[ 14 ] Kenyataan pahit

Sleep Call

A/N : Update chapter 11 - 14 


Winter mengetuk ujung sepatu ke permukaan lantai, menimbang-nimbang apakah itu ide yang buruk untuk datang ke rumah ketua kelasnya. Sekolah bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakan masalah pribadi jadi di sanalah dia sekarang. Winter tidak bisa mundur seperti pengecut setelah menghabiskan waktu selama dua jam di depan pagar rumah itu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Karina menghentikan laju sepedanya. Bimbingan belajar di luar sekolah menyebabkan gadis itu pulang terlambat.

“Bisakah kita bicara?”

“Sekarang?” suaranya agak bimbang. Karina melirik jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Dia harus bergegas masuk ke rumah jika tidak ingin mendapat omelan dari ibunya.

“Ya.”

“Maaf, aku tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar.”

“Aku tahu. Dulu kamu pernah bercerita tentang batasan waktu bermain dan pulang ke rumah sebelum hari gelap.”

“Ya, itu masih berlaku sampai sekarang.”

“Aku tidak keberatan untuk mengobrol di kamarmu. Mungkin dengan alasan belajar kelompok atau semacamnya.”

Karina mengangguk, “masuklah.”

“Kamarmu berbeda,” komentar gadis itu ketika melewati pintu yang terbuka lebar. Bola matanya bergerak tak tentu arah mengamati gambar-gambar yang tertempel di dinding. Terakhir kali Winter menginjakkan kaki di sana; sekitar lima tahun yang lalu, itu hanya sebuah kamar dengan dinding polos berwarna putih.

“Aku menambah beberapa poster dan pernak pernik kecil sebagai dekorasi.”

“Terlihat lebih bagus,” gumam Winter menjatuhkan tas di lantai lalu duduk di tepi ranjang.

“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Karina dengan hati-hati mengambil tempat kosong di sampingnya.

“A-aku.. M-maaf.. Kau tahu.. Aku pikir.. S-sungguh aku tidak tahu.. Itu b-bukan kamu yang salah..” Hanya perlu satu tarikan nafas untuk membuat suaranya gemetar. Gadis itu tidak pernah pandai menyusun kata-kata.

Karina mencoba mendengar apa yang ingin disampaikan. Namun, kalimat gadis itu terlalu sulit dimengerti. Semua berantakan. Tidak hanya ucapan tetapi juga penampilan. Khawatir jika teman sekelasnya akan segera kehabisan nafas, Karina meletakkan sekotak tisu di sampingnya.

“Terima kasih,” balas Winter menghapus air mata dan membuang ingus. Kemudian dia melanjutkan dengan satu kalimat penutup yang ambigu, “jadi begitulah ceritanya.”

Karina termangu, “aku tidak mengerti.”

“Bagian mana?”

“Semuanya. Jangan menangis dan bicara lebih lambat.”

Sekali lagi Winter membersihkan kotoran di hidungnya dan mengatur udara yang masuk ke paru-paru. Setelah merasa cukup tenang dia mengatakan, “aku meminta maaf untuk kejadian di kelas waktu itu. Maksudku, kau tahu, selepas tugas kelompok matematika kita tidak seharusnya─”

“Aku mengerti,” potong Karina cepat, terlalu malu untuk mengingat kembali.

“Ada rumor buruk tentang diriku yang beredar dari mulut ke mulut dan aku mengira kamu pelakunya. Aku merasa bodoh karena tidak mencari tahu kebenarannya. Lalu hari ini Nyonya Bae memanggilku dan mengatakan bahwa kamu mengundurkan diri dari kelompok paduan suara untuk acara pentas seni. Apa itu karena omongan kasarku tempo hari? Aku benar-benar minta maaf.”

Itu benar. Alasan terbesar Karina mengundurkan diri karena ingin menebus kesalahan lantaran permohonan maafnya telah ditolak. Dia pikir cara terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan mengabulkan permintaan perempuan tersebut. Dengan begitu hatinya akan terbebas dari rasa bersalah.

“Itu bukan kesalahanmu seutuhnya. Aku juga meminta maaf atas tindakan ceroboh yang di luar kendali. Aku berharap saat itu kamu bisa mendorong tubuhku.”

“Aku tidak ingin..” bisiknya hampir tak terdengar menyerupai udara di musim panas.

“Kenapa? Kamu berhak marah atau bahkan menampar pipiku.”

Gadis yang lebih muda mendesah panjang lalu bergumam, “karena aku tidak ingin kamu berhenti menciumku.”

“A-apa?” tanya Karina terkejut.

“Kamu benar-benar tidak tahu jika selama ini aku menyukaimu?” katanya balik bertanya dengan gugup.

“Maaf, aku tidak tahu. Aku pikir kamu membenciku.” Sulit dipercaya; Karina tercengang mendengar pengakuan yang tak terduga. Setelah perang dingin selama bertahun-tahun benteng pertahanannya runtuh perlahan.

Winter menyandarkan kepala di pundak wanita yang lebih tinggi. Dia merindukan masa-masa pertemanan mereka seperti dulu. “Apa kita bisa memulai semuanya dari awal?”

“Entahlah. Dunia kita sudah jauh berbeda,” jawabnya jujur. Namun dengan cepat Karina menambahkan, “tapi bukan berarti kita tidak bisa mencobanya. Teman?”

“Itu terdengar menyenangkan,” jawabnya membalas uluran tangan itu dengan senyum mengembang.

***

Taeyeon masih berdiri mematung di dekat gerbang universitas, terlalu sibuk meladeni pikirannya yang rumit. Orang-orang yang lewat, terutama wanita muda, mencuri pandang ke arahnya lantaran terpesona oleh penampilannya. Tatanan ringan pada rambut cokelat gelap membuat wajah lelaki itu terlihat lebih tampan ditambah dengan setelan jas biru tua tampak serasi menempel di tubuhnya.

Pelan-pelan Taeyeon melangkah kecil melewati jalan setapak menuju kerumunan orang yang bersenda gurau. Dia berhenti sejenak merasakan degup jantungnya dan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tangan. Tiffany berada di sana, berjarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Namun persendian lutut Taeyeon terasa lemas ketika melihat sosok orang tua yang berdiri di samping putri mereka.

Lelaki itu takut jika kedatangannya akan merusak momen keluarga Hwang yang sedang mengambil foto bersama. Tiffany tersenyum bahagia didampingi lelaki paruh baya di sebelah kanan dan wanita tua lainnya di sebelah kiri. Yuri berteriak memberi aba-aba, “satu.. dua.. okay!” Silau lampu kamera menyala pada hitungan ketiga.

“Yuri kemari,” panggil Tuan Hwang meminta lelaki itu untuk mendekat dengan lambaian tangan. Dia merebut kamera dan berkata, “berdiri di samping Tiffany dan ibunya. Aku akan memotret kalian bertiga.”

“Ah, tidak perlu. Ini kan foto keluarga,” tolak Yuri secara halus.

“Kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri,” kata lelaki berambut putih itu sambil menepuk pundak sahabat anaknya.

Taeyeon mendongakkan kepala memandang awan putih pada hamparan langit biru. Cuaca cerah hari ini bertolak belakang dengan suasana hatinya yang mendung. Dengan langkah gontai dia menawarkan diri, “biar aku saja yang melakukannya.”

Tiffany menahan diri untuk tidak berlari ke sana dan memeluk tubuh kekasihnya. Kesopanan adalah yang utama di hadapan orang tua. Seulas senyum tipis di wajahnya mengharapkan Taeyeon untuk sedikit bersabar dan memahami situasi saat ini. Dan ya, tentu saja, lelaki itu tahu di mana tepatnya harus berdiri.

Silau lampu kamera kembali menyala dengan menampilkan empat subjek utama dalam satu bingkai. Taeyeon terpaksa menarik sudut bibirnya, tersenyum palsu mengimbangi euforia yang tengah berlangsung. Satu tidak cukup, tiga masih kurang dan lima adalah titik akhir. Kamera tersebut baru disingkirkan setelah lima kali jepretan berturut-turut. Yuri berlari ke arahnya sambil berteriak, “sekarang giliranmu.”

Begitu Taeyeon bertukar tempat dengan teman baiknya, orang tua Tiffany langsung memutar badan dan melesat pergi. Taeyeon menatap punggung kedua orang itu yang semakin lama semakin menjauh hingga sepenuhnya hilang ditelan keramaian. Dadanya terasa berat. Dia menarik nafas dalam-dalam karena kalau tidak emosinya akan meledak saat itu juga. Kini dia sadar bagaimana rasanya terbangun dari mimpi indah dan dihadapkan pada kenyataan pahit.

Rasanya menyakitkan.

“Beri aku waktu untuk meyakinkan orang tuaku,” kata Tiffany mengusap punggung kekasihnya.

Taeyeon tersenyum miris. Jika enam tahun saja belum mampu mengubah penilaian mereka terhadap dirinya maka berapa lama lagi gadis itu memerlukan waktu tambahan. “Selamat atas kelulusanmu,” balasnya mengalihkan pembicaraan.

“Di mana kita merayakannya?” sahut Yuri ikut bergabung.

Tiffany membasahi bibir dan tertawa gugup. “Pesawatku berangkat pada sore hari.”

“Tadi kamu bilang tenggorokanmu terasa sangat kering,” kata Taeyeon menatap mata sahabatnya, setengah memohon untuk dapat dimengerti. Dia tidak bermaksud mengusir lelaki itu tetapi saat ini dibutuhkan ruang dan waktu untuk kepentingan yang mendesak. Dia  melanjutkan, “mengapa kamu tidak pergi membeli minuman dingin?”

“Ah, kamu benar. Aku akan kembali membawa minuman bersoda.”

Tanpa benar-benar disadari, langkah kaki mereka berjalan ke sebuah taman kecil di luar kawasan universitas. Tempat pertama mereka membuat permohonan dengan melempar koin ke kolam ikan. Bernar-benar menyedihkan jika taman yang sudah dipenuhi dengan bunga itu juga menjadi tempat peristirahan terakhir mereka.

“Aku tengah berpikir tentang masa depan kita,” katanya memecah keheningan.

“Teruskan,” sahut Tiffany membuka telinga lebar-lebar.

“Aku ingin hidup bersamamu tetapi tidak dengan kondisi seperti ini.”

“Kamu tidak yakin jika hubungan jarak jauh akan berhasil.”

“Hm, itu pasti sulit.”

Tangan Tiffany bergerak cepat menghapus sebutir air mata yang lolos dari pelupuk mata. Kepalanya tertunduk rendah menatap sebelah tangan yang berada dalam genggaman tangan orang lain. Dia berusaha menariknya tetapi tenaga yang lebih besar menahan tangan kirinya untuk bergeser. Tiba-tiba jantung gadis itu berdebar keras saat merasakan sesuatu melingkari jari manisnya.

“Tolong, ini tidak seperti yang kamu pikirkan atau mungkin belum. Kelak jika kita bertemu kembali dan benda ini masih berada di sana, aku janji akan menukarnya dengan sesuatu yang lebih berharga, yang akan membuat orang tuamu yakin untuk melepas putri tunggalnya kepada pria yang pantas. Aku tidak ingin kita berpisah dengan saling membenci atau menyalahkan diri masing-masing. Aku memasang cincin itu sebagai pengingat bahwa ada seorang lelaki yang mencintaimu di belahan dunia berbeda.”

Ada banyak alasan yang tidak mereka pahami tentang bagaimana perasaan yang awalnya menggebu-gebu berakhir abu-abu. Taeyeon belum ingin menyerah tetapi keraguan tumbuh semakin besar menjadi racun dalam darah. Dia menulis catatan khusus untuk mengubah garis takdirnya dengan membawa kesuksesan sebagai kunci utama memasuki rumah keluarga Hwang. Namun sebelum tiba masanya, mereka memutuskan untuk saling melepas genggam dan berpisah di persimpangan jalan. Berharap takdir dapat mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang lebih baik.

***

“Kamu mau sarapan?”

Seohyun terkejut mendengar suara berat yang berasal dari ruang dapur. Tidak biasanya lelaki itu masih berada di rumah ketika jarum pendek pada jam dinding hampir menuju angka delapan. Ada kalanya mereka berangkat kerja bersama. Namun, pada kebanyakan waktu Yoona memilih untuk berangkat lebih awal dan meninggalkan istrinya sendirian.

“Aku kira kamu sudah berangkat,” balas Seohyun sambil berjalan perlahan ke sisi meja dapur. Lingkar perut yang bertambah besar membuat langkahnya menjadi pendek. “Perlu bantuan?”

“Tidak, kamu duduk saja. Aku hanya memasak telur dadar dan memanaskan sup yang semalam kita makan,” kata Yoona sambil membawa dua hidangan sekaligus ke tengah meja makan.

“Menurutmu apakah tubuhku terlihat aneh?”

Yoona meletakkan sendok di mangkuknya lalu menopang dagu dengan kedua tangan. Memandang sekilas tubuh wanita yang duduk berseberangan. “Apanya yang aneh, semua wanita hamil memiliki perut yang besar.”

“Saat berjalan aku merasa semua orang melihat ke arahku.”

 “Jangan pedulikan orang lain.”

“Malam ini kamu ada acara?”

“Tidak. Jam berapa kamu pulang? Aku bisa menjemputmu.”

“Pekerjaanku selesai seperti biasa. Tapi sebelum kita pulang ke rumah aku ingin pergi membeli beberapa perlengkapan bayi.”

“Tidak masalah.” Yoona melirik jam tangannya dan terkesiap. “Oh, kita harus segera berangkat.”

“Ya, kita pergi sekarang. Aku sudah memakan semuanya.”

Ketika menginjakkan kaki di rumah sakit tempat pertama yang Seohyun datangi bukanlah ruang kerjanya melainkan ruang praktik dokter kandungan. Dia berjalan dengan hati-hati di sepanjang lorong dan sedikit membungkukkan badan ketika berpapasan dengan rekan kerja senior.

“Oh, Seohyun. Bukankah kita baru bertemu dua minggu lalu?”

“Ya, itu benar” jawabnya tersenyum sopan.

“Kita biasa menjadwalkan pemeriksaan rutin sebulan sekali.”

“Aku perlu memastikan kesehatan tubuhku.”

Seohyun tahu ada yang salah ketika kepalanya terasa berat selama hampir satu minggu penuh. Ketakutannya semakin bertambah parah saat merasakan nyeri di area panggul, perut hingga tulang belakang. Meski usia kandungannya sudah memasuki masa trisemester ketiga tetapi tidak menutup kemungkinan skenario buruk dapat terjadi.

“Aku mengerti. Semua wanita merasa cemas pada kehamilan pertamanya. Mari kita lihat pergerakan bayimu.”

Seohyun berhati-hati meletakkan kepalanya terlebih dahulu sebelum meluruskan kedua kakinya. Kemudian merasakan sensasi dingin pada permukaan perut bagian bawah. Dia menahan diri untuk tidak bertanya sampai prosedur pemeriksaan selesai walaupun itu memakan waktu lebih lama dari biasanya.

“Bayiku baik-baik saja kan?” tanya Seohyun begitu kembali ke tempat duduk.

“Aku sudah memeriksanya berulang kali. Sepertinya jantung bayi berhenti berdetak. Belum tahu apa penyebabnya dan baru bisa dipastikan setelah bayi dikeluarkan.”

Seohyun tidak bersuara. Ketakutan tergambar jelas di tubuhnya yang gemetar. Dia mengerjap sekali, dua kali, lalu memejamkan mata erat-erat dan menutup daun telinga. Suaranya pecah; berteriak dan menangis tersedu-sedu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks