[ 7 ] Tak terduga

Sleep Call

Winter mendengar suara pelatih berteriak memberi instruksi pada latihan sore hari tentang fondasi yang harus kuat dan kokoh saat melempar salah satu temannya ke udara. Formasi piramida adalah yang tersulit bagi mereka dan ketua regu memegang peran penting sebagai pemain kunci di bagian puncak segi tiga.

“Baiklah anak-anak, berkumpul!” seru lelaki bertopi merah dengan meniupkan peluit di tengah lapangan.

Semua anggota berlari cepat menghindari komentar buruk dari mulut sang pelatih, seperti kaki pendek kura-kura yang lambat atau ikan buntal mengambang di lautan. Winter seharusnya menunjukkan contoh baik sebagai pemimpin dengan menjadi yang pertama bergerak tetapi tidak, gadis itu adalah yang terakhir berjalan. Dia melempar botol minumnya kemudian bergabung di barisan terluar.

“Sebentar lagi musim pertandingan olahraga dimulai yang artinya tidak ada lagi waktu untuk bermalas-malasan. Di samping itu akan ada jadwal latihan tambahan selama dua jam di akhir pekan. Jangan cemberut. Singkirkan wajah jelek kalian itu dengan senyuman yang ceria. Kita harus tampil sempurna mendukung tim sekolah yang bertanding. Dan untuk itu, aku sudah menyiapkan formasi baru.”

“Apa itu berarti aku terbebas dari tembakan ke udara?” tanya Winter dengan tangan kanan terangkat tinggi.

“Sayangnya tidak. Kamu justru harus melompat lebih kuat dan berputar dua kali di udara.”

Matanya terbelalak kaget, “dua kali?”

“Aku bahkan membayangkan kamu bisa melakukannya tiga kali.”

Telinganya samar-samar menangkap suara tawa tertahan di balik punggung. Pemandangan lucu bagi mereka ketika anak emas mendapat teguran ringan. Tepukan lembut di pundak mengingatkan dia agar lebih baik tutup mulut. Winter menggigit lidahnya agar tidak  mengumpat di depan semua orang.

“Baiklah, sekarang kalian tahu apa yang harus dilakukan sebagai pemanasan. Kencangkan tali sepatu dan lari dua putaran!”

Gelombang suara remaja perempuan serempak mengeluh meski mereka tahu itu adalah rutinitas yang biasa. Dimulai dari lari mengelilingi gimnasium, lalu disusul pengencangan otot perut, dan kemudian perintah apa pun yang keluar dari pikiran kejam pelatih mereka.

Latihan berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Mungkin karena Winter merasa mual setelah percobaan ketiganya berputar jatuh di atas matras pengaman. “Argh!”

“Kamu hilang fokus. Aku menyuruhmu untuk berputar.” Pelatih Kang memeriksa dengan teliti kemungkinan adanya cedera serius akibat kesalahan yang konyol. Untungnya itu terlihat baik-baik saja.

“Aku sudah berputar,” kata Winter merengek.

“Ketepatan tempo sangat penting. Terlambat satu detik di lapangan bisa berakibat fatal,” sahut pelatih muda itu memberi ceramah singkat. Setelah mempertimbangkan kesulitan para anggota mempelajari gerakan baru, Kang Seulgi memutuskan untuk mengakhiri sesi latihan yang berat. “Cukup untuk latihan hari ini. Kalian bisa pulang dan beristirahat.”

Winter sedikit menggerutu dengan kegagalan aksinya di puncak piramida tadi, tapi saat ini satu-satunya hal yang mengganggu pikirannya adalah suara cekikikan di balik pintu ruang ganti. Aneh dan mencurigakan. Keheningan langsung menyambut kedatangannya begitu pintu terbuka lebar. Entah itu hanya perasaan Winter saja atau memang mereka diam-diam mencuri pandang ke arahnya.

Apa mungkin mereka sudah tahu? Tidak. Karina tidak mungkin melakukan hal serendah itu.

Kepalanya menggeleng pelan mengusir pikiran buruk yang menyesatkan. Mantan sahabatnya tidak akan menyebarkan berita mereka berciuman, bukan? Kerugian bagi mereka berdua apabila kabar murahan tersebut tersebar luas. Namun, bagaimana jika itu sengaja dilakukan atas dapat balas dendam?

Persetan!

Tentu saja Karina ingin melihat hidupnya menderita; begitulah gambaran yang terekam dalam kenangan gadis itu. Tentang masa kecil mereka yang terkunci di ruang perpustakaan. Atau penolakan yang diterima setiap kali dia mengajak Karina pergi ke pesta pada akhir pekan. Winter kira itu hal yang wajar bagi para pelajar untuk berkumpul dan bersenang-senang. Namun yang sahabatnya katakan adalah mereka harus belajar lebih giat untuk persiapan masuk perguruan tinggi yang bahkan pada saat itu mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

“Hai Winter, apa gosip yang beredar itu benar?” tanya gadis yang berdiri di sudut ruangan. Giselle melucuti kaus yang dikenakan dan mengganti dengan pakaian baru.

“Uh, a-apa maksudmu?” tanya Winter pura-pura bodoh. Meski jalan pikirannya tertuju pada peristiwa yang seharusnya tidak terjadi usai mengerjakan tugas kelompok, tetapi dia berharap obrolan mereka tidak mengarah ke sana.

“Sepertinya kamu malu untuk mengakui kelemahanmu.” Jika ada siswa lain di sekolah yang membenci Winter selain mantan sahabatnya maka orang itu adalah Giselle; saingan terberatnya saat memperebutkan posisi bintang utama cheerleaders.

Kali ini beberapa dari mereka secara terang-terangan tertawa di depan mata seolah itu adalah lelucon yang patut dipertontonkan.

Persetan!

“Katakan saja yang sejujurnya. Kami semua sudah tahu tentang apa yang terjadi setelah pelajaran matematika.”

Brengsek!

“Bagaimana gadis populer seperti kamu bisa begitu buruk dalam hal berciuman?”

Sialan kau, Karina!

***

“Jessica Jung!”

“Astaga, pelankan suaramu. Jangan berteriak di dalam kantor.”

“Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi sebenarnya di Jepang?”

“Hyoyeon, tutup pintunya. Kamu menarik perhatian semua orang”

“Aku tidak peduli,” teriak gadis itu melipat kedua tangan dan menendang pintu dengan ujung sepatu. Dia bergegas menghampiri sahabatnya yang duduk di seberang meja.

“Katakan jika ini semua tidak benar. Pasti terjadi kesalahan saat mencetak kartu undangan, iya kan?”

Jessica mengobrak-abrik isi dalam tasnya mencari kotak kecil berwarna putih. Di mana dia menyimpan pemantik api? Benda itu selalu hilang saat dibutuhkan. Melihat sebatang rokok terselip di antara bibir gadis itu, Hyoyeon menghentakkan kaki dengan keras. “Brengsek! Aku akan memberi Yoona pelajaran!”

Orang-orang bisa salah mengira jika dua pengacara senior itu sedang bertengkar hebat lantaran Hyoyeon keluar ruangan dengan membanting pintu. Sementara itu di dalam ruangan yang tertutup rapat, Jessica menatap nanar pada layar ponsel yang menyala. Sebuah topik pembicaraan hangat sedang ramai diperbincangkan di grup alumni universitas angkatan mereka. Jessica kira dengan membiarkan lelaki itu pergi bisa memberikan sedikit pelajaran. Barangkali suatu saat nanti Yoona akan datang dan berkata jika dirinya menyesal.

Namun, seiring berjalannya waktu insting mengatakan ada sesuatu hal yang tidak beres. Naluri kuat wanita tidak pernah salah ketika mencium bau busuk kebohongan. Dan benar saja, sebuah undangan pernikahan diterima selang satu minggu setelah berakhirnya hubungan mereka berdua.

Malaikat membisikkan kata-kata mutiara di mana dia harus menghadiri acara yang berbahagia untuk mengucapkan selamat; dan iblis menambahkan dengan menggandeng pasangan baru.

Tapi bagaimana cara mendapatkan kekasih baru dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya? Mungkin karena Tuhan mendengar tangisannya setiap malam, gadis itu menemukan seseorang yang tepat dari media sosial.

Pantas saja Taeyeon meminta upah sepuluh ribu won per jam saat itu. Jasa rental pasangan; ternyata Jessica tidak pernah menduga ada hal semacam ini di dunia maya. Lalu permasalahan lain yang muncul sekarang adalah cara gadis itu meminta bantuan. Dia terlalu malu untuk menjelaskan mantan kekasihnya yang menikahi wanita lain setelah berpacaran dengannya selama lebih dari empat tahun. Mereka bahkan tinggal bersama!

Apa itu perlu dijelaskan? Tentu saja tidak. Jessica hanya merasa putus asa karena undangan pernikahan yang mengejutkan. Mitos karangan bunga yang jatuh ke tangan Yoona kala itu terbukti nyata membawa pria tersebut ke jenjang pernikahan. Ironisnya, itu bersama perempuan lain.

Jessica mengembuskan nafas dan melihat asap putih yang keluar dari mulut. Orang yang akan menjadi penyelamat hidupnya hanya berjarak beberapa langkah di luar sana. Dia ragu mengingat pertemuan pertama mereka yang berakhir buruk. Tapi siapa tahu Tuhan memang mengirim lelaki itu untuk menolongnya.

“Halo,” Taeyeon menjawab panggilan telepon di meja dengan suara rendah.

“Ke ruanganku sebentar.” Sambungan telepon itu terputus sebelum Taeyeon bisa mengatakan apa-apa.

Jari tengahnya mengetuk pintu tiga kali sebelum mendorong ke dalam dan menyembulkan kepala dari celah pintu yang terbuka. Jessica mengisyaratkan lelaki itu untuk masuk dengan anggukan singkat.

“Hari Minggu kamu ada acara?” tanya Jessica tanpa basa basi.

“Tidak.”

“Kalau begitu kamu bisa menemani aku ke acara pernikahan Jaksa Im Yoona.”

“Apakah undangan ditujukan ke semua orang?” tanya Taeyeon agak ragu, merasa dirinya belum cukup penting untuk dikenal oleh seorang jaksa penuntut umum. Alisnya bertepuk heran mendapat perintah di luar lingkup pekerjaan.

“Tidak semua tetapi beberapa orang mungkin datang seperti Hyoyeon dan Donghae. Ngomong-ngomong, apa kamu punya setelan selain kemeja putih dan celana hitam?”

“Oh, ini tidak seperti yang Nona Jung bayangkan,” kata Taeyeon tertawa canggung menggaruk belakang kepalanya.

“Memangnya apa yang ada di pikiran aku?”

“Anda mungkin berpikir aku hanya punya satu setel pakaian yang dicuci kering pakai setiap harinya. Sebenarnya aku membeli lima pasang pakaian.”

“Maksudmu lima kemeja putih dan celana hitam?”

“Benar.”

Jessica merapikan meja kerja yang berantakan. Menyimpan berkas catatan penting ke dalam laci terkait kasus pembebasan sengketa lahan yang sedang ditangani. Kemudian gadis itu berdiri dari kursinya dengan menenteng tas di lengan kiri. “Bisa menyetir mobil, kan?”

“Ya, itu mudah. Mobil mempunyai empat roda jadi tidak butuh keseimbangan seperti mengendarai sepeda motor.”

Jessica menyerah kunci mobilnya dan berkata, “antar aku pergi ke suatu tempat.”

Berada dalam satu mobil dengan Jessica yang duduk di sebelah kursi kemudi terasa lebih menyeramkan daripada duduk berhadapan dalam satu ruangan. Setidaknya lelaki itu tidak akan merasa waswas jika mobil atasannya lecet. Meski Taeyeon sudah terbiasa mengendarai mobil temannya, tetapi perasaan tegang itu tetap dia rasakan seolah tatapan dingin Jessica berada tepat di belakang tulang tengkorak. Tidak ada yang mau membuka mulut selama perjalanan hingga perlahan-lahan laju kendaraan mulai melambat seiring jarak tempuh yang semakin singkat.

“Selamat datang,” sapa seorang pelayan wanita membuka pintu untuk mereka.

“Aku mencari pakaian yang cocok untuk menghadiri acara pernikahan.”

“Mau model yang bagaimana? Kami ada banyak koleksi pakaian wanita di lantai dua.”

“Tidak, bukan untuk aku, tetapi dia.” Tatapan mata gadis itu mengarah pada satu-satunya lelaki yang berdiri di sana. Dan Taeyeon dengan bodohnya memutar kepala ke segala arah mencari sosok yang tidak dia temukan.

***

“Hai, sudah lama datang?” sapa Yuri begitu melihat sahabatnya duduk termenung di meja samping jendela.

“Aku baru tiba lima menit lalu.”

Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan membawa dua buku menu. Setelah melihat sekilas daftar makanan yang tercantum di sana, Tiffany menyebutkan pesanannya yang dicatat cepat oleh pelayan itu. Begitu juga dengan Yuri yang mengembalikan buku menu selepas mengatakan pesanannya.

“Kalian masih bertengkar?” tanya Yuri memulai percakapan.

“Tidak. Kami sudah kembali seperti biasa.”

“Lalu di mana Taeyeon? Kenapa tidak ikut makan malam?”

“Aku sengaja tidak mengajaknya.”

“Tumben. Biasanya ke mana-mana selalu berdua. Baju saja sampai kembaran seperti anak panti.”

“Sialan kamu ya,” balas Tiffany dengan menendang tulang kering lelaki itu di bawah meja.

“Aku baca komentar orang-orang, makanan di sini sangat enak.”

“Sesuai dengan harganya yang mahal.”

“Kamu yang bayar, kan?”

“Kok aku? Bagi dua saja,” protes gadis itu.

Yuri tertawa kecil. “Tenang, aku yang traktir.”

Tiffany merenung. Setelah dipikir-pikir, selama ini sahabatnya tidak pernah mau berbagi tagihan saat makan berdua. Lelaki itu selalu menjadi yang tercepat dalam menyelesaikan pembayaran sebelum Tiffany sempat mengeluarkan kartu dari dompet. Dan Yuri tidak akan mau menerima sepeser pun uang dari teman wanitanya.

Obrolan mereka terhenti sejenak dengan piring-piring makanan yang disajikan di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan restoran, Tiffany memulai topik pembicaraan yang lebih serius.

“Menurutmu apakah laki-laki bisa berteman baik dengan perempuan?”

Yuri mengunyah makanan di dalam mulut lalu menelannya. “Tentu saja. Memang apa yang salah dengan pertemanan itu?”

“Aku membaca pendapat seorang pria di media sosial yang mengatakan bahwa tidak mungkin bagi lawan jenis untuk bersahabat tanpa melibatkan perasaan.”

Yuri tertegun. Sendok di tangannya terasa berat dan terjatuh di atas piring. Dia menyesap minumannya secara perlahan. Mengamati ekspresi Tiffany yang terlihat tenang dari ekor matanya.

Yuri berdehem, “itu konyol.”

“Aku juga beranggapan demikian. Maksudku jika pertanyaan itu dibalik, apakah perempuan bisa berteman baik dengan laki-laki, maka jawabanku seratus persen adalah iya. Persahabatan itu sesuatu yang berharga. Bukankah aneh rasanya menaruh hati pada sahabat sendiri? Mereka seharusnya bisa membatasi diri untuk tidak jatuh cinta. Karena aku, secara pribadi tidak akan melakukannya.”

Gadis itu tidak akan mengerti seberapa jauh perkataan tersebut melukai hati sahabatnya. Dia tidak akan mengerti segala luka yang ditanggung lelaki itu karena cinta tak terbalas. Dan Tiffany tidak akan mengerti, seberapa dalam perasaan Yuri mencintai dirinya selama bertahun-tahun.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks