah terus?” tanya Jeongyeon sembari mengemudikan mobilnya.

“Sejak tadi pagi. Ini membuatku jadi khawatir,” jawab Sana sembari menatapi ponselnya.

“Sekarang dia bersama kakaknya, kan?”

“Iya, kakaknya menenamaninya ke dokter. Aku harap dia baik-baik saja.”

“Jangan terlalu khawatir begitu. Aku yakin dia baik-baik saja,” ucap Jeongyeon sambil mengelus kepala Sana. “Jadi, kita ke apartemenku sekarang?”

“Iya!!” jawab Sana dengan antusias.

 

—Apartment Jeongyeon—

 

(Kalian boleh skip ini karna aku ga jago buat nulis ginian wkwk)

 

Sesaat setelah mereka menginjakkan kaki di dalam apartement Jeongyeon, Jeongyeon langsung menggendong Sana dan membawanya ke kamarnya. Ia lalu menurunkan Sana di samping tempat tidurnya. Sana saat itu dalam keadaan berdiri di atas lantai. Jeongyeon lalu duduk di pinggir tempat tidurnya dan menarik Sana hingga ia berada di antara kedua kakinya. Kemudian, Jeongyeon mencium bibir Sana sembari memeluk pinggangnya. Mereka bercumbu untuk waktu yang cukup lama sampai akhirnya Jeongyeon memasukkan tangannya ke dalam baju Sana. Jeongyeon mulai meraba punggung Sana hingga tangannya menggapai pengait bra milik Sana. Dibukanya pengait bra itu lalu dirabanya semua yang dapat dirabanya. Sana kemudian mulai merasa terganggung dengan keberadaan kain-kain yang menutupi badannya. Ia lalu melepaskan baju dan bra yang dikenakannya. Tanpa menghentikan percumbuan mereka, Sana naik ke atas pangkuan Jeongyeon lalu membiarkan dadanya bersentuhan dengan dada Jeongyeon.

 

Buzz buzz!

Buzz buzz!

 

“Jeongyeon, nampaknya ponselmu tidak berhenti berbunyi. Mungkin itu hal penting,” Sana menghentikan percumbuan mereka karena merasakan getaran ponsel yang berada di saku Jeongyeon. Jeongyeon lalu menarik keluar ponsel itu dan melemparkannya ke atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya.

“Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kau sekarang,” ucap Jeongyeon lalu membaringkan Sana di atas tempat tidur.

 

(Aku ga sanggup lagi. Silakan lanjut sendiri ya.. byee)

 

Ponsel milik Jeonyeon tidak berhenti berbunyi. Pesan-pesan terus berdatangan. Namun, hal itu tidak mengganggu Jeongyeon dan Sana yang sedang memperkuat cinta mereka.

 

—Tampilan layar ponsel Jeongyeon—

 

Mina: Jeongyeon..

Mina: kau di mana sekarang?

Mina: aku baru saja dari dokter

Mina: ...

Mina: kurasa aku harus mengatakan hal ini..

.

.

.

 

 

—————————————————————

maaf ya klu jadi tambah membingungkan :’)

Terima kasih buat yg udah mau baca sampai sejauh ini!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
momomoguring
Spin-off: A Poem Titled You
https://www.asianfanfics.com/story/view/1411438/a-poem-titled-you
Mungkin ini termasuk spoiler(?)

Comments

You must be logged in to comment
poplarbear #1
Chapter 30: AAAAAAAAA will you someday update this story? :'))
poplarbear #2
Chapter 12: Soo... Jeongyeon knows about Chae's past??
poplarbear #3
Chapter 10: Wew cerita bagus gini kok upvotesnya kurang yah :')
poplarbear #4
Chapter 2: AAAAAAA
babibu #5
Chapter 30: ah elah jeong udah deh move on aja ntu bukan jodoh elu, gw tabok kalo bikin onar lagi jeong
ini lagi emaknya kyungwan siapa sih? masih kepo nih
Kim6Ex
#6
Chapter 29: Aarrrrrr ga sabar update trozzz min,,,,,
SanaCheeseKimbap_
#7
Chapter 29: PEDANG PEDANGAN HAHAHAHAH
oncezara #8
Chapter 28: aaaaa :'))
Kim6Ex
#9
Chapter 28: Ahh.... Hemmm..... Ga bisa ngomong apa2
babibu #10
Chapter 27: sianjir jitzu angst banget sihh yalord swedih banget gw, ini lagi ceyong nembak aja lemotnya bukan maen malah asal nyosor doang! belum nembak loh, oh ya tuhkan gw sempet lupa kalo nama aslinya sana itu mina