Chapter 12

Irresistible

Aku berjalan keluar dari gedung Drama. Aku harus ke kantor. Aku mengambil handphoneku dari dalam tasku dan menelepon Kim.

K : Hey Cammy. Kau dimana?

C : Aku baru saja selesai kelas. Kau sudah di kantor?

K : Iya, aku disini. Cepatlah datang. Kami menunggumu.

C : Okay. See ya!

Aku mengembalikan handphoneku ke dalam tas dan terus berjalan ke parkiran mobil. Aku melihat Louis berdiri di samping mobilku. Aku mendekat.

“Louis?”

Louis menoleh ke arah ku. “Hai. Aku menunggumu.”

“Ada apa, Lou? Kenapa kau menunggu panas-panas disini?”

“Soal kemarin. Aku meneleponmu.”

Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. “Oh, kemarin. Sorry…”

“Tidak apa-apa, Cam.” Lou terdiam sejenak. Wajahnya memelas. Aku hanya tetap memandanginya. “Aku hanya ingin mengajakmu pergi. Makan malam atau ke carnival atau bermain golf atau apapun yang kau suka.”

“Oh…” Hal yang paling aku takutkan terjadi. Lou mengajakku pergi, apa ini kencan? Aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku meng-iya-kan, apa aku memberikan harapan padanya? Kalau aku menolak, Lou menceritakan pada Liam, Liam pasti merasa bersalah lagi karena dia yang sudah memeberi tahuku kalau Lou menyukaiku dan mungkin Liam akan mengira aku sengaja menghindar. “Kapan?”

“Kapanpun kau ada waktu untuk itu, Cam. Malam ini juga tidak apa-apa.” Lou tersenyum.

“Malam ini aku rasa aku belum bisa, Lou. Aku harus ke kantor. Aku tidak tahu aku akan berada disana berapa lama.”

“Kau mau pergi ke kantor?”

“Iya, orang-orang disana sudah menungguku. Termasuk Kim.”

“Oh, maafkan aku. Aku tidak tau. Baiklah, kabari saja aku. Kau punya nomorku kan? Aku akan meneleponmu. Sampai jumpa, Cam.” Lou berlalu. Sepertinya dia juga sedikit terburu-buru ke lapangan karena dia sudah mengenakan kostum bola nya.

Aku sampai di IMG. Aku berjalan masuk ke gedung dan bertemu teman-teman model lainnya, termasuk Kim. IMG menjelaskan kepada kami bahwa kami akan menjadi Cover majalah Vogue bulan depan. Wow, keren! Aku, Kim, dan tiga model lainnya, Giselle, Kate, dan Jourdan. Kami berlima termasuk pendatang baru. Vogue ingin mengulas tentang new comers models. Dan kami yang terpilih. Sungguh dapat di banggakan. Setelah meeting selesai Kim mendekatiku.

“Aku sebenarnya tidak ingin memberitahumu ini. Tapi aku rasa sahabat yang baik akan memberitahukannya.” Kata-kata Kim terdengar misterius.

“Kau bicara apa, Kim? Katakan saja.”

“Di jalan aku menuju kesini, aku melihat Liam…” Kim terdiam sebentar. “…dan Melanie. Keluar dari Tesco. I’m sorry, Cam.” Kim menaruh kepalanya di pundak kiriku. Aku terdiam. Tesco merupakan salah satu supermarket disini. Padahal baru saja aku mau menceritakan tentang semalam kepada Kim dengan sangat senang tetapi cerita Kim membuat aku mengurungkan semuanya.

“Mereka? Berdua?” tanyaku.

Kim mengangkat kepalanya. “Aku rasa. Mereka berdua berbelanja membawa troli keluar dari Tesco menuju tempat parkir mobil. Aku sangat tidak ingin membuatmu sedih, Cam.”

It’s okay, Kim. Melanie lagi.” Aku menundukkan kepalaku. “Oh, mungkin mereka berbelanja untuk standnya Melanie. Dan seperti yang kau bilang, Liam selalu membantu orang-orang yang membutuhkan.” Aku tersenyum pada Kim yang terlihat sedih. Kim memelukku.

“Starbucks?” Tanya Kim sambil melepaskan pelukannya.

Sure!”

Kami pun seperti biasa berjalan dari kantor ke Starbucks. Kami menghabiskan sekitar satu jam disana dan kami pulang ke rumah kami masing-masing. Aku duduk bersila di atas tempat tidurku. Aku melihat ke arah jam dinding. Masih jam 5.20 sore. Aku memain-mainkan rambutku. Pandanganku tiba-tiba teralih ke handphoneku yang ada di sampingku. Aku meraihnya. Aku menekan menu panggilan terakhir dan menekan nomor Louis yang membuat handohoneku melakukan penggilan ke nomor itu. Aku menempelkan handphoneku ke telingaku.

L : Hai, Cam.

C : … Louis….

L : Ada apa? Kau sudah pulang dari kantor?

C : Eh, iya. Kau bilang kita bisa pergi hari ini.

L : Tentu! Akan kujemput kalau kau mau.

C : Aku rasa aku mau. Kau tidak sibuk?

L : Tidak. Untuk hari ini sudah selesai. Kau mau kemana?

C : Thorpe Park?

L : Kau yakin? Ide yang bagus! Aku akan bersiap-siap dan menjemputmu.

C : Kau tau alamatku?

L : Can’t wait to see you, Cam.

Louis menutup telepon. Aku tak percaya apa yang sudah aku lakukan. Kenapa aku melakukannya? Aku baru saja mengajak Louis pergi ke Thorpe Park. Apa yang salah denganku? Sama saja aku memberikan harapan untuk Louis. Apa karena aku terus teringat Liam bersama Melanie? Oh, Tidak. Aku tidak sadar sudah menghabiskan 10 menit memikirkan ini. Aku beranjak dari tempat tidurku. Merapikan kembali penampilanku dan berjalan keluar kamar.

“Sepertinya kau mau pergi kencan? Dengan pria yang kemarin?” Tanya Dad yang lagi bersantai menonton TV di ruang keluarga bersama Mom. Aku duduk bersama mereka sambil menunggu Louis.

“Bukan Dad, temanku yang lain. Dan kami tidak berkencan. Kemarin juga bukan kencan.”

I like him. Siapa namanya? Liam?” Sahut Mom.

“Iya, Mom.” Aku tersenyum. Aku juga menyukainya Mom, sangat menyukainya, kataku dalam hati.

“Jadi kau tidak pergi dengannya malam ini?” Mom kembali bertanya.

Aku tertawa kecil. “Tidak. Akan aku perkenalkan juga sebelum aku pergi nanti.”

Tidak lama kemudian bel rumahku berbunyi. Aku berjalan kedepan dan membukakan pintu. Aku dapat melihat Louis berdiri di depanku dengan senyumnya.

“Hai, Louis. Masuk dulu sebentar yuk. Ayah dan Ibuku selalu ingin tahu dengan siapa aku pergi.”

Oh, Sure!”

Kami pun berpamitan dan aku memperkenalkan Louis kepada Mom dan Dad.

“Hati-hati ya, Louis.” Kata Dad sebelum kami pergi.

“Tentu, Mr. DeLonge.” Jawab Louis.

Aku masuk ke dalam mobil Louis yang beraroma vanilla. Mobil Louis sedikit lebih berantakan dari pada mobil Liam. Louis mulai mengendarainya.

“Bagaimana kerjamu?”

“Oh, menyenangkan. Aku dan beberapa temanku aka nada di cover majalah Vogue bulan depan.” Jawabku bangga.

“Kau serius? Aku sangat bangga padamu, Cam.”

“Thanks. Bagaimana persiapan UL Trophy? Kapan dimulainya?” Aku balik bertanya pada Louis.

“Minggu depan. Kami sudah sangat siap dan tidak sabar untuk mulai bertanding.”

“Keren.”

Akhirnya kami sampai di Thorpe Park. Kami berjalan ke loket penjualan tiket.

“Aku yang traktir ya?” kata Louis dengan nada sedikit memaksa.

Okay. Thanks.” Aku tersenyum.

Kami berjalan memasuki taman. Ini pertama kalinya aku bermain disini hanya berdua dengan seorang pria. Biasanya aku hanya dengan keluargaku, teman-temanku, atau berdua dengan Kim ketika kami benar-benar bosan dan tidak tahu mau melakukan apa. Sekarang aku disini bersama Louis. Louis bukan Liam. Aku memandang Louis. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan Louis. Dia pria yang sangat baik. Dia sangat menunjukkan perhatiannya padaku mulai dari pertama kali kami saling kenal. Tetapi aku tidak punya perasaan yang lebih. Tiba-tiba Louis menggandeng tanganku.

“Apa yang mau kau mainkan pertama?” Tanya Louis.

Colossus. My all time favorite ride.” Jawabku. Colossus adalah rollercoaster yang sangat berbeda. Kau bisa merasakan berbagai macam putaran di dalamnya. Mulai dari putaran vertical sampai pada putaran seperti kobra.

Louis tertawa. “Let’s go.” Kami pun berjalan ke arah Colossus. Mengantri sekitar 20 menit dan sampai pada giliran kami. Kami mengambil tempat di tengah-tengah. Saat terisi penuh Colossus mulai berjalan. Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Disaat aku berteriak aku merasakan kelegaan karena aku merasakan pikiranku tentang Liam dan Melanie lepas begitu saja. Akhirnya Colossus berhenti. Aku menoleh melihat Lou yang rambutnya menjadi acak-acakan. Untung aku mengikat satu rambutku. Aku pun tertawa melihatnya. Lou juga tertawa padaku, dan entah mengapa tawa Lou membuatku semakin lega.

Kami pun turun dari Colossus. Kami menaiki wahana-wahana pemacu adrenalin yang lainnya. Dan tiba saatnya kami merasa sudah lelah.

“Lou, aku akan membeli minum.”

Okay.” Kami berjalan menuju suatu stand kereta dan membeli dua gelas coke. Kami meminumnya sambil menuju ke sebuah kursi yang berada di dekat situ. Aku duduk di kursi sambil terus meminum coke ku sampai habis.

“Kau haus sekali?” Tanya Louis sambil sedikit tertawa. Aku pun tertawa. “Kau suka kesini?”

“Iya, tapi tidak sering. Aku sangat suka bermain disini. Ketika aku merasakan banyak masalah dalam pikiranku aku selalu kesini. Aku merasa jauh lebih lega setelah menaiki beberapa wahana yang membuatku bisa teriak kencang.”

“Jadi, apa kau sekarang sedang memikirkan sesuatu?”

“Eh..” Aku terdiam. Aku tidak sadar menjawab itu tadi pada Louis. Aku juga baru menyadarinya, apakah karena terus membayangkan Liam dan Melanie berdua dengen tidak sadar aku mengajak Louis kesini supaya aku lebih lega?

“Kau tidak perlu bercerita kalau kau tak mau. Tetapi aku akan mendengarkan kalau kau mau bercerita.” Louis tersenyum kearahku.

“Tidak, Lou. Aku baik-baik saja. Untuk kali ini aku hanya ingin bersenang-senang.” Aku membalas senyumannya. “Dan aku sungguh bersenang-senang malam ini. Thanks, Lou.”

Me too, Cam. Thanks.”

Setelah 15 menit kami duduk disitu sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang kami memutuskan untuk pulang. Kami tidak banyak mengobrol di sepanjang jalan pulang. Akhirnya sampailah dirumahku. Aku turun dari mobil diikuti oleh Louis.

“Sekali lagi, terima kasih, Lou.” Aku tersenyum, Louis membalas senyumanku. Louis meraih tangan kiriku dengan tangan kanannya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tidak, jangan cium aku, Louis. Aku terdiam dan aku merasakan kecupan bibirnya di pipi kiriku.

Good night, Cam.” Lou tersenyum dan berjalan ke mobilnya. Lou dan mobilnya pun berlalu. Aku semakin tidak bisa berpikir. Perasaan campur aduk yang aku rasakan. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur dan terlelap.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet