Trust

Heal Our Flashback

“Mingyu.”

“Ah ya, Jihoon hyung? Ada apa? Bukankah ini sudah terlalu malam.”

Jihoon mendehem pelan, “Aku tau itu. Ada yang ingin kutanyakan.”

“Apa itu? Akan ku usahakan untuk menjawabnya.”

“Apakah kau tau sesuatu tentangku sepuluh tahun yang lalu?”

“… kenapa kau menanyakan hal itu?”

“Tidak, hanya saja aku ingin tau tentang sesuatu yang membuatku begini?”

Mingyu mengernyitkan alisnya pelan, “Sesuatu? Apa ada yang terjadi kepadamu Jihoon hyung?”

“Maaf, sepertinya kau tidak menyadarinya karena kau selalu didekatku dari dulu hingga sekarang dan aku tidak terlihat begitu kepadamu. Mingyu, kau adalah calon mahasiswa psikologi bukan?” tanya Jihoon perlahan setelah berbicara panjang lebar.

“Ada apa denganmu hyung? Bukankah hyung tidak memiliki masalah apapun itu?”

“Aku memilikinya, Mingyu-ya. Ini sudah sepuluh tahun yang lalu. Ketakutanku yang tidak tau bagaimana caranya untuk kuselesaikan,” jelas Jihoon panjang lebar dan kemudian melipat kedua kakinya dengan nyaman di atas tempat tidurnya. Seungkwan sendiri sudah tertidur di kamarnya sendiri begitu pula dengan Eun maupun Tein yang sudah tertidur di ruang tamu.

Phobia?”

“… begitulah.”

“Apa itu hyung? Kenapa kau menyembunyikan hal ini selama sepuluh tahun?”

“Aku tidak berniat begitu Mingyu-ya. Baiklah, aku memiliki pistanthrophobia. Aku tidak tau bagaimana caranya untuk menyembuhkannya.”

Pistanthro- phobia?”

“Kau pasti mengetahuinya,” gumam Jihoon pelan sedangkan Mingyu di seberang sana sudah menggigit bibirnya pelan.

‘Selain dia, kau juga hyung?’

“Aku memang mengetahuinya hyung. Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku? Apakah kau tidak percaya juga denganku? Karena―”

“Ada apa Mingyu?” tanya Jihoon keheranan karena pria itu sudah memutuskan perkataannya terlebih dulu.

“Kenapa hyung tidak mengatakannya kepadaku?”

Jihoon tersenyum mendengarnya, “Maafkan aku Mingyu. Apakah kau marah?”

“Tidak… hanya saja aku terkejut mendengarnya.”

“Bagaimana caranya untuk menyembuhkan phobia ini?”

“Hyung… bukankah salah satu gejala pistanthrophobia adalah tidak pernah mencoba untuk membantu ataupun meminta bantuan?”

Jihoon terdiam setelah mendengar jawaban Mingyu yang terlihat lebih seperti pertanyaan bagi dirnya, “… apa maksudmu aku sudah mencoba untuk mengobati diriku sendiri sekarang?”

Begitulah… apakah kau merasakan sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini? Seperti terbuka ataupun peduli.”

Jihoon membelalakan matanya, “Aku…”

“Hyung… lagi pula phobia itu tidak dapat disembuhkan dari luar, aku hanya bisa menuntunmu jika kau mau. Tetapi untuk kasus hyung, cobalah percaya kepada orang lain selain Seungkwan maupun aku.”

“Terima kasih Mingyu…”

“Ngomong-ngomong aku akan pindah minggu depan, tepat di hari minggu. Karena hari ini adalah hari kamis, maka sekitar sepuluh hari lagi aku akan ke Seoul.”

“Baguslah kalau begitu, sampai jumpa.”

“Sampai bertemu hyung.”

Panggilan itu terputus setelah pembicaraan panjang itu. Jihoon sendiri merasakan telinganya panas setelah panggilan itu. Dia mengingat apa saja yang membuatnya menjadi begini, tabrakan di lorong kampusnya, pertemuan Chan dengannya ditaman hingga Seungcheol yang meminta bantuannya dan dia menerimanya sesuai dengan saran Seungkwan, terlebih telapak tangannya yang mungil masih bisa merasakan sedikit kehangatan yang terjadi di toko Seokmin.

Apakah peri itu benar-benar ada?’ batin Jihoon dan pikirannya terlintas sekilas masa kecilnya di Busan dulu, saat dia bermain di pantai dengan sahabatnya.

“Aku merindukan kalian…”

Mingyu sendiri masih terdiam dengan smartphone yang masih berada di tangan kirinya. Dia mendongakan kepalanya dan menatap langit-langit kamarnya lalu menutup matanya sebentar. Saat dia membukanya, terlintas di pikirannya untuk menyelesaikan semuanya, terutama diantara sahabat kecilnya itu. Tapi dia tidak tau bagaimana caranya. Ada alasan tersembunyi untuk seorang Kim Mingyu yang memilih mengambil jurusan psikologi.

“Aku akan membantu kalian menyelesaikan hal ini.”

 


 

Siang yang mulai terasa panas itu dirasakan oleh mereka bertiga yang duduk di taman kampus itu, melihat semuanya yang mulai berubah. Pohon sakura yang menggugurkan kelopaknya, bunga matahari yang akan mekar sesaat lagi dan matahari yang bersinar dengan sangat cerah.

“Jisoo-ya,” panggil Seungcheol setelah mereka menikmati hangatnya sinar matahari itu.

“Kenapa?”

Seungcheol lalu mendehem pelan lalu berbicara, “Bagaimana pendapatmu jika kau mengenggam tangan seseorang yang baru kau kenal sekitar seminggu?”

“Kau mengatakan apa Seungcheol?” tanya Jeonghan yang syok mendengarnya.

Jisoo yang tenang hanya menjawab pertanyaannya, “Ada dua sisi yang dapat dilihat, sisi positif dan sisi negatif.”

“Bagaimana tentang hal itu?”

“Dari sisi positifnya, itu bisa saja sebagai ungkapan sayang atau mencoba mengetahui perasaan satu sama lain sedangkan disisi negatifnya―”

Jisoo tersenyum kecil melihat sahabatnya yang polos itu dengan Jeonghan yang tidak percaya dengan keadaan mereka bertiga saat ini kemudian menjawab, “Kau bisa dianggap sebagai orang mesum.”

“Aku tidak begitu,” sangkal Seungcheol cepat dan tidak terima. Jisoo maupun Jeonghan menatap sesosok Choi Seungcheol dengan tidak percaya.

“Jadi kau?” tanya Jeonghan tidak percaya dan sedikit bergetar.

“Selamat Choi Seungcheol,” dan Jisoo tertawa lebar setelah mengucapkan itu.

“Kau menggengam tangan siapa?” bisik Jisoo pelan dan mulai mengintrogasi Seungcheol.

“Itu hanya perasaanmu Jisoo-ya,” jawab Seungcheol dan atensi matanya yang tidak sengaja bertemu dengan makhluk mungil itu. Tampilannya hari ini lebih manis daripada yang dipikirkan oleh orang lain dan membuat mata Seungcheol selalu ingin terus menatapnya.

Sesosok Jihoon berjalan didaerah taman itu dengan niat mencari tempat duduk. Saat dia melihat tempat duduk kosong, dia melihat sekelilingnya dan melihat Seungcheol yang sudah menatapnya sejak awal. Jihoon menatap kedalam matanya sekilas lalu dengan segera memalingkan wajahnya. Berjalan menjauh dari tempat itu dan melihat teman semasa SMA-nya itu berada didekat sana.

“Jihoon? Kenapa wajahmu semerah kepiting?” tanya Soonyoung menatapnya dengan keheranan.

Jisoo mendekatkan mulutnya ke telinga Seungcheol, “Jangan kubilang kau melakukan sesuatu ke Lee Jihoon.”

Dengan cepat Seungcheol menggelengkan kepalanya dan Jisoo hanya dapat tersenyum lebar melihat sahabatnya panik. Jeonghan sendiri hanya diam disana, memilih untuk tidak bergabung dengan kedua sahabatnya membicarakan sosok mungil yang baru saja melintas didekat mereka tadi.

“Dan ngomong-ngomong kenapa kau tau tentangnya?” tanya Seungcheol dan Jisoo berpikir sekilas.

“Kudengar dia adalah murid terpintar dari jurusan musik. Meskipun dia pendiam, tetapi dia menjadi bahan pembicaraan satu kampus ini.”

“Begitukah?” tanya Seungcheol tidak percaya dan Jisoo hanya mengangguk.

“Jeonghan-ah,” panggil Jisoo ke sahabatnya yang duduk di sebelahnya.

“Hm?”

“Kita ada kelas setelah ini,” gumam Jisoo dan kemudian berdiri.

“Bukankah tidak―” kalimat itu terputus saat Jisoo menarik lengannya untuk berdiri.

“Ikutlah denganku,” jawab Jisoo singkat dan Jeonghan hanya mengangguk pelan mendengar sahabat kecilnya itu.

“Maaf Seungcheol-ah, kami ada urusan,” pamit Jisoo dan Seungcheol hanya membalasnya, “Baiklah.”

Disaat mereka berjalan menjauhi Seungcheol, hingga berada didekat kelas mereka, Jisoo membuka mulutnya dan berdiri dihadapan Jeonghan, “Han, mengakulah.”

Jeonghan menatap sahabatnya dengan tatapan aneh, “Ada apa?”

“Tentang apa yang kau rasakan dulu dan sekarang.”

“Maksudmu?”

“Tentang Seungcheol,” jawab Jisoo dan Jeonghan menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

“Jeonghan, Yoon Jeonghan. Aku merasakan apa yang kau rasakan. Kau tidak lupa bukan? We’re soulmate.”

“… aku, aku,” gumam Jeonghan terbata-bata dan Jisoo meraih kepalanya dengan tangan kanannya, meletakkan kepala sahabatnya itu dipundak lebarnya.

“Baiklah… aku memang menyukai Seungcheol.”

“Hm?”

“Apa yang kau inginkan?” tanya Jeonghan dan Jisoo menggeleng pelan.

“Katakanlah sebelum terlambat,” ucap Jisoo dan meraih rambut Jeonghan yang lembut itu, mengusapnya pelan.

“… baiklah,” gumam Jeonghan pelan, masih menikmati perlakuan Jisoo yang disukainya sejak mereka berdua masih kecil.

Di lorong yang sepi itu hanya terdapat mereka berdua, tidak ada yang melihat mereka sama sekali. Jisoo sendiri juga tidak peduli jika ada yang melihat mereka. Senyuman Jeonghan sendiri terbentuk disaat itu.

“Terima kasih Jisoo.”

 


ini tidak jelasss, plot membosankan, hati hati di PHP :")

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sseundalkhom
#1
Chapter 26: YA AMPUN TOLONG UPDATE, SEUNGCHEOL AYO BANGUN CHEOL ARGGGGHHHHH
mongiemong
#2
Chapter 25: I think we don't have as much active readers on aff anymore as we used to. the tag isn't as active that's why there's less feedback.

kaget juga tadi pas liat fic ini di update. finally last chapter 1 lagi yaa.. after all the pain and sadness jihoon uda rasa huhu. makasi tetep ngelanjutin fic nya walau udah setahun. this fic deserves an ending for our jicheol ^^
lakeofwisdom
#3
Chapter 24: GANTUNGNYA MANTEP YAAAAA HMMM
Balalala1717 #4
Chapter 22: JIHOOONNYA OMOOOOO ngambek tapi pengen disayang sayang gitu yaa
leejihoon92
#5
Ff kaporit memang ini hehhh....
Balalala1717 #6
Chapter 21: Waaah mind blown mih si mingyu ternyataaaa
lakeofwisdom
#7
Chapter 21: udahlah mingyu kasih tau aja :((
Balalala1717 #8
Chapter 20: LAAAAH JADI SEUNGCHEOL..... ?!!!