Mark's Sister
I Like You
Chapter 13
Mark's Sister
Hingga limabelas menit berlalu, keduanya masih saja saling diam. Suasana jalan raya yang tampak begitu ramai dengan lampu-lampu kota yang menghiasi pinggir jalan seakan lebih menarik ketimbang harus saling bercakap satu sama lain. Mark terfokus pada jalanan yang kian memadat seraya mengendarai mobil sportnya yang membelah jalanan dengan kecepatan sedang, sedangkan Hyoka asyik menikmati pemandangan sepanjang jalan yang mereka lalui. Keduanya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Meski rasa canggung menyelimuti mereka sejak tadi, keduanya memilih bersikap apatis. Dan untuk kali ini, harus ada salah satu dari mereka yang mengalah.
Hyoka mendesah pelan. Sepertinya Mark tahu akan kode itu, ia mengerling ke arah Hyoka.
"Kau tidak memberitahu akan menjemputku," desis Hyoka.
"Kau bilang kau bersama Woobin hyung, tapi kenapa tadi yang duduk bersamamu adalah Minhyuk?" tanya Mark.
Hyoka mendengus lalu bersedekap, "Aku tadi bersama Woobin oppa, lalu dia pulang dan tanpa sengaja aku bertemu Minhyuk."
"Lagipula dia itu temanku semasa sekolah dasar waktu di Busan. Jadi wajar saja jika aku rindu padanya dan—"
"Dan menyatakan cinta?" Mark tersenyum samar.
"K-Kau mendengarnya?" Hyoka terbelalak.
"Hampir semua," jawab Mark.
Hyoka menelan salivanya dengan paksa. Menatap pria di sampinya sekilas lalu membuang muka.
"Ak-Aku juga tidak menyangka jika dia akan mengatakan itu," seru Hyoka.
Mark bergeming. Demi Tuhan, Hyoka rela jika Mark ingin mengolok-oloknya asal tidak mengacuhkannya seperti ini, Hyoka sangat tidak suka. Pandangan pria itu masih saja menatap lurus ke arah jalanan. Layaknya tak ada niat untuk membalas perkataan Hyoka barang sekata pun.
"Kau tidak marah, 'kan?"
Seketika Mark menginjak pedal rem dengan mendadak. Membuat tubuh Hyoka melakukan gerak refleks condong ke depan. Ia menatap Mark dengan perpaduan heran dan kesal—ingin menjitak kepala pria itu.
Mark belum buka suara. Hyoka tidak mampu menerka ekspresi apa yang terlukis di wajah pria berambut kemerahan itu, namun rahangnya yang kian mengeras, menegaskan satu perasaan yang ia tahu—kesal?
"Maaf—"
"Aku tidak marah!" seru Mark, hampir berteriak. Setidaknya terdengar begitu karena suasana begitu hening baik di luar dan di dalam mobil.
Hyoka memutar bola matanya, "Kau baru saja berteriak dan aku yakin kau kesal atau semacamnya padaku."
"Untuk apa aku marah?" Mark membuang muka.
Well, sebut saja Hyoka sok tahu. Memang benar, untuk apa Mark marah? Tidak ada alasan logis yang mampu menyertai pertanyaan itu setelah kata 'iya'. Kecuali.... Mark jatuh hati padanya? Oh , siapa pencetus pernyataan bodoh itu? Tidak mungkin seorang Mark bisa jatuh hati padanya. Tidak akan pernah.
"Aku tidak punya alasan untuk marah dengan segala tindakanmu bersama pria ini atau pria itu. Dan kurasa aku tidak berhak, benar begitu?" kata Mark datar.
Entah ada angin apa kalimat itu terdengar tidak begitu enak di telinga Hyoka, meski kenyataannya begitu.
Mark kembali melaju dengan mobilnya. Lagi-lagi keheningan melingkupi udara di sekitar mereka. Mungkin ini yang paling canggung. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokan Hyoka. Ia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada Mark. Kenapa pria itu sangat sukar ditebak?
Mark menghentikan laju mobilnya dan berhenti di depan rumah Hyoka. Gadis itu turun dari mobil Mark lalu melempar senyum canggungnya ke arah si pengemudi dan hanya dibalas dengan anggukan.
Hyoka berlari menuju pintu rumahnya. Ada secarik kertas yang tertempel di daun pintu tersebut. Dengan penerangan yang redup, Hyoka berusaha membaca deretan kata tersebut.
Hyoka lelah dan Hyoka malas untuk mengeja isi kertas yang penuh dengan aksara hangul yang hampir satu paragraf itu. Hyoka hanya menangkap kata 'pergi', 'rumah', 'paman', dan kalimat 'tidak akan pulang sampai besok pagi'. Ini buruk. Lebih buruk daripada mendapat omelan ibunya sepanjang sejarah.
Hyoka memeriksa di bawah keset. Ibunya biasa menyembunyikan kunci rumah di tempat itu. Baiklah, Hyoka sering ditinggal ibunya, bahkan hampir setiap hari. Namun, itu siang hari. Siang hari dan bukan tengah malam. Apa ibunya semacam tidak peka bahwa Hyoka sangat-sangat benci yang namanya sendirian tengah malam? Rasanya Hyoka ingin merengek sekeras mungkin. Namun, ibunya tetap saja tidak mungkin tiba-tiba muncul mendengar itu.
Di luar juga dingin, gelap, dan sepi. Ya Tuhan, kolaborasi yang amat buruk. Hyoka ingin berteriak namun pada siapa? Sekarang sudah jam sembilan lebih tengah malam. Seketika bulu roma gadis itu berdiri. Tiba-tiba angin berhembus tidak tahu darimana asalnya. Suara derap langkah kaki yang sayup-sayup terdengar semakin mendekat. Diakhiri dengan sebuah sentuhan di salah satu sisi pundak Hyoka. Gadis itu berteriak sejadi-jadinya, hingga tangan itu membekap mulutnya cukup erat. Hyoka memejamkan matanya, dalam hati kecilnya ia berharap ada seseorang yang menolongnya dari bekapan tangan itu. Ia hampir sulit bernafas—berusaha melepaskan tangan yang menutupi hampir separuh wajahnya.
"Hyoka Han, sssstt... Jangan berisik!"
Kelopak mata gadis itu terbuka, menangkap sosok figur lelaki yang ia kenal. Mark. Ya, itu Mark. Bukan hantu, pencuri, pembunuh atau sejenisnya seperti yang ada pada otak Hyoka.
"Mark?" Hyoka melempar tatapan garang ke pria itu.
"Kenapa berteriak? Ini sudah malam, dasar."
Mark mengacak rambut gadis itu dengan asal, antara kesal dan gemas.
"Kau bisa memanggilku terlebih dahulu, bodoh."
Hyoka menyikut lengan Mark sebagai bentuk balas dendam. Ia terus saja mencibir.
"Lagipula kenapa tidak segera masuk rumah? Ini sudah malam. Bagaimana jika ada orang yang menculikmu?" kata Mark, "Kudengar ada orang yang mengincar seorang perawan tengah malam begini."
Hyoka tak mampu menampik rasa takutnya, terlebih setelah akhir kalimat Mark.
"Aku sendirian," kata Hyoka dengan wajah memelas.
"Lalu?" seru Mar
Comments