Episode 10 -- Notre Mariage

All About Us
Please Subscribe to read the full chapter

"Hyun, sudahlah. Kamu tidur saja," tegur ibu saat Woohyun sibuk mencuci piring. Woohyun menggeleng.

"Ah, tak apa kok bu. Cuma cuci piring," Woohyun menggosok piring sekuat tenaganya sampai piring itu berkilauan.

"Besok kamu harus bangun pagi. Jangan keras kepala," Boohyun menyundul Woohyun dengan bokongnya. Ia mengambil alih pekerjaan. "Tapi aku tidak bisa tidur," gerutu Woohyun.

"Woohyun, ayo kesini," bapak melambaikan botol soju ditangan. Woohyun menurut. Duduk sambil menghela napas.

"Gak mau minum, pak. Takut besok pagi pusing. 'Kan gak lucu, pengantin prianya sempoyongan," tolak Woohyun. Bapak kukuh menyerahkan botolnya.

"Minum sedikit mah gak apa-apa. Kamu ini kayak orang mudah mabuk aja. Biasanya minum 6 botol juga santai,"

"Ih, bapak ini. Jangan diungkitlah. Aku 'kan udah berubah. Gak alkoholik lagi," walau begitu, Woohyun tetap menerima uluran bapak. Meneguk beberapa kali langsung dari botolnya.

"Gimana rasanya? Besok kamu menikah loh," bapak berselonjor sambil mengunyah kacang goreng.

"Campur aduk, pak. Tapi banyakan takut,"

"Takut kenapa? Anak bapak yang ca'em ini masih ragu-ragu, toh,"

"Ya ragu aja pak. 'Kan dek Sunggyu ini belum kenal benar sama aku. Gimana kalau sekarang dia lagi nyesel trus gak muncul besok?"

"Mana mungkin! Orang resepsinya di rumah dia, masa' nggak muncul,"

"Intinya bukan itu, pak!"

"Iya, iya. Bapak ngerti," melirik ibu dan Boohyun yang menguping dari dapur, bapak menggigit lidahnya pelan. "Tapi kamu ini tampan, mapan, jarang kelilipan. Mana mungkin si Sunggyu ini nolak. Lagipula dia udah setuju, ngaku juga suka kamu dari dulu. Apalagi yang diraguin?"

"Tapi 'kan, ini pernikahan pak. Komitmen besar. Gak bisa putus-nyambung kayak chargeran ponsel. Gimana kalau adek malah--"

"Kamu ini kebanyakan ngayal. Kemana tekadmu buat selalu menatap kedepan? Kamu diapain Boohyun?" bapak melirik curiga anak sulungnya. Terduga protes tanpa suara, melambai tanda ia tak ikut andil sekuat tenaga.

Woohyun diam. Diteguknya soju untuk mengulur waktu. "Pak, kalau adek gak mau terima aku karena gak pernah ngurusin... ranjang gimana?"

Boohyun dan ibu meremas meja. Mati-matian menahan diri untuk tidak menertawakan Woohyun. Bapak sendiri meringis, mencubit pahanya kuat agar tidak meledak oleh tawa.

"Kamu pikir waktu bapak menikahi ibumu, bapak tahu harus bagaimana?"

"Yah... tapi bapak menikah sama ibu 'kan beda masa denganku. Apalagi aku ini sekolah di luar negeri. Kalau adek nanti kecewa karena pelayananku tidak sesuai harapannya bagaimana? Sekarang itu orang seusiaku masih pejaka itu dicap gak baik. Aku bingung, pak,"

Kali ini, bapak menghela napas. Beliau heran dengan pemikiran orang Korea zaman sekarang. Diwaktunya dulu, orang baik-baik itu harus pejaka sebelum menikah. Kalau sekarang, malah disebut tidak laku atau impoten. Globalisasi terlalu mempengaruhi tradisi dan membuatnya mulai hilang.

"Tidak usah khawatir, Hyun. Tujuan pernikahan itu bukan hanya kesenangan duniawinya saja. Kamu menikahi Sunggyu karena ingin dia terus disisimu, 'kan?" Woohyun mengangguk. "Kamu harus yakin kalau Sunggyu juga begitu. Memang tidak terlihat. Terkadang kamu harus yakin dulu baru bisa melihatnya. Kamu paham maksud bapak?"

"Hmm," Woohyun meneguk sojunya sampai habis. "Aku tidur dulu, pak,"

"Iya. Jangan terlalu banyak yang kamu pikir--"

Kalimat bapak terhenti saat Woohyun memeluknya erat. Si bungsu itu memang penuh kasih sayang, menunjukkannya dengan perbuatan disertai perkataan. Namun, hampir tidak pernah Woohyun memeluknya erat seperti ini. Mungkin pertama--dan bapak pikir terakhir--kalinya adalah ketika Woohyun memberitahukan orientasi seksualnya pada keluarga. Dari pelukan inilah, bapak tahu bahwa Woohyun sedang terbebani sebelum ini. Kepribadiannya yang semakin dewasa membuat bapak tidak bisa melihat itu sebagai sebuah permasalahan sulit.

"Malam, bapak. Woohyun sayang bapak,"

Setelah berucap, Woohyun beranjak menuju dapur. Melakukan hal yang sama pada ibu dan Boohyun. Setelah sosok itu menghilang ditelan pintu kayu, ibu duduk disebelah bapak. Melingkarkan lengan rampingnya pada tubuh suami.

"Anak kita sudah besar sekali, bu,"

"Iya,"

"Dia besok akan menikah,"

"Hm,"

"Dan tadi seperti pelukan terakhir,"

"Aku juga merasa begitu,"

Tak berkata lagi, bapak membalas pelukan ibu. Terasa bahunya basah, namun ia diamkan saja. Jujur, bapak sendiri susah menahan air mata yang mengaburkan pandangan sejak tadi.

 

 

 

 

Sementara itu di dapur...

"Cih, dasar Woohyun bodoh. Kenapa peluk-peluk segala? Awas saja. Jika aku menikah nanti, akan kubuat dia menangis seperti Niagara," gerutu Boohyun. Tangannya sibuk mengusap air mata dan ingus yang meleleh.

**^^**^^**

"Nenek, kenapa belum tidur? Apa nenek tidak lelah?" Sunggyu menegur neneknya yang duduk menatap langit.

"Kamu sendiri kenapa belum tidur?"

"Haus, nek,"

Sambil menyiapkan susu--yang diharap bisa menghadirkan kantuk--Sunggyu kembali angkat suara.

"Apa nenek tidak tidur karenaku?" nenek tersenyum tipis. "Menurutmu?"

Sunggyu menaruh gelasnya. Ia menghadap nenek kemudian berlutut disebelahnya. "Maaf, nek. Aku tahu kalau nenek sangat kecewa padaku," ujar Sunggyu. Pikirannya melayang ke masa awal SMA, saat ia mengakui pada keluarga besar perihal orientasi seksualnya. Nenek langsung pingsan mendengarnya. Sunggyu sudah takut saja beliau akan pergi menemui kakeknya setelah mendengar pernikahan ini. Untung beliau tidak kenapa-kenapa.

"Sunggyu, ayo kesini," nenek menepuk paha. Seolah kembali menjadi anak SD ingusan yang belum mengerti dunia, Sunggyu membaringkan kepalanya. Nenek membelai rambut Sunggyu lembut.

"Apa kamu menyesal, Sunggyu?" cucunya menegadah. "Apa aku harus menyesal, nek?"

"Entahlah. Harusnya nenek yang menanyaimu. Apa kamu sama sekali tidak menyesal, sayang? Nenek tahu ayah dan bundamu tidak keberatan, tapi kamu masih sangat muda. Bagaimana jika usiamu mencapai 30 nanti kamu malah bertemu perempuan yang tepat? Bagaimana jika calonmu menemukan orang lain?"

Sunggyu menutup mata. "Tidak tahu, nek. Untuk sekarang, aku yakin dengan pilihanku. Kak Woohyun... aku sudah menyukainya sejak lama. Mendapatinya juga menyukaiku sampai ke jenjang seserius ini, rasanya seperti mimpi,"

"Mimpi?"

"Eum,"

"Kamu sadar setiap mimpi itu harus berakhir, bukan?" Sunggyu kembali diam. Nenek menghela napasnya. "Nenek bukannya melarang, Sunggyu. Masih sulit bagi nenek untuk menerima kejadian ini. Sejak kamu mengaku, nenek selalu berharap kamu akan sadar dan menyukai perempuan, seperti kodratnya. Siapa sangka nenek malah akan melihatmu menikah dengan laki-laki?"

"Apa nenek kecewa?"

"Bohong jika nenek bilang tidak. Nenek tidak mengerti, apa yang kamu lihat dari calonmu itu,"

Sunggyu membuka mulutnya, siap melontarkan seribu alasan mengapa Woohyun begitu menarik baginya. Namun, pandangan teduh nenek membuatnya beku. Wajah keriput itu melembut.

"Tapi, jika nenek mengabaikan perasaan pribadi, nenek tahu dia orang yang tepat. Nenek sudah dengar ceritanya. Dia bekerja keras untuk membangun rumah, merencanakan setiap detail masa depannya dengan kamu didalamnya. Nenek rasa itu sudah lebih dari yang bisa kamu harapkan," nenek menangkup pipi Sunggyu. Mengelus tulang pipinya sekilas. "Nenek berharap kamu tidak jatuh cinta padanya, sayang,"

Sunggyu mengernyit. "Kenapa? Tentu aku harus--"

"Setiap yang jatuh pasti akan rusak. Entah itu nyata atau tidak. Jika kamu jatuh cinta, suatu hari nanti kamu akan mencapai batasnya. Nenek memang tidak begitu menerima keputusanmu. Tapi, kamu cucu nenek. Nenek ingin kamu bahagia. Cukup menikah sekali saja, bertahan hingga masa tuamu. Seperti nenek ini,"

Sunggyu duduk. Masih mengernyit, ia meremas ujung bajunya. "Jika aku tidak boleh jatuh cinta, aku harus apa?"

"Membangunnya. Tidak ada batasan dalam membangun. Kamu tahu orang yang membangun rumah? Ada banyak , batu, pasir, bata, serta benda lain untuk terus berkembang. Begitu pula dengan cinta. Ada banyak kenangan, perasaan, waktu dan situasi yang membuatnya terus berkembang. Bangunlah dengan pondasi kepercayaan, maka cintamu akan terus bertahan. Walau ada angin ribut yang nanti menerjang hingga dinding dan atapmu roboh, pondasimu masih berdiri kokoh. Dengan begitu, kamu akan terus bertahan dengan orang yang kamu cintai,"

Sunggyu mengangguk paham. Direguknya susu yang mulai dingin. Merenungkan kalimat nenek.

"Sunggyu, berhenti menganggap ini mimpi. Jika kamu terus berpikir semua ini hanyalah mimpi yang terlalu nyata, kamu akan menyakiti dirimu dan Woohyun. Bangunlah dan hadapi realita,"

Sunggyu memeluk nenek lembut. Tenggorokannya tercekat. "Terima kasih, nenek. Maaf aku tidak bisa memenuhi harapan nenek. Maaf aku bukanlah cucu yang nenek idamkan. Akan kupastikan nenek tetap bangga memiliki cucu sepertiku,"

"Shh... jangan menangis. Matamu bisa sembab besok. Kamu tentu ingin terlihat tampan dihadapan Woohyun, bukan?"

Sunggyu terkekeh. "Kak Woohyun selalu menganggapku indah bagaimanapun kondisiku. Kurasa aku harus membuatnya terpesona besok,"

"Tidurlah sekarang. Sung Ah sudah membeli obat tidur. Minumlah itu sebelum tidur. Nenek tidak apa-apa,"

"Tapi, nek, aku ingin berbicara dengan ayah dan bunda,"

"Bicara apalagi?"

"Ayah!" Sunggyu menarik diri dari pelukan nenek. Ayah dan bunda menghampiri Sunggyu. Mengelus rambutnya.

"Mau bicara apa, sayang?" bunda mengusap bahu Sunggyu lembut. Si bungsu menarik diri, kemudian memberikan orangtuanya penghormatan.

"Sunggyu..."

"Ayah, terima kasih sudah mengizinkanku menikah muda. Aku tahu ayah masih ragu pada kak Woohyun. Tapi, aku sama sekali tidak salah pilihan. Aku yakin kak Woohyun adalah orang yang tepat. Akan kupastikan kepercayaan ayah tidak sia-sia. Terima kasih sudah mengajariku menjadi lelaki yang kuat, walau akhirnya aku tidak bisa seperti harapan ayah,"

"Bunda, terima kasih sudah menyelipkan kelembutan padaku. Mendengarkan cerita tak penting setelah aku pulang, mengajariku urusan rumah tangga dari kecil sehingga aku bisa menerapkannya sendiri. Maaf jika kursus pribadi bunda tentang memasak tidak begitu sukses. Tapi tenang saja. Walau kak Woohyun lebih ahli memasak dibandingkanku, akan kupastikan ia selalu pulang untuk makan bersamaku, dengan resep yang sudah bunda ajarkan. Akan kubuat kak Woohyun mencintaiku seperti ayah mencintai bunda,"

"Terima kasih. Aku bangga menjadi anak ayah dan bunda," bisik Sunggyu sambil memeluk kedua orangtuanya. Satu atau dua butir air mata jatuh. Cepat-cepat dihapusnya, mencegah perasaan melankolis menguasai diri. Ia harus sempurna besok.

"Iya, iya. Sudah, tidur sana. Besok harus bangun pagi,"

Setelah mengecup pipi masing-masing, Sunggyu masuk kamar untuk tidur. Ayah beringsut mendekati nenek, memeluk ibunya dari samping.

"Ibu, beginikah perasaan ibu ketika aku menikah?"

"..."

"Sayang, kamu menangis?" bunda mencolek pinggang ayah. Ayah menyembunyikan wajahnya di leher nenek. Bunda tersenyum tipis, mengusap pipinya yang basah, kemudian merangkul suami dan mertuanya.

"Masih ada Sung Ah,"

"Aku tidak mau dia menikah. Tidak bisakah mereka kembali jadi anak-anak? Aku rindu masa lalu,"

"Aku tahu, sayang. Aku tahu,"

**^^**^^**

Keesokan harinya, saat matahari bahkan belum terbit, Sunggyu dan keluarga sudah kembali ke Seoul. Malam sebelumnya yang dihabiskan di Jeonju untuk berpamitan pada kakek seolah sudah lama berlalu. Sunggyu tidak bisa diam. Tangannya selalu digerakkan kesana-sini, gugup minta ampun. Ia harus mandi lagi sesampainya dirumah, menghilangkan keringat yang entah kenapa seperti laut bocor. Mengucur tanpa henti.

"Sunggyu, kamu ingat metode yang kuajarkan?" Sunggyu menggangguk. Menarik napas dalam, ia mencoba mengontrol perasaan. Minseok dan Howon yang sudah stand by sejak pukul 6 tersenyum lebar. Keduanya hampir sama gugup dengan Sunggyu, padahal bukan mereka yang akan menikah. Ketiganya melakukan teknik kontrol pernapasan yang sering membantu Howon menghadapi demam panggungnya. Masih dengan baju kaus dan celana olahraga, mereka duduk melingkar di lantai kamar Sunggyu.

"Ups, kenapa kalian belum ganti baju?" Sung Ah mengamati ketiganya dari pintu. Senyum manis menghiasi wajah cantiknya.

"Oh, sudah waktunya, 'kah?" tanya Minseok. Sedikit--uhuk!!--terpesona pada penampilan anggun pujaan hati.

"Belum. Sekarang masih jam setengah tujuh. Rombongan Woohyun kesini jam delapan, sementara acaranya jam setengah sembilan. Kalian, sebagai pengiring pengantin harus kebawah dulu, bantu ayah sambut tamu. Sedangkan kamu, Sunggyu, diam disini hingga acaranya mulai,"

"Loh, aku tidak ikut sambut tamu?"

"No, no, no. Kita tidak ingin kejutan untuk Woohyun gagal, bukan? Kamu pikir kenapa kalian berpisah dua minggu sebelum menikah jika tidak untuk bertemu di altar?" Sung Ah melepaskan sepatu hak tingginya, membuka lemari pakaian dan menyerahkan tiga tuksedo kepada trio sejawat itu.

"Jangan membuang-buang waktu. Cepat ganti baju agar aku bisa menata rambut kalian,"

"Siap, kak!" seperti yang bisa diduga, Minseok yang pertama kali bergerak. Ia meraih tuksedo hitamnya dan beranjak menuju kamar mandi. Howon mengikuti tak lama kemudian.

"Tenang saja. Akan kubuat kamu setampan mungkin, hingga Woohyun tidak berhenti menatapmu selamanya," hibur Sung Ah. Sunggyu tersenyum.

"Kak, bisakah aku menata rambutku dulu dan ganti baju setelahnya? Aku takut tuksedoku nanti basah,"

"Tidak masalah. Tunggu sebentar," Sung Ah menggantungkan tuksedo Sunggyu ke lemari, lalu keluar mengambil peralatannya. Walau berprofesi sebagai perencana acara, Sung Ah adalah lulusan akademi tata rias. Untuk menekan biaya pernikahan--sekaligus membuktikan kemampuannya masih seperti dulu--urusan tata rias ia yang mengurus.

"Duduk yang rapi, Gyu,"

"Kak, apa harus di make up? Tidak bisakah aku seperti ini saja?"

"Mana mungkin aku membiarkanmu seperti ini? Aku tahu wajahmu mulus seperti pantat bayi, tapi acaranya sampai sore, loh. Kamu ingin terlihat bagus di foto dan dihadapan Woohyun, 'kan?"

"Tentu saja,"

"Tenanglah. Aku tidak akan berlebihan. Make up tipis sudah cukup untukmu,"

Sung Ah memulai pekerjaannya dengan cepat. Seperti janji, ia hanya memberikan make up dasar pada Sunggyu. BB cream untuk meratakan dan menyerap minyak, bedak tipis untuk menutupi kilap, serta eyeliner agar mempertegas garis mata. Saat Sung Ah sibuk mencoba beberapa gaya rambut pada Sunggyu, Minseok dan Howon keluar. Keduanya terlihat bingung dengan dasi dilehernya.

"Sudah kubilang bukan begitu mengikatnya!" gerutu Howon. Ia kembali membuka simpul dasi yang terlihat acak-acakan.

"Kalian berdua, ayo kesini! Biarkan saja dasi itu dulu,"

Dalam sekejap, Sung Ah mengalihkan tangannya pada Howon. Tak lama, pecinta ungu itu sudah tampan. Cukup beberapa gerakan saja, tuksedonya sudah sedap dipandang. Dasi kupu-kupu terikat sempurna dilehernya.

"Woi. Aku baru tahu ada orang setampan ini," gumam Howon. Sunggyu terkekeh. Menarik Howon berdiri. Kini giliran Minseok yang didandani. Dua lelaki itu melihat dengan senang hati saat Minseok duduk begitu tegang. Berjengit tiap kali tangan Sung Ah bersentuhan dengan kulitnya.

"Hei, kamu mau kemana? Dasimu nggak dipasang sekalian?" tegur Sung Ah kala Minseok melesat dari bangku. Sunggyu dan Howon terkikik, bahagia sekali melihat kegugupan Minseok. Sung Ah berhadapan dengan Minseok, mengikat dasinya penuh konsentrasi. Tak sadar Minseok menahan napasnya beberapa saat.

"Nah, begini 'kan bagus!" puji Sung Ah. Ia kembali menuntun Sunggyu untuk duduk didepan cermin. "Hei, menurutmu Sunggyu bagusnya begini atau tidak?"

Sung Ah menggerakkan sisir untuk menata rambut Sunggyu. Menyingkirkan poninya ke atas agar dahinya terlihat. Howon mendekat, memberikan saran kepada Sung Ah.

Minseok?

Dia sibuk menenangkan jantungnya sendiri. Menarik napas berkali-kali agar tidak terlihat gugup. "Tenanglah, Minseok. Ini bukan apa-apa. Bukan kamu yang menikah hari ini. Tenang dan fokus!"

"Kurasa lebih baik jika rambutnya diturunkan saja," komentar Minseok dari belakang.

"Benarkah? Tapi, aku ingin memperlihatkan ketampanan Sunggyu pada Woohyun. Bukankah dia lebih baik dengan poni ke atas?" Sung Ah menolehkan kepala Sunggyu ke kanan dan kiri. Melihat dari segala sisi.

"Kurasa dia lebih bagus poninya kebawah. Kudengar kak Woohyun gaya rambutnya begini," Minseok menunjukkan sebuah foto diponselnya. Sung Ah mengangguk. Ia kembali mengubah gaya rambut Sunggyu. Poninya ditata rapi. Untung Sunggyu sudah potong rambut, jadi tidak perlu sakit mata kalau poninya dibiarkan lurus.

"Sudah, ganti bajumu sana. Biar aku ambilkan foto kalian bertiga," Sunggyu masuk ke kamar mandi. Untung ia tadi pakai kemeja. Dengan hanya celana dalam--yang sudah dipastikan bersih dan wangi, jaga-jaga jika Woohyun menyantapnya malam ini--hitam, Sunggyu menatap tuksedo putihnya gugup. Walau tangannya bergetar, Sunggyu tetap mengancingkan kemeja putih. Celana yang sedikit ketat dibagian bokong dan pribadi membuatnya hampir berkeringat lagi. Terakhir, Sunggyu memasang jas, mengancingkannya lalu mematut diri di cermin.

Sung Ah benar-benar hebat. Sunggyu tidak tahu bahwa lelaki tampan tapi manis dicermin itu adalah dirinya. Sunggyu tidak pernah merasa

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
YasuharaNiwa #1
Jarang bngt nemu fanfic infinite yg b. Indonesia. Thank you thank you
akitou
#2
Chapter 21: Perasaan susah bangat mereka mau kisseu aja..... Bang uyon kita melihat bintangny sambil bakar jagung yokkk....
akitou
#3
Chapter 20: Pendek ato panjang yg penting author senang..... Saya pembaca yg sabar kok... (pdhl suka nuntut cpt update) >_<
Yuerim #4
Chapter 20: Sampai lupa gimana alur ceritanya. Thankyou sudah ingetin kalau cerita ini masih eksis. Dan thankyou juga sudah update cerita. Makin bikin penasaran aja ceritanya.
kaisoo_meanie #5
Chapter 20: Pengennya update cepet tapi panjanggggg
irenewijaya06 #6
Chapter 19: Thankyou kak udah update ?? selalu nungguin inii dan setia nunggu perkembangan hubungan woogyu aaaaaa.. ayoo cepet honeymoon ?
kaisoo_meanie #7
Chapter 19: Makasih udah di lanjut, aku nungguin lanjutannya lagiii, kepoo
akitou
#8
Chapter 19: Title hhuawa..... Bikin salah paham kirain bakal ada sesuatu.... Ayah membuyarkan suasana
gari_chan #9
Chapter 18: Woohyun sungguh selow tetap selow, walau di gosipin bodo amat, gyu ikutin woohyun tuh suami mu patut di contoh