Soulmate 5

Multi Shot Collection
Please Subscribe to read the full chapter

“Selamat datang,” sapa pelayan wanita tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya.

“Meja untuk dua orang,” balas Tiffany sambil menggandeng tangan temannya. Pikiran Jessica tampak tersesat menatap interior mewah di restoran yang mereka kunjungi.

“Apa Anda sudah membuat reservasi?”

“Tidak.”

“Mari ke sebelah sini. Akan aku tunjukkan mejanya.”

“Terima kasih.”

Boccalino adalah restoran Italia dengan jumlah pengunjung terbanyak. Untung saja mereka datang bukan di akhir pekan. Terkadang orang-orang harus menunggu satu atau dua jam untuk mendapat meja kosong.

Jessica tercengang saat membaca daftar menu. Sejak awal dia tahu bahwa tempat tersebut merupakan restoran mewah tapi dia tidak menyangka akan semahal itu. Dia menutup daftar menu lalu berbisik, “sebaiknya kita pergi saja ke tempat lain. Harga di sini agak keterlaluan.”

“Jangan khawatir. Aku yang traktir.”

“Kita bisa makan sampai perut meledak untuk setengah harga di tempat lain.”

“Sesekali kita harus boros sedikit. Kapan lagi aku akan makan di tempat seperti ini denganmu.”

Jesica duduk mengguncangkan satu kaki dengan cemas. Pandangannya berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya. “Tunggu di sini sebentar,” katanya berjalan cepat menuju mini bar di pojok belakang.

“Bolehkah aku pinjam pengocok?” pinta Jessica yang mendapat tatapan aneh dari pria berdasi kupu-kupu. “Terima kasih.”

Dia menggenggam gelas pengocok dan berjalan mendekati sekumpulan lelaki yang tengah berpesta. Itu pekerjaan lama tapi jantungnya berdegup kencang. Akan lebih mudah jika dia melakukan hal ini di tempat hiburan malam.

“Bolehkah aku membantumu membuat cocktail untuk ditukar dengan sebotol anggur?” tanya Jessica kepada pekerja restoran yang menggunakan pakaian serba putih dengan topi panjang di atas kepala.

“Tuan-tuan, apakah boleh jika gadis ini membuat cocktail untuk kalian?”

“Tentu saja,” jawab sekumpulan orang bodoh yang tertawa terbahak-bahak.

Rencana Jessica hanya membuat cocktail untuk beberapa gelas. Namun, para lelaki tidak ingin melepaskan dia begitu saja. Segelas anggur merah berukuran besar diberikan pada gadis itu sebagai bentuk permainan.

“Habiskan... Habiskan...”

Mereka bersorak dan bertepuk tangan semakin liar. Terdesak oleh situasi yang tidak menguntungkan, mau tidak mau Jessica menghabiskan isi dalam gelas.

“Luar biasa. Ini botol anggur seharga dua ratus ribu won.”

“Terima kasih.” Jessica kembali ke meja dengan senyum ceria. Tidak menyadari awan mendung yang menyelimuti wajah sahabatnya.

“Ayo bersenang-senang. Aku mendapat anggur seharga dua ratus ribu won.”

“Apa yang kamu lakukan?”

Jessica memiringkan kepala. “Apa?”

“Kamu tidak kenal orang-orang itu.”

“Mereka datang ke sini untuk berbelanja secara royal dan aku membuat mereka bersemangat lalu mendapat anggur ini sebagai gantinya.”

“Kenapa menumpang minum dari orang asing?”

“Aku tidak menumpang,” desis Jessica meremas telapak tangannya di bawah meja dengan geram. “Aku mendapatkan kompensasi untuk pekerjaan yang aku lakukan.”

“Apa aku menyuruhmu datang ke sini untuk bekerja? Aku mengajakmu untuk bersenang-senang.”

“Kamu sungguh tidak tahu? Seperti inilah caraku bertahan hidup. Bukankah aku sudah memberitahumu? Aku pernah sangat kelaparan tapi tidak punya uang. Jadi, aku memberikan pelukan seharga lima ribu won. Aku menyebutnya healing hug. Apa kamu tahu berapa banyak yang aku hasilkan dalam tiga jam?”

“Hentikan pembicaraan ini.”

“Aku menghasilkan lima puluh ribu won jadi aku makan steik dengan itu. Apakah aku menumpang juga?”

“Cukup. Jangan bicara seenaknya.”

“Mengapa?” Jessica menatap tajam ke depan. Harga dirinya terluka dan dia tidak ingin berhenti berbicara. “Karena aku memalukan, benar? Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana aku hidup sejauh ini.”

“Halo gadis-gadis. Apakah kalian ingin menambah minuman?” sahut dua orang pengacau; bagian dari sekumpulan orang bodoh, datang mendekati meja mereka.

“Tolong tinggalkan kami,” balas Tiffany tanpa melihat ke arah mereka.

“Dia sangat sopan dan terlihat manis.”

“Aku punya pacar.”

“Aku punya istri,” ledek lelaki itu sambil tertawa lebar.

“Kalian pergi saja. Kami sedang berbicara serius,” kali ini kata-kata dingin tersebut meluncur dari bibir Jessica.

“Apa yang kamu katakan? Yang benar saja, kamu tadi mencium pantat kami di sana.”

“Pergilah brengsek sebelum botol ini pecah di atas kepalamu.”

Kedua lelaki itu tertegun hingga mundur selangkah setelah mendengar ancaman gadis berambut pirang. “Ayo kita pergi saja. Dia terlihat seperti psikopat.”

Tiffany tersenyum samar. Entah mengapa tindakan yang Jessica lakukan membuat hatinya ringan. Dia kembali membuka menu dan bertanya, “kamu mau makan apa? Aku ingin memesan lobster.”

“Jangan. Pesan pizza saja biar aku yang bayar.”

“Permisi.” Tiffany mengangkat sebelah tangan memanggil pelayan. “Kami pesan dua piring lobster panggang.”

“Baik. Mohon ditunggu sebentar,” kata pelayan mencatat pesanan, membungkuk lalu meninggalkan meja.

“Luar biasa. Sekarang bagaimana aku harus membayar lobsternya,” rutuk Jessica tanpa menyembunyikan perasaan kesal.

“Ada apa denganmu?”

“Kita sudah sepakat tentang perjalanan ini. Sekarang aku harus merayu pria bodoh lagi untuk dua piring lobster.”

“Bukankah itu terlihat murahan?”

“Aku menerima sisi baik dan buruk dari kehidupan di luar sana. Kehidupanmu berjalan lancar jadi kamu tidak akan mengerti.”

“Kamu pikir hidupku mudah?”

“Tidak. Di dunia ini tidak ada hidup yang mudah. Makanya aku bilang, kamu akan bayar biaya kamar hotel dan aku yang membayar makan malam.”

“Aku mempunyai cukup banyak uang. Tak perlu membaginya dengan terlalu jelas.”

“Begitukah? Yang jadi milikmu dan milikku...”

“Jessica, cukup.”

“...kamu telah membaginya dengan jelas selama bertahun-tahun.”

“Kalau aku membaginya dengan jelas, kenapa tiap surat yang kamu kirimkan selama lima tahun terakhir selalu menitip salam pada pacarku? Kalau aku membagi dengan jelas, kenapa kamu masih berani memakai kalung ini?”

Tiffany menarik kalung yang melingkar di leher Jessica lalu melemparnya di atas meja. Matanya memerah. Bukan karena sedih melainkan menahan amarah. Sudah cukup lama dia mengabaikan perasaan itu tapi sekarang dadanya terasa sesak.

***

Musim dingin adalah musuh terbesarnya di setiap tahun. Salju membuat jalanan menjadi licin. Taeyeon harus berhati-hati memperhatikan setiap langkahnya jika tidak mau terpeleset dan mengundang tawa seluruh pengunjung cafe.

Segelas kopi hangat dan dua bungkus roti panggang. Taeyeon hendak menuju pintu keluar ketika pandangannya tak sengaja menangkap bayangan seorang gadis berambut coklat duduk di dekat jendela. Untuk sesaat dunianya serasa berhenti berputar.

Takdir mempermainkan mereka berdua. Tiga tahun waktu berlalu tanpa kabar dan sekarang Taeyeon melihat gadis itu di depan matanya. Jessica tidak banyak berubah. Masih cantik seperti dulu.

“Boleh aku duduk di sini?”

Jessica mendongak. Ada sedikit perasaan terkejut di balik ekspresi wajahnya yang datar. “Duduklah.”

“Tiffany tidak pernah bercerita jika kamu tinggal di sini. Apakah kamu sendang bekerja?” tanya Taeyeon melihat kondisi laptop ya

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
HYOTAE2018 #1
Chapter 33: Muchas gracias.
Esperando el siguiente capítulo, autor.
Gracias.
onesleven
#2
Chapter 32: Agak membingungkan, jadi sebenarnya TaengSic kenal duluan sebelum TaeNy ketemu? Terus kok bisa punya anak bareng? Update dong biar gak penasaran
Abangprims
#3
Chapter 31: jdi karina anakny taeyeon?. kok sampe taeyeon gak tau?.
onesleven
#4
Chapter 30: Wah tambah seru, sayang banget kalo update nya emang setahun sekali 😆
Semoga author dapat inspirasi terus buat update amin
onesleven
#5
Chapter 29: Asiiik, update baru, ditunggu kelanjutannya, kayaknya seru nih 😁
dinoy15 #6
Chapter 24: Udah baca di Wattpad ditunggu updatenyaaa..
royalyulsic #7
Chapter 1: Eng version???
Abangprims
#8
Chapter 22: aku menunggu kelanjutannya..
Abangprims
#9
Chapter 19: omo winter 🤣🤣🤣
Abangprims
#10
Chapter 18: aku msh setia menunggu..