Episode 4 -- Sudah Waktunya

All About Us
Please Subscribe to read the full chapter

Sunggyu menjalani harinya dengan lesu. Semalam ia tidak tidur karena kepikiran pembicaraan ayah dan bunda yang tidak sengaja didengarnya. Sunggyu jadi bimbang. Haruskah ia menerima Woohyun atau meminta waktu yang lebih untuk mengenalnya? Memang, waktu dua minggu terlalu cepat untuk mengenal seseorang dengan baik. Bagaimana jika sebenarnya Woohyun itu orang yang pemarah, ringan tangan, kepala batu, berbulu koala, atau sadistic?

"Sunggyu!!"

Yang dipanggil mendongak. Wajahnya semakin masam melihat Jingu melambai padanya. Bukannya Sunggyu tidak menghargai Jingu sebagai teman, namun ia memang sedang tidak mood menghadapi siapapun. Entah itu Minseok atau Howon. Terlebih, Jingu yang selalu berusaha mendekatinya entah untuk tujuan apa.

"Kenapa?" tanya Sunggyu dingin. Mendengar jawaban yang terkesan ketus itu, semangat Jingu sedikit menciut.

"Anu... kakakku kemarin baru pulang dari luar negeri. Dia bawa makanan yang pernah kamu pesan itu. Bagaimana jika nanti siang kita makan bersama?

Sunggyu jadi merasa tidak enak telah bersikap dingin pada Jingu. Dulu ia memang pernah mengungkapkan keinginan untuk mencicipi makanan dari luar negeri. Ia tidak menyangka kalau Jingu masih mengingat keinginan sesaatnya itu.

"Baiklah. Aku tunggu di taman fakultas nanti. Aku ada kelas, duluan,"

Setelah membalas senyum Jingu singkat, Sunggyu berlalu menuju ruang kelasnya. Tidak sadar dengan wajah Jingu yang menjadi super cerah.

**^^**^^**

Lain Sunggyu, lain pula Woohyun. Pemuda itu sudah kehabisan cara untuk memikat hati ayah Sunggyu. Apapun yang ia lakukan, selalu saja tidak berhasil dengan baik. Woohyun bukannya tidak sadar kalau ayah sering mengerjainya. Ia memang orang yang agak pendendam, tapi Woohyun memakluminya. Jika orang yang tidak dikenal baik tiba-tiba meminang anaknya, Woohyun mungkin akan melakukan hal yang sama. Apalagi, keluarga Woohyun bukanlah keluarga terpandang atau semacamnya. Bapaknya berkerja sebagai satpam di kampus ini, sementara ibu dan Boohyun membuka usaha restoran yang kadang tidak kedatangan pelanggan. Pekerjaannya sebagai koki di restoran keluarga Myungsoolah yang membantu mereka dimasa-masa sulit. Ditambah, prestasinya yang cukup mengagumkan dari mahasiswa yang mengandalkan beasiswa sedikit meningkatkan strata sosialnya.

Tekad dan usaha keraslah yang membuat Woohyun bisa memberikan kehidupan yang nyaman di masa tua bapak dan ibu. Apalagi, usaha restoran Boohyun sudah mulai berkembang. Dalam rencananya, jika ia berhasil meminang Sunggyu, maka Woohyun akan menerima tawaran bekerja sebagai kepala koki di restoran mewah kolega bisnis keluarga Myungsoo. Tentunya, setelah mereka menikah, kebutuhan keluarga akan meningkat. Gajinya sebagai asisten pertama mungkin tidak mencukupi untuk kebutuhan lima orang.

Tapi, melihat ayah yang belum juga memberikan harapan, membuat semangat Woohyun yang selalu membara sedikit pupus. Ia sudah sibuk memikirkan cara untuk memikat ayah, tapi cara apa yang dirasa cocok?

Sambil merenungkan hal itu, Woohyun menggenggam kotak bekalnya semakin erat. Ia sedang menuju fakultas Sunggyu, mengantarkan bekal buatannya karena mendengar dari bunda bahwa tadi pagi Sunggyu tidak sarapan. Ia tidak mau si imut itu jatuh sakit. Sama sekali tidak diduganya bahwa ada kejutan yang menantinya di taman fakultas seni itu.

Mata Woohyun membola melihat Sunggyu sedang makan siang berduaan dengan lelaki yang setahu Woohyun bukan teman dekat calon istrinya itu. Rasa sakit menderanya kala Sunggyu memberikan senyum lembut pada lelaki itu. Entah kenapa, Woohyun merasa senyum Sunggyu itu memiliki arti didalamnya. Woohyun menunduk menatap bekalnya sendiri.

'Yah, setidaknya dia sudah makan siang. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi,' batinnya. Woohyun kembali mendongak untuk menatap Sunggyu terakhir kalinya hari ini.

Hati Woohyun serasa remuk melihat lelaki itu membersihkan sisa makanan yang menempel disudut bibir Sunggyu. Ia yang sudah susah payah mencoba melamar Sunggyu saja belum pernah melakukannya. Jangankan membersihkan pipinya, sekedar memegang tangannya saja Woohyun belum pernah, walau ia pernah menggendong Sunggyu sebelum ini.

Woohyun lantas berbalik. Bahunya yang selalu tegap tiap berjalan jatuh. Langkahnyapun agak diseret. Untuk kali ini, Woohyun bahkan tidak membalas sapaan junior padanya.

"Heh, kok bekalnya dibawa lagi? Katanya buat Sunggyu?" tegur Dongwoo saat Woohyun kembali ke kelas.

"Dia udah makan. Bekalnya buat kamu saja,"

Tanpa bertanya lagi, Dongwoo menyantap isi kotak bekal itu tanpa ampun. Woohyun menghela napas melihat Dongwoo yang makan seperti orang barbar.

"Hei, makan itu yang benar! Aku tahu masakanku enak, tapi tidak usah segitunya," tegur Woohyun sambil membersihkan beberapa remah makanan yang ditinggalkan Dongwoo.

"Kak..."

Woohyun dan Dongwoo--yang mulutnya penuh dengan makanan--menoleh. Di pintu masuk, tampak Sunggyu dengan napas terengah berdiri.

"Eh, dek? Ada apa kamu kesini?" tanya Woohyun. Pura-pura tidak tahu kejadian yang disaksikannya tadi.

Sunggyu melirik kiri dan kanan sebelum masuk kemudian menutup pintu. Ia bersandar disana untuk menenangkan napasnya. Woohyun bangkit dan menghampiri Sunggyu.

"Dek?"

"Aku mau jelasin sama kakak," Sunggyu mendongak. Matanya memancarkan kebulatan tekad. Seolah terhipnotis, Woohyun memperhatikan obsidian gelap itu.

"Apapun yang kakak lihat tadi, bukan karena keinginanku. Dia itu Woo Jingu, temanku. Aku pernah bilang bahwa aku ingin makan masakan luar negeri, dan dia membawakannya untukku. Tadi waktu dia mengelap ini," Sunggyu menyentuh sudut bibirnya. "Aku marah. Dia bilang itu refleks dan aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak ingin disentuh olehnya. Jadi, kakak tidak perlu sedih. Itu hanya salah paham,"

Napas Woohyun tercekat kala Sunggyu mendekatkan wajah mereka. Ia memalingkan pandangan ke samping.

"A-aku tidak sedih, kok. Aku kembali karena melihat kamu sudah makan. Tidak perlu dijelaskan juga,"

Sunggyu menggembungkan pipinya. Wajah Woohyun sedikit memerah melihat jarak mereka yang semakin tipis.

"Kakak jangan bohong. Aku lihat kok, ekspresi kakak tadi. Makanya aku ngejar kakak sampai kesini buat jelasin. Lagipula, kita masih dalam masa perkenalan. Aku nggak mau kakak salah paham dan nganggap aku ini udah khianatin kakak,"

Woohyun menunduk. "Aku nggak mikir gitu kok, dek. Seperti yang kamu bilang, kita ini masih dalam masa perkenalan. Aku belum berhak menuntut apa-apa sama kamu. Kalau kamu dan temanmu skinship, tidak masalah kok. Mana berhak aku cemburu karena itu,"

Sunggyu mengerjap. "Hah? Kakak nggak marah? Sedih, gitu?"

Woohyun melirik Sunggyu sejenak dan menunduk kembali. "Jika ditanya marah atau sedih, tentu saja aku merasakannya. Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku masih belum berhak. Sampai lamaranku diterima...tidak, sampai pernikahan telah terjadi, aku belum berhak meminta apa-apa darimu, dek. Bahkan sebenarnya aku belum berhak menyentuhmu. Aku mau hubungan kita benar-benar murni, bukan berlandaskan perasaan semu yang menggebu layaknya pasangan dimabuk cinta,"

"Kakak nggak punya keinginan untuk menyentuhku? Sekedar memeluk atau ciuman dipipi?" tanya Sunggyu. Tangannya terkepal erat.

"Keinginan tentu saja ada. Tapi, aku masih belum berhak. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersatu, pasti saatnya akan tiba. Sebelum kita resmi mengikat hubungan, aku tidak mau menyentuhmu, dek. Selayaknya laki-laki, aku juga punya hasrat. Aku tidak mau lepas kendali dan melakukan sesuatu yang akan menodaimu. Sebisa mungkin aku akan menjagamu tetap murni, dek,"

"Oh, gitu," Sunggyu mengangguk. Wajahnya terlihat seperti memikirkan sesuatu. "Ternyata begitu,"

Woohyun pikir Sunggyu kecewa dengan ucapannya. Tapi, siapa sangka bahwa Sunggyu malah memberikan senyum super manisnya pada Woohyun? Bahkan senyum Sunggyu untuk temannya tadi bukan apa-apanya dibandingkan ini.

"Makasih, kak. Aku menghargai prinsip kakak. Sebisa mungkin, aku juga akan menjaga diriku sampai saatnya tiba nanti," pipi Sunggyu memerah. Ia lalu menangkup kedua pipi Woohyun yang wajahnya tak kalah merah.

"Sebagai hadiah, aku berikan sedikit bocoran. Sisanya setelah pernikahan,"

Kemudian, Sunggyu berjinjit sedikit dan mengecup pipi kanan Woohyun lembut. Tidak sampai sedetik, tapi Woohyun merasa seolah waktu berhenti begitu lama kala permukaan lembut dan sedikit basah menempel di kulitnya. Ia bahkan tidak bergerak saat Sunggyu kabur dengan langkah terburu-buru.

Jantung keduanya berdetak sangat keras. Woohyun menyentuh pipinya yang mendapat kecupan dari Sunggyu dengan wajah kosong. Darahnya berdesir cukup kuat untuk membuat keseluruhan wajah Woohyun merah sempurna. Sunggyu sendiri sibuk mengipasi wajahnya sambil meninggalkan gedung fakultas tata boga.

'Aaahh~~ Kim Sunggyu, apa yang sudah kamu lakukan???'--Sunggyu.

'Jadi begini rasanya terbang ke surga?'--Woohyun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"Emm... Woohyun, apa kamu masih hidup?" Dongwoo yang eksistensinya terlupakan oleh Woohyun dan Sunggyu, melambaikan tangan didepan wajah temannya. Tidak ada respon.

Sambil mengunyah makanan, Dongwoo mendudukkan Woohyun yang masih terbang melayang."Ternyata begini rasanya jadi TPN. Ngenes juga ya,"

 

 

TPN : Tukang Pukul Nyamuk.

**^^**^^**

Hari ini, ayah cuti dari kerjaannya. Sebagai pimpinan redaksi sebuah perusahaan penerbitan, seharusnya ayah siap sedia di kantor, mengingat kejadian apa saja bisa terjadi. Tapi, untuk kali ini ayah melepas dedikasinya demi meneliti sang calon menantu.

Yup, ayah sudah bertekad seharian ini akan menjadi detektif dadakan. Hitung-hitung mengingat kembali masa-masa kala beliau masih seorang wartawan, ceritanya.

Setelah memastikan Sunggyu berangkat kuliah, ayah bertolak menuju kediaman keluarga Nam. Dilihatnya Boohyun dan ibu sibuk membereskan bagian dalam restoran.

"Loh, paman? Ada apa kesini?"

Boohyun menghentikan kegiatan mengangkat baskomnya. Ayah tersenyum. "Aku mencari bapakmu. Apa dia sudah pergi bekerja?"

"Bapak masih di rumah. Ayo paman, saya antar ke dalam,"

"Tidak usah. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu itu," ayah bergegas meninggalkan Boohyun. Dihampirinya bapak yang sedang duduk menikmati kopi paginya di teras rumah mereka yang sempit.

"Oh, pak Kim! Ada apa pagi-pagi begini sudah bertamu?" sapa bapak kala ayah terlihat oleh matanya. Ayah tersenyum.

"Aku hanya sedang melakukan penyelidikan tentang calon menantuku,"

"Oh, Woohyun? Akhirnya anda bertanya juga. Saya sudah menunggu sejak lama,"

Ayah lantas duduk disebelah bapak. Diseruputnya kopi yang disajikan untuknya.

"Saya sudah kehabisan akal untuk mengerjai anak anda. Ternyata dia itu lumayan tahan banting juga," ayah memulai. Bapak tertawa.

"Saya juga sering mengerjainya, tapi tidak pernah berhasil. Entah dari siapa dia belajar. Padahal ibu dan kakaknya selalu mudah untuk digoda, tapi pada dia tidak pernah berhasil," bapak tertawa. Tentu saja dia tahu semua perbuatan ayah yang terkesan menyudutkan Woohyun itu hanyalah tes belaka. Toh, dia dulu pernah menghadapi tes serupa dari kakek Woohyun.

"Pak, sebenarnya Woohyun itu orang yang bagaimana?"

Bapak menghela napasnya. "Dia itu anak yang pekerja keras. Terlalu, kalau boleh saya labeli. Seluruh hidupnya didedikasikan pada orang lain. Dulu saat keluarga masih ditopang oleh saya dan istri, Woohyun dan Boohyun berjualan makanan kecil disekolahnya secara diam-diam. Tak terhitung berapa kali saya dipanggil karena itu. Tapi, bagaimana saya tega menghukumnya jika tiap kali ditanya alasannya, dia akan menjawab kalau itu untuk membantu membayar kontrakan kami?" bapak tertawa. "Tapi, justru itu merupakan poin buruknya,"

Ayah menelengkan kepalanya bingung. "Apa maksud anda?"

"Dia terlalu memaksakan diri. Tidak sempat bersenang-senang layaknya anak seusianya. Boohyun masih sempat berpacaran dan bermain-main semasa SMAnya, tapi Woohyun hanya fokus mengejar beasiswa. Saya begitu kaget saat dia memperlihatkan surat pertukaran pelajar ke Perancis pada kami. Anda tahulah, pekerjaan saya hanyalah satpam. Siapa yang akan membiayai jika dia pergi sejauh itu? Tapi, kami sama sekali tidak menyangka bahwa ia sudah berjuang segitu kerasnya sampai-sampai kami tak perlu mengeluarkan uang seperakpun. Dia menjadi dewasa terlalu cepat. Saya sangat khawatir sepulangnya dari Perancis dia akan menjadi orang yang gila kerja,"

Ayah mengangguk paham. Memang bagus menjadi pekerja keras. Tapi, jika tidak bisa mengimbangi, hanya akan merugikan diri sendiri.

"Coba anda bayangkan. Saat dia kembali ke rumah setelah setahun tidak pulang, dia malah mengungka

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
YasuharaNiwa #1
Jarang bngt nemu fanfic infinite yg b. Indonesia. Thank you thank you
akitou
#2
Chapter 21: Perasaan susah bangat mereka mau kisseu aja..... Bang uyon kita melihat bintangny sambil bakar jagung yokkk....
akitou
#3
Chapter 20: Pendek ato panjang yg penting author senang..... Saya pembaca yg sabar kok... (pdhl suka nuntut cpt update) >_<
Yuerim #4
Chapter 20: Sampai lupa gimana alur ceritanya. Thankyou sudah ingetin kalau cerita ini masih eksis. Dan thankyou juga sudah update cerita. Makin bikin penasaran aja ceritanya.
kaisoo_meanie #5
Chapter 20: Pengennya update cepet tapi panjanggggg
irenewijaya06 #6
Chapter 19: Thankyou kak udah update ?? selalu nungguin inii dan setia nunggu perkembangan hubungan woogyu aaaaaa.. ayoo cepet honeymoon ?
kaisoo_meanie #7
Chapter 19: Makasih udah di lanjut, aku nungguin lanjutannya lagiii, kepoo
akitou
#8
Chapter 19: Title hhuawa..... Bikin salah paham kirain bakal ada sesuatu.... Ayah membuyarkan suasana
gari_chan #9
Chapter 18: Woohyun sungguh selow tetap selow, walau di gosipin bodo amat, gyu ikutin woohyun tuh suami mu patut di contoh