It’s Coming

Salty Salt

Sambil memegang dua gelas minuman dengan kedua tanganku, aku memerhatikan Sana dan Mina dari kejauhan. Aku menyadari bahwa mereka sedang mengobrol dengan serius. Maka, aku pun menghentikan langkahku dan memilih untuk memerhatikan mereka dari jauh. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, aku merasa tidak pantas untuk mendengarnya.

Aku dapat merasakan kecanggungan di antara mereka. Suasana itu sangat tampak berbeda jika dibandingan dengan situasi dulu. Aku mulai merasa sedih ketika mengingat segala hal yang pernah terjadi di antara kami. Mengapa semua itu harus terjadi? Aku sendiri masih bertanya-tanya.

Aku menyadari bahwa aku tidak bisa berdiam lebih lama lagi. Mereka pasti akan curiga bahwa aku menghindari percakapan mereka berdua. Oleh karena itu, aku kembali melangkahkan kakiku.

“Son Chaeyoung, dari mana saja kau?” tanya Sana saat melihatku.

“Habis membeli minuman ini?” jawabku sambil menunjukkan dua gelas minuman yang berada di tanganku. Aku kemudian menyerahkan minuman-minuman itu kepada mereka.

“Terima kasih, Chaeyoung,” ujar Mina. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya.

“Sama-sama,” balasku sembari tersenyum.

“Duduklah,” pinta Sana sambil menepuk-nepuk tempat kosong yang berada di sampingnya. Aku kemudian mengikuti kata Sana dengan duduk di sampingnya.

“Aku tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Aku bahkan tidak menyangka kau sudah kembali ke Korea, Chaeyoung,” tutur Mina sambil mengaduk-ngaduk minumannya dengan sedotan.

“Kapan kau balik ke sini? Aku sudah lama tidak mendengar kabarmu,” tanyaku.

“Aku baru kembali ke sini kemarin,” jawabnya lalu meminum minuman yang kuberikan.

“Ah, rupanya begitu,” hanya itu respon yang dapat kuberikan.

“Sebenarnya, sudah tidak ada lagi yang ingin kubicarakan dengan Sana. Jadi, aku akan pergi sekarang. Maaf mengganggu kencan kalian,” ujar Mina lalu bangkit berdiri.

“Tunggu!” seru Sana. Hal itu langsung menghentikan gerakan kaki Mina. “Datanglah ke kafe tempat aku bekerja jika kau ingin bertemu denganku. Aku menantimu,” ucap Sana sembari tersenyum. Aku merasa Sana kembali menjadi diri aslinya. Raut wajahnya kembali ceria.

“Tentu saja,” jawab Mina lalu perlahan-lahan pergi meninggalkan kami berdua.

Setelah Mina menjauh, Sana tiba-tiba menyandarkan pundaknya pada bahuku. Sepertinya dia telah melewati sebuah kejadian yang tidak mudah baginya. Kurasa aku bisa menebak apa yang barusan terjadi di antara mereka.

“Sudah baikan?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya singkat.

“Baguslah. Aku senang kalian bisa baikan. Sejujurnya, aku tidak menyangka akan secepat ini,” komentarku.

“Aku telah memaafkannya dan dia juga telah memaafkanku. Kurasa tidak ada lagi penghalang di antara kami,” jelasnya.

“Aku ingin berkata aku merasa iri, tetapi kurasa aku tidak bisa merasa iri,” ujarku lalu menggenggam tangannya. Kadang aku merasa sedih karena pertemananku dengan Jeongyeon berakhir buruk.

“Mau coba?” Tiba-tiba Sana menyodorkan minumannya padaku. Tanpa basa-basi, aku langsung menangkap sedotan minuman Sana dengan bibirku, lalu meminumnya.

“Terlalu manis,” komentarku setelah meminum minuman itu.

“Aku?” tanyanya lalu menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, iya. Kau terlalu manis,” jawabku lalu mencubit pipinya.

Setelah itu, kami melanjutkan kencan kami dengan mengelilingi mall itu. Tidak ada yang spesial. Kami layaknya pasangan-pasangan lain yang sedang berkencan di mall. Hanya saja aku merasa sangat senang karena hal ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

 

—————————————————————

***

—Keesokan Harinya—

 

Tekad Jeongyeon telah kuat. Tanpa ragu ia melangkahkan kakinya untuk memasuki kafe tempat Sana bekerja. Ia lalu disambut oleh wajah kecut Sana. Namun, hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk menemui Sana.

“Mau pesan apa?” tanya Sana dengan dingin.

“Apakah kau akan mengusirku jika aku datang bukan sebagai pelanggan?” Jeongyeon balik bertanya.

“Tentu saja. Pintu itu akan sangat senang jika kau melewatinya sekarang,” jawab Sana sambil menunjuk pintu kafe Jihyo dengan seluruh jarinya.

“Aku ingin kau memikirkan ulang tentang menghadiri pentas seni Kyungwan. Dia sangat menginginkan kedatanganmu,” tutur Jeongyeon.

“Kalau kau khawatir dengan Kyungwan, kenapa tidak kau sendiri yang menghadirinya? Dia ingin aku hadir karna kau tidak bisa hadir. Apa kau tidak mengerti?” Sana tampak geram dengan sikap Jeongyeon.

“Tidak semudah itu, Sana. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja,” Jeongyeon bersikukuh.

“Aku tidak akan datang. Kemana ibunya? Kenapa kau tidak menyuruh ibunya untuk datang?” tanya Sana dengan ketus.

“Ibunya? Ibunya sekarang sudah bersama pria yang jauh lebih kaya dariku. Dia sudah melupakan anaknya sendiri,” jawab Jeongyeon dengan miris. “Baiklah. Aku akan pergi sekarang. Tapi, aku tidak akan menyerah.”

Jeongyeon lalu menjauhi Sana dan meninggalkan kafe itu. Melihat sifat Jeongyeon yang keras kepala membuat Sana hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia sudah lama mengenal Jeongyeon hingga ia tahu bahwa sifat keras kepala adalah ciri khas mantan kekasihnya itu.

 

—————————————————————

@Taman Kanak-Kanak Chaewon, 02.05 P.M.

 

Dengan sabar, Kyungwan menunggu jemputannya sambil menggambar di atas mejanya. Anak-anak yang lain telah dijemput oleh orang tua mereka hingga Kyungwan tinggal sendiri dalam kelasnya.

“Apakah anak-anak sudah pulang?” Terdengar suara dari luar kelas Kyungwan.

“Masih ada sisa satu anak lagi. Sekarang, aku sedang menunggu dia dijemput,” terdengar suara guru Kyungwan.

 

Krekk

 

Pintu kelas Kyungwan terbuka dan memperlihatkan tiga sosok orang: Lisa, Nayeon, dan Mina. Ketika Mina menyadari keberadaan Kyungwan di dalam kelas itu, ia langsung berlari menghampiri Kyungwan.

“Kyungwan,” panggil Mina lalu berlutut agar tinggi mereka menjadi sama. “Sedang menggambar?” tanya Mina.

“Iya! Aku sedang menggambar nenek!” jawab Kyungwan sambil menunjukkan gambarnya.

“Nampaknya kau sangat dekat dengan nenekmu,” komentar Mina lalu mengelus kepala Kyungwan. “Apa kau bisa menggambarku juga?” tanya Mina lagi.

“Tentu saja!” jawab Kyungwan dengan antusias.

Kyungwan kemudian mengambil sebuah kertas baru dan menggambar wajah Mina. Sementara tangannya mencorat-coret kertas, matanya memandangi Mina dan kertas secara bolak-balik.

“Sepertinya saat besar nanti kau akan jadi seniman,” puji Mina.

“Benarkah? Tapi, kakek selalu bilang aku akan jadi pengusaha yang sukses,” balas Kyungwan.

“Kalau begitu, kau akan jadi seniman dan pengusaha yang sukses!” tutur Mina sambil tersenyum manis dan memandangi Kyungwan yang begitu imut.

“Sudah selesai!” seru Kyungwan sambil menunjukkan kertasnya pada Mina. “Aku akan menunjukkannya pada Jeongyeon. Aku ingin dia tahu aku bertemu dengan nuna yang cantik!” ujar Kyungwan.

Mendengar nama itu membuat Mina tertegun sejenak. Jelas nama itu tak asing baginya. Nama itu bahkan mengingatkannya pada seseorang. Namun, ia tahu bahwa banyak orang yang memiliki nama yang sama. Jadi, ia yakin bahwa orang yang dimaksud Kyungwan adalah seseorang yang tidak dikenalnya.

“Apakah dia adikmu?” tanya Mina.

“Bukan, dia ayahku,” jawab Kyungwan tanpa ragu. Mendengar fakta itu membuat Mina sedikit terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang itu adalah ayah Kyungwan.

“Sepertinya kau sangat akrab dengan ayahmu sampai kau memanggilnya dengan namanya sendiri,” ucap Mina.

“Sejujurnya, aku tidak terlalu dekat dengan ayahku,” balas Kyungwan dengan sedikit sedih. Mina langsung menyadari perubahan ekspresi wajah Kyungwan. Oleh karena itu, Mina mengubah topik pembicaraan.

“Apa lagi yang kau sukai selain menggambar?” tanya Mina.

“Bermain!” jawab Kyungwan.

“Ah, tentu saja,” balas Mina lalu tertawa kecil.

“Kyungwan! Paman Kim sudah datang,” Lisa menyeletuk.

Setelah mendengar perkataan itu, Kyungwan langsung merapikan barangnya dan memasukannya ke dalam tas ranselnya. Ia lalu pamit kepada Mina dan meninggalkan kelasnya dengan penuh keceriaan.

“Sepertinya dia sangat menyukaimu,” ucap Nayeon sambil berjalan mendekati Mina.

“Aku juga sangat menyukai anak itu. Aku berharap akan memiliki anak seperti dia,” jawab Mina sembari tersenyum.

 

—————————————————————

***

Sudah beberapa hari ini, aku dibuat geram oleh seseorang yang tak lain adalah Jeongyeon. Sikapnya yang keras kepala tidak pernah berubah. Walaupun aku telah mengusirnya beberapa kali, ia tetap datang menemuiku. Alasannya masih sama, yaitu membujukku untuk menghadiri pentas seni Kyungwan. Sejujurnya, bukan aku tidak ingin datang, melainkan aku merasa tidak pantas untuk datang. Aku bukan siapa-siapa Kyungwan. Aku hanya orang asing. Seharusnya Jeongyeonlah yang menghadiri acara itu, bukan aku.

“Benar-benar pantang menyerah ya,” komentar Jihyo sambil melihati Jeongyeon yang duduk di salah bangku di kafe kami.

“Bukan pantang menyerah, tapi keras kepala,” aku mengoreksi perkataan Jihyo.

“Tidak usah pedulikan orang itu. Tidak ada gunanya kau meladeninya,” ucap Jihyo sambil menepuk-nepuk pundakku. “Oh, ya! Kalian berdua akan ikut, kan?” tanya Jihyo tiba-tiba.

“Menginap di villa Tzuyu? Iya, aku sudah menanyakan Chaeyoung dan dia bilang akan ikut,” jawabku.

“Baguslah! Momo dan Dahyun juga bilang akan ikut. Ini pasti akan seru!” ucap Jihyo dengan antusias.

Setelah percakapan singkat itu, aku dan Jihyo kembali bekerja melayani pelanggan. Sesekali aku melirik ke arah Jeongyeon dan mendapatinya sedang menatapiku. Saat mata kami bertemu, ia langsung mengalihkan pandangannya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, aku tidak peduli. Dia bukan lagi siapa-siapa bagiku.

 

—————————————————————

***

Beberapa hari terakhir ini, aku dan Nayeon selalu mengunjungi sekolah tempat Lisa bekerja. Kami mengunjungi sekolah tersebut untuk menjemput Lisa dan membawanya jalan bersama kami. Karena hal itu, aku jadi semakin dekat dengan Kyungwan, salah satu anak murid Lisa. Ia selalu menjadi anak terakhir yang pulang sekolah. Selama ia belum dijemput, aku selalu mengajaknya berbincang-bincang. Dia adalah anak terunik yang pernah kutemui. Menurutku, dia sangat pintar dan dewasa untuk anak seusianya.

“Nuna, kenapa selalu datang kemari? Apa nuna juga seorang guru?” tanya Kyungwan dengan polosnya.

“Bukan, aku bukan seorang guru. Tapi, aku teman dari gurumu,” jawabku sembari tersenyum.

“Ah, teman.. Jeongyeon juga punya teman yang cantik sepertimu, nuna,” balas Kyungwan lalu menunjukkan sebuah gambar padaku. “Dia orang yang baik! Dia selalu membuatkanku minuman cokelat! Tapi, dia tidak mau datang ke acara pentas seni kami.” Raut wajah Kyungwan langsung berubah dalam sekejap.

“Memangnya kenapa?” tanyaku yang mulai penasaran.

“Dia bilang karena dia bukan orang tuaku. Jadi, dia tidak bisa menghadiri pentas seni kami. Jeongyeon juga tidak bisa hadir.. Tidak ada yang menontonku,” jelas Kyungwan dengan sedih.

Mendengar penjelasan Kyungwan membuat sebuah pertanyaan terbesit dalam kepalaku. Aku langsung melirik Lisa dan memanggilnya, “Lisa!”

“Ya? Ada apa?” tanya Lisa setelah memalingkan wajahnya ke arahku.

“Apakah acara pentas seni yang akan kalian adakan hanya boleh dihadiri oleh para orang tua?” tanyaku dengan penasaran.

“Hmm, sebenarnya tidak harus sih.. hanya saja kami mengharapkan para orang tua untuk datang menonton anak mereka,” jawaban Lisa itu sesuai dengan harapanku.

“Kau dengar itu, Kyungwan? Tidak harus orang tuamu yang menghadiri pentas seni itu. Jadi, bagaimana kalau kau mengatakan hal itu pada teman ayahmu dan mengajaknya lagi?” Aku ingin mendorongnya agar tidak menyerah.

“Bagaimana kalau nuna saja yang menghadiri pentas seni kami?” balas Kyungwan lalu mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya. “Jika nuna tidak keberatan, ambillah undangan ini dan datanglah menontonku, nuna!” usul Kyungwan sembari tersenyum.

“Kau ingin aku datang..?” tanyaku tidak percaya. Mendengar responku yang seperti itu membuat senyuman di wajah Kyungwan memudar.

“Tidak apa-apa jika nuna tidak ingin datang juga. Aku akan mengajak Paman Kim untuk datang. Dia pasti akan datang!” Kyungwan tetap berusaha ceria walaupun aku tahu ia sebenarnya kecewa.

“Hmm, tentu saja! Nuna pasti akan datang! Aku akan duduk paling depan dan mendukungmu!” jawabku sambil tersenyum dan mengelus kepalanya. Sungguh aku tidak pernah bertemu dengan seorang anak yang sesantun Kyungwan. Aku jadi bertanya-tanya siapa orang tua yang telah mendidik anak ini. Aku sangat ingin bertemu dengan mereka, orang yang bernama ‘Jeongyeon’ ini dan ibu Kyungwan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
momomoguring
Spin-off: A Poem Titled You
https://www.asianfanfics.com/story/view/1411438/a-poem-titled-you
Mungkin ini termasuk spoiler(?)

Comments

You must be logged in to comment
poplarbear #1
Chapter 30: AAAAAAAAA will you someday update this story? :'))
poplarbear #2
Chapter 12: Soo... Jeongyeon knows about Chae's past??
poplarbear #3
Chapter 10: Wew cerita bagus gini kok upvotesnya kurang yah :')
poplarbear #4
Chapter 2: AAAAAAA
babibu #5
Chapter 30: ah elah jeong udah deh move on aja ntu bukan jodoh elu, gw tabok kalo bikin onar lagi jeong
ini lagi emaknya kyungwan siapa sih? masih kepo nih
Kim6Ex
#6
Chapter 29: Aarrrrrr ga sabar update trozzz min,,,,,
SanaCheeseKimbap_
#7
Chapter 29: PEDANG PEDANGAN HAHAHAHAH
oncezara #8
Chapter 28: aaaaa :'))
Kim6Ex
#9
Chapter 28: Ahh.... Hemmm..... Ga bisa ngomong apa2
babibu #10
Chapter 27: sianjir jitzu angst banget sihh yalord swedih banget gw, ini lagi ceyong nembak aja lemotnya bukan maen malah asal nyosor doang! belum nembak loh, oh ya tuhkan gw sempet lupa kalo nama aslinya sana itu mina