Chapter 13

Irresistible

Aku berjalan cepat di koridor gedung Computer Science. Aku tidak bisa menghubungi handphone Kim dari tadi pagi. Akhirnya aku nekat mencarinya ke gedung ini. Jujur ini baru pertama kalinya aku menjelajahi gedung ini selama aku bersekolah di Royal Holloway, biarpun aku bersahabat dengan Kim. Aku tidak pernah mau kalau Kim menyuruhku kesini, karena aku merasa aneh melihat orang-orang disini. Mereka seperti hidup sediri-sendiri dan tidak bergaul dengan yang lainnya. Ketika kau mulai memasuki arena Computer Science di kampus ini, desain interior tampak berbeda seperti masuk ke gedung di masa depan. Semua berbasis teknologi. Mungkin karena tidak diperbolehkan mengubah desain eksterior gedung, orang-orang ini memaksimalkan ilmu mereka untuk mengubah desain interiornya. Aku tidak mengenal semua orang yang aku temui di sepanjang koridor ini. Aku belum bisa menemukan Kim, sampai pada akhirnya aku melihat sosok seperti Harry dari belakang berdiri di pinggir koridor di sebelah pintu yang sepertinya pintu sebuah Lab. Aku mendekatinya. Benar, itu Harry. Sebenarnya aku masih sebal dengan makhluk yang satu ini. Tapi, aku tau dia disini pasti akan bertemu Kim juga karena aku pikir tidak ada alasan yang lain untuk dia berada disini selain itu.

“Hai, Harry. Kau mencari Kim juga?” Sapa ku sambil menepuk pundaknya.

Harry menoleh. “Cam! Iya, kau juga menunggunya?”

“Iya. Aku tidak bisa mengubunginya sejak pagi tadi akhirnya aku nekat mencarinya kesini biarpun aku tidak tau pastinya dia ada dimana.”

“Dia disini.” Kata Harry sambil menunjuk pintu ruangan yang bertuliskan Robotic Lab dengan jempol kirinya. “Tadi malam dia bilang supaya aku menunggunya di dekat sini saja karena dia akan mematikan sinyal handphonenya hari ini, katanya dia menggunakan handphonenya untuk integrasi robot atau apalah aku tidak mengerti.” Harry tertawa.

“Oh, jadi kau memang sudah janjian dengannya?” tanyaku sambil melihat sekeliling dan aku dapat melihat sebuah bangku di dekat tangga menuju lantai 2 yang tidak jauh dari Lab ini. “Bagaimana kalau kita tunggu Kim disana? Kau yakin mau terus berdiri disini?” aku menunjuk ke arah bangku tersebut. Harry mengangguk dan mengikutiku berjalan ke arah bangku dan duduk bersama denganku. Aku masih dapat melihat dengan jelas pintu Lab itu dari sini.

“Bagaimana kabarmu, Cam?”

“Aku? Baik-baik saja.”

“Kalau kau baik-baik saja kenapa kau mencari Kim seperti ada sesuatu yang sangat penting. Sampai kau nekat kemari.” Harry tertawa. Sungguh menyebalkan.

“Sama sekali bukan urusanmu, Harry. Kenapa kau sangat menyebalkan?”

“Aku hanya bercanda, Cam. Jangan terlalu serius.”

“Oh, mumpung aku mengingatnya. Aku bertanya langsung pada Liam.”

“Maksudmu? Bertanya langsung pada Liam apa? Oh! Soal pesta yang lalu?” Harry tertawa lagi. “Kau menanggapinya sangat serius, Cam. Maksudku, sampai sudah berlalu seminggu pun kau masih membahasnya.”

“Aku hanya penasaran, Harry. Dan ternyata Liam tidak serius tentang itu.”

“Oh, I know what’s going on here. Kau menyukai Liam, ya?” tanya Harry dengan senyumnya yang licik. Apa-apaan ini? Tidak mungkin. Harry tidak boleh mengetahuinya. Salah juga, tidak seharusnya aku membahas ini lagi dengan makhluk yang sangat menyebalkan ini.

“Bagaimana bisa?” aku mencoba mengalihkan pertanyaan Harry.

“Kau sangat ingin tahu Liam sungguh-sungguh orang yang aku maksud memastikan kedatanganmu padaku atau tidak. Aku rasa kau menyukainya karena kau terus membahasnya sampai saat ini. Aku bisa jaga rahasia, Cam. Tenang saja. Biarpun dia sahabatku, tidak semuanya aku katakan padanya.” Harry mengedipkan satu matanya padaku.

“Sama sekali tidak ada hubungannya, Harry. Sudahlah, aku tidak akan membahasnya lagi.” Aku melipat kedua tanganku. Aku berharap Kim segera keluar dari Lab itu dan menyelamatkanku dari situasi ini.

“Tanya apapun tentang Liam, dan aku akan menjawab apapun yang aku tahu.”

Apa maksudnya? Kenapa semakin menjengkelkan? Aku menyesal menghampirinya tadi. Dia terus memancingku dan aku tidak akan terpancing. Aku tertawa padanya. “Tidak ada yang ingin aku ketahui tentang Liam.” Dan akhirnya aku melihat pintu Lab terbuka. Aku meghela nafas saat aku melihat Kim keluar dari sana. Tetapi Harry lebih gesit dariku. Cepat sekali dia sudah berada di samping Kim. Manusia atau ninja? Aku berjalan mendekati Kim. Aku melihat Kim mengambil tumpukan dokumen dari tas nya dan memberikannya pada Harry.

“Cam? Kau bersama Harry?” Kim seperti menahan tawa saat bertanya padaku.

“Tentu tidak.”

“Kami hanya sedikit membahas tentang Liam sambil menunggumu. Thanks, Kim. Aku akan memberitahumu jika aku sudah menyelsaikan dokumen ini.” Harry pun berlalu. Kim menoleh kearahku dengan tatapan ‘yang benar saja?’

“Liam? Kau membahas Liam? Dengan Harry?”

“Tidak. Dia yang memulainya. Dia langsung berkata kalau aku menyukai Liam.” Kami pun berjalan menjauhi lab itu.

“Harry tau?” Kim semakin bingung dan tidak percaya. Sangat terlihat pada ekspresi wajahnya.

“Aku hanya sedikit membahas tentang pesta itu dan dia langsung bicara seperti itu. Katanya karena aku terus membahasnya. Menyebalkan sekali.”

Kim tertawa. “Kau juga. Sudah tau bagaimana menyebalkannya dia masih saja membahas masalah itu dengannya. Jadi, kau mencariku? Sorry Cam, handphoneku ku aku matikan sinyalnya.”

“Iya, Harry memberi tahuku juga tadi. Aku mencarimu... Aku rasa aku tidak akan bercerita disini.”

Tentu aku tidak akan bercerita sambil berjalan di koridor seperti ini.

“Okay, kau mau kemana?”

“Dimana kita bisa duduk dan tidak ada yang bisa mendengar.”

“Wow, apa yang mau kau ceritakan? Kau belum pernah masuk cafe gedungku kan? Yuk!” Aku mengikuti arah Kim berjalan ke cafetaria. Dan cafetarianya pun keren. Tidak seperti di gedung-gedung lainnya. Tetapi tidak sebesar yang ada di gedung-gedung lainnya. Biarpun tidak terlalu besar tapi mereka bisa menatanya dengan sangat rapi, modern dan futuristic. Kami duduk di meja yang sedikit berada di pojok dekat dinding. “Jadi, cerita apa itu?” tanya Kim saat kami duduk.

“Tadi malam aku ke Thorpe Park.” Aku dapat melihat Kim menganga.

“Jangan bilang kau pergi dengan Liam.”

“Tidak, Kim. Aku bersama Louis.” Kali ini wajah Kim lebih kaget lagi.

“Cam? Kau serius kan? Tapi, Louis? Bagaimana bisa?”

Aku pun menceritakan pada Kim sedetail mungkin apa yang terjadi kemarin sampai pada Louis menciumku dan pergi. “Apa aku salah?” Aku menggigit bibir bawahku.

“Cam, kau tidak ingin memberinya harapan kan? Dia benar-benar menyukaimu, Cam? Seperti yang kita bicarakan.”

Kemudian aku teringat kata-kata Liam di Dabbous. Aku belum bercerita tentang itu pada Kim. “Sebenarnya, Kim. Louis memang menyukaiku. Dan kau tahu aku tahu dari mana?” Aku terdiam melihat Kim yang menaikkan satu alisnya. “Liam.” Aku seperti sedih sekali mengingat hal ini lagi.

“Cam? Kau tidak apa-apa? Aku semakin tidak mengerti, Cam.”

“Aku saja tidak mengerti kenapa semua jadi rumit seperti ini. Aku tidak mengerti apa tujuan Liam. Dia seperti bertingkah laku sangat aneh.”

“Tapi, Cam. Kenapa kau bisa pergi dengan Louis?”

“Aku mungkin hanya ingin melupakan Liam dan Melanie. Aku tidak dapat berhenti membayangkan mereka. Dan kau tahu, aku lebih lega setelah bersenang-senang bersama Louis.”

“Dan dia menciummu? Ini sudah pertanda tidak bagus kalau kau memang tidak ingin memberinya harapan.”

“Aku tau, Kim. Terus aku harus bagaimana?” Kim pun terdiam sejenak. Aku tau dia pasti juga sangat bingung.

“Sudahlah, Cam. Kalau Louis terus seperti ini kau bilang saja yang sebenarnya bahwa kau tidak mau lebih dari teman.”

Aku melihat jam tanganku. 30 menit lagi aku ada kelas di gedung Musik. “Aku harus pergi, Kim. Aku ada kelas.”

“Okay, Cam. Aku akan disini dulu.”

Aku beranjak dari kursi dan berjalan meninggalkan Kim dan pergi ke gedung Musik. Saat aku berjalan ke gerbang depan aku melihat Liam dan tiga sahabatnya ada disana. Kenapa mereka harus ngobrol di pintu gerbang? Seperti tidak ada tempat yang lebih pas saja. Jantungku berdegup kencang karena aku harus melewati mereka. Mereka mengobrol seperti membentuk lingkaran. Aku semakin mendekat. Harry dan Niall berdiri menghadap ke arah jalan yang akan aku lewati, Liam dan Louis sebaliknya, membelakangi jalan itu. Aku hanya berharap makhluk menyebalkan Harry tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Aku mempercepat langkahku saat melewati mereka.

“Hey, Cam!” Suara itu menghentikan langkahku. Padahal aku tau itu suara Harry. Aku pun menoleh. Bodohnya aku. “Kemarilah sebentar.” Harry? Apa yang kamu lakukan? Louis dan Liam pun menoleh ke arahku. Aku berjalan ke arah mereka. “Kalau aku tidak salah, ayahmu punya studio musik kan?” tanya Harry.

“Iya. Ada apa?”

“Wah kebetulan sekali. Apa studio ayahmu ada fasilitas recording juga? Atau hanya studio band? Kami mencari studio untuk rekaman.” Sahut Niall.

“Ayahku memilikinya. Ada beberapa group band indie yang sering recording disana. Akan aku cek jadwalnya kalau kalian benar-benar mau.” Aku lega Harry tidak membahas yang aneh-aneh dan hanya sebatas studio musik.

“Tidak perlu merepotkanmu. Kami akan langsung kesana untuk mengecek jadwalnya. Kalau kau mau, ikutlah bersama kami.” Jawab Louis dan tersenyum padaku.

Okay, terserah kalian.” Aku pun meninggalkan mereka. Aku merasakan sikap Liam yang dingin padaku. Sebelum aku pergi aku sempat melihat kearahnya dan dia hanya menunduk tidak mau melihat ke arahku.

-

Aku berjalan keluar kelas menuju mobilku. Saat sampai di gerbang aku melihat Liam berdiri sendiri disana. Aku menghampirinya.

“Hey, Liam...”

Liam menoleh ke arahku. “Cam. Aku menunggumu.”

“Menungguku? Sejak kapan kau berdiri disini menungguku?” aku sedikit tertawa.

“Baru 5 menit aku disini. Aku memperkirakan jadwal kelasmu selesai.”

“Oh... Ada apa, Liam?”

“Aku ingin mengumpulkan pengurus inti Fashion Club dan aku akan mengajakmu bertemu mereka. Aku hanya ingin kau menyampaikan tentang ide-idemu kemarin kepada mereka, khususnya pada Stella. Untuk selanjutnya biar aku dan Stella yang mengurusnya.” Apa? Aku tidak mau. Aku ingin mengurus UL Fashion Week bersama Liam. Aku tidak akan memberikannya pada Stella.

“Liam, aku rasa tidak perlu. Aku bisa kok membantumu.”

“Tapi, Cam.”

Aku melihat sekeliling kami, cukup sepi. Aku berusaha tidak berbicara dengan suara yang bisa di dengar orang lain. “Tapi apa, Liam? Kau sendiri yang bilang kalau kau yakin aku bisa membantumu kan? Dan aku juga yakin aku bisa. Aku akan bersamamu untuk UL Fashion Week.” Entah mengapa nada bicaraku jadi lebih tinggi.

“Cam...” Liam seperti tidak mau berkata apa-apa.

“Kau tak mau Louis tau kita sering bersama? Iya?” Aku terkejut pada diriku sendiri yang bisa berkata seperti ini kepada Liam. Seperti bukan diriku. Aku memandang Liam yang hanya memandang wajahku dan tetap diam. “Kau tak bisa menjawab? Sekarang aku berikan pilihan. Aku yang akan tetap bersama kau atau tidak sama sekali.” Aku pun pergi meninggalkan Liam. Apa aku sudah bersikap kasar? Aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Kenapa aku bisa menjadi se-emosi ini. Tidak biasanya aku berbicara se-egois itu dan langsung meninggalkan lawan bicaraku seperti itu, kecuali aku sedang benar-benar marah. Tetapi aku bukan marah saat ini, aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Aku terus berjalan ke arah mobilku. Aku membuka pintu mobilku tetapi seseorang menutupnya kembali. Ternyata Liam mengikuti aku sampai kesini.

“Cam, maafkan aku. Aku tau kau kecewa padaku.” Liam menundukkan kepalanya sesaat dan kembali menatapku. “Aku perlu bicara padamu. Tapi tidak disini. Ayo ikut aku.” Liam menggandengku. Aku diam saja mengikutinya.

Aku tidak mau berbicara apa-apa di sepanjang perjalanan. Begitu juga Liam. Aku pun tidak bertanya mau kemana tujuannya. Liam memarkir mobilnya di Primrose Hill. Mau bicara apa dia sampai harus kesini? Tapi aku menurut saja. Aku mengikutinya turun dari mobil. Kami berjalan melewati jalan setapak memasuki arena Primrose Hill. Kami berjalan menngikuti jalan itu. Aku melihat ke sekelilingku, rumpu hijau yang terbentang luas. Aku dapat melihat pusat kota London dari atas bukit ini.

“Cam...” Liam akhirnya angkat bicara.

“Apa yang mau kau bicarakan padaku?” tanyaku sambil terus berjalan melihat ke arah depan. Tidak menoleh ke arah Liam sedikitpun. Aku merasa nadaku masih agak tinggi.

“Kemarin pagi aku bicara dengan Louis di kampus.” Liam memotong kata-katanya. Aku tetap diam membiarkan dia melanjutkan kata-katanya tanpa aku harus bertanya. “Aku mencoba menjelaskan tentang malam itu. Aku bersamamu. Ekspresi wajahnya sangat berbeda dan aku sangat tau dia, Cam. Dia mengiyakan setiap kalimat yang aku katakan tapi aku tau dia kesal padaku. Benar yang kau bilang tadi, semuanya karena aku tidak ingin Louis melihat kita sering bersama.”

“Kau mengajakku pergi sejauh ini hanya untuk berbicara ini? Di kampus juga bisa.”

“Nada suaramu meninggi, Cam. Aku hanya tidak ingin diperhatikan orang-orang di kampus saat berdebat denganmu.”

“Aku tetap memberikanmu pilihan yang sama seperti tadi. Selanjutnya terserah kau saja.”

“Cam, ini tetap idemu. Dan aku tidak akan menghapus namamu dari proposal. Hanya yang mengaplikasikannya nanti aku dan teman-teman dari Fashion Club.” Liam mencoba menjelaskan padaku.

“Tapi bukan itu masalahnya, Liam!” kali ini aku sedikit membentak dan menghentikan langkahku. Aku mengatakan itu pada Liam dan aku tidak mempunyai jawaban kalau Liam bertanya jadi apa masalahnya kecuali aku harus terus terang bilang kalau aku hanya ingin bersamanya.

“Cam, kau tidak apa-apa?” Liam merangkulku dan menuntunku ke bangku taman di pinggir jalan setapak yang kami lewati. Kami pun duduk di bangku itu. “Katakan saja apapun yang kau ingin katakan padaku, Cam.”

Tidak mungkin. Aku tidak mungkin mengatakan aku menyukainya. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa UL Fashion Week hanya jembatan bagiku untuk dapat sering bersamanya. Tapi aku sangat ingin dia tau. Aku ingin dia menyadari semua ini.

“Aku... Aku hanya ingin merasakan terlibat aktif dalam Fashion Week pertama ini.” Jawaban paling bodoh yang pernah keluar dari mulutku. Aku menundukkan kepalaku.

“Aku tau tidak hanya sekedar itu, Cam.” Liam menyentuh dagu ku dan mengangkat wajahku. “Respon mu tidak mungkin sehebat itu kalau hanya itu alasanmu.”

“Tapi itu benar, Liam. Mungkin aku hanya kecewa.”

“Cam...” Liam menggenggam tangan kananku yang aku letakkan di atas paha kananku. Ya, Liam duduk di sebelah kananku. “Kau tahu... Aku sangat ingin tetap mewakili RH dalam acara ini bersamamu.”

“Lakukanlah jika kau memang sangat ingin.” Aku membalas genggaman tangannya. Tanganku mulai berkeringat.

“Apa aku akan menjadi pengkhianat sahabat sendiri jika aku tetap melakukannya?” Liam melepaskan genggamannya dan mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arahku. Aku pun menyerongkan posisiku sehingga kami berhadapan.

“Tentu saja tidak. Kita hanya berpartisipasi dalam Fashion Week dan tidak lebih.”

“Itulah yang aku takutkan, Cam.” Liam memandangku penuh arti. Apa maksudnya ini? Apa yang dia takutkan?

“Apa... maksudmu, Liam?”

“Bagaimana kalau akan lebih dari sekedar berpartisipasi dalam Fashion Week?” Liam terlihat semakin serius. Jantungku berdegup lebih kencang. Apa artinya dia juga menyukaiku?

“Liam?” Aku tidak tahu harus menjawab apa karena aku tidak benar-benar mengerti apa maksudnya. Aku hanya membalas tatapannya yang penuh arti dan sangat serius menatapku. Aku dapat melihat keringat yang menetes dari dahinya mengalir ke pipinya. Liam semakin mendekatkan wajahnya kepadaku. Bibirnya semakin dekat dengan bibirku. “Liam?” aku membuat Liam menjauhkan wajahnya dari wajahku. Lagi-lagi aku melakukan hal bodoh. Aku hampir saja berciuman dengan Liam Payne dan aku mengacaukannya.

“Cam. Sorry...” Liam mengembalikan posisi duduknya menghadap kedepan. Liam menundukkan kepalanya. Aku bergeser mendekati Liam sampai lengan kananku bersentuhan dengan lengan kirinya. Sebenarnya aku sangat ingin menyentuh pipi kanannya dengan tangan kiriku dan membawa wajahnya kepadaku lalu akan ku cium dia. Tetapi sepertinya terlalu ekstrim. Jadi aku hanya menyandarkan kepalaku di bahunya. “Aku benar-benar akan menjadi pengkhianat sahabatku sendiri.”

Apa ini artinya dia memang juga menyukaiku? Apakah ini waktu yang tepat untuk aku mengatakan apa yang aku rasakan?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet