Episode Ekstra: Minseok dan Luhan
All About Us“Apa yang kamu lakukan disini? Enyah!” Minseok mendorong tubuh kurus itu dari teras depan. Ia lelah, tubuhnya seolah remuk karena pekerjaan yang cukup padat. Minseok hanya ingin pulang, memeluk adiknya dan beristirahat. Bukan menghadapi masalah.
“Min, kumohon dengarkan aku kali ini.”
Minseok tidak peduli. Ia tetap berusaha mengusir sosok itu. Gerbangnya harus dibelikan gembok baru agar orang tidak lagi masuk sembarangan.
“Minseok, Minseok! Aku hanya ingin satu kesempatan saja! Min!”
BLAMMM!!!
Luhan menghela napas kala pintu rumah itu terkunci. Jelas Minseok tidak sudi melihatnya lagi. Akhirnya, ia meninggalkan perumahan itu. Kembali ke hotelnya untuk istirahat dan mencoba lagi esok hari.
“Sial.”
Luhan menegadah saat suara Minseok terdengar. Ia segera bangkit dari posisi bersandar dipagar rumah lelaki imut itu. Sudah hampir 4 bulan ia mencoba mendapatkan perhatian Minseok, namun hingga kini pemuda itu masih tidak memberi celah. Bahkan, ia enggan menatap Luhan.
Jika dulu Minseok masih menyisakan sedikit umpatan untuknya, kini ia tidak mendapat apa-apa selain pukulan jika menyentuh Minseok bahkan sedikit saja. Seperti itulah, Luhan hanya bisa melihat Minseok masuk rumah tanpa sempat berkata apa-apa.
“Menyerah saja.”
Luhan mengalihkan pandang ke Hana yang menatapnya marah.
“Bahkan jika kakakku memberimu kesempatan, akan kupastikan kamu tidak bisa meraihnya.”
Setelah itu Hana masuk rumah dengan membanting pintu.
Yah, apa sih yang Luhan harapkan setelah menyakiti keduanya?
Luhan mengusap wajah. Waktunya tidak lagi banyak. Ia hanya mendapatkan waktu 6 bulan, sedang 4 bulan telah sia-sia oleh perjuangannya yang belum seberapa. Salahnya sendiri, merasa sombong bisa memenangkan hati Minseok dalam waktu 6 bulan setelah apa yang ia lakukan padanya.
“Apa kamu akan terus seperti ini?”
Luhan menoleh, menatap tetangga Minseok yang beberapa kali ia temui. Dia bermata sipit, berbeda dengannya dan Minseok yang memiliki netra lebar seperti kucing.
Bahu Luhan merosot, sedikit putus asa namun masih belum ingin menyerah. “Ya. Aku akan terus menemuinya agar aku bisa berbicara,”
Sunggyu berdehem. Dia melirik jendela rumah Minseok yang gordennya bergerak. Sudah pasti, Minseok atau Hana (bahkan mungkin keduanya) tengah menguping.
“Jika dia tidak sudi menemuimu, kenapa tidak tinggalkan saja pesan di pintu rumahnya?”
Luhan tersenyum getir. “Sudah aku lakukan. Aku meninggalkan memo, surat, surel, pesan telepon, bahkan sandi morse agar dia mau mendengarku. Sayang sekali, aku masih belum bisa meraih maafnya,"
Sunggyu mengangguk (sok) paham. Jujur, dia sedikit sebal juga melihat Luhan terus lalu-lalang di perumahan mereka. Kadang dia merasa was-was, seperti tengah diawasi padahal bukan dia yang dicari pria ini.
“Pesanmu meminta kesempatan untuk bicara?” Luhan mengiyakan. Seketika, ide jahil terlintas dipikiran Sunggyu. “Kenapa tidak kamu teriakkan saja urusanmu di depan rumahnya? Yang penting dia mendengar, bukan? Tempat dan waktu tidak lagi penting, melihat kamu terlantar cukup lama,”
Luhan tertegun. Haruskah? Tapi tidakkah memalukan, meneriakkan masalahnya kepada seluruh penghuni komplek perumahan ini?
“Kamu masih memikirkan malu? Bukankah kamu menginginkan maaf? Malu apa yang kamu jaga jika kamu sendiri yang—humph!”
Sunggyu megap-megap karena mulutnya ditutup tiba-tiba. Diliriknya pemilik lengan berotot yang sangat ia kenal itu.
“Maaf, kami akan segera pergi,” Woohyun tersenyum canggung dan menyeret Sunggyu masuk ke rumah dengan paksa. Meninggalkan Luhan yang tenggelam dalam pikir
Comments