Ignite the Night

Wild Imagination by doubleAA10

"Mengapa cinta sengaja dirancang rumit dan berbelit-belit?"
Mereka sama-sama tahu ini adalah tindakan salah. Kembali terjatuh ke lengan satu sama lain, dengan Jaehwan yang mendekap Taekwoon ke dadanya dan jemari Taekwoon bermain di wajah Jaehwan , menelusuri garis tepi bibir lelaki itu dari sudut ke sudut.

"Seberapa lama kau mampu menahan ini, Jaehwan ?"

Jaehwan memejamkan mata. Ia tahu betul apa maksud dari kalimat Taekwoon .

"Selama yang kau mau." Balasnya lirih. Sebuah jawaban sekaligus kalimat izin yang ia berikan kepada Taekwoon untuk menghancurkannya lebih parah lagi daripada ini.

Lebih patah lagi daripada ini.

"Jika aku ingin mengakhiri semuanya sekarang, apa kau akan menurutinya?" tanya lelaki itu lagi, tanpa menyadari dampak yang ia timbulkan di hati Jaehwan .

"Ya." Tidak. Jangan. Kumohon.

Taekwoon menggumam. Ia meraih jam beker di bawah lampu tidur Jaehwan , meliriknya sekilas sebelum mendesah pelan. "Aku harus pergi."

Dengan enggan, Jaehwan melepaskan Taekwoon dari pelukannya. Ia melihat lelaki itu beranjak dari sisinya, kemudian memungut pakaiannya sendiri yang berserakan di lantai. Ada rasa kehilangan menelusup ke rongga dada Jaehwan setiap Taekwoon kembali memakai pakaiannya satu persatu.

Sisi posesifnya beteriak, memohon agar Taekwoon tinggal. Namun akal sehatnya menolak—menertawakannya, karena Taekwoon jelas tidak akan memilihnya.

Dia hanya pilihan kedua.

Sebuah pelampiasan emosi serta hasrat ketika Taekwoon dirundung jenuh. Dia tidak akan pernah mendapatkan barang sekeping saja bagian dari keseluruhan hati Taekwoon .

Taekwoon menyambar kunci mobil, sambil menurunkan kerah kemeja kantornya menjadi lipitan rapi.

Kepalan tangan Jaehwan menguat. Kehadiran lelaki itu hanya akan menjadi bayang, menjelma dalam bentuk ilusi samar yang nantinya ia anggap sebagai sebuah mimpi indah. Atau justru mimpi buruk.

Lelaki itu berjalan ke arahnya, membelai lembut bahunya yang telanjang kemudian tersenyum tipis.

"Goodbye, Jaehwan ." Ucap Taekwoon tanpa beban sedikitpun.

Taekwoon melangkah menjauh, postur tubuhnya yang kecil berkebalikan dengan kuasa lelaki itu atas dirinya. Sedikit berdehem, Jaehwan memanggil Taekwoon sebelum lelaki itu benar-benar pergi.

"Hyung." Ia meredam nada putus asa yang menggelayuti ujung lidahnya. "Aku mencintaimu."

Mata Taekwoon begitu minim emosi, hingga Jaehwan ingin mengoyaknya, mengais secuil perasaan apapun dari diri lelaki itu. Taekwoon tersenyum—setengah pahit, kemudian menjawab. "Aku tahu."

Dan ketika lelaki itu hilang dari pandangan Jaehwan , hanya ada satu kata yang terus ia rapalkan—kemarin, hari ini, entah sampai kapan seperti sebuah doa di udara dini hari yang menyengat kulit.

Let it be night. Let it be night.
-o-o-o-o-o-o-o-o-o-
Semua bermula dari percakapan ringan mengenai woman is frustating di antara denting-denting gelas alkohol berkadar tinggi. Dimana Jaehwan dengan setia mendengar keluhan demi keluhan yang Taekwoon muntahkan tanpa jeda. Lelaki itu sedang bertengkar hebat dengan kekasihnya dan Jaehwan adalah orang asing yang rela menawarkan telinga sepanjang malam untuknya.

Tegukan Tequilla berseling asamnya jeruk serta garam mengantarkan mereka ke pembicaraan yang lebih serius.

Mungkin, permasalahan antara ia dan Taekwoon tidak akan terjadi jika kepala Jaehwan yang mendadak ringan tidak mengutarakan, "Kau bisa mencoba berhubungan dengan lelaki. Siapa tahu kau akan lebih menyukainya."

Serta pengaruh alkohol berlebihan yang bermain di tubuh Taekwoon tidak membuat lelaki itu menjawab, "Apa kau mau memberikanku pengalaman itu?"

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk berakhir di motel murahan terdekat karena keduanya sama-sama tidak bisa berjalan dengan lurus.

Jaehwan mengabulkan apa yang Taekwoon mau. Ia melakukan semua perkerjaan malam itu, membiarkan Taekwoon menjadi sisi penerima yang tidak perlu melakukan apapun. Ia berusaha memuaskan Taekwoon , mencari setiap bagian sensitif dari lelaki itu di tengah rasa pusing yang menyerangnya.

Kemudian ketika hangover menyerang di pagi berikutnya, serta butir Antacid mengusir rasa mual mereka hingga dapat kembali berpikir jernih, keduanya memutuskan apa yang terjadi kemarin hanya sekedar hubungan semalam saja.

Jaehwan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Kecuali kali ini, ia memiliki memori mengenai sepasang mata hitam besar dan bibir penuh yang terus menghantui pikirannya.

Sesuatu yang Jaehwan kira hanya mengganggu dirinya ternyata terbukti salah saat ia melihat Taekwoon menghampirinya di pub yang sama. Lelaki itu menceritakan hubungannya dengan kekasihnya yang kembali membaik.

Ada senyum kikuk yang terhias di wajah keduanya saat isi gelas pertama menggelincir masuk ke kerongkongan dengan sensasi membakar yang perih. Perlahan tapi pasti, percakapan mereka bergeser ke malam dimana mereka pertama kali bertemu. Mengubahnya menjadi lelucon konyol yang mereka sendiri tertawakan. Karena sungguh, mereka mengerti itu adalah jalan keluar yang bodoh untuk lari dari suatu masalah.

Namun tetap saja, keduanya kembali menyerah pada hasrat yang menguasai mereka saat jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi—kali ini dalam keadaan sama-sama sadar.

Jaehwan melumat bibir Taekwoon dengan kasar. Menghimpit lelaki itu ke dinding lorong apartemennya bahkan sebelum mereka mencapai kamar. Tangan Taekwoon mencengkram rambutnya kuat, meminta Jaehwan untuk memperdalam ciumannya. Lidah keduanya menari, saling menyusup, menjilati sisa rasa lemon dari Gin terakhir mereka.

Dengan alkohol yang masih dalam batas wajar, Jaehwan menemukan bahwa Taekwoon memiliki wajah yang rupawan. Kulitnya tidak bercela, mendorong Jaehwan untuk meninggalkan jejak merah yang ia yakin akan tampak memikat melawan putih di leher Taekwoon .

Namun Taekwoon berjengit, menahan Jaehwan untuk tidak melakukannya.

"No hickeys." Tuntut lelaki itu sedikit gusar. "Sojin bisa melihatnya."

Jaehwan tidak mengerti mengapa nama itu membuat perutnya mendadak mual. Ia kembali mengingatkan diri untuk tidak membawa perasaan apapun dalam hubungan ini.

Maka, Jaehwan berusaha untuk berpura-pura.

Ia membohongi dirinya sendiri bahwa Taekwoon tidak terlihat sempurna berada di bawahnya, bahwa desah dari bibir lelaki itu tidak mengirimkan getaran ke tulang punggungnya, bahwa sekali lagi—ini, yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang patut untuk ia simpan dalam ingatannya.

Ketika pagi datang, keduanya berjanji untuk tidak bertemu lagi. Namun berkebalikan dengan apa yang terucap, dua nomor telepon saling terselip dalam ponsel masing-masing.

Selanjutnya, apa yang terjadi adalah sebuah siklus berulang tanpa akhir. Keduanya seakan terjebak dalam kubangan lumpur yang mereka ciptakan sendiri.

Taekwoon hanya menemui Jaehwan pada malam hari. Saat lelaki itu selesai mengantarkan Sojin pulang, dengan mengenakan pakaian kantornya yang sudah sedikit lusuh. Mereka akan menghabiskan beberapa jam bersama, sebelum Taekwoon beranjak dari apartemennya ketika langit di luar masih petang. Terkadang, lelaki itu pergi dengan mengendap-endap, membuat Jaehwan terbangun dengan sisi kanan ranjangnya yang kosong.

Ada malam dimana Taekwoon tidak datang karena Sojin menginap di rumah lelaki itu atau urusan pekerjaan lain. Jaehwan harus menahan diri untuk tidak merindukan bagaimana rambut hitam Taekwoon menggelitik cuping hidungnya ketika mereka berbaring berdampingan. Sedang beberapa malam sisanya selalu ditutup dengan kalimat 'Ini adalah pertemuan terakhir kita' dari Taekwoon yang akan dibalas dengan Jaehwan , 'ok, itu tidak menjadi masalah'.

Namun karena keduanya sama-sama buruk dalam menepati janji, Taekwoon terus datang kepada Jaehwan , menuntut rasa nyaman yang tidak bisa ia dapatkan dari Sojin. Sementara, pertahanan Jaehwan runtuh perlahan.

Ia jatuh cinta.

Jaehwan menghela nafas panjang. Pagi ini, Taekwoon lagi-lagi meninggalkannya di saat ia terlelap. Jaehwan berguling ke sisi lain tempat tidurnya, mencari sisa kehangatan Taekwoon serta aroma parfum maskulin dan sedikit jejak citrus yang lelaki itu tinggalkan.

Jika orang berkata cinta itu buta, maka mungkin, Taekwoon telah merebut indra penglihatannya.

Sambil memandang embun di permukaan jendela kamarnya, suara lirih Jaehwan menggema menemani matahari naik lebih tinggi dan tinggi lagi.

Let it be night. Let it be night.
-o-o-o-o-o-o-o-o-o-
Dalam sepekan terakhir Jaehwan menghitung, Taekwoon hanya datang dua kali kepadanya. Lelaki itu berdalih dengan alasan 'Aku sedang menyiapkan pesta ulang tahun untuk Sojin'. Suasana hati Jaehwan berubah buruk karena rasa cemburu yang tidak seharusnya ia miliki. Jaehwan tahu perasaan ini akan menggerogotinya tanpa ampun seperti binatang.

Untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, Jaehwan memutuskan keluar mencari seseorang yang bisa mengalihkannya.

Ia menyematkan rokok di antara giginya, sambil menyisir pandangan di sebuah klub malam yang jarang ia kunjungi. Jaehwan kira, usahanya akan berbuah sia-sia. Namun ketika matanya menemukan lelaki yang menangkap perhatiannya, ia segera mengambil kesempatan tanpa pikir panjang.

Seseorang yang bernama Lee Wonshik ini berbeda dengan Taekwoon .

Lelaki itu lebih memilih memantul di atas Jaehwan , mengendalikan ritme permainan, selagi nama Jaehwan terus bergulir dari lidahnya layaknya mantra. Wonshik juga meminta Jaehwan menggigitnya, menghisapnya, meninggalkan tanda di tubuhnya sebanyak yang Jaehwan mau. Namun, Wonshik tidak membersihkan sisa kekacauan yang mereka timbulkan. Lelaki itu langsung merebahkan diri ke dadanya begitu mereka selesai. Semuanya terasa asing bagi Jaehwan .

Apalagi, ketika ia menemukan Wonshik tetap tinggal hingga pagi menjelang.

Jaehwan menemukan Wonshik berkutat di dapurnya, mencoba meracik Earl Grey Tea dengan apron-nya yang terlihat pas di tubuh lelaki itu.

"Oh, selamat pagi." Sapa Wonshik saat melihat Jaehwan memasuki dapur. "Aku harap kau tidak keberatan aku memakai dapurmu." Tambahnya ramah.

"It's okay." Sahut Jaehwan datar.

Ia mengambil segelas air putih, tetapi Wonshik menahan tangannya. Lelaki itu meyodorkan cangkir berisi teh panas ke arah Jaehwan . "Aku membuatkannya untukmu. Kau terlihat sedikit tegang kemarin."

Dengan senyum tipis, Jaehwan meraih cangkir itu. "Thanks."

Wonshik mengangguk senang. Mereka berdua duduk di depan televisi, menikmati berita pagi serta ramalan cuaca yang membosankan. Punggung Jaehwan menegang ketika Wonshik tiba-tiba melingkarkan tangan ke lengannya. Lelaki itu bersandar ke bahunya, kemudian tergelak kecil.

"Aku rasa aku akan menyukaimu, Jaehwan ." Kata Wonshik ringan tanpa menatapnya.

Mendengar itu, Jaehwan merasakan hangat menjalar ke dalam dadanya. Ia baru menyadari betapa ia merindukan perasaan ini.

Perasaan diinginkan, diperhatikan, dibutuhkan.

Perasaan dicintai dan bukan hanya mencintai.

Ia memalingkan wajah ke arah Wonshik , mengenyahkan keraguan di ujung jarinya saat ia perlahan menarik dagu Wonshik mendekat.

Dengan gerakan canggung, Jaehwan mencium bibir lelaki itu.

Mungkin. Pikir Jaehwan . Mungkin, ia telah menemukan pengalih yang tepat.
-o-o-o-o-o-o-o-o-o-
Jaehwan keliru.

Jaehwan sangat keliru.

Ia segera menyadari itu ketika Taekwoon tidak menghubunginya selama lima hari terakhir.

Jaehwan menjejalkan rokoknya bersama puluhan puntung lain dengan bekas gigitan di pangkalnya—pertanda bahwa ia sedang depresi ke atas asbak. Ia kembali memandang ke arah ponselnya untuk yang kesekian kali. Berbagai prasangka berdesakan dalam kepalanya, menyimpulkan kemungkinan terburuk bahwa Taekwoon sudah tidak lagi membutuhkannya.

Tatapannya beralih ke jam dinding yang saat itu menunjukkan pukul empat sore. Jaehwan mengetukkan kaki dalam gerakan frustasi sambil meraih pak rokoknya.

Bara di batang rokok itu meliuk merah, marah.

Seiring dengan percik api yang membakar tembakau perlahan, seorang lelaki mengadu pada keheningan dengan wajah tertunduk.

Let it be night. Let it be night.

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Ia berhenti berharap.

Jaehwan tidak lagi menghitung sudah berapa malam ia lewatkan tanpa pesan apapun dari Taekwoon . Pikirannya semakin kusut karena nomor ponsel Taekwoon bahkan sudah tidak aktif. Jaehwan ingat, ia harus memaksa dirinya duduk karena kakinya bergetar hebat. Ia terus menekan kontak yang sama berulang-ulang dan mendapatkan jawaban yang sama dari dalam speaker-nya berulang-ulang pula.

Jaehwan berteriak, mencaci, mengungkapkan kekesalannya pada hatinya yang lemah.

Seharusnya dari awal, ia menyadari bahwa dirinya hanyalah sebuah pit stop. Pemberhentian sementara. Dan tidak pernah lebih dari itu.

Jaehwan benar-benar berada pada kondisi terburuk dan Wonshik menyadarinya.

Lelaki itu tidak bertanya alasan mengapa Jaehwan terlihat begitu kacau, atau alasan kenapa ia tidak menjawab teleponnya. Sebaliknya, Wonshik justru memaksanya untuk keluar dari apartemen. Mereka mengunjungi salah satu restoran di pinggir kota setelah Wonshik menghabiskan satu jam untuk merapikan penampilannya. Lelaki itu tersenyum, menggenggam tangannya erat dan Jaehwan pikir perlakuan Wonshik sedikit menenangkan kemelut dalam kepalanya.

Namun, takdir seolah enggan berpihak pada Jaehwan .

Karena tepat ketika ia mulai menikmati Cabernet Sauvignon-nya, sepasang figur yang masuk ke restoran itu membuatnya kehilangan nafas. Ia terbatuk kecil sambil membuka daftar menu, mengintip lewat sudut matanya bagaimana tangan seorang wanita menggelayut mesra pada lelaki yang sedang tersenyum di sisinya.

Jaehwan buru-buru memalingkan wajah ketika lelaki itu mendaratkan mata ke arahnya. Ia menarik tangan Wonshik , menimbulkan kerut di kening lelaki itu karena mimiknya yang berubah panik.

Ia tidak siap untuk bertemu Taekwoon sekarang. Tidak pada saat dirinya sedang berada di titik terendah untuk melupakan lelaki itu.

Sebelum Jaehwan sempat beranjak dari kursinya, sebuah suara segera menguncinya untuk kembali duduk.

"Jaehwan ?" Ia memejamkan mata, menikmati bagaimana kerinduannya terobati hanya lewat satu kata. "H-Hey," Lanjut Taekwoon tergagap. "Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini."

Perlahan, setelah menenangkan desir darahnya yang berkumpul di dada, Jaehwan menoleh ke arah lelaki itu. "Oh, Taekwoon -Hyung." Ia mencoba tersenyum. "Suatu kebetulan yang mengejutkan."

Wanita di samping Taekwoon berbisik, menanyakan siapa lelaki yang sedang ada di hadapannya kali ini. Taekwoon melengkungkan bibir, kemudian memperkenalkannya kepada Sojin.

Jaehwan menggigit bibir. Wanita yang tadinya hanya berada di angannya, sekarang berdiri secara nyata di hadapannya; cantik dan anggun.

Ia mendadak mengerti mengapa Taekwoon lebih memilih Sojin daripada dirinya.

Jaehwan menemukan kilatan heran di mata Taekwoon saat lelaki itu menatap Wonshik . Ia segera berdiri dari kursinya, mengisyaratkan Wonshik untuk berjabat tangan dengan Taekwoon .

"Ini Wonshik ." Tuturnya, kemudian merangkul pundak lelaki itu—salah satu usaha untuk membuat dirinya sendiri terlihat tidak terganggu dengan kehadiran Taekwoon lalu melanjutkan dengan penuh percaya diri, "Kekasihku."

Jaehwan tidak melewatkan sorot terkejut yang tergambar jelas di wajah Taekwoon . Lelaki itu membelalak ke arahnya, seakan menanyakan apakah ia sedang membuat lelucon. Akan tetapi begitu Jaehwan menampakkan wajah seriusnya, ketegangan di antara keduanya langsung tercipta. Udara yang mengalir di sekitar mereka tiba-tiba terasa begitu mencekik.

Sambil mengalihkan pandangan, Taekwoon mengeluarkan tawa yang terdengar sumbang. "Ah. Senang bertemu denganmu, Wonshik -ssi." Taekwoon kemudian menatap tajam ke arah Jaehwan , sambil mengucapkan kalimat dalam nada sarkastik, "Have a great night ahead."

Lelaki itu mendorong punggung Sojin untuk menjauh, tetapi Wonshik menyergah. "Bergabunglah bersama kami. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan teman Jaehwan . Ia selalu tertutup mengenai itu."

Balasan yang datang berikutnya berasal dari Sojin. Wanita itu tertawa cerah, lalu menjawab, "Kita memiliki permasalahan yang sama Wonshik -ssi."

Pasangan itu akhirnya menyetujui ajakan Wonshik dan duduk di meja yang sama dengan mereka. Jaehwan meloloskan satu kancing kemejanya karena rasa panas yang kini menguasai tubuhnya. Ia mencuri pandang ke Taekwoon , melihat lelaki itu juga terlihat tidak nyaman dengan situasi ini.

Percakapan di atas meja itu dihidupkan oleh Wonshik dan Sojin sementara kedua lelaki lainnya hanya menanggapi dengan kalimat pendek atau senyum kecil.

"Kalian harus datang ke pesta ulang tahunku." Sojin berucap ringan. Kuku berwarna gradasi keunguan wanita itu mengetuk tangkai gelas di genggamannya. "Aku tahu ini terdengar kekanakan, tapi Taekwoon memaksa untuk tetap mengadakan pesta. Bukankah ia begitu romantis?"

Sojin menyandarkan dagu di bahu Taekwoon sembari memeluk lelaki itu. Mata Jaehwan berupaya untuk menatap ke arah lain. Kecemburuan dalam dirinya meluap, membanjiri setia pembuluh darah. Apalagi, ketika ia melihat secara langsung bagaimana Kyungoo mendaratkan satu kecupan di bibir wanita itu.

"Kami akan senang sekali menerima undanganmu." Wonshik mengusap punggung tangan Jaehwan . "Benar 'kan, sayang?"

Jaehwan mengangguk kaku. "Tentu." Ia dapat menangkap tangan Sojin yang bergerak menelusuri paha—atau mungkin justru bagian lain Taekwoon di bawah meja dan memutuskan bahwa ia sudah tidak tahan lagi. "Aku permisi sebentar." Ujarnya pelan, kemudian bergegas ke arah restroom restoran itu.

Nafas Jaehwan terengah. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, merutuk mengapa lelaki yang terpantul di dalam sana terlihat begitu menyedihkan hanya karena beberapa gesture yang Sojin tunjukkan ke Taekwoon . Jaehwan segera membasuh wajahnya. Ia menyibakkan rambut ke belakang kemudian menjambaknya dengan kasar.

Bibirnya berbisik dalam nada samar, "Let it be gone, let it be gone." Sementara matanya terpejam, mencoba memenangkan kecamuk di kepalanya. "Let it be gone, let be it gone." Namun bayangan Taekwoon terus memaksa masuk, tidak mengizinkan Jaehwan untuk mengenyahkannya barang sedetik saja. Ia memejam lebih kuat, mengusir isak yang mungkin sebentar lagi datang, "Please, let it be gone. Please, please, let it be gone."

Suara langkah kaki yang memasuki restroom itu segera membuat Jaehwan menoleh. Seorang lelaki kini menatapnya, bibirnya terkatup rapat, tetapi matanya memancarkan amarah yang luar biasa.

"Who the is that Wonshik ?" Taekwoon berteriak, menampilkan urat di pelipis kirinya. Ia menghampiri Jaehwan yang terpaku di tempat kemudian mengulang pertanyaan yang sama. "Who. The . Is. That. Wonshik ?"

Jaehwan sadar, ia lebih memiliki hak untuk marah. Mungkin memukul Taekwoon dua atau tiga kali di wajah. Namun apa yang ia lakukan justru sebaliknya. Jaehwan menghantam punggung Taekwoon ke dinding, lalu memagut bibir lelaki itu kasar.

"Aku merindukanmu."

Pecundang.

Idiot.

Menyedihkan.

"Aku merindukanmu, Hyung."

Sorot mata Taekwoon melembut. Lelaki itu menarik leher belakang Jaehwan , membalas ciumannya lebih kasar lagi. "Aku kehilangan ponselku." Papar Taekwoon sambil melepaskan desahan karena bibir Jaehwan mulai berpindah ke lehernya. "Dan pekerjaan sedikit menggila akhir-akhir ini jadi aku kesulitan menemuimu." Lanjut lelaki itu, tangannya mencengkram pinggang Jaehwan kuat menyatukan bagian bawah tubuh mereka.

Jaehwan melenguh.

"Berjanjilah kau akan kembali menemuiku." Jaehwan memutar tubuh Taekwoon cepat hingga lelaki itu menghadap ke dinding. Ia menarik pinggul Taekwoon ke belakang, lalu mulai menggesekkan miliknya.

Jemari Taekwoon mengerut sedang nafasnya berubah pendek. "Y-Ya. Aku berjanji."

Jaehwan kembali menciumi leher Taekwoon , kemudian beralih ke belakang telinga lelaki itu. Tepat ketika ia mengiggit daun telinga Taekwoon , sebuah kenyataan menamparnya keras. Ia mencium aroma lain dari tubuh Taekwoon .

Harum berbeda dari parfum yang Taekwoon tinggalkan di kain sprei-nya.

Jaehwan segera melepaskan kedua tangannya lalu mundur perlahan. Taekwoon yang merasakan pergantian atmosfer dalam ruangan itu berbalik, memandangnya heran.

"Sebaiknya kita kembali." Ujar Jaehwan tanpa melihat Taekwoon .

Lelaki itu menarik nafas sejenak, menghilangkan kerut di keningnya kemudian membalas. "Ok."

Jaehwan melangkah cepat, mendahului Taekwoon karena berada di dekat lelaki itu membuatnya merasa tidak berarti. Ia menggelengkan kepala ketika bayangan tentang Taekwoon memperlakukan Sojin seperti apa yang baru saja mereka lakukan masuk ke otaknya. Setiap bagian dalam dirinya terus mengingatkan bahwa hubungan ini tidak akan pernah berhasil. Ia adalah satu-satunya pihak yang akan tersakiti.

Tapi Jaehwan terlalu keras kepala.

Ia menghentikan langkah saat Taekwoon menarik pergelangan tangannya. "Akhiri hubunganmu dengan Wonshik ." Perintah lelaki itu tegas.

Mulut Jaehwan menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarkan. "Kau bilang apa?"

"Akhiri hubunganmu dengan Wonshik . Aku tidak menyukainya."

Amarah Jaehwan yang sudah berada di tepi, berkumpul dengan rasa lelah, cemburu dan harga dirinya yang terinjak membuat lelaki itu mengeluarkan dengus mengejek. Ah, jadi Taekwoon merasa berhak mengatur hubungannya? Hebat sekali.

"Apa kau tidak mendengar dirimu sendiri?" Desisnya berang. Ia menangkupkan tangannya ke wajah Taekwoon kemudian menyentaknya kasar. Sepertinya logika lelaki ini tidak pernah berfungsi. "Aku tahu sejak awal bahwa kau brengsek, tapi aku tidak pernah menyangka kau akan sebrengsek ini, Taekwoon ."

"Jaehwan —" Suara Taekwoon terdengar lemah, penuh dengan penyesalan, namun Jaehwan sudah cukup mendengar.

Hubungan ini tidak akan berhasil. Dan sifat keras kepalanya harus mengalah sebelum ia menghancurkan dirinya sendiri.

"Don't. Okay?" Ia mengambil langkah mundur, menatap mata Taekwoon yang kini memerah. "Just, don't."

Jaehwan masih sempat merekam bagaimana ia begitu mencintai lelaki yang ada di hadapannya. Bagaimana ia berpikir bahwa ia bisa menghabiskan semasa hidupnya bersama Taekwoon dan hanya bersama Taekwoon .

Dengan tawa getir yang pahit, ia menunduk, memandang Taekwoon untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya ia utarakan sejak hatinya jatuh kepada lelaki itu.

"I wish I knew how to quit you."

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Semenjak Jaehwan memahami bahwa perasaan sepihak bisa membuat orang seputus asa ini, ia mulai merubah sikapnya ke Wonshik 

Jaehwan membalas pesan singkat dari Wonshik dengan sedikit lebih antusias, tertawa saat lelaki itu menceritakan lelucon tentang teman dekatnya, menggandeng tangannya ketika mereka sedang berada di tengah kota, sampai memberikan beberapa hadiah kejutan untuk lelaki itu.

Walaupun Jaehwan terus meyakinkan diri bahwa ia memiliki niat yang baik, jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia sama brengseknya dengan Taekwoon . Karena apa yang ia lakukan ke Wonshik hanyalah pelampiasan dari hal yang tidak bisa ia lakukan ke Taekwoon . Wonshik tetap hanya seorang pengalih, bukan seseorang yang akan mengisi kekosongan dalam dirinya.

Sambil menatap lembar sketsanya, Jaehwan menggeram. Ia mulai menuai protes dari beberapa klien karena pekerjaannya terlambat. Layar monitornya menyala, menampilkan illustrator software yang belum ia sentuh sejak kemarin malam. Inspirasi seakan sedang bersembunyi di tempat yang tidak terjangkau olehnya. Ia menyambar pak rokoknya dan kembali menggeram saat menemukan isi di dalamnya kosong. Alisnya berkerut begitu melihat asbaknya yang penuh, mengotori sikunya dengan noda abu.

Jaehwan mengabaikannya. Ia justru mengambil jaket, berniat untuk membeli rokok di minimart lantai satu apartemennya. Tetapi, langkah pertamanya keluar dari apartemen itu segera terhenti karena seseorang yang menyambutnya di balik pintu. Seseorang yang paling tidak ia harapkan hadir saat ini.

"Bisakah kita bicara?" sergah Taekwoon cepat sembari menahan pintu apartemennya dengan lengan agar Jaehwan tidak menutupnya.

Ia memperhatikan Taekwoon yang masih mengenakan pakaian kantornya. Padahal, waktu pulang kerja lelaki itu sudah lewat beberapa jam yang lalu.

Sudah berapa lama dia berdiri di sini?

"Aku mohon." Pinta lelaki itu dengan mimik menyesal saat Jaehwan tidak menjawab.

Jaehwan mengatur nafas. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk berdebat. Masih ada hal lebih penting dari seseorang yang mengacaukan suasana hatinya beberapa hari ini. Sambil mendengus lelah, ia kemudian mengedikkan dagu mempersilakan Taekwoon untuk masuk.

"Thanks." Balas lelaki itu.

Taekwoon berjalan dengan wajah tertunduk, kemudian berdiri kaku di hadapannya. Lelaki itu menggigiti bibir, mencari kalimat pembuka yang tepat untuk memulai pembicaraan.

Jaehwan menyilangkan tangan ke dada. "Apalagi maumu?"

Hening mengambil alih sejenak di antara keduanya sebelum Taekwoon tiba-tiba menjatuhkan apa saja yang ada di tangannya. Ia mengambil langkah panjang ke arah Jaehwan , memeluknya erat, dan mengubur wajahnya ke dada lelaki itu. "Jangan pergi. Aku mohon jangan tinggalkan aku."

Tubuh Jaehwan membeku mendengar kalimat yang bergulir dari lidah lelaki itu. Keadaan seperti berbalik, karena dulunya kalimat ia adalah pihak yang mengucapkan pernyataan itu. Suara Taekwoon berubah menjadi sesenggukan yang teredam segera membuat Jaehwan iba.

Oh, betapa ia benci dengan sisi lemahnya.

Jaehwan mengusap kepala belakang Taekwoon dengan ragu sembari melemaskan persendiannya yang tegang. Ia akhirnya ikut larut dalam pelukan lelaki itu.

"I'm sorry, I ed up." Tutur Taekwoon . Lengan lelaki itu melingkar di leher Jaehwan kuat seolah kakinya tidak mampu menopang tubuhnya.

Jaehwan membuang nafas. Jika ia diminta untuk menyusun daftar apa saja yang ia benci dari Taekwoon saat ini, ia mungkin butuh berlembar-lembar kertas untuk menuliskannya. Namun itu tidak akan pernah sebanding dengan daftar apa yang ia cintai dari lelaki itu.

Karena Jaehwan yakin, ia bisa membuat buku setebal kamus yang berisi setiap hal—bahkan setiap detail keindahan Taekwoon .

Dengan ibu jari, ia mengusap pipi Taekwoon lembut kemudian membawa lelaki itu untuk duduk di pangkuannya. "It's okay."

Pecundang.

Idiot.

Menyedihkan.

"Aku memaafkanmu."

Mendengar itu, Taekwoon justru semakin terisak. Lelaki itu menghapus air matanya, lalu memberanikan diri untuk menatap Jaehwan . "Aku merindukanmu." Taekwoon menghujani wajah Jaehwan dengan ciuman sambil terus berbisik. "Aku sangat merindukanmu."

Jaehwan tersenyum. Kebahagiaan memenuhi setiap denyut nadinya. Ia balas mencium garis rahang Taekwoon hingga dagunya, memaksa jarak di antara mereka lebih dekat lagi, berbagi kehangatan dari panas tubuh satu sama lain. Jaehwan membuka kancing kemeja Taekwoon dengan tergesa sementara Taekwoon menelusupkan jemarinya ke rambut Jaehwan , menariknya kepalanya ke belakang hingga ia bebas memberi hisapan di lehernya.

"Bagaimana caranya berhenti mencintaimu, Hyung?" Jaehwan melepaskan cengkraman Taekwoon di rambutnya, bibirnya kini meniti setiap tahi lalat di bahu Taekwoon .

"Jangan berhenti." Jawab Taekwoon seraya mendorong Jaehwan untuk berbaring. "Jangan pernah berhenti."

Satu persatu pakaian mereka lenyap, berganti dengan dua tubuh yang saling melekat, hanyut dalam hasrat serta rindu yang menyayat. Tangan Jaehwan mengusap lembut bagian mata kaki sampai paha Taekwoon , menyerahkan akal sehatnya kepada lelaki itu karena sensasi dari kulit mereka yang bertemu. Ia menanamkan banyak ciuman di sepanjang kaki Kyungoo, menelusuri dengan lidah setiap jengkal tubuh lelaki itu. Taekwoon mendesah. Kukunya menancap di punggung Jaehwan sedang matanya terus terpejam.

Satu, dua, tiga.

Kemudian mereka hilang ditelan desah yang menggema. Meraungkan banyak 'Jaehwan , lebih dalam lagi' dan 'Hyung, kau sangat sempurna' seakan tubuh keduanya bicara dalam bahasa cinta dan hanya mereka sendiri yang dapat menerjemahkannya.

Jaehwan menyandarkan keningnya ke dada Taekwoon sedang kedua tangannya menarik kaki Taekwoon ke pundaknya, membuat punggung lelaki itu melengkung karena ia akhirnya menghujam titik yang tepat. Desahan berantai yang datang dari bibir keduanya berubah kotor. Jaehwan terus mengucapkan serapah ketika Taekwoon menggumamkan, 'Kau menyukai berada di dalam Hyung, Jaehwan ?' lalu segera mengerahkan seluruh tenaganya sambil membalas, ', i love you so much'

Keduanya menegang, mengerang, dengan gigi Taekwoon menggigit bibir bawah Jaehwan kuat.

Jaehwan tumbang di atas Taekwoon . Ia tidak peduli dengan keringat atau cairan yang membuat tubuh mereka lengket. Taekwoon mengusap rambut Jaehwan , mengecup puncak kepalanya berkali-kali.

Lelaki itu membuang nafas sebelum berkata dengan suara parau, "Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Sojin setelah pesta ulang tahunnya selesai."

Jantung Jaehwan melewatkan satu detakan. Ia mendongak, memandang Taekwoon yang tengah tersenyum. "Hyung, jangan menggodaku." Keluhnya setengah berharap.

Taekwoon tertawa sambil membawa Jaehwan ke lengannya. "Aku lebih menginginkanmu."

Jika ini sekedar terjadi di alam bawah sadarnya, maka Jaehwan rela untuk tidak terbangun dan bertemu kenyataan. Ia kehilangan kata-kata. Kedua matanya menatap Taekwoon lurus, mendesak lelaki itu untuk kembali berbicara.

Jaehwan hanya menunggu satu kalimat dari bibir lelaki itu.

"Aku jatuh cinta padamu, Jaehwan ." Taekwoon sedikit terisak saat mengucapkannya, begitu pula Jaehwan . "Let's be together."

Jaehwan mengangguk dalam diam. Ia mendekap Taekwoon lebih erat lagi, mereguk harum tubuh Taekwoon seperti sebuah candu. "Aku sangat mencintaimu, Hyung."

Taekwoon tergelak geli. Tapi mereka sama-sama mengerti bahwa itu adalah luapan dari rasa lega yang terpendam selama entah berapa lamanya.

"Me too, baby." Ucap Taekwoon , seraya mengecup kedua mata Jaehwan yang basah karena tangis. "Me too."

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Mungkin tidak adil bagaimana Jaehwan tersenyum sepanjang pesta tapi bukan karena seseorang yang mendampinginya. Ia memakai jas terbaiknya sampai menata rambutnya sedemikian rupa hingga terlihat menarik.

"Suasana hatimu sepertinya sedang baik." Wonshik membetulkan posisi dasi Jaehwan kemudian menepuk bahunya. "Aku tidak pernah melihatmu secerah ini."

Ada segelintir rasa bersalah menyergap Jaehwan karena perhatian lelaki itu kepadanya. Ia mengacak rambut Wonshik sambil berujar. "Kau orang paling baik yang pernah kutemui."

Lelaki itu menyembunyikan sipu di pipinya. Ia menggamit lengan Jaehwan , lalu mengajaknya menghampiri Sojin dan Taekwoon . Pesta itu akan berakhir pada pukul sembilan malam. Jaehwan hanya perlu menunggu dua jam lagi untuk bisa memiliki Taekwoon seutuhnya.

Ia akan mengakhiri hubungannya dengan Wonshik , begitu juga Taekwoon dengan Sojin, dan apa yang terjadi setelahnya, Jaehwan tidak sudi menaruh peduli. Semuanya sudah sempurna di benaknya. Sekarang apa yang ia butuhkan adalah kesabaran.

Karena ada kalanya, waktu berputar pada kecepatan yang berbeda.

Terkadang, jam terasa seperti menit dan terkadang satu detik bisa bertahan seumur hidup.

Seperti saat ia melihat Taekwoon tertawa ke arah Sojin, memeluk pinggang wanita itu dengan begitu eratnya. Jaehwan memaksakan senyum untuk mengucapkan selamat pada wanita itu lalu mengalihkan tatapannya ke Taekwoon . Seluas senyum licik tertukar ketika mata mereka bertemu.

Taekwoon memanfaatkan celah saat Wonshik berbicara dengan Sojin untuk berbisik ke telinga Jaehwan dengan suara rendah yang menggoda, "You look so ing fine in that suit."

Jaehwan menyeringai sembari mencondongkan tubuhnya hingga bersentuhan dengan Taekwoon sebelum membalas, "Eager, aren't we?"

Mereka berdua tergelak kecil, memancing raut heran dari wajah Wonshik dan Sojin. Taekwoon segera kembali ke sisi wanita itu, setelah memberi kedipan mata ke arahnya.

Apa yang terjadi di pesta itu seperti ingatan berkabut bagi Jaehwan . Ia sama sekali tidak menikmatinya sedikitpun. Pandangannya terus tertuju terus ke arlojinya atau ke Taekwoon yang sepertinya sedang tenggelam dalam perannya sebagai kekasih Sojin. Wonshik berusaha mengajaknya bicara, namun jiwa Jaehwan sedang tidak berada di raganya. Ia kembali merapalkan doa yang sama, berharap waktu mau mengalah.

Let it be night. Let it be night.

"—sudah menunggu." Wonshik mengguncangkan tubuhnya pelan. "Jaehwan ?"

"Oh, y-ya?" Jaehwan membelalakan mata, mencoba menarik kesadarannya kembali.

Bibir Wonshik mengerucut sebal. "Kau tidak mendengarkanku, ya?"

"Ah, aku minta maaf." Ia tersenyum tipis. "Bisa kau ulangi lagi?"

Lelaki itu seperti tidak ambil pusing. Ia membalas senyum Jaehwan kemudian berkata dengan nada ringan, "Ayo kita pergi dari pesta ini."

Jaehwan terperanjat ketika Wonshik mulai menarik tangannya. "Kenapa? Apa kau tidak menikmatinya?" tanya Jaehwan panik sambil menahan Wonshik untuk tidak berjalan terlalu cepat.

"Bukankah sudah kukatakan alasannya?" Sahut lelaki itu. "Orang tuaku ingin bertemu denganmu."

Tiba-tiba, waktu berhenti berdetak.

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Pepohonan selalu terlihat ganjil pada malam hari. Seakan tiap dahan, ranting serta bunganya sedang ikut terlelap bersama tenggelamnya matahari. Di bawah kanopi tempatnya berdiri, langit terlihat seperti tinta yang tidak sengaja tumpah, menghampar kelam dengan suara burung hantu sebagai pengiringnya.

Jaehwan mengeluarkan tangannya perlahan dari dalam saku, sekali lagi memeriksa ponselnya yang belum juga menerima pesan masuk. Ia menunggu suara deru mobil familiar dengan cemas dari luar pub tempat ia dan Taekwoon pertama kali bertemu.

Misinya selesai.

Semuanya impas. Ia rela dicaci dengan berbagai umpatan oleh orang tua Wonshik selama ia bisa memiliki Taekwoon . Selama ia bisa menyebut lelaki itu sebagai Taekwoon -nya.

Jaehwan menyulut batang rokoknya, bersusah payah memantik api untuk membakarnya karena tangan kanannya tidak sengaja terkilir. Sepatunya yang tadi mengkilat berubah keruh dihajar langkah kakinya yang terburu-buru saat menuju ke tempat ini.

Sudut bibirnya terasa perih setiap kali ia menghisap rokoknya. Jaehwan berdesis, menyentuh luka itu dengan punggung telunjuknya dan mengutuk saat melihat darah masih saja mengalir dari sana.

Ketukan kakinya melawan conblock terhenti ketika sebuah Porsche 911 Classic 1964 berwarna putih tulang mendekat ke arah pub. Jaehwan segera menghancurkan puntung rokoknya, bibirnya menampakkan senyum yang paling ceria.

Seperti dugaan Jaehwan , seseorang di balik kemudi itu adalah Taekwoon . Namun apa yang tidak Jaehwan perkirakan, adalah satu figur yang duduk di bangku penumpang.

Sojin.

Senyum dari wajahnya hilang dalam sekejap. Ia memandang Taekwoon yang keluar dari dalam mobil, raut lelaki itu begitu membingungkan dan Jaehwan yakin sesuatu yang buruk akan terjadi. Padanya.

Dugaan itu semakin kuat, karena kalimat pertama yang terdengar di telinga Jaehwan adalah, "Aku minta maaf."

Sebuah getaran segera menghancurkan setiap persedian Jaehwan . Ia mencoba tetap berdiri, karena paling tidak, ia membutuhkan alasan lelaki itu. "Kenapa?"

Taekwoon memijat pangkal hidungnya, menghapus linang yang keluar dari sudut matanya. "Dia sakit dan aku tidak sampai hati untuk mengakhiri hubungan ini sekarang."

Jaehwan berubah lemas. Ia tidak menyangka diantara beribu alasan yang akan menghancurkan impiannya tepat di depan mata, alasan Taekwoon keluarkan justru karena permasalahan sederhana.

Dia sakit, katanya. Batin Jaehwan menjerit perih. Tidak sampai hati, katanya.

Keegoisan Taekwoon baru saja mencapai level dimana orang lain tidak akan mampu menandinginya. Luar biasa.

"Kau tahu apa yang baru saja aku lakukan demi bisa bersamamu, Hyung?" Jaehwan tidak tanggung untuk berteriak. Persetan dengan apapun saat ini, biarkan orang lain mendengar dan mengetahui seberapa mudah ia bisa dibodohi oleh Taekwoon . "Aku mengakui hubungan kita tepat saat jamuan makan malam keluarga Wonshik ."

Taekwoon pasti sudah buta jika tidak melihat luka di wajahnya karena pukulan-pukulan dari ayah Wonshik . Mata lelaki itu justru berkaca-kaca, seperti ialah yang sedang tersakiti pada situasi ini.

"Jaehwan , aku minta maaf." Ujar Taekwoon sambil melangkah mendekat.

"Goddamit, Hyung! Aku tidak butuh permintaan maaf!" seru Jaehwan tanpa menyisakan sedikitpun udara di paru-parunya. "Goddamit! God in' dammit." Ia berjongkok, meghantam kepalanya sendiri berulang kali. "Aku bahkan tidak butuh dunia jika aku memilikimu!"

Suara klakson panjang mengejutkan keduanya. Taekwoon melirik ke arah mobilnya, mendapati Sojin tengah bersedekap dengan muka masam.

Jaehwan tertawa sinis. "Kau tahu apa? Biar aku yang membuat ini mudah, Hyung." Ia berdiri dari tempatnya, kemudian membanting ponselnya ke tanah. "There! Tidak akan ada jejak apapun yang akan membawamu kepadaku. Kau puas?"

Tidak ada jawaban apapun dari Taekwoon . Lelaki itu hanya berdiri di sana, di bawah sinar purnama yang membuat bibirnya merekah merah. Tampan, memikat, indah dan tidak tersentuh. Luar biasa sekali.

"One day," Jaehwan berdesis, menggertakkan giginya. "I hope you're going to remember me and it's gonna ing hurt."

Ia berbalik dan tidak menoleh lagi.

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Jaehwan menyalahkan cara kerja otak manusia.

Mengapa organ itu tidak mengizinkan memori untuk dibuang atau dikubur dalam-dalam sesuai kemauan pemiliknya? Menggelikan bagaimana setiap momen manis dengan seseorang bisa berubah menjadi anak panah runcing menyakitkan yang melesat cepat.

Kadang tepat sasaran. Kadang meleset, menimbulkan rasa sakit lain yang tidak perlu.

Benaknya bertanya-tanya, pernahkah ia terlintas di pikiran Taekwoon ? Apakah lelaki itu mencoba menemukannya kembali? Namun ia akan segera mengosongkan kembali pikiran itu karena, benarkah ia ingin tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri?

Jaehwan semakin membenci Taekwoon sebab di kala ia ingin benar-benar lepas dari bayang-bayang Taekwoon , lelaki itu justru hampir selalu hadir di mimpinya. Atau pada nada yang tidak sengaja membawa senyum Taekwoon kembali hadir dan memaksanya untuk memutar lagu itu berulang-ulang hingga ia jatuh terlelap, menumpahkan minumannya ke atas ranjang.

Sebagian dari diri Jaehwan ingin merangkak pulang ke pelukan Taekwoon walaupun lelaki itu telah menyakitinya berkali-kali.

Minggu demi minggu berlalu, hingga berganti bulan, sejak ia memutuskan untuk menghilang. Tetapi ia masih belum bisa menapakkan kakinya ke tempat yang mungkin akan dilalui Taekwoon . Ia bahkan sama sekali tidak berhubungan dengan siapapun selama ini.

Kepala Jaehwan terlalu sibuk berharap menjadi milik Taekwoon hingga lupa untuk jatuh kepada orang lain.

Setiap pagi, ia memohon agar matahari segera terbenam. Karena ia masih berharap, keesokan harinya setelah ia terbangun dari tidur yang panjang, ingatan tentang Taekwoon tidak lagi ada.

Maka dengan doa yang sama, ia memandang ke luar jendela kamarnya, melihat awan berarak yang telah menyemarakkan warna jingga.

Let it be night. Let it be night.

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Jadi, sudah berapa pergantian musim ia lalui? Jaehwan tidak peduli.

Hidupnya jauh dari kata teratur. Ia tidak lagi memeriksa kalender sejak memutuskan untuk berhenti bekerja sementara. Jaehwan merasa, ia butuh jeda. Sebuah spasi yang akan memberi jarak antara masa depan dan masa lalunya.

Ia berencana menghabiskan sisa tabunganna sebelum menghadapi kenyataan; sebuah dunia dimana Do Taekwoon hanya sebuah nama.

Jaehwan tidak pernah mendengar kabar lelaki itu ataupun mencoba mencari tahu. Walaupun ia terus berpindah dari kota ke kota, langkahnya tidak pernah bisa jauh dari tempat asalnya. Seringkali rasa rindu mengganggu Jaehwan di waktu yang tidak tepat. Melekat seperti parasit yang menolak untuk dienyahkan.

Ia benci mengapa cinta sengaja dirancang rumit dan berbelit-belit.

Terlalu mudah bagi hati untuk memutuskan jatuh, kadang hanya karena satu atau dua alasan. Lalu alasan itu menyebar seperti wabah, menjangkit hal-hal tidak penting seperti 'tapi aku menyukai tulang bahunya yang rendah' saat ingin melupakan.

Brengsek sekali.

Apalagi, manakala takdir benar-benar enggan berpihak padanya.

Jaehwan menyadari itu saat ia sedang meraih botol Gin di Liquor Store dekat hotelnya. Di sana, di antara celah kecil rak yang terhalang bibir botol, sepasang mata yang ia kenal betul tengah menatapnya dengan membelalak.

Ia memincing, menuduh bergelas-gelas alkohol sebelumnya mempermainkan imajinya.

Namun itu dia.

Tidak disangkal lagi, itu Taekwoon .

Terperanjat, Jaehwan menegakkan tubuhnya terburu-buru. Ada perang terjadi dalam kepalanya untuk memilih lari atau menghadapi lelaki itu. Sebelum Jaehwan memenangkan debat dalam kepalanya, ia menangkap Taekwoon telah berdiri di ujung lorong.

"Jaehwan ?" Taekwoon mendekat, sedikit menyipit. Mungkin serupa dengan Jaehwan , lelaki itu mengira apa yang sedang dilihatnya hanya ilusi optis semata.

"H-Hey." Jaehwan menyapa kaku. Genggaman pada Gin-nya melemah hingga ia meletakkan botol alkohol itu kembali. "Apa kabar?"

Jaehwan jelas luluh. Lantak.

Dan sekali lagi menjadi pecundang karena sudut bibirnya tertarik di luar kehendak.

Taekwoon membalas senyumnya. Mata lelaki itu berbinar dengan cara paling mustahil yang pernah ia lihat.

"Baik." Jawab Taekwoon singkat.

Itu adalah dusta paling bodoh, menurut Jaehwan . Karena apa yang ada dihadapannya sekarang berkebalikan dengan pernyataan lelaki itu.

Penampilan Taekwoon berantakan.

Rambut lelaki itu mulai kepanjangan, menutupi setengah matanya. Kemeja yang biasa ia setrika rapi, kusut berkerut dengan pola dasi yang tidak serasi. Taekwoon tidak pernah seperti ini. Seingat Jaehwan , lelaki itu bahkan selalu memotong pendek kukunya, karena ia tidak pernah menerima bekas luka cakar serius di punggung. Sehingga, satu-satunya pertanyaan yang ada dalam benak Jaehwan adalah, "Apa yang terjadi denganmu?"

Taekwoon tampak terkejut. Lelaki itu tergelak kecil sambil memainkan gagang keranjang belanjanya. "Pembalasan," Ujarnya pahit. "sepertinya."

Jaehwan tidak mengerti maksud lelaki itu. Ia memutuskan untuk melempar pertanyaan lain yang mungkin berhubungan. "Kau masih bersama Sojin?"

Ia tahu perkara itu bukan termasuk kapasitasnya. Namun rasa penasarannya meledak, karena hatinya susut melihat keadaan Taekwoon yang seperti ini.

Lelaki itu menggeleng, mengalihkan pandangan ke jajaran Slim Jim di belakang Jaehwan . "Aku sudah lama sendiri."

Mengetahui itu, Jaehwan terhenyak. "Oh." Desahnya. "Kau yang mengakhirinya?"

"Bukan."

Sebagian dari diri Jaehwan ingin tertawa. Karena idiot, tentu saja Taekwoon tidak akan melepaskan Sojin setelah kejadian saat itu.

Tetapi paling tidak, Jaehwan lega karma sudah melakukan pekerjaannya. Ia pikir, ini sebuah pertanda bahwa ia harus mengakhiri kedukaannya segera.

Maka, Jaehwan kembali tersenyum ke Taekwoon . Mungkin kisah mereka akan berkahir di sini. Tidak ada dendam atau memori yang pantas untuk dibicarakan lagi.

"I'm sorry to hear that." Tuturnya simpatik sambil melirik isi belanjaan Taekwoon . Ia heran karena terdapat tiga botol alkohol di dalam sana. Taekwoon bukan peminum berat. Lelaki itu hanya mengizinkan dirinya dikuasai alkohol saat sedang sangat tertekan.

Sojin pasti telah meremukkan lelaki ini dengan keji.

Ia mengalihkan pandangannya ketika mendengar dengusan geli dari Taekwoon . "No. You don't."

Di ujung lidahnya, sebuah 'of course i don't, you ing !' menunggu untuk terucap. Namun, Jaehwan menelannya kembali. Ia hanya memberikan seringai tipis.

"Well," Jaehwan meraih kembali botol Gin-nya. Percakapan ini harus segera disudahi sebelum ia meledak. "guess, i'll see you around, Hyung."

Jaehwan tidak menanti jawaban Taekwoon . Ia ingin bergegas pergi, menjauh dari lelaki itu.

Tetapi satu yang Jaehwan lupakan adalah, ia keliru.

Oh, ia selalu keliru dengan apapun yang berhubungan dengan Taekwoon .

Karena lelaki itu terlalu mudah membolak-balikkan hatinya, sesederhana lewat sebuah tawaran, "Maukah kau sedikit berjalan-jalan denganku dulu?"

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Gulungan ombak begelung menyapu kaki mereka di bibir pantai. Telapak kaki yang sebelumnya berjejak, hilang ditelan buih serta bisu yang belum pecah sedari tadi. Keduanya berjalan beriringan, tanpa bertukar kata, berpura-pura menikmati cakrawala yang melukiskan warna analog pada bidang batasnya. Sedangkan yang memenuhi kepala keduanya justru sentuhan jari yang seolah tidak disengaja, pandangan sembunyi-sembunyi dari sudut mata, serta detak jantung yang berdentum melawan tulang rusuk mereka.

Taekwoon menoleh ke arahnya. Rambut lelaki itu diterpa angin, menampakkan dahinya yang pucat.

"Pernahkah kau menemukan sesuatu yang lebih menyedihkan dari mercusuar?" Celetuk Taekwoon , pandangannya kini mengikuti burung camar yang terbang rendah. "Ia berdiri di atas karang, sendirian. Memancarkan kelip lampu yang terus berputar untuk menunjukkan wilayah berbahaya." Lelaki itu mengambil jeda sejenak untuk menghembuskan nafas panjang. "Dan para nelayan atau nahkoda bodoh yang ia selamatkan, hanya menganggapnya sebagai sebuah bangunan tinggi yang jelek. Padahal, sekali mereka mencoba mendekat, masuk ke dalam mercusuar itu hingga puncak, ia akan menawarkan keindahan laut yang para nelayan dan nahkoda itu lewatkan." Taekwoon menghentikan langkahnya. Kakinya terkubur dalam pasir keemasan yang basah. "Mereka terlalu tinggi hati, Jaehwan . Mereka belum sadar, tanpa mercusuar itu kapal mereka akan kehilangan arah, terombang-ambing di tengah samudera. Bahkan hancur. Lebur."

Matahari yang sepenuhnya terbenam menutup senja seiring dengan Taekwoon yang terpejam. Walaupun warna telah ditelan kelam, Jaehwan masih bisa menemukan horison di pelupuk mata Taekwoon . Tanpa sadar, jemarinya menari di wajah lelaki itu, berjingkat melintasi pipi, menyibak rambut yang menyembunyikan alis Taekwoon , meluncur ke hidung, kemudian melingkari bibirnya dengan ibu jari.

Jaehwan tidak akan pernah bisa lari lagi. Karena mencintai Taekwoon datang dengan berbagai pertanyaan yang tidak akan pernah ada habisnya.

Seperti mengapa lelaki itu tidak bosan membuatnya terus menerus jatuh cinta.

Jaehwan mendadak mengerti bagaimana sepinya menjadi mercusuar. Tetapi ia juga menemukan mengapa benda itu tetap kokoh berdiri meskipun badai dan ombak terus menghantamnya.

Mercusuar itu hanya ingin memastikan pengarung samuderanya selamat. Ia tidak mengharapkan apapun sebagai balasan.

"I love you. I always do, Jaehwan ." Bisik Taekwoon samar. "Aku ingin bersamamu sejak malam itu, tapi Sojin mengancam untuk bunuh diri."

Pernyataan itu membuat Jaehwan tercekat. "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Karena aku begitu mencintaimu dan begitu mudah menyakitimu."

Itu alasan paling konyol menurut Jaehwan . Ia ingin membentak Taekwoon , memaki mengapa lelaki itu membuat hidupnya semenyedihkan ini sementara kebahagiaan mereka ternyata bisa diperjuangkan.

"Jaehwan , dengarkan aku." Taekwoon meraih lengannya, meminta ia untuk menatapnya. "Aku memang berusaha melupakanmu dan memperbaiki hubunganku dengan Sojin karena saat itu aku mengira, ketika nanti kita bertemu lagi, kau akan menemukan seseorang yang lain." Lanjut lelaki itu dengan tangan gemetar. "Sementara, aku akan menangis karena melepaskanmu adalah keputusan terbaik di hidupku. Sebab paling tidak, kau akan bahagia dan aku tidak akan mampu untuk menyakitmu lagi. Tapi ternyata, aku tidak sekuat yang aku pikir. Sojin merasakan perubahan itu dan akhirnya memutuskan pergi."

Jaehwan mendongak, berkacak pinggang sambil menjejakkan kakinya ke atas pasir. Ia menggigit bibir kuat, menahan tangis yang menggenang di kelopak matanya. "Kau adalah manusia terbrengsek dan terbodoh yang pernah aku kenal, Hyung."

Mulut Taekwoon tidak henti menumpahkan kata maaf yang lesat bersama angin seiring dengan aroma laut dan citrus dari tubuh lelaki itu.

Jaehwan pikir ia bisa gila saat ini.

"Lalu apa yang ingin kau tawarkan sekarang? Apa kau masih akan tetap bertahan pada pikiran konyolmu?" Jaehwan berteriak, mendorong keluar semua beban yang ia pendam selama ini. "Karena aku bersumpah Hyung, kebahagiaanku hanya terpusat di dirimu."

Entah kenapa, Taekwoon terperanjat. Ia menatap Jaehwan ragu. Nafasnya tercekat, seolah lelaki itu tidak tahu harus menarik udara atau bicara terlebih dahulu.

Jadi, Jaehwan menciumnya.

Ia merasakan sedikit asin air mata, namun bibir Taekwoon sama sempurnanya seperti di ingatannya.

"Setelah ini," Jaehwan mengecup sudut bibir Taekwoon , "Aku tidak akan peduli dengan masa lalu." Kemudian bibir bawah lelaki itu, "Kau hanya boleh menceritakan sesuatu yang membuat hidupmu berdetak." Ia kembali menanamkan satu ciuman dalam, panjang. "Karena kau sudah terlalu banyak memberikan kesedihan untukku." Untuk kita. "Kau mengerti?"

Taekwoon mengangguk cepat. Lelaki itu membenamkan kepalanya ke leher Jaehwan , kemudian membiarkan tangisnya pecah di sana.

"Don't you ing dare walk away from my life again." Jaehwan berkata di sela-sela tangis yang ia bendung.

"I won't." Taekwoon terisak sambil mendekap Jaehwan kuat. "I promise. Please, believe me."

"I will, Hyung.

Di antara lembabnya udara pantai dan telapak kaki mereka yang tergores serpihan kerang, satu ciuman kembali mengunci janji dari bibir keduanya.

Namun kali ini, tidak ada satupun yang berniat untuk mengingkarinya.

-o-o-o-o-o-o-o-o-o-

.

Jaehwan pikir, mereka paling sempurna dalam posisi seperti ini. Dengan Taekwoon yang menyandarkan kepala ke dadanya, kaki mereka yang saling tumpang tindih di bawah selimut, menyaksikan waktu tergulung lewat jendela ruang tidur Taekwoon . Jaehwan menanamkan kecupan ke pelipis lelaki itu dan tidak segera melepaskan bibirnya dari sana. Taekwoon terpejam, jemarinya mengusap pipi Jaehwan agar lelaki itu bersandar lebih dalam lagi ke cerukan lehernya.

Mereka kemudian bicara. Seperti janji sebelumnya, Taekwoon memaparkan setiap hal sederhana yang membuat hidupnya menyenangkan. Seperti bagaimana ia menyukai suara air yang dituang dari ketel, atau rasa puasnya ketika memecahkan Creme Brulee menggunakan sendok, atau sensasi ketika ia menenggelamkan jarinya ke dalam biji gandum.

Kepala Taekwoon tiba-tiba mendongak, membuat kening lelaki itu bersentuhan dengan dagunya. "Jaehwan ?" kata Taekwoon , bibirnya membentuk senyum yang Jaehwan rasa sesuai dengan remang cahaya lampu tidur di dekat mereka.

"Hm?" Jaehwan berusaha menjawab di tengah matanya yang berat. Dekapan Taekwoon merupakan tempat paling nyaman dan paling aman yang pernah Jaehwan temukan.

"Aku ingin mengakui sesuatu." Sahut lelaki itu.

Jaehwan terkesiap, degup jantungnya tidak beraturan menunggu kalimat Taekwoon selanjutnya. Ia diserang panik yang membuatnya berpikir akankah Taekwoon mencari alasan lain untuk pergi meninggalkannya lagi? Tetapi lelaki itu tetap tidak merubah posisinya, kerut di hidungnya justru menandakan Taekwoon sedang merasa malu.

"Aku," Tutur Taekwoon memulai. Lelaki itu menelan ludah sebelum melanjutkan, "A-Aku terlihat mengerikan ketika bangun tidur."

Jaehwan mengeluarkan gelak sekaligus kelegaannya, nafasnya meniup rambut Taekwoon hingga lelaki itu mau tidak mau ikut tersenyum. "Itukah alasanmu selalu pergi sebelum pagi datang?"

Taekwoon mengangguk sedangkan Jaehwan menggeram kesal. Ia mengira ada perkara lebih berat di balik menghilangnya Taekwoon selama ini. "Kau benar-benar membunuhku, Hyung." Keluhnya setengah jengkel.

Tetapi Taekwoon tertawa. Lelaki itu diam-diam menghitung tulang rusuk Jaehwan sebagai pengantar tidur sebelum lelaki itu akhirnya jatuh terlelap. Jaehwan merasakan deru nafas teratur Taekwoon melawan dadanya sendiri. Ia memeluk lelaki itu lebih erat, mengecupnya berulang kali seolah takut ketika ia tertidur semua ternyata hanya sebuah khayalan.

Ia berakhir terjaga hingga pagi. Mengamati Taekwoon dalam diam, tersenyum saat lelaki itu mengigau atau alisnya berkerut. Jaehwan menduga, apa yang sedang Taekwoon lakukan dalam mimpinya. Apakah mimpi lelaki itu sebahagia alam nyatanya sekarang?

Bibir Jaehwan tersungging ketika menyadari sesuatu.

Ia bahkan tidak perlu bermimpi karena kenyataan akan selalu lebih indah jika Taekwoon ada di sisinya.

Sinar matahari yang lamat-lamat mengintip, membuat Taekwoon membuka mata. Lelaki itu menyipit, mencoba beradaptasi dengan cahaya di sekitarnya. Tanpa menunggu lama, Jaehwan segera menyambut Taekwoon dengan ucapan bernada sarkastik. "Liar."

Ia kemudian menyeringai melihat Taekwoon yang terkejut. "You look so damn flawless in the morning."

Tawa lelaki itu merebak. Menggema di ruangan itu, telinga, serta relung hatinya.

Jaehwan tidak pernah lagi memohon agar malam cepat kembali.

IGNITE THE LIGHT : THE END

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
annah_13 #1
Chapter 12: