[ 13 ] Takdir

Sleep Call

“Tunggu sebentar.”

Lelaki itu memaksa dirinya bangun lalu duduk di tepi ranjang. Mengambil waktu sesaat sebelum menyeret kedua kakinya secara bergantian. Dia menyipitkan mata ketika ruangan gelap itu menjadi terang. Selepas menemukan perangkat audio yang tergeletak di atas meja; memasang di telinga kanan dan kiri, Taeyeon kembali merangkak di atas tempat tidur.

“Belum tidur sejak tadi atau terbangun di tengah malam?” tanya Taeyeon sambil mengatur posisi tubuhnya senyaman mungkin.

“Belum tidur,” jawabnya diiringi dengan embusan nafas kuat.

“Lagi merokok?”

“Hm..”

“Masih panjang batang yang tersisa?”

“Tidak banyak,” balasnya mempercepat nyala api membakar gulungan tembakau.

“Apa yang sedang kamu pikirkan sampai tidak bisa tidur begini?”

“Tidak ada,” ucapnya berdusta.

Insomnia tidak ada dalam kamus hidup gadis itu. Faktanya, Jessica sangat mudah terlelap tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Dia bisa tidur di semua tempat; kendaraan umum, ruang tamu bahkan kamar mandi. Dan dia dapat melakukan hibernasi selama dua puluh empat jam.

Mungkin Jessica menganggap pria muda itu mudah dibohongi tapi kenyataannya tidak. Taeyeon tahu bahwa ada bekas luka tersembunyi yang menuntut dirinya untuk hati-hati dalam merangkai kata. Kesalahan kecil saat berbicara dapat menyebabkan sayatan baru di atas luka yang kembali terbuka.

“Aku tidak habis pikir bagaimana layanan sleep call dapat bekerja. Itu aneh. Orang justru tidak mengantuk saat mengobrol.”

“Kita bisa mencari tahu kebenaran dari pendapatmu.”

“Caranya?”

“Pertama, matikan dulu rokokmu. Aku belum pernah melihat orang tertidur dengan rokok di mulutnya.”

Meski tidak menyukai gagasan tersebut tapi Taeyeon benar. Setelah tiga isapan Jessica menggesek ujung rokoknya ke permukaan asbak. “Lalu?”

“Tutup matamu dan tidur,” kata Taeyeon diakhiri suara dengkuran yang keras.

“Bodoh,” gumamnya terdengar jelas di telinga orang lain. Entah siapa yang lebih bodoh di antara mereka berdua karena saat ini Jessica merebahkan tubuh di atas ranjang,  menarik selimut sebatas dada dan memejamkan kelopak matanya.

“Kamu tahu wanita yang bekerja di lantai dua?” tanya yang termuda memecah keheningan. Semua berawal dari obrolan acak yang mengalir begitu saja menemani kebersamaan mereka di balik kegelapan malam.

“Siapa? Ada banyak di sana.”

“Dia memakai kacamata. Rambutnya pendek sebahu.”

“Lee Jieun?” tebaknya agak ragu.

“Hm, semalam aku melihatnya bekerja sendirian di sana. Karena merasa kasihan jadi aku tanya kok sendirian saja, kenapa belum pulang. Dia bilang laporannya harus selesai saat itu untuk persiapan sidang. Terus yang aku pikirkan adalah hebat ya mau menjadi last man standing, tapi entah bagaimana aku malah berkata wah hebat one night stand ya.”

Jessica terkekeh pelan, “kamu sangat memalukan.”

“Ya, aku tahu itu. Rasanya ingin pergi menggali kuburan sendiri ketika wanita itu terdiam dan menatap mataku tanpa berkedip. Apa aku harus meminta maaf?”

“Biarkan saja, nanti juga lupa. Seharusnya Jieun sadar jika kamu hanya salah bicara.”

“Aku juga berpikir demikian. Canggung rasanya mengoreksi kata-kata semacam itu. Aku pernah waktu itu beli sepatu di pusat perbelanjaan. Ada yang modelnya menarik tapi agak bingung dari segi warna karena kalau yang soft begitu kan lebih identik untuk perempuan. Jadi aku tanya ke pelayan toko, sepatu ini untuk pria atau wanita. Terus dia jawab dapat dipakai dua-duanya karena sepatunya hyper. Gila kali ya, yang benar saja, mungkin sepatunya bisa berteriak dan meminta untuk diinjak lebih keras.” Taeyeon tersenyum mendengar suara tawa pelan di seberang sana lalu dia melanjutkan, “rasanya tidak enak kalau memberi tahu bahwa penggunaan kata yang benar adalah uni.”

Jessica memiringkan tubuh ke samping dan meringkuk lebih kecil di bawah selimut tebal. Dia tidak tahu pasti berapa lama waktu berjalan. Mungkin mereka sudah berbicara selama setengah jam atau lebih hingga dia menyadari ada sesuatu yang aneh dengan obrolan mereka. Bukan mengenai isi ceritanya yang lucu melainkan tentang nada suara lelaki itu.

Deep and calm.

“Halo.”

“.........”

“Jessica.”

“.........”

“Tidur?”

Ya, itu jelas. Suara nafas Jessica yang berembus pelan menandakan gadis itu sudah terlelap di alam mimpi.

***

Tiffany menyeduh secangkir teh untuk dirinya sendiri dan membawa dua cangkir kopi sekaligus ke atas meja ruang tengah. Dia meraih biskuit dari dalam kaleng dan mengunyahnya sedikit demi sedikit. Sorot matanya yang teduh menatap dua pria di sana secara bergantian.

“Ada apa?” tanya Yuri tiba-tiba kepada teman wanitanya. Taeyeon menoleh ke samping dan menemukan hal yang sama dengan penglihatan mata Yuri.

Gadis itu tengah gelisah. Ujung jarinya menggambar pola imajiner pada tepi cangkir keramik. Tiffany meletakkan tehnya dengan pelan lalu berdeham. “Hari kelulusanku akan segera tiba.”

“Bulan depan, kan? Aku pasti memakai pakaian terbaik untuk datang ke sana,” sahut Taeyeon merenung sejenak, agak bimbang antara membeli setelan baru atau memakai yang sudah ada. Sangat disayangkan jika pakaian sebagus itu hanya digunakan sekali seumur hidup. Lagi pula tidak ada yang tahu jika itu pemberian dari Jessica.

“Hm, keluargaku akan datang kemari.”

“Oh,” responsnya singkat. Dia hampir lupa tentang orang tua kekasihnya yang tinggal di luar negeri.

“Tenang saja, aku datang bersamamu,” sahut Yuri menepuk paha lelaki yang duduk di sebelahnya.

Hari ini gadis berdarah campuran itu menerima telepon dari orang tua yang mengabarkan bahwa mereka akan tiba dalam waktu dekat. Dua minggu lebih awal dari tanggal yang ditetapkan. Itu membuat Tiffany menggila. Dia belum siap  bertemu orang tuanya. Dia tidak berani mengatakan yang sejujurnya. Dan dia tidak akan pernah sanggup untuk meninggalkan kekasihnya.

Tujuh tahun silam ketika masa kelulusan sekolah Tiffany diberikan hak istimewa untuk memilih jalan hidupnya. Tentu saja  selepas gadis itu menggunakan seluruh tenaga untuk menangis dan mengurung diri di kamar. Setidaknya usaha tersebut membuahkan hasil yang manis pada saat itu. Namun kembali pada masa sekarang, gadis berusia dua puluh lima tahun tidak pantas untuk merengek.

Dia adalah satu-satunya; anak pertama dan terakhir dari garis keturunan keluarga Hwang. Seberapa jauh dia berlari pada akhirnya takdir menjatuhkan gadis itu kembali ke tempat asal. Sudah cukup lama Tiffany menikmati kebebasan dan sekarang tiba saatnya dia diharuskan untuk membayar setiap detik yang terbuang.

Tiffany menatap wajah kekasihnya cukup lama sebelum berpaling ke wajah lelaki lain yang duduk berdekatan. Dia menarik nafas panjang dan mendesah lirih. Tidak ada gunanya mengulur waktu lebih lama. Dengan berat hati dia berkata, “setelah lulus kuliah aku akan pulang bersama keluargaku ke California.”

Tiba-tiba suara benda jatuh mengagetkan semua orang. Cangkir itu tergelincir dari jemari tangan yang terasa lemas.

“Aku pasti salah dengar,” kata Taeyeon tampak linglung mengumpulkan serpihan kaca di lantai.

“Hati-hati dengan tanganmu,” sahut kekasihnya yang bergegas mengambil alat kebersihan.

Taeyeon menghadap Yuri dan memohon, “katakan padanya jika lelucon itu sama sekali tidak lucu.”

Yuri tidak menjawab. Tidak bergerak. Kepalanya menunduk ke bawah dengan tatapan mata kosong. Apa yang bisa lelaki itu katakan selain perasaan sesak yang mengimpit dadanya. Dengan susah payah Yuri menelan bongkahan pahit yang tersangkut di tenggorokan. Dia bertanya, “kapan kamu berangkat?”

Persetan! Taeyeon tidak ingin mendengar  apa pun yang keluar dari bibir gadis itu. Semuanya omong kosong. Dia melesat pergi meninggalkan apartemen dengan membanting pintu depan.

“Aku akan berbicara dengan dia ketika sudah tenang,” kata Yuri memahami wajah cemas sahabatnya.

Tiffany menghela nafas dalam-dalam dan bergumam, “terima kasih, aku berangkat tepat di hari kelulusan.”

***

Nada dering membuyarkan lamunannya. Taeyeon melirik sekilas lalu membuang wajah. Matanya sudah melihat nama yang muncul di layar ponsel tetapi dia tidak lagi ingin berbicara dengan siapa pun.

Lima menit berlalu dan ponsel kembali berdering. Ya, orang yang sama. Wanita itu sudah menghubunginya sebanyak tiga kali berturut-turut dalam waktu singkat. Taeyeon menempelkan ponsel ke telinga tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Hai, kenapa lama sekali menjawab telepon?” tanya gadis itu dengan nada heran. Kerutan di keningnya terlihat semakin jelas ketika hanya mendengar suara angin. “Taeyeon, apa kamu sudah tidur?”

Taeyeon menatap langit-langit kamar dan bergumam, “aku mengalami hari yang buruk.”

Jessica terdiam sejenak. Dia langsung menyadari sesuatu yang tidak beres. Baru kali ini dia mendengar suara Taeyeon begitu murung.

“Apa yang terjadi?”

“Tiffany akan pulang ke California.”

Jessica banyak mendengar tentang nama wanita yang baru disebutkan, tetapi itu bukan dari mulut pasangannya secara langsung. Itu berasal dari Yuri yang bercerita selama dua jam di kedai kopi sementara Taeyeon belum pernah sedikit pun menyinggung masalah kehidupan pribadinya. Jadi sekarang Jessica agak ragu jika lelaki itu merasa cukup nyaman untuk berbagi cerita.

“Dia akan menetap?”

“Mungkin. Bisnis keluarganya berada di sana.”

“Ini pasti sangat berat bagimu.”

“Aku pernah mengalaminya.”

“Apa?”

“Berpisah dengan Tiffany. Rasanya aku mengulang kejadian yang sama. Pada saat itu aku memutuskan hubungan kami karena aku kira dia akan ikut keluarganya setelah lulus sekolah.”

“Tapi kalian masih berpacaran sampai sekarang.”

“Ya, kami tidak sengaja bertemu kembali selepas dua tahun berpisah. Aku merasa seperti mendapat kesempatan kedua.”

“Kamu tidak bisa mengatakan bahwa kesempatan kedua adalah sebuah kebetulan. Itu adalah takdir kalian.”

“Hm, aku harap demikian,” katanya setengah putus asa.

“Kenapa kamu tidak mengambil resiko mempertahankan hubungan kalian?”

“Astaga, itu mungkin tidak akan berhasil. Kamu tidak tahu seberapa jauh Korea Selatan dengan California.”

“Oh tentu saja aku tahu karena aku lahir di negara itu,” balas Jessica tertawa pendek.

Taeyeon terkejut, “benarkah?”

“Hm..”

“Aku tidak yakin dengan hubungan jarak jauh.”

Jessica mendecakkan lidah dengan pelan dan memindah ponsel ke telinga yang satunya. “Anak muda jaman sekarang hanya mau enaknya saja. Kalian harus sama-sama berjuang. Entah kamu yang ke sana atau kekasihmu yang ke sini. Lagi pula sudah ada kemajuan teknologi seperti video call.”

Taeyeon merenung dan berpikir keras. Saran Jessica tidak sepenuhnya buruk. Dia tidak akan tahu jika belum mencoba. Dan seperti kata gadis itu, kesempatan kedua adalah takdir hidupnya bersama Tiffany.  

Namun, satu hal yang sedikit terlupakan. Bukankah pertemuan kedua Taeyeon dan Jessica juga bisa dikatakan sebuah takdir?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks