Little Blue Bird
Little Blue Bird"Aku tidak bisa mengharapkan Lee Teuk menjadi penerusku. Pribadinya terlalu lemah, dia akan mudah ditindas. Sung Min, kurang lebih sama dengan Lee Teuk meski aku yakin dia bisa membela diri dalam berhadapan fisik. Lagi pula dia lebih tertarik dengan kejuaraan bela diri."
Kyuhyun menunduk. "Hyuk Jae hyung,"
"Kyuhyun, putraku," panggil sang ayah dengan suara berat dan tajam. "Hyungdeulmu besar oleh kasih sayang ibu kaliyan. Oleh didikan dan pembentukan pribadi ibu kaliyan. Mereka berbeda denganmu. Hyuk Jae sejak awal tidak tertarik dengan perusahaan, ibumu memberi kebebasan padanya untuk menari. Jadi itulah yang dia lakukan selama ini."
Kyuhyun semakin menundukkan kepala. Dia meremas jari-jarinya yang saling bertaut. Lalu terdengar lagi kalimat panjang sang ayah.
"Aku butuh seseorang yang lebih kuat dari pada mereka. Seseorang yang kudidik sedari awal, yang memiliki potensi dan kekuatan sama sepertiku. Itu adalah kau, Kyuhyun. Kau sempurna. Kecerdasanmu adalah anugrah yang setiap orang tua harapkan. Aku percaya aku mampu mendidikmu dan aku percaya pada kemampuanmu."
Kyuhyun memejamkan mata. Sesuatu dalam dirinya ingin memberontak. Namun dia tidak berani. Dia sejak kecil digenggam erat oleh sang ayah. Menjadi pribadi yang selalu menuruti keinginan dan perintah sang ayah.
"Sayang sekali, saudaramu tidak sama denganmu. Kibum, anak yang malang. Seandainya dia bisa lebih sehat dia akan sebanding denganmu. Maka kau dan dia bisa bersama menjadi penerusku. Aku memang memiliki 5 orang anak. Namun hanya padamu aku menaruh semua kepercayaan dan harapanku. Jangan kecewakan aku, Kyuhyunie. Buat aku bangga padamu."
Hari sudah sangat larut. Di luar semakin gelap dan sepi. Tapi pemuda 15 tahun itu masih terjaga. Berdiri tegak didepan jendela kamarnya. Memandang keluar dengan pandangan kosong.
Tiba-tiba dia memeluk tubuhnya sendiri, merasakan dingin yang tidak biasa dan sakit di punggung. Dia jatuh terduduk. Bahunya bergetar dan air mata lolos dari kedua mata yang sayu.
Kyuhyun menekuk kedua kaki dan merapatkannya di tubuh. Memeluknya seolah ketakutan dan mencari perlindungan. Namun sayang hal itu justru membuatnya merasakan kesendirian. Dia terisak. Menggigit bibir, menahan suaranya.
Hari ini dia baru kembali dari Amerika setelah satu setengah tahun berada disana untuk menyelesaikan kuliyah. Tentu bukan karena keinginannya. Dia masih 15 tahun. Masih ingin bermain, ah tidak. Kita ganti kata masih menjadi 'dia ingin bermain'. Dia pikir setelah menyelesaikan semua pendidikan yang dirancang dan direncanakan ayahnya dia akan terbebas dari semua tugas dan mendapat sedikit kelonggaran. Dan sedikit kelonggaran itu bisa dia gunakan sebaik mungkin. Berjalan keluar atau yang sangat dia inginkan sejak lama untuk dilakukan adalah berkumpul dengan saudaranya. Sayangnya hanya sebuah angan. Baru saja dia menginjakkan kaki di rumahnya sang ayah sudah mengumumkan tugas selanjutnya.
Dia ingin sekali memberontak. Menolak dan mengungkapkan apa yang dia mau. Namun sekali lagi, dia bungkam. Dia tahu begitu dia berhadapan dengan sang ayah, semua
Comments