Chapter 11

Irresistible

Aku bersantai di kamarku. Kim sudah pulang sekitar dua jam yang lalu. Aku dapat mendengar suara-suara Ava dan Jo bermain bersama Mom dan Dad di ruang keluarga. Aku ingin bergabung dengan mereka tetapi rasa malasku lebih besar jadi aku tetap diatas tempat tidurku. Aku mengecek handphoneku, mungkin sekitar satu menit sekali, aku berharap ada notifikasi dari Liam. Hampir saja aku tertidur pintu kamarku terbuka. Aku menoleh dan melihat Ava.

"Ada apa?" Tanya ku sambil mengubah posisiku menjadi duduk.

"Ada temanmu datang."

"Kim?" Aku sedikit kaget karena kalau memang Kim pasti dia sudah masuk sendiri ke kamarku.

"Bukan, Cam. Laki-laki. Lihatlah sendiri." Jawab Ava sambil berjalan pergi dan membiarkan pintu kamarku terbuka. Aku melihat jam yang menunjukkan jam 7.54 malam. Aku mengambil sweater ku dan memakainya. Aku berjalan ke luar kamarku. Aku melewati ruang keluarga.

"Dia menunggu di teras. Tidak mau masuk." Kata Ava saat aku lewat. Aku terus berjalan ke pintu depan. Aku membuka pintu dan aku melihat Liam beranjak dari kursi teras rumahku.

"Liam?" aku berjalan beberapa langkah ke teras dan menutup pintu rumahku. "Kau? Ada apa? Kau tau alamat rumahku?"

"Hai, Cam. Maaf aku tiba-tiba datang. Aku punya banyak sumber untuk bisa tau alamatmu. Aku mau menelpon dulu tapi handphoneku tertinggal." Liam menyengir.

"Oh iya tidak apa-apa kok. Jadi ada perlu apa, Liam?" aku masih tak percaya ini. Seorang Liam Payne ada dirumahku.

"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Kau sedang sibuk?" Apa? Liam mengajakku pergi? Apa ini artinya kencan? Cukup Cam. Jangan berharap banyak dulu. Fiuh.

"Mengajakku kemana, Liam?"

"Kau ganti baju saja dulu."

"Okay. Tunggu di dalam saja, yuk." Aku membuka pintu dan berjalan masuk diikuti Liam. Aku berjalan ke ruang keluarga dan mengenalkannya pada Mom dan Dad.

"Mom, Dad, ini Liam temanku di kampus." Mom dan Dad beranjak dari tempat duduknya dan bersalaman dengan Liam.

"Hai, Mr dan Mrs DeLonge." Liam menjabat tangan mereka sambil tersenyum.

"Hai. Duduklah" kata Mom menyuruh Liam duduk sambil menungguku ganti baju. Aku menuju kamarku dan mengambil Black Shadow Denim milik Paige Denim dan Slubby Crop Top abu-abu milik Topshop. Aku mengganti baju ku dan mengikat satu rambutku. Aku mengoleskan Lychee Luxe Tinted Lipglass milik Mac ke bibirku. Aku kembali ke ruang keluarga.

"Oh iya, aku lupa memperkenalkan adik-adikku." Kataku sambil melihat Liam yang sedang mengobrol dengan Mom dan Dad.

"Sudah dad perkenalkan, Cam." Kata Dad.

Kami pun berpamitan pergi dan berjalan keluar dan masuk ke mobil Liam. Aku ada di dalam mobil bersama Liam. Dan ini kenyataan bukan mimpi. Liam mengendarai mobilnya. Aku tidak tau mau bicara apa. Aku hanya diam dan kadang-kadang menoleh kerahanya. Dia tidak banyak bicara juga. Kadang-kadang ikut bernyanyi kecil mengikuti alunan music di mobilnya yang aku rasa music milik Robbie Williams.

"Kita mau kemana, Liam?" Akhirnya aku bertanya karena aku penasaran.

"UL Student Union."

Student Union? Lucu sekali. Kenapa dia mengajakku kesana? Sama sekali bukan kencan. Iya, memang, dari pertama tidak ada yang bilang tentang kencan. Tapi, ke Student Union? Aku bukan apa-apa seperti Liam.

"Apa? Buat apa?"

"Akan kujelaskan nanti." Liam tersenyum ke arahku dan kembali melihat ke depan.

"Okay." Jawabku pasrah. Tidak masalah mau kemana. Aku pergi dengan Liam berdua saja seperti ini sudah sangat menyenangkan. Tidak lama kemudian kami sampai di gedung UL Student Union. Gedung dengan tekstur batu bata merah yang memiliki tiga lantai. Aku turun dari mobil dan mengikuti Liam. Saat memasuki gedung Liam menggandengku dan mengajakku masuk ke ruangan yang seperti ruang meeting. Sudah ada beberapa orang yang lain di dalam dan aku sama sekali tidak mengenal mereka. Liam duduk di salah satu kursi dan menyuruhku duduk juga di kursi sebelahnya.

"Sebenarnya untuk apa aku disini?" tanyaku sedikit berbisik pada Liam. Liam tidak menjawab dan hanya memberikanku sebuah dokumen proposal dengan judul acara UL Fashion Week. "Apa ini?" aku kembali bertanya tanpa membaca isi dokumen itu.

"Mr. Payne. Kau perwakilan dari kampus?" Tanya seseorang lelaki separuh baya yang lebih dulu ada di ruangan ini.

"Royal Holloway, Mr. Jenkins. Dan ini Miss DeLonge, perwakilan RH juga dengan saya." Liam bersalaman dengan lelaki yang ternyata bernama Mr. Jenkins itu dan aku pun ikut bersalaman karena Liam memperkenalkanku.

"Tadi kau tanya apa?" Liam bertanya balik padaku.

"Apa maksudnya ini? Kenapa aku bersamamu mewakili RH? Aku tidak mengerti."

"Setelah UL Trophy akan di lanjut dengan UL Fashion Week. Salah satu program baru di UL."

"Tetapi kenapa kau tidak bersama teman-teman dari Fashion Club?"

Liam menghela nafas. "Aku rasa dulu aku pernah bilang padamu. Mereka sudah vakum. Tidak berkembang. Stella sebagai ketua Club saja tidak pernah peduli. Hanya peduli dengan urusannya sendiri."

"Stella?"

"Stella Maxwell. Kau tidak tahu? Aku kira semua orang mengenalnya karena dia suka berkunjung ke setiap departemen tanpa dimengerti apa tujuannya." Liam tertawa kecil.

"Oh, Iya. Stella Maxwell. Aku rasa aku tau. Tapi aku tidak mengenalnya."

"Karena itu aku mengajakmu. Saat pertama kali aku diundang untuk pertemuan ini aku langsung ingat kau." Liam tertawa sedikit. "Apalagi setelah melihat wajahmu di Topshop. Aku rasa kau lebih mengerti fashion dari pada teman-teman di Fashion Club." Liam melanjutkan.

"Kau... Kau juga lihat?" Aku malu dan bangga. Wajahku pasti memerah sekarang.

"Tentu saja! Siapa yang tidak lihat?"

Liam tersenyum padaku dan akupun tersenyum malu. Tidak lama kemudian ruangan sudah dipenuhi perwakilan dari masing-masing kampus yang tergabung dalam University of London. Rapat pun dimulai. Mulai dari membahas waktu dan tempat hingga rangkaian acara dan sponsor. Aku mengusulkan beberapa acara seperti walking on the runway, kompetisi rias wajah dan penataan rambut, kopetisi rancang baju, dan live music. Mereka ternyeta menyadari bahwa wajah di Topshop itu wajahku dan mereka meminta aku agar IMG Models bisa menjadi salah satu sponsor. Seru juga menyusun acara seperti ini, tapi pasti akan semakin sibuk mendekati hari H. Yang aku pedulikan saat ini, kalau aku terus ikut mengurus acara ini sampai selesai aku akan dapat menghabiskan banyak waktu dengan Liam karena dari RH hanya kami berdua perwakilannya. Aku pun tak sadar tersenyum sendiri di tengah-tengah rapat. Untung tidak ada yang melihatku. Rapatpun selesai. Aku dan Liam meninggalkan ruangan dan berjalan menuju parkiran.

"Kau lapar?" Liam bertanya saat kami tepat berdiri di samping mobilnya. Liam akan mengajakku makan malam? Sesungguhnya aku tidak begitu lapar tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan seperti ini.

"Lumayan." Akhirnya kata-kata itu yang terucap. Aku tersenyum padanya. "Kau mau makan?"

"Kalau kau mau, Dabbous hanya 5 menit dari sini. Mau kesana?"

"Okay." Jawabku dan Liam membukakan pintu mobil untukku. Liam pun masuk ke dalam mobil dan melaju. Dabbous ada sebuah restoran dan bar Whitfild St. Tidak jauh dari sini.

"Jadi karena ini kau minta nomor teleponku kemarin?" Tanyaku. Lama-lama aku sudah tidak begitu grogi. Sudah mulai terbiasa dengan suasana berudua dengan Liam seperti ini. Seperti mimpi rasanya.

"Kira-kira seperti itu. Aku tau kau bisa membantuku untuk hal ini. Dan kau sangat hebat waktu rapat tadi. Pendapat dan ide mu bagus sekali."

Aku tertawa. "Thanks, Liam. Kau terlalu melebih-lebihkan."

"Tidak, aku serius, Cam. Aku berbicara apa adanya. Kalau kau tertarik kau bisa ikut Fashion Club."

"Ini sudah yang kedua kali nya kau menyuruhku ikut Fashion Club." Aku tertawa. "Tetapi Liam, tidak, terima kasih."

"Okay tidak apa-apa kalau kau memang tidak mau. Paling tidak Fashion Club bisa bangkit lagi setelah melihat usahamu di UL Fashion Week nanti."

Kami sudah sampai di Dabbous. Kami mengambil meja didekat kaca tepat di pinggir jalan. Jadi kami bisa melihat ke luar. Kami duduk berhadapan. Aku memesan crispy chicken wings, Liam memesan wagyu steak sandwich. Kami mengobrol sambil menunggu pesanan kami. Tiba-tiba handphoneku yang aku letakkan di atas meja berbunyi. Unknown Number. Aku tidak berani mengangkat. Satu nama yang terlintas di pikiranku. Louis. Iya, Louis. Di kampus dia bilang dia akan meneleponku. Tapi kenapa di saat-saat seperti ini? Di saat aku sedang bersama Liam? Aku tidak mau mengangkatnya. Aku menekan tombol silent dan hanya memandanginya saja.

"Kau tidak mau mengangkatnya?" Liam bertanya padaku.

"Nomor asing. Aku rasa tidak perlu di jawab. Biasanya orang iseng." Jawabku asal.

"Orang iseng?" Liam tertawa dan mengambil handphoneku. "Biar aku yang menjawab."

"Liam!" Aku tidak sempat mencegahnya karena Liam sudah menekan tombol answer.

"Hello." Liam sedikit membesarkan suaranya. Ekspresi wajahnya berubah. "Lou?" Oh, tidak. Benar yang aku kira. Bagaimana bisa Louis tau nomor teleponku. "Oh iya aku sedang bersamanya." Aku memandangi Liam sambil menggigit bibir bawahku. Ekspresi Liam terlihat serius. Liam tidak melihatku, dia melihat keluar kaca, ke arah jalan raya. "Okay. Akan kuberikan teleponnya padanya. Dia ada di depanku." Jangan, tutup saja teleponnya. Jangan berikan padaku. Dan benar, Liam menutup telepon itu dan mengembalikan handphoneku.

"Ada apa?" tanyaku berhati-hati. Ekspresi wajah Liam tidak se-ceria tadi. Apa gara-gara Lou?

"Louis yang meneleponmu. Katanya dia akan menelepon lagi besok. Dia tidak mau aku berikan teleponnya padamu tadi." Liam tertawa aneh. "Tidak seharusnya aku angkat telepon itu tadi. Sorry, Cam."

Saat itu juga pesanan kami datang. Kami mulai menyantapnya. Ada yang aneh dengan Liam. Tiba-tiba menjadi sangat berbeda. Aku beranikan diri untuk bertanya.

"Liam, kau tak apa? Kau terlihat aneh sejak mengangkat telepon itu. Tidak apa-apa, Liam. Tidak usah meminta maaf."

Liam mengangkat wajahnya dan memandangku. "Dia menyukaimu, Cam." Aku terkejut. Aku hampir saja tersedak. "Tidak seharusnya aku memberi tahumu ini. Sahabat macam apa aku. Tapi aku bodoh sekali. Aku tau Lou menyukai mu tetapi aku mengajakmu pergi, aku mengajakkmu makan malam." Liam meletakkan garpu dan pisaunya di atas piringnya. Kedua tangannya memegang dahi nya.

Aku tidak bisa berkata-kata apapun. Kenapa Liam berkata seperti ini? Kenapa aku jadi berada di situasi seperti ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang. Ya Tuhan, aku tidak peduli Louis menyukai ku atau tidak. Yang aku tau sekarang aku sangat menyukai pria yang ada di hadapanku yang lagi merasa sangat bersalah karena dia mengajakku pergi dan makan malam.

"Liam..." aku meraih kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja. "Hey, it's okay. Kau bisa jelaskan padanya kan? Kita disini karena kita hadir di rapat UL Fashion Week."

"Maafkan aku, Cam." Liam menggenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya. "Kau jangan bilang padanya yang aku bilang padamu ya."

Aku tersenyum dan mengangguk. Liam melepaskan genggamannya. Entah mengapa tiba-tiba aku jadi sedih. Aku jadi menyesal, sangat menyesal menaruh handphoneku di atas meja tadi dan tidak berhasil mencegah Liam menjawab telepon itu. Tetapi, sekarang aku jadi tau kalau Louis menyukaiku. Liam merasa bersalah. Dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku seperti masih shock dengan semua yang baru saja aku dengar.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet