Chapter 29

Irresistible

Kami masih terdiam setelah Liam terkahir berbicara kepadaku. Aku merasakan percikan air laut di kakiku dari ombak yang pecah di tepi batu-batuan. Angin semakin kencang. Langit semakin gelap.

“Kau tidak ingin mengatakan apapun?” Akhirnya Liam memecah kebisuan diantara kami.

Aku menggelengkan kepalaku. Antara tidak ada yang ingin aku katakan dan aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Biarpun sesungguhnya banyak yang ingin aku katakan padanya.

“Kau yakin?” tanya Liam yang aku rasa seperti memaksaku untuk bicara padanya.

“Aku...” Aku terdiam sejenak tidak yakin apa aku benar-benar ingin mengatakan ini. “Aku hanya tidak suka dengan apa yang kau lakukan terhadapku.”

“Aku tahu. Aku minta maaf, Cam. Aku sungguh-sungguh tidak tahu...”

“Tidak, bukan itu yang aku maksud.” Aku memotong perkataan Liam yang aku tahu dia akan membahas tentang yang terjadi kemarin. Tapi tidak hanya itu yang aku maksud.

“Oh, ada hal lain yang aku lakukan padamu?”

“Liam, aku sungguh tidak ingin membahas apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Tetapi kau tidak pernah memberikan aku jawaban.” Apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu kembali terlintas di pikiranku dan membuat air mataku mulai mengalir. “Kau tahu, Liam. Aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu. Jauh sebelum kau masuk ke kelasku dan menolongku saat aku hampir saja jatuh. Jauh sekali sebelum itu semua terjadi.” Aku tidak percaya aku bisa mengatakan itu pada Liam. Air mataku mengalir semakin deras.

“Cameron...” Liam menempelkan kedua tangannya di kedua pipiku dan menghapus air mataku.

Aku memegang kedua tangannya dengan kedua tanganku lalu melepaskan tangannya dari wajahku. “Tetapi aku tidak tau apa yang aku rasakan sekarang. Aku tidak tau apakah aku masih menyukaimu seperti dulu. Mungkin aku kecewa, entahlah... Aku tidak pernah mengerti maksudmu dari dulu. Kalau kau mendengar apa yang aku katakan pada Stella, aku hanya emosi. Dan aku hanya ingin dia diam.  Jadi aku berbohong pada diriku sendiri. Tapi aku rasa semakin lama aku merasa itu bukan menjadi suatu kebohongan lagi.”

Liam menundukkan kepalanya. “Tetapi aku mencintaimu, Cam.” Liam mengatakannya dengan suara yang semakin pelan. Aku tidak yakin aku benar-benar mendengarnya. Apa dia sungguh-sungguh mengatakannya? Aku tidak tahu apa aku senang atau marah ketika mendengar apa yang dia katakan.

“Oh ya? Kau yakin? Apa kali ini kau benar-benar mengerti dengan apa yang kau katakan?” Aku rasa sekarang aku marah karena kata-kata itu. “Kalau kau benar-benar mengerti dan benar-benar merasakannya apa kau pikir kau pantas menarik ulurku seperti waktu lalu? Dimana seharusnya kau mengajakku bicara baik-baik tentang apa yang kau rasakan, tentang apa yang kau dengar, atau apapun. Dimana kau seharusnya menjelaskan semuanya padaku saat aku bertanya padamu.” Air mataku kembali mengalir deras. “Aku rasa sekarang semua sudah terlambat. Mungkin aku sudah tidak merasakan apa yang dulu aku rasakan.” Aku menurunkan intonasi suaraku. Aku beranjak dari bebatuan dan berjalan turun ke pasir pantai yang basah karena ombak. Liam mengikutiku.

“Aku tahu aku memang bodoh, Cam. Aku sebagai laki-laki tidak seharusnya seperti itu. Tapi aku hanya tidak bisa menerimanya, saat aku mendengar apa yang kau katakan pada Stella. Kau terlihat sangat serius saat kau mengatakannya. Dan pikiranku mulai campur aduk. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Maafkan aku, Cam.” Liam berjalan ke hadapanku dan berdiri di depanku. “Kau tahu, mungkin aku tidak menyimpan perasaanku selama kau menyimpannya, tetapi aku benar-benar merasakannya. Dimana para gadis di kampus mencoba menarik perhatianku dengan berbagai cara, tetapi tidak dengan kau. Kau hanya menjadi dirimu. Saat pertama kali kau menolak tawaranku dua kali untuk masuk dalam suatu organisasi, saat itu aku mulai sangat tertarik padamu, Cam.” Liam membelai rambutku yang tertiup angin dengan tangannya. “Apa kau yakin kau akan berhenti sampai disini? Kita bisa memulainya dari awal, Cam. Yang berlalu biarlah berlalu, semua hanya salah paham.”

Aku hanya menundukkan kepalaku sambil mencerna setiap kata yang Liam katakan padaku. Aku tentu masih menyukai nya tapi semuanya tertutup oleh rasa kecewaku terhadap apa yang dia lakukan.

“Cameron...” Liam mengangkat lembut wajahku dengan tangannya. “I love you, Cam. I really do.”

Liam memelukku erat. Sesaat aku tidak membalas pelukannya. Aku kembali merasakan air mataku mengalir dan membasahi baju Liam. Aku membalas pelukannya dengan erat. Apakah ini yang selama ini aku inginkan? Berada di dalam pelukan seorang Liam Payne dan mendengarnya mengatakan kalau dia mencintaiku? Aku melepaskan pelukanku. Liam memandangku penuh arti tapi aku tidak bisa berkata apapun. Liam mendekatkan wajahnya padaku. Aku menyentuh lehernya dengan tangan kiriku dan mendorongnya hingga wajahnya semakin dengan dengan wajahku sehingga aku dapat menyentuhkan bibirku di bibirnya dengan pelan. Aku merasakan dia tersenyum saat membalas menciumku. Liam melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan memelukku erat.

Tiba – tiba aku mendengar ledakan kembang api dan aku melepaskan ciumanku dari Liam. Aku mengangkat wajahku dan melihat kembang api menyala-nyala di langit.

“Kau yang melakukannya?” Aku menatap Liam.

“Mereka yang melakukannya.”  Aku menoleh ke arah Liam memandang. Ke arah belakangku. Aku melihat Jess, Kim, Harry, Louis dan Niall disana tersenyum kearah kami. “Atas perintahku.” Liam menambahkan.

“Kau sudah merencanakannya?” Aku mengerutkan keningku pada Liam.

Liam tersenyum padaku. Senyum yang selama ini membuatku merasakan banyak kupu-kupu di perutku, sampai saat ini pun juga. Liam menganggukkan kepalanya dan kembali menciumku lalu mengajakku kembali ke dalam rumah bergabung bersama yang lainnya.

Saat kami memasuki rumah, yang lain sudah terlebih dulu berada di dalam rumah. Mereka masing-masing sudah membawa gelas kaca berisi anggur. Niall memberikan gelas yang yang sudah berisi anggur padaku dan Liam lalu mengambil miliknya sendiri di atas meja. Harry mengangkat gelasnya. “Untuk Cameron dan Liam.” Harry tersenyum pada kami lalu kami semua saling menyentuhkan gelas kami lalu meminumnya.

Aku dapat melihat ekspresi bahagia di wajah Jess dan Kim. Mereka tersenyum sangat senang melihatku. Aku akhirnya mendapatkan apa yang aku inginkan dari hari pertamaku masuk di perkuliahan. Biarpun aku tidak yakin aku akan mendapatkannya, ternyata mudah, aku cukup menjadi diriku saja. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seseorang yang terpandang di kampus sama seperti Liam. Dan memiliki sahabat-sahabat yang selalu mendukungku, itulah yang terpenting. Saat ini aku hanya penasaran akan satu hal. Bagaimana perasaan Stella dan ekspresi wajahnya saat mengetahui semuanya? Tidak, aku rasa aku tidak perlu mengetahuinya. Itu bukan urusanku. Bagaimana dengan Harry dan Kim? Louis dan Jess? Mereka pasti juga akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, apa yang mereka cintai.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet