The Accident
I Like You
Chapter 9
The Accident
Berselimutkan sweater rajutnya, Hyoka melayangkan sepasang tungkainya menyusuri jalanan sisi kiri. Seragam lengkap masih ia kenakan di balik sweater itu. Meski senja menghampiri, Hyoka tidak begitu peduli. Rumah adalah tujuannya saat ini. Awalnya, Woobin menawarkan diri untuk mengantarnya pulang namun, Hyoka menolaknya. Jarak rumah mereka hanya 100 meter—hanya. Jarak yang cukup jauh ketika seorang gadis berjalan sendiri di tengah sepinya jalanan. Ini jalanan komplek, wajar saja bila tak banyak orang berlalu lalang terlebih langit mulai meredup.
Masih menggendong ransel merah—seperti biasa. Hyoka melangkahkan kakinya menuju tujuan akhirnya hari ini. Tak lama kemudian ia sampai di depan serambi rumahnya. Dengan hati-hati gadis itu membuka pintu, berharap Ibunya tidak menyadari kehadirannya. Ia yakin jika Ibunya tahu ia pulang selarut ini, Hyoka akan mendapat banyak omelan dari wanita yang hampir menginjak usia 40 tahun itu. Hyoka benci itu tapi, ia percaya bahwa Ibunya melakukan itu karena beliau khawatir akan anak satu-satunya dan Hyoka sudah terbiasa.
krek
Terdengar derit pintu yang memecah keheningan di dalam rumah tersebut. Hyoka menengok ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan sang nyonya rumah. Ia berjalan dengan berjinjit untuk mengurangi efek suara langkahnya menuju kamar di lantai atas. Hyoka menghentikan langkahnya. Terdengar suara percakan dari ruang makan. Hyoka menampar pipinya berulang kali. Ia tidak sedang berilusi, 'kan?
Hyoka yakin itu suara Ibunya dan seseorang yang sepertinya sedang berbincang asyik diselingi suara televisi yang volumenya disetel tak begitu keras. Apa itu paman atau saudaranya yang datang dari Busan? Tapi, Hyoka tak melihat kendaraan apapun terparkir di depan rumah. Karena begitu penasaran, perlahan Hyoka menghampiri sumber itu. Ia mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka
Ia hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ibunya tengah berdiri di depan oven lengkap dengan celemek bermotif bunga yang ia kenakan sehari-hari, bersama seorang pria yang duduk di salah satu kursi di meja makannya. Hyoka tidak bisa melihat bagaimana rupa pria itu karena posisinya yang membelakangi Hyoka. Rambutnya yang cokelat kemerahan tertutupi oleh snapback yang tersemat di kepala pria itu dengan posisi dibalik. Belum sempat Hyoka menerka siapa gerangan pria itu, Ibunya sudah menyapanya terlebih dahulu.
"Hai, Hyoka. Kenapa baru pulang?" seru ibunya yang masih menggenggam cetakan roti di kedua tangannya.
Pria misterius itu ikut menoleh ke arah Hyoka.
Tidak mungkin...
"Mark?" seru Hyoka hampir berteriak.
Pria itu hanya mengendikkan bahu dan menarik salah satu sudut bibirnya ke samping. Seolah ia baru saja berhasil dengan 'misi' tersembunyinya. Well, meskipun guratan cemas samar-samar terlihat dari ekspresinya.
Hyoka masih berdiri di ambang pintu—masih tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Ibunya—bersama—Mark—sedang—berbincang. Apa yang mereka bicarakan? Hyoka yakin mereka sedang membicarakannya karena sepanjang jalan ia pulang ke rumah, matanya serasa berkedut.
"Apa kau sudah makan?" tanya Ibunya sembari memasukkan beberapa cetakan kue yang sudah berisi adonan ke dalam oven.
Hyoka menggeret salah satu kursi di meja makannya, "Hanya makan cemilan di rumah Woobin oppa."
Baiklah, ini cukup janggal. Ibunya tidak mengomel, ia justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan seperti biasa. Apa kehadiran Mark sangat berpengaruh besar? Hyoka tidak tahu harus bertanya kepada siapa dan darimana ia harus memulai. Ia melirik Mark yang sudah terlebih dulu menatapnya.
"Kau—"
"Mark adalah tetangga baru kita. Rumahnya tepat berada di seberang rumah kita," kata Ibunya, "Ia sudah bercerita banyak dengan Ibu termasuk tentang hubungan kalian."
Hyoka sedikit tersentak. Apa Mark harus bertindak sejauh itu untuk mendalami perannya?
"Ibu sedikit lega karena ada seseorang yang bisa menjagamu di luar rumah. Ibu tidak perlu terlalu cemas kepadamu," kata Ibunya, "Tapi, apa baik jika seorang gadis baru pulang selarut ini? Apalagi dari rumah seorang pria."
"Ibu, aku hanya berkunjung ke rumah Woobin oppa. Mark yang mengantarku tadi," Hyoka mencoba menjelaskan.
"Lalu, kenapa kau pulang sendirian? Kenapa tidak minta Mark menjemputmu? atau kau bisa meminta Woobin mengantarmu," kata Ibunya.
Hyoka menghela nafasnya. Seperti yang ia duga, Ibu mulai mengomelinya. Hyoka memandang Mark sekilas. Pria itu hanya terkikik pelan. Sungguh pemandangan sekali seumur hidup.
"Rumah oppa tidak begitu jauh kok. Aku bisa pulang sendiri. Tadi langitnya tidak segelap ini," jawab Hyoka.
Ibunya diam dan kembali berkutat dengan kue-kuenya.
"Aku ke atas dulu ya," seru Hyoka dan berjalan ke luar ruangan.
---------------
Setelah membersihkan diri dan mengeringkan rambutnya, Hyoka berangsur turun melewati anak tangga menuju lantai bawah. Ia mengenakan baju sekenanya, t-shirt putih dipadukan dengan celana ketat tiga per empat berwarna abu-abu muda. Sembari menata rambutnya ia hendak kembali menuju ruang makan. Namun, saat ia menengok ke arah ruang tamu, Mark tengah duduk di salah satu sofanya ditemani secangkir minunan—yang—entah—apa—itu terlihat sedang merenungkan sesuatu. Hyoka memutuskan untuk menghampirinya.
Ia menepuk pundak Mark dan duduk di samping pria itu. Mark tak begitu kaget, karen
Comments