[ 17 ] Salju

Sleep Call

A/N : Update chapter 14 - 16


Taeyeon menyesap coklat hangat di tangan kanan dan memandang ke luar jendela. Itu adalah salju pertama di musim dingin. Dia menyandarkan bahu pada dinding selama beberapa saat, menghitung butiran salju yang melayang di udara.

Ada yang hilang. Dia tahu benar siapa yang menghilang. Wanita yang selalu menarik tangannya untuk keluar dari tempat persembunyian ketika melihat salju pertama.

Haruskah dia menelepon?

Itu pertanyaan bodoh. Tentu saja dia harus menelepon. Sudah seharusnya dia bersikap dewasa. Taeyeon meletakkan minuman dan meraih ponsel yang terjepit di dalam saku celana. Setelah menunggu beberapa sesaat, dia mendengar nada sambung yang terhubung.

“Halo,” sapa seorang wanita.

Kerutan halus muncul di wajahnya. Meski sudah lama tidak berkomunikasi tetapi Taeyeon hafal suara mantan kekasihnya di luar kepala. Itu bukan suara Tiffany. Buru-buru dia menjauhkan ponsel dari telinganya dan memeriksa nama yang tertulis pada layar. Sial, bagaimana bisa dia menelepon Jessica saat memikirkan seseorang yang hilang dari hatinya.

“Taeyeon?”

“O-oh..” katanya tergagap.

“Ada apa menelepon?”

“Apa yang terjadi dengan suaramu?” balas Taeyeon balik bertanya ketika mendengar suara serak dengan nafas berat.

“Hanya sedikit flu.”

Perubahan suhu udara menyebabkan sebagian orang menggigil di balik selimut tebal. Walaupun ramalan cuaca sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari, tetap saja gadis itu membutuhkan banyak tisu untuk menyeka lubang hidungnya yang basah. Jessica lebih tahan terhadap terik matahari di musim panas dibandingkan angin yang berputar-putar di musim dingin. Lucunya, itu bertolak belakang dengan julukan dia sebagai putri es.

“Sudah minum obat?”

“Aku benci minum obat.”

“Karena rasanya pahit?”

“Bukan. Ukuran tabletnya terlalu besar. Susah ditelan.”

“Hm, kalau begitu jangan keluar rumah.”

“Tentu saja. Siapa yang mau— Halo?” Belum sempat gadis itu selesai bicara, sambungan telepon sudah terputus. Jessica menatap layar ponsel kemudian menelepon balik nomor teman lelakinya. Tidak ada jawaban.

Getaran halus yang berasal dari dalam saku celananya tidak menghentikan langkah kaki pria bermantel cokelat. Panggilan itu bisa menunggu, setidaknya sampai Taeyeon tiba di tempat tujuan. Dia berharap salju berhenti sejenak; tidak lama, mungkin sekitar lima menit jika dia berlari menuju apotek terdekat di lingkungan tempat tinggalnya.

Terdengar bunyi samar dari balik pintu kaca diikuti suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Taeyeon menggosok cepat  kedua telapak tangannya yang membeku. “Ada obat flu kemasan sirop?” tanyanya kepada pemilik toko.

“Anak-anak atau balita?”

Taeyeon menggaruk belakang lehernya dan bergumam pelan menahan rasa malu, “untuk orang dewasa.”

“Kalau begitu aku sarankan membeli obat batuk pilek saja.”

Taeyeon menjatuhkan selembar uang kertas di atas meja untuk membayar obat-obatan yang ada di dalam kantong plastik. Tidak cukup hanya satu melainkan tiga macam; obat batuk, obat pilek dan obat batuk pilek. Terserah Jessica nanti mau pilih yang mana.

Sepanjang perjalanan menggunakan kendaraan umum lelaki itu terus melihat ke luar jendela kaca. Pemandangan kota Seoul di malam hari terasa lebih hidup. Banyak mobil berlalu-lalang tetapi dia tidak benar-benar memperhatikannya.

Jessica terlonjak dari tempat tidur ketika mendengar bel yang berbunyi dari luar pintu apartemen. Namun belum pulih dari rasa kagetnya, dia dikejutkan lebih jauh melihat wajah yang tampil pada layar monitor di samping pintu.

“Hai,” sapanya dengan senyum bodoh.

“Bagaimana kamu tahu tempat ini?”

“Aku bertanya pada Hyoyeon.”

Terkutuklah teman wanitanya yang berani membocorkan alamat tempat tinggal gadis itu tanpa seizin pemilik rumah itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan prinsip hidupnya yang melarang teman laki-laki berkunjung ke apartemen, kecuali jika pria tersebut mempunyai hubungan yang spesial. Jessica memberi catatan khusus untuk menendang pantat sahabatnya saat bertemu di kantor.

“Ada perlu apa?” tanya Jessica dari celah pintu yang sempit. Mereka hanya teman biasa atau ya, mungkin teman dekat, tetapi bukan sepasang kekasih. Jadi, tidak ada alasan untuk membiarkan lelaki itu menginjakkan kaki ke dalam.

“Aku membawakanmu beberapa obat,” katanya menggoyangkan plastik pada tangan kanan. Lalu dia mengangkat bingkisan di tangan sebelah kiri dan melanjutkan, “ini juga ada sup daging sapi pedas. Aku suka memakannya saat pilek atau hidung mampat.”

“Terima kasih.”

Tiba-tiba Jessica terkesiap kaget ketika ujung jari mereka bersentuhan. Telapak tangan Taeyeon terasa sangat dingin. Jessica baru sadar jika pria tersebut tidak menggunakan sarung tangan. Taeyeon pasti kedinginan selama di perjalanan.

“Semoga lekas sembuh. Aku pulang ya.”

“Tunggu,” katanya agak ragu.

Laki-laki itu membalikkan badan dan menatapnya dengan bingung. “Ya?”

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum, gadis itu menjunjung tinggi nilai keadilan di dalam kehidupan pribadi. Taeyeon membuat dua pengecualian untuk dirinya sehingga kali ini dia juga akan meloloskan pengecualian keduanya. Jessica membuka pintu lebar-lebar dan berkata, “masuklah.”

“Oh, tidak apa-apa. Aku pulang saja. Ini sudah larut malam.”

“Kalau kamu berkeliaran di luar sana, orang-orang akan menganggapmu kurcaci berhidung merah,” celoteh Jessica sambil tersenyum geli menatap wajah putih pucat dengan puncak hidung kemerahan.

“Apa?”

“Aku sudah makan malam jadi aku tidak akan sanggup menghabiskan sup pedas ini seorang diri. Masuklah dan temani aku makan.”

Taeyeon mengangkat bahu ringan dan melangkah santai memasuki pintu  apartemen. Dia melepas sepatunya dan berganti mengenakan sandal yang tersedia di jajaran rak samping pintu.

“Kamu tidak perlu repot-repot datang kemari,” kata Jessica berjalan ke ruang dapur.

“Mau bagaimana lagi, suaramu terdengar menyedihkan di telepon.”

“Aku hanya terserang flu ringan bukan menderita penyakit asma akut. Tolong siapkan peralatan makan. Aku akan memanaskan supnya terlebih dahulu.”

“Di mana kamu menyimpan mangkok?” tanya Taeyeon dengan menggenggam dua pasang sendok.

“Laci nomor satu.”

Selang lima menit kepulan asap putih terlihat samar di atas kuah panas yang mendidih. Jessica mematikan kompor lalu menempatkan panci dengan hati-hati di tengah meja makan.

“Aku kehabisan minuman bersoda,” katanya kembali dengan membawa dua cangkir teh.

Taeyeon meniup uap hangat lalu menyesap minumannya dengan pelan. “Sudah lihat pemandangan di luar?”

“Hm?”

“Salju mulai turun.”

“Benarkah?” katanya riang dan berjalan cepat ke arah jendela.

Perlu seribu satu macam alasan bagi Tiffany untuk membujuk lelaki itu agar mau melihat salju pertama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pasangan di luar sana. Sementara Taeyeon tidak mengerti mengapa malam ini kakinya melangkah keluar melawan udara dingin, melihat punggung seorang wanita yang mengulurkan tangan menangkap butiran salju tipis dari balik celah jendela.

Taeyeon menggeleng pelan memikirkan mitos salju pertama yang konyol. Namun, ini semua bukan tentang salju.

***

Ketika salju turun, kenangan gadis itu selalu kembali pada suatu waktu dan tempat di masa lalu. Gambaran tentang liburan yang menyenangkan, kado Natal yang dibungkus indah dengan pita merah, minuman sari apel hangat serta kue jahe berbentuk manusia.

Tiffany mendongakkan kepala dan salju melayang turun mengenai pipinya. Matanya berkedip lambat lalu mendesah ringan. Dia melihat para pejalan kaki juga melakukan hal yang sama. Hanya saja wajah mereka terlihat lebih bahagia.

“Salju pada malam Natal terlihat indah,” gumam lelaki tinggi itu.

“Hm, kamu benar.”

“Aku punya tontonan bagus yang cocok untuk malam Natal. Kita bisa maraton film selama sepuluh jam.”

“Tidak. Aku tidak ingin ada lingkaran hitam di bawah mataku saat terbangun di pagi hari. Memangnya film apa yang bisa membuatmu betah duduk di depan layar televisi?”

“Home Alone,” balasnya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi yang rapi.

“Ya Tuhan, kamu sudah menontonnya berkali-kali.”

“Itu sangat lucu dan menghibur.”

“Membosankan. Aku ingin melakukan yang lain.”

“Apa?”

Ice skating.”

“Ice skating?” ulangnya dengan kening berkerut.

Tiffany menganggukkan kepala lalu menoleh ke samping. “Kamu takut?”

“Omong kosong. Aku terlahir sebagai peseluncur es nomor satu.”

Yuri tidak membual ketika mengatakan keahliannya bermain ice skating. Dia melesat cepat di arena seluncur es yang ramai oleh pengunjung; kebanyakan adalah anak kecil dan remaja sekolah. Dengan tangan di belakang punggung, Yuri mengurangi kecepatan secara bertahap hingga sejajar dengan langkah kaki perempuan di sampingnya.

“Baiklah aku mengaku kalah,” gerutu Tiffany dengan pipi bulat menggemaskan.

“Kamu harus memberi hadiah kepada pemenang.”

“Oh, ini pemaksaan. Kita tidak berbicara tentang hadiah sebelumnya.”

“Ayolah, aku tidak akan meminta hadiah yang bernilai tinggi seperti mobil atau rumah. Lagi pula permintaanku ini tidak dapat dibeli dengan uang.”

“Aku tidak ragu untuk membunuhmu jika menyuruh aku menelan permen rasa kotoran itu lagi.” Tiffany bergidik ngeri membayangkan kejadian di masa lalu ketika kalah taruhan melawan dua pria tidak bermoral. Permen rasa kaus kaki basah membuat perutnya mual seharian.

Yuri tertawa. Kemudian meluncur dan berputar di hadapan Tiffany. Lelaki itu mengulurkan sebelah tangannya dan berkata, “berdansalah denganku.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Di atas es?”

“Tentu saja.”

Tiffany menyipitkan matanya, “kamu tidak sungguh-sungguh kan ingin kita berdansa di arena seluncur dan di depan mata semua orang?”

“Kenapa tidak? Itu menyenangkan.”

“Bagaimana jika aku jatuh terpeleset? Orang-orang pasti menertawakanku.”

“Nah, aku akan memegangmu erat-erat.”

Ada sedikit perasaan waswas yang menyelinap ke dalam hatinya selain rasa malu yang membuat pipinya merona kemerahan. Jantung gadis itu berdetak lebih cepat ketika Yuri menggenggam tangannya dan merangkul pinggangnya dengan santai.

“Kamu siap?”

“Sampai seribu tahun pun aku tidak pernah siap melakukan hal ini.”

“Aku tidak akan melepaskanmu jadi cobalah untuk mengikuti gerakanku dengan tenang.”

Yuri mulai menarik pinggang ramping itu dan Tiffany ragu-ragu mengayunkan kakinya ke depan. Itu berjalan mulus. Tidak terlalu menakutkan seperti yang dibayangkan. Mereka meluncur bersama mengelilingi bagian pinggir lapangan, menghindari area tengah yang lebih padat pengunjung.

“Awas saja kalau berani melepaskan tanganku,” teriak gadis itu ketika tubuh mereka berputar-putar. Sebagian orang mulai memperhatikan mereka sebagai tontonan yang menghibur.

“Sudah kubilang, aku pasti menggenggam tanganmu dengan erat. Bukankah selama ini aku selalu menjagamu? Aku akan menangkapmu sebelum kamu sempat terjatuh.”

Tiffany mendongak menatap wajah Yuri yang tersenyum bahagia. Mungkin ini hanya perasaannya saja atau memang ucapan lelaki itu mengandung makna yang luas? Jika dipikir-pikir, Yuri adalah orang pertama yang selalu hadir di sampingnya ketika perempuan tersebut mengalami patah hati.

***

“Kenapa kamu mengemas begitu banyak makanan?” desah Yoona memandang  kotak warna-warni yang tersusun rapi di dalam keranjang.

“Memangnya apa yang dilakukan orang-orang saat pergi berkemah selain makan dan terus makan sampai perut mereka kenyang,” balas wanita tersebut sambil mengangkat bahu ringan.

“Bagaimana kalau kita kembali ke rencana awal saja untuk bermain ski?” katanya mulai menyesali perubahan besar yang terjadi sehari sebelum waktu keberangkatan.

“Tidak mau. Kamu bilang suka pergi camping, kan?”

“Iya tapi itu dulu ketika masih muda. Dan  tidak di saat musim dingin.”

“Kamu tidak bisa membatalkannya begitu saja. Aku telah selesai mengemas barang-barang. Kita juga sudah menyewa tenda. Jadi apalagi yang ditunggu. Ayo kita berangkat sekarang.”

Yoona membuka mulut hendak bersuara tetapi kemudian menutupnya kembali. Terkadang sifat istrinya yang keras kepala memang sulit dibantah dan Yoona sudah terbiasa dengan hal itu. Pada akhirnya dia hanya bergumam, “baiklah kita pergi sekarang.”

Gadis itu masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. Sementara suaminya masih berdiri di luar memeriksa barang di atas mobil. Sangat merepotkan jika ada barang yang tertinggal. Ketika Yoona sudah duduk di balik kemudi, Seohyun mengeluarkan gantungan berbentuk boneka salju.

“Apa itu?”

“Mobilmu terlihat sangat kosong jadi aku membeli aksesoris ini,” balasnya sambil memasang benda tersebut pada spion tengah mobil.

“Hm, ini sangat lucu.”

“Aku akan menambah beberapa aksesoris lain di bagian sini. Mungkin tiga boneka anjing atau kucing yang kepalanya bisa bergerak-gerak.”

Yoona tersenyum kecil melihat boneka salju yang bergoyang di depan matanya. Kemudian dia menyalakan mesin mobil dan mengatur navigasi pada layar monitor menuju lokasi camping terdekat. Kurang lebih memakan waktu selama dua jam perjalanan.

“Lebih baik kamu tidur saja di dalam mobil.”

“Aku tidak mengantuk,” sahut Seohyun sambil menekan-nekan tombol mencari saluran radio yang menarik. Sesekali alisnya mengernyit ketika mendengar lagu yang tidak sesuai dengan selera. Dia baru berhenti ketika menemukan aliran musik klasik.

“Kamu serius?” tanya Yoona begitu mendengar melodi musik yang mengalun lembut.

“Apa?”

“Kalau mendengar lagu ini bukan kamu saja yang akan mengantuk. Kamu mau aku tertidur saat mengendarai mobil?”

“Lagu ini menenangkan.”

“Maksudmu untuk pengantar tidur?” ledek Yoona cekikikan. Tidak berhenti sampai di sana lelaki itu melanjutkan, “sepertinya aku pernah mendengar lagu ini di suatu tempat yang ramai.”

“Di mana?” tanya Seohyun penasaran lantaran pada kenyataannya hanya segelintir orang yang menyukai musik klasik.

“Pemberhentian berikutnya Wangsimni. Stasiun Wangsimni. Pintu ada di sebelah kanan Anda. Para penumpang yang ingin menuju ke pusat kota silakan pindah jalur di stasiun ini.”

“Yah!” teriak gadis itu sambil menepuk keras lengan suaminya.

Dengan cepat lelaki itu menahan telapak tangan yang hendak mengganti saluran radio. “Kamu boleh mendengarkan musik klasik asalkan terus mengajakku berbicara agar mata ini tidak mengantuk.”

Tentu saja tawaran itu diambil dengan senang hati. Seohyun mulai bercerita tentang segala sesuatu yang ada di dalam pikirannya. Tentang menjalani pekerjaan sehari-hari sebagai dokter di rumah sakit hingga kegemarannya membaca buku. Dan entah itu disadari atau tidak, tangan keduanya tidak terlepas di sepanjang perjalanan.

Yoona bukan termasuk kelompok orang-orang yang suka berpegangan tangan. Kembali pada kenangan masa lalu, dia  membiarkan para wanita menggandeng lengannya tetapi bukan berpegangan tangan. Dia merasa tidak nyaman dengan perlakuan itu karena dapat menimbulkan sensasi lembap dan berkeringat.

Namun, apa yang terjadi sekarang? Mereka sudah bergandengan tangan selama hampir lima belas menit. Mungkin itu karena salju tipis yang perlahan turun, membuat telapak tangannya terasa lebih hangat.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks