[ 20 ] EPILOG

Sleep Call

A/N : HAPPY NEW YEAR!


Jessica duduk di meja kerjanya sambil mendengar suara rintik hujan yang turun dari langit gelap menimpa jendela kaca. Sepertinya itu akan berlangsung lama melihat tidak ada tanda-tanda sinar matahari terbit dalam waktu dekat.

Pikirannya melayang pada kejadian itu di mana seorang lelaki membuat kekacauan di tengah malam melalui kata-kata yang menyebabkan perutnya melilit dengan cara yang aneh. Dia ingin berjalan keluar dan menyeret pria tersebut ke dalam ruang kerja tetapi prinsip hidup, harga diri dan egonya yang tinggi mengingatkan dia untuk tidak melakukan hal bodoh.

Dia sudah berada di kantor sejak pukul tujuh pagi. Dan selama itu dia memeriksa tumpukan berkas pekerjaan, membalas pesan elektronik, menunggu pasar bursa buka; apa saja kecuali menyapa rekan kerjanya di luar sana. Jessica menggeleng-gelengkan kepala. Ada secuil perasaan bersalah yang membuat hatinya gelisah.

Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang untuk memikirkan kemungkinan tentang berkencan dengan laki-laki yang lebih muda. Astaga, gagasan konyol itu membuat pipinya terasa panas. Tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan itu selain kehilangan akal sehat. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika melihat mereka berpacaran? Namun, itu tidak seperti dia pernah peduli terhadap gosip murahan.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan yang menggema di setiap sudut ruangan. Sial, dia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dan semoga saja itu bukan orang yang dihindari.

“Masuk,” serunya.

Pintu terbuka perlahan dan hal pertama yang mencolok adalah kepala berambut cokelat. Taeyeon berjalan masuk sambil tersenyum kaku. Dia mengambil tempat kosong pada salah satu kursi kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja.

Jessica menarik kertas yang terlipat di dalam sana dan seketika dadanya terasa sesak. “Kenapa?” katanya tidak mengerti.

“Aku pikir kamu merasa kurang nyaman melihatku berkeliaran di sekitar sini.”

“Kamu salah. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”

Taeyeon tidak berkata apa-apa dan hanya menyunggingkan segaris senyuman. Dia tidak bodoh untuk menyadari perubahan sikap wanita itu yang terus menghindar selama beberapa hari terakhir. Dengan kata lain Jessica pasti mendengar setiap kata yang terucap pada malam itu.

“Kamu sudah menyampaikan hal ini pada bagian personalia?” tanya Jessica dengan cemas. Dia sungguh berharap api dapat keluar dari tangannya dan membakar selembar kertas menjadi butiran abu.

“Ya. Ada beberapa aturan yang ingin aku perjelas jadi kami sempat berdiskusi terkait masalah ini juga.”

“Aku akan membuat surat rekomendasi agar kamu diangkat menjadi pengacara tetap di sini.”

“Aku tidak berpikir itu keputusan yang tepat,” guraunya sambil menyilangkan kedua tangan dan tertawa kecil.

“Mengapa kamu ingin berhenti bekerja? Ada tawaran tinggi di tempat lain?”

“Ya tapi itu bukan alasan utamaku untuk keluar dari sini.”

“Lalu?”

“Saat itu kamu bertanya apakah dia menolakku. Sesungguhnya, aku belum mendengar jawaban apa-apa darinya.”

Kerutan samar di keningnya menandakan gadis itu sedang berpikir keras. Jessica membuka mulut untuk mengatakan sesuatu tapi tampaknya pita suaranya mengalami kerusakan parah.

“Aku sudah memastikan kebenaran dari aturan di perusahaan kita yang melarang pasangan suami istri bekerja dalam satu kantor. Itu tidak berarti aku akan menikah besok hari tetapi aku memiliki pandangan yang serius ke arah pernikahan. Jadi, jika kamu tetap bersikeras mempertahankan posisiku sebagai pengacara di sini maka aku menganggap kamu tertidur pada saat terakhir kali kita berbicara di telepon,” kata Taeyeon seraya bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Derap langkah kakinya berhenti tepat di saat telapak tangan itu menyentuh besi yang dingin.

“Tolong siapkan formulir exit settlement atas nama Kim Taeyeon. Ya, suratnya ada bersamaku. Terima kasih,” kata Jessica sebelum mengembalikan gagang telepon ke tempatnya lalu menandatangani surat pengunduran diri.

Ragu-ragu Taeyeon memutar tubuh dan bertanya, “apa itu berarti ya?”

Jessica menyandarkan punggung pada sandaran kursi, mengangkat bahu dan tersenyum lebar. “Seperti yang kukatakan tingkat keberhasilannya sembilan puluh persen. Setidaknya kamu harus mentraktirku makan malam karena tidak mengalami patah hati.”

***

“Halo,” sapanya menjawab panggilan telepon dengan mata tertutup. Taeyeon tidak perlu repot-repot bangun pagi di hari Minggu tetapi obrolan yang tengah berlangsung menuntut dirinya untuk berguling ke samping tempat tidur.

“Apa? Aku tidak tahu. Ibu harus bertanya sendiri kepadanya. Tunggu sebentar.” Taeyeon menelungkupkan ponsel di atas bantal lalu mengusap lembut pipi wanita yang mendengkur pelan. Dia benar-benar akan mendapat masalah besar jika berani mengacaukan mimpi kekasihnya. Namun, beberapa ciuman di wajahnya mungkin bisa membantu meringankan hukuman. Sejauh ini cara tersebut selalu berhasil.

“Hm, hentikan..” gumamnya mendorong kepala lelaki itu agar menjauh. “Sudah kubilang kamu harus bercukur sampai bersih,” lanjutnya dengan menggosok rahang yang sedikit ditumbuhi rambut halus.

“Ibu menelepon,” bisik Taeyeon sambil mengulurkan ponsel setelah berhasil mencuri ciuman singkat di bibir.

Dia berdeham sesaat membersihkan kotoran yang tersumbat di tenggorokan. Suara serak identik dengan orang yang baru bangun tidur dan wanita itu tidak ingin meninggalkan kesan buruk pada saat jarum pendek menunjukkan pukul sembilan pagi.

“Halo, Nyonya Kim.”

“Jessica! Apa kabar?”

Jessica langsung menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar suara nyaring. “Sangat baik. Kuharap kalian juga sehat di sana.”

“Jangan khawatir, kami sekeluarga sangat sehat!” serunya masih dengan nada tinggi. “Omong-omong, Jessica. Aku baru saja bertanya kepada Taeyeon. Apakah anak pertama kalian akan diberi nama Korea?”

“M-maaf.. A-apa?” kata Jessica tergagap. Sementara itu di sisi lain Taeyeon tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresi lucu pada wajah kekasihnya.

“Aku agak cemas dengan obsesi putraku yang tergila-gila pada wanita blasteran. Oh, jangan tersinggung. Itu bukan hal buruk. Taeyeon beruntung mendapatkan wanita secantik dirimu. Hanya saja lidah kami terlalu sulit mengucapkan nama asing dengan benar. Jadi, aku berharap kalian bersedia memberikan nama Korea untuk cucuku. Aku sudah mencatat beberapa nama seperti...”

“Nyonya Kim, aku tidak hamil,” sela Jessica dengan wajah memerah.

“Oh, tentu saja. Maksudku setelah kalian menikah. Itu hanya tinggal menghitung hari.”

Taeyeon yang sudah menguping obrolan mereka sejak awal segera mengambil alih pembicaraan. “Ibu kirimkan saja daftar namanya melalui pesan. Nanti kami bisa memilih nama yang cocok untuk bayi laki-laki atau perempuan. Maaf ya Bu, aku harus menutup teleponnya sekarang,” balas lelaki itu tergesa-gesa saat melihat kulit putih berkilau menghilang di balik pintu kamar mandi.

Oh, tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Dia tidak mungkin membiarkan Jessica sendirian berada di dalam sana. Dengan kecepatan tinggi Taeyeon melompat dari tempat tidur dan melesat ke depan pintu yang tertutup rapat.

Sial, pintunya terkunci.

***

Jessica melihat kalender di mejanya dan menghitung lompatan tanggal satu per satu hingga berhenti pada hitungan ke empat puluh lima. Ingatannya mencoba kembali pada kejadian enam minggu lalu. Ah, sesungguhnya riwayat semacam itu tidak perlu ditelusuri mengingat mereka berdua melakukan rutinitas yang sama hampir di setiap malam. Atau setidaknya dua sampai tiga hari sekali.

Mungkin dia salah hitung. Terakhir kali datang bulan itu sekitar tanggal sepuluh atau sebelas. Dia menghitung sekali lagi. Kali ini dengan ujung pena yang menusuk setiap kotak di kalender.

Empat puluh lima hari.

“Ya Tuhan..” gumamnya menggeleng-gelengkan kepala.

Tidak, itu tidak mungkin. Umurnya sudah tiga puluh delapan tahun. Bukan bermaksud mengatakan bahwa tidak ada wanita dalam sejarah yang pernah melahirkan di usia tiga puluh tahunan tetapi ini adalah kehamilan pertamanya. Selama tiga bulan Jessica menjalani hubungan yang sangat menyenangkan bersama suaminya di mana pada masa itu mereka sama sekali tidak melakukan tindakan pencegahan untuk terjadinya pembuahan.

Jessica segera bangkit mengobrak-abrik isi dalam lemari. Di mana dia menyimpan benda berwarna putih dengan ujung runcing. Seharusnya itu berada di laci pertama tetapi tidak ada. Dia membuka laci kedua, ketiga dan.. Itu di sana! Dia menemukan alat tes kehamilan di laci paling bawah.

Sepuluh menit.

Setelah meneteskan urine sesuai dengan petunjuk, dia harus menunggu sekitar sepuluh menit untuk melihat hasilnya. Jessica berjalan mondar-mandir di depan wastafel dengan kedua tangan saling meremas. Tiba-tiba langkahnya berhenti begitu mendengar ketukan dari luar pintu.

“Sayang, kamu ada di dalam? Aku sudah menyiapkan makan malam di meja,” kata Taeyeon sambil melepas simpul dasi di lehernya.

Jangan tanya siapa yang menggoreng daging atau menumis sayuran karena mereka berdua sangat buruk dalam hal memasak. Terkadang Jessica akan terlihat sibuk di dapur tetapi itu hanya untuk kopi hangat dan roti panggang. Sementara Taeyeon sama sekali tidak ada harapan. Bahkan untuk memasak mi instan bisa berakhir tragis di tangan pria tersebut. Satu-satunya penyelamat adalah restoran cina yang berada di seberang jalan.

Jessica melirik jarum panjang pada arloji di pergelangan tangan. Lima menit lagi. “Aku akan segera menyusul,” katanya setengah berteriak.

Selang beberapa menit waktu berputar Taeyeon melihat kursi di depannya masih dalam keadaan kosong sehingga lelaki itu memutuskan untuk kembali mengetuk ruang yang tertutup.

“Sayang, kenapa lama sekali?”

Tidak ada jawaban. Itu aneh. Biasanya dia mendengar ocehan dengan nada suara tinggi yang menyuruhnya pergi karena terlalu cerewet. “Hei, apa yang terjadi?” tanya Taeyeon ketika mendorong pintu dan mendapati istrinya dalam keadaan menangis di atas kloset duduk.

Sebelum Jessica sempat mengeluarkan sepatah kata, Taeyeon lebih dulu menarik benda yang berada dalam genggaman tangan. Alisnya berkerut dalam ketika memandang dua garis berwarna merah. Dia beringsut menekuk kedua lutut lalu merangkul pundak Jessica.

“Tidak apa-apa. Gejala sakitnya hanya satu sampai dua minggu pertama. Kamu mau rawat inap di rumah sakit? Tapi aku pikir lebih baik istirahat di rumah saja. Aku bisa merawatmu sampai sembuh.” Taeyeon meletakkan telapak tangan di kening istrinya dan berkata, “syukurlah kamu tidak mengalami gejala demam.”

Cepat-cepat Jessica menghapus air mata dengan punggung tangan lalu menatap sepasang mata yang berkedip pelan. Dia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Taeyeon tetapi tampaknya mereka memiliki isi kepala yang berbeda.

“Ayo, aku antar kamu periksa ke dokter untuk mendapatkan resep obat.”

Ya, dia pasti pergi ke sana tetapi itu nanti ketika pergelangan kakinya membengkak dengan pipi yang menggembung dan sistem pencernaannya melalukan sesuatu yang sama sekali tidak ingin dialami. Dia belum merasa mual ataupun sakit kepala.

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja.”

“Sayang, dengarkan aku. Walaupun kamu tidak merasakan gejala apa-apa tetapi itu tidak boleh diabaikan. Kamu harus minum obat secara teratur sampai dinyatakan sembuh dari covid.”

Jessica terdiam sejenak dan mengerutkan kening. “Aku tidak sakit,” gerutunya lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Dia tidak suka menyembunyikan sesuatu terutama kepada pasangannya tetapi otak lelaki itu sendiri tidak cukup tajam untuk membedakan dua benda yang memiliki fungsi berbeda.

“Itu adalah alat tes kehamilan,” gumam Jessica pelan.

Oh, ya Tuhan.

“Jessica..” suara Taeyeon bergetar. Sial, seluruh tubuhnya gemetar

Gadis itu mengangguk. “Aku hamil.”

“Tapi.. Kenapa kamu menangis?”

“Aku tidak tahu.” Lagi-lagi air mata itu keluar tanpa bisa ditahan. Dia mencoba berpikir, mencari-cari alasan di dalam isi kepalanya yang kosong. Namun, percuma saja. Otaknya sudah berhenti total.

Pada awalnya dia merasa aneh dengan ketegangan emosi yang tiba-tiba meluap. Tapi sekarang, setelah keterkejutan itu memudar, yang bisa Jessica rasakan hanya kegembiraan murni.

“Ini berita yang sangat bagus!” seru Taeyeon menghujani wajah istrinya dengan ciuman.

Perlahan Taeyeon menggendong tubuh kecil itu lalu membaringkannya dengan hati-hati di atas tempat tidur. “Kamu tidak pernah berhenti memberikan kebahagiaan dalam hidupku,” katanya seraya meninggalkan kecupan singkat di puncak kepala.

Jessica meringis dan memejamkan mata ketika selembar selimut ditarik ke atas menutupi tubuh mereka. “Jangan buat ranjangnya bergoyang,” kalimat terakhir yang mereka dengar dalam waktu cukup lama.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks