The Saviour
I Like You
Chapter 2
The Saviour
Hyoka memasuki ruang kelas seperti biasanya. Hari ini sedikit berbeda karena gadis itu datang lebih awal. Entah angin apa yang membawanya ke sekolah sepagi ini. Ditambah lagi ia adalah orang pertama dari kelasnya yang sudah tiba terlebih dahulu. Untuk mengisi kekosongannya Hyoka memutuskan untuk meraih sebuah buku history dari dalam ranselnya. Ia sudah sibuk berkutat dengan materi 'Manusia Purba' yang ia pelajari minggu lalu. Lima belas menit berlalu, keadaan kelas sudah seperti biasanya—ramai. Siswa perempuan yang asyik bergosip dan berdandan dengan temannya, sedangkan siswa laki-laki yang tampaknya memang hobi saling melempar lelucon. Tidak begitu dengan Hyoka. Dirinya masih saja bergelut dengan dunianya sendiri yang hanya ada buku dan dirinya. Tak perlu dielakkan, Hyoka adalah siswa tercerdas di kelasnya. Setiap ujian dia selalu mendapatkan nilai tertinggi, memecahkan rekor sang ketua kelas, Mark Tuan. Hal itu membuat kawannya iri sehingga beberapa dari mereka memilih menjauhi Hyoka.
"Bagaimana ini? Dompetku hilang!" teriak salah satu murid di kelas itu.
"Bagaimana bisa?" kata siswa lain.
"Kemarin aku meletakkannya di laci meja dan tiba-tiba hilang," gadis yang kehilangan dompetnya itu mulai merengek seperti anak kecil, "Padahal semua surat-surat berhargaku ada di dalam dompet itu."
"Kau tanyakan saja pada siswa yang berangkat paling awal," celetuk seorang siswa disampingnya.
Suasana kelas menjadi ricuh tak terkendali. Semua siswa bertanya-tanya siapa siswa yang tiba paling awal.
Hyoka berdiri, "Aku siswa yang tiba paling awal disini. Ada apa?"
Seluruh perhatian terarah pada Hyoka, tak terkecuali Bambam. Sementara Mark, hanya ia seorang yang memilih untuk cuek.
"Apa kau akan mengakui dosa yang kau perbuat?" tanya seorang siswa yang duduk di bangku paling depan.
"Apa maksudmu?" tanya Hyoka.
"Apa kau tidak dengar, An Ri baru saja kehilangan dompetnya secara tiba-tiba. Padahal terakhir kali ia meletakkan dompetnya di laci meja," jawab siswa itu.
"Kau menuduhku?" kata Hyoka.
"Who knows, tidak ada pencuri yang mengaku, bukan?"
Kelas kembali ricuh. Semua siswa bertanya-tanya apakah benar Hyoka yang mencuri dompet An Ri.
"Jaga mulutmu! Bukankah kalian melihat sedari tadi aku hanya duduk disini sambil belajar?" bantah Hyoka.
"Mata manusia memang tidak bisa menjangkau tapi, masih ada Tuhan yang selalu mengawasi tingkah laku kita."
'Mengapa semuanya jadi seperti ini? Aku benar-benar tidak mencuri dan mengapa semua orang lebih percaya pada siswa laki-laki bermulut pedas itu?' gumam Hyoka.
"Kau hanya perlu meminta maaf dan masalah selesai."
"Untuk apa aku meminta maaf atas dosa yang tidak kuperbuat?" Hyoka geram.
"Jika tidak, aku akan melaporkan tindakan kriminalmu ini pada pihak sekolah dan kau tahu... kau harus angkat kaki dari Hyunggi!"
Apa? Angkat kaki? Nasib Hyoka benar-benar di ujung tanduk. Ia bisa-bisa ditendang dari Hyunggi karena tuduhan yang tidak benar. Apa ia harus mempermalukan dirinya dengan meminta maaf? Atau ia masih harus mempertahankan sikapnya? Ya, kebenaran harus tetap dipertahankan tidak peduli apapun bentuknya. Ia tidak bisa membiarkan nama baiknya harus terlindas oleh statement yang tidak benar adanya.
"Kudengar kau adalah salah satu siswa yang mengikuti jalur tes dan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke Hyunggi, begitu? Tidak salah lagi, mungkin uang saku dari Ibumu kurang jadi kau memilih untuk mencuri. Gadis malang," kata seorang siswa lainnya.
"Aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah!" kata Hyoka.
"Bagaimana jika kau tidak mampu membuktikannya?"
"Aku bersedia untuk angkat kaki dari Hyunggi," kata Hyoka.
---------------
"Kau terlampau bodoh, Hyoka," kata Jay.
"Bagaimana jika aku tidak bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah? Akulah yang menghancurkan masa depanku sendiri dengan membuat keputusan itu," rengek Hyoka.
"Satu-satunya cara adalah kau harus menemukan siapa pencuri dompet itu. At least, kau bisa menemukan dompet itu," kata Jay.
"Mencari dompet itu? Di sekolah yang maha luas ini? What the ..." kata Hyoka.
Tampaknya ia mulai putus asa. Jam istirahat ia habiskan untuk mencari dompet itu. Namun, tak satupun dari tempat yang ia jamah memberikan petunjuk dimana keberadaan dompet yang hilang. Apa yang ia lakukan sampai ini semua terjadi? Jika ia gagal dalam misi ini, hancur sudah cita-citanya. Lalu, bagaimana dengan Ibunya yang begitu membanggakan Hyoka? Ia tidak pernah membayangkan bagaimana wajah orang terkasihnya itu jika mengetahui anak satu-satunya harus dikeluarkan dari sekolah dengan cara seperti ini. Keringat sudah mengucur deras dari keningnya. Hyoka serasa tercekik. Saat ini dirinya berada di titik antara 'menyerah' dan 'berjuang'. Sangat berat.
"Lebih baik kita beristirahat dulu. Wajahmu sudah pucat. Aku tidak bisa jika nanti harus menggotongmu ke UKS," kata Jay.
"Bagaimana dengan dompetnya? Aku hanya diberi waktu sampai jam terakhir untuk menemukan dompet itu," jawab Hyoka.
Tanpa berpikir panjang, Jay yang sedari tadi sudah jengkel dengan sifat keras kepala Hyoka itu mengger
Comments