[ 6 ] Titik balik

Sleep Call

“Sudah memecahkan rekor baru?” kata seorang wanita di belakang punggung.

Taeyeon gelagapan mengarahkan kursor pada simbol x di pojok kanan atas layar monitor. Jantungnya berdegup kencang setelah mendapat tatapan dingin dari balik kacamata hitam. Tidak perlu melepas benda yang bertengger di hidung mancungnya karena aura gadis itu berteriak demikian dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Dan tidak, itu bukan cinta pandangan pertama. Memangnya siapa yang tidak akan marah melihat anak magang bermain minesweeper di komputer kantor.

Namun jika diperhatikan lebih teliti, jarum panjang pada jam dinding belum melewati angka dua belas yang berarti masih tersisa waktu sepuluh menit. Dengan kata lain, Taeyeon tidak melanggar aturan bermain di jam kerja.

“Ikut aku ke ruangan,” ucap Jessica tegas. Mau tidak mau lelaki itu mengekor di belakangnya dengan kepala tertunduk lesu.

Hal pertama yang mencolok dari ruangan Jessica adalah rak buku di belakang meja. Kegemarannya dalam membaca buku telah mengubah suasana di sana lebih mirip perpustakaan mini dibandingkan ruang kerja. Jessica meletakkan tas di atas meja kemudian menggantungkan mantel pada standing hanger.

“Jadi kamu pekerja kontrak yang baru?” tanya Jessica menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia memberi isyarat dengan sebelah tangan agar lelaki itu mengambil kursi kosong di hadapannya.

“Ya. Aku Kim Taeyeon.”

Jessica agak kaget mendengar nama yang mengetuk gendang telinga. Matanya terbuka lebar mengamati garis kontur pada wajah pria tersebut. Terlepas dari kulit putih pucat yang terlihat samar karena terhalang lensa hitam, Jessica mengingat jelas wajah pengganggu yang merusak suasana hatinya kala itu.

“Apa saja yang sudah kamu pelajari selama aku pergi? Selain permainan bodoh untuk orang pemalas.”

Senjata utama seorang wanita adalah lidah yang sangat tajam. Jika tidak berhati-hati dalam memilih kosa kata maka dikhawatirkan dapat melukai perasaan orang lain; seperti yang terjadi pada pria malang itu.

“Aku membaca peraturan baru yang ditetapkan pemerintah terkait masalah narkoba.”

“Apakah perusahaan sedang menangani kasus pengedar narkoba?”

“Aku tidak tahu,” jawabnya ragu-ragu.

“Kalau begitu tugasmu adalah mencatat semua kasus yang sedang ditangani saat ini. Serahkan hasilnya sebelum pulang bekerja. Ada pertanyaan?”

“Kasus yang berada di bawah nama Nona Jung saja atau semua pengacara di sini?”

Jessica bangkit dari kursinya dan berjalan ke belakang mengambil salah satu buku tebal di barisan ketiga lemari kayu. “Jika kurang paham, kamu bisa mencari arti kata 'semua' dalam kamus ini,” katanya meletakkan kamus besar bahasa Korea.

Jantung Taeyeon berdebar dua kali lebih cepat dengan keringat dingin membasahi pelipis kepala. Tangannya yang bergetar membuka halaman kamus secara acak hanya untuk ditutup kembali pada detik berikutnya. Taeyeon tidak ingin terlihat bodoh jadi dia berkata cepat, “aku akan mencatat semuanya.”

“Hm, masih ada pertanyaan?”

“Kenapa menggunakan kacamata hitam?” perkataan tersebut meluncur begitu saja dari mulutnya yang ceroboh seolah dia memang ditakdirkan sebagai pembuat masalah.

“Membaca regulasi terbaru mengenai tindak pidana narkoba adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu karena aku secara pribadi tidak mau menerima kasus yang berhubungan dengan obat-obatan terlarang. Terdakwa hanya akan bebas untuk dijadikan umpan sehingga cepat atau lambat mereka akan kembali ke penjara. Jika tidak ada pertanyaan lain sebaiknya kamu segera menyelesaikan pekerjaan,” balas Jessica mengakhiri pertanyaan konyol itu dengan cara yang berkelas.

***

Jessica melepas kacamata hitam dan mengamati bayangan dirinya pada cermin yang tergantung di dinding. Emosi gadis itu belum cukup stabil tetapi dia akan berakhir buruk apabila mengunci diri di dalam apartemen. Setidaknya mata lelah itu terlihat lebih segar sekarang, tidak sembab seperti pagi tadi.

Setelah mengambil cukup waktu untuk memperbaiki riasan di wajah, Jessica memutuskan keluar dari ruangan sempit di ujung koridor. Langkah kaki tegap penuh percaya diri adalah pertahanan terakhirnya menyembunyikan hati yang terluka.

“Mana oleh-oleh dari Jepang?” kata Hyoyeon merangkul pundak Jessica dengan erat ketika hendak membuka pintu ruang kerja.

“Maaf ya, aku benar-benar lupa,” balasnya dengan senyum kecil.

“Sebagai gantinya kamu harus traktir malam ini. Perhatian semuanya, setelah pulang kerja kita akan pergi ke karaoke!” perkataan Hyoyeon langsung disambut dengan acungan jempol dan tepuk tangan. Jessica menggeleng pelan. Tidak ada gunanya melawan kegilaan gadis itu.

Waktu berlalu begitu cepat dengan orang-orang yang mulai meninggalkan meja kerja. Tangannya otomatis menurunkan laptop setelah mengirim balasan singkat pada pesan elektronik. Dengan menggantungkan mantel di bahunya, Jessica menyudahi hari panjang yang melelahkan.

Suara pintu yang terbuka membuat Taeyeon terlonjak dari tempat duduk. Dia panik. Sangat panik. Ujung jari tangannya bergerak cepat ke kiri dan ke kanan menekan barisan huruf pada papan hitam di atas meja.

“Masih belum selesai?”

“Sedikit lagi.”

“Tetap saja itu namanya tidak selesai.”

“Maaf. Aku usahakan untuk bisa selesai malam ini.”

“Lanjutkan besok saja. Mereka sudah menunggu di bawah.” Sesungguhnya Jessica Jung bukanlah rekan kerja yang menakutkan. Bagi mereka yang sudah berteman dekat, Jessica adalah sosok yang ramah dan mudah bersosialisasi. Hanya saja suasana hati yang buruk saat ini menumbuhkan tanduk kecil di kepalanya.

“Oh, aku juga ikut?” tanya Taeyeon agak ragu. Gambaran berkumpul dengan para pengacara senior membuat nyalinya kerdil.

“Kamu kuat minum?” Jessica balik bertanya.

“Tidak. Aku cepat mabuk hanya dengan sedikit alkohol.”

“Bisa bernyanyi?”

“Lumayan,” jawabnya malu-malu.

“Kalau begitu tidak ada masalah di sini. Sekalipun kamu memiliki suara sumbang, aku akan memaksamu menjadi penari latar di atas panggung. Jangan terlalu lama. Aku menunggu di bawah.”

“Baik Nona Jung.”

“Jessica. Panggil aku Jessica ketika berada di luar jam kerja.”

***

Sekali lagi Taeyeon mencoba menelepon kekasihnya tapi lagi-lagi panggilan itu diarahkan menuju kotak suara. Aneh, tidak biasanya Tiffany mengabaikan panggilan teleponnya. Lelaki itu mencoba keberuntungan lainnya dengan menekan enam digit angka pada kunci pintu apartemen.

Keningnya berkerut samar melihat pintu yang tertutup rapat. Malam ini Taeyeon hanya minum satu gelas jadi dia tidak sedang dalam kondisi mabuk. Dan tidak mungkin juga dia salah menekan angka kunci yang merupakan kombinasi tanggal lahir mereka berdua. Hatinya gelisah menebak-nebak alasan Tiffany sengaja mengganti sandi pintunya.

Tiffany menahan nafas sejenak kemudian membuangnya dengan kasar. Dia tidak ingin bertemu pria itu tetapi membaca rentetan pesan yang dikirimkan membuat perasaannya campur aduk. Dengan berat hati Tiffany menyeret kakinya pergi keluar.

Klik.

Tubuh Taeyeon terjungkal ke belakang ketika pintu yang digunakan bersandar terbuka lebar. Dalam posisi terlentang di lantai dia menyapa, “hai cantik”

“Pulanglah”

“Kita perlu bicara,” kata Taeyeon bangkit berdiri secara perlahan.

Tiffany menatap dengan sorot mata membunuh seolah mampu menguliti lelaki itu hidup-hidup. Rahangnya mengatup kuat siap untuk meledak. Namun secara mengejutkan amarahnya surut dalam dekapan hangat. Taeyeon mengeratkan pelukannya dan berucap lirih, “maafkan aku.”

Sedih, kecewa, benci, marah dan seribu ekspresi lainnya melebur meninggalkan satu yang tersisa; kerinduan. Berhenti komunikasi dengan seseorang yang  senantiasa ada bukanlah perkara mudah, yang tadinya selalu berbagi cerita di sepanjang hari tiba-tiba berhenti dan menyisakan ruang kosong. Tiffany terombang-ambing dalam perdebatan sengit di antara kata hati dan pikiran.

“Aku yang salah. Aku tidak seharusnya berteriak lalu pergi begitu saja. Aku egois dan tidak memikirkan perasaanmu yang terluka. Sungguh, maafkan aku.”

“Aku tidak suka saat kamu berteriak.”

“Maaf, aku terbawa emosi,” bisik Taeyeon sambil mengusap punggung kekasihnya.

“Aku juga tidak suka ketika kamu pergi tanpa mendengar penjelasanku.”

“Aku tidak akan mengulanginya.”

“Dan aku sangat benci dengan lelaki yang berselingkuh!” suaranya menukik tajam. Belum sempat pikiran Taeyeon mencerna perkataan tersebut, gadis itu meneruskan urgensinya. “Berikan ponselmu,” desak Tiffany.

Taeyeon melepas pelukannya kemudian mundur satu langkah ke belakang. Dia menatap langsung ke dalam mata indah kekasihnya. Kebingungan tergambar nyata pada raut wajah lelaki itu. Namun tanpa bertanya maksud dan tujuan gadis yang dia kencani selama enam tahun, Taeyeon menyerahkan ponsel dengan suka rela.

 “Sekarang semuanya bergantung pada jawabanmu,” gumam Tiffany sambil berjalan menuju kursi ruang tengah diikuti Taeyeon yang tertinggal dua langkah di belakang.

“Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Kenapa kamu berselingkuh?”

“Aku tidak berselingkuh. Kenapa kamu menanyakan hal semacam itu?” rasa penasarannya tumbuh menjadi perasaan waswas.

Tiffany mengabaikan pertanyaan itu dan melanjutkan, “sejak kapan kamu berpacaran dengan wanita lain?”

“Harus berapa kali aku katakan kalau aku tidak pernah berselingkuh.”

“Ini kesempatan terakhirmu, Taeyeon. Siapa wanita itu? Apa aku mengenalnya? Katakan dengan jujur atau aku cari tahu sendiri perbuatan kotormu di dalam ponsel ini. Demi Tuhan, aku tidak akan memaafkanmu jika terus mengelak."

“Apa Yuri yang mengatakannya?”

“Jangan bawa-bawa Yuri ke dalam masalah kita.”

“Terkadang aku iri karena kamu selalu membela sahabat kecilmu tapi ya, aku bisa memahami hubungan kalian yang sangat dekat. Kembalikan ponselku.”

“Kamu memilih untuk melindungi nama perempuan jalang sialan itu?!”

“Kamu ingin jawaban jujur, kan? Maka berikan ponselnya dan akan kutunjukkan kepadamu kejadian yang sebenarnya.”

Benda itu berpindah tangan ke pemilik aslinya. Taeyeon menempelkan sidik jari ke layar ponsel dan tampilan foto mereka berdua muncul sebagai latar belakang. Dia membuka salah satu akun media sosial bergambar burung biru.

“Aku melihat orang lain melakukan pekerjaan ini di media sosial jadi aku menirunya,” kata Taeyeon menunjukkan tangkapan layar ponsel di tangannya.

“Rental pasangan? Apa maksudnya?”

“Itu seperti berpura-pura menjadi kekasih orang lain. Misalnya, ada wanita yang malu untuk datang ke pesta pernikahan temannya karena tidak mempunyai pasangan.”

“Bodoh, untuk apa merasa malu. Semua wanita harus percaya diri dengan apa pun status hidupnya. Kenapa menatapku?” tanya Tiffany dengan alis terangkat.

Taeyeon menyelipkan rambut panjang gadis itu ke belakang telinga. “Kamu terlihat luar biasa ketika berbicara tegas seperti itu.”

“Jangan coba-coba merayu apalagi mencium karena aku masih marah kepadamu.”

“Ops..” Taeyeon mengangkat kedua tangan.

“Lanjutkan.”

“Sampai mana tadi?”

“Tidak punya pasangan.”

“Oh iya, karena permasalahan tersebut wanita itu akan menghubungi lelaki lain untuk dijadikan kekasih bayaran.”

“Maksudnya kamu menjual tubuhmu untuk mendapatkan uang?”

“Bukan begitu konsepnya. Aku berani bersumpah tidak ada sentuhan fisik apalagi mengarah ke hubungan seksual. Kamu bisa baca seluruh pesan yang masuk. Ketika layanan terselesaikan dan dibayar lunas kami sepakat untuk tidak melanjutkan komunikasi. Aku sudah menutup jasa tersebut dan mendapat pekerjaan baru di kantor pengacara.”

Tiffany berhenti membaca pesan dan mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Kepalanya menoleh ke samping menatap bola mata kecokelatan. Itu adalah kabar baik yang selama ini dia tunggu-tunggu; Kim Taeyeon bekerja sebagai pengacara.

“Aku senang mendengarnya.”

“Apa itu berarti aku dimaafkan?”

Tiffany mendesah pelan, “jangan lagi berhubungan dengan mereka.” Jemari tangannya bergerak cepat memblokir akun wanita di sana satu per satu.

***

Yoona berkedip pelan lalu menyipitkan mata melawan cahaya silau dari atas langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut hebat dan bau obat-obatan di sana sangat mengganggu penciumannya.

“Apa yang kamu rasakan?”

“Pusing” jawabnya tanpa repot-repot menoleh ke samping. Yoona sudah mengenal warna suara itu di luar kepala. “Di mana aku?”

“Rumah sakit. Kamu harus banyak istirahat jika kelak tidak mau pingsan di acara pernikahan.”

Yoona termenung menatap dinding kamar dengan pikiran kosong. Rasa bersalahnya sedikit berkurang setelah merelakan kepergian Jessica, tetapi tidak dengan rasa penyesalan di hatinya. Dia bertanya-tanya apakah keputusan yang diambil sudah tepat. Alasan sebenarnya mengapa itu terasa berat adalah karena Yoona masih berharap kalau ini semua tidak nyata. Dia berharap suatu saat nanti akan terbangun dari mimpi buruk dan menemukan wajah Jessica yang tidur terlelap di sampingnya.

Tidak peduli seberapa banyak Yoona mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hubungan mereka telah berakhir, hati kecilnya tidak dapat berdusta jika dia masih mencintai mantan kekasihnya. Namun, kenyataan pahit dari itu semua adalah seberapa besar Yoona mencintai gadis itu, seberapa keras dia berusaha, nama Jessica Jung tidak tertulis pada undangan pernikahannya.

Akhir-akhir ini lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu di balik meja kerja. Yoona bekerja keras dari pagi hingga larut malam. Itu adalah hukuman atas rasa sakit yang dia berikan kepada Jessica. Dan akibat dari kecerobohannya itu, kini dia terbaring di dalam kamar rumah sakit dengan selang infus di pergelangan tangan.

“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Seohyun sembari mengatur kecepatan tetesan air infus.

“Aku tidak lapar.”

“Meski kehilangan nafsu makan, kamu tidak boleh membiarkan perut dalam keadaan kosong. Rasa pusing di kepalamu berasal dari gangguan pencernaan. Makanan rumah sakit memang sedikit hambar tapi usahakan untuk menelan beberapa suap.”

“Bolehkah aku pulang? Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit.”

“Kenapa? Kamu takut bertemu hantu di sini?” gurau dokter muda itu.

“Bukan begitu. Sudahlah, lupakan saja,” kata Yoona dengan wajah cemberut menahan kesal.

“Kamu bisa pulang setelah dinyatakan sembuh. Saat ini cobalah tidur lebih awal. Besok pagi aku akan membawa bubur untukmu.”

“Maaf sudah banyak merepotkanmu.”

“Tidak masalah. Sudah menjadi tugas dokter merawat pasiennya. Ngomong-ngomong, apa aku perlu menghubungi orang tuamu?”

“Tidak, biarkan saja. Mereka tidak perlu tahu aku dirawat di rumah sakit.”

Hubungan Yoona dengan kedua orang tuanya mengalami perseteruan yang rumit setelah lelaki itu mengajak Seohyun bertemu dengan keluarganya. Kabar baik pernikahan anaknya tidak dapat diterima secara terbuka oleh pasangan suami istri yang berusia lebih dari setengah abad itu lantaran hubungan sang ibu dengan mantan kekasihnya dulu sudah sangat dekat.

Namun, kedatangan Yoona ke rumah itu bukan untuk meminta restu. Keputusan sudah ditetapkan. Dia akan menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks