[ 11 ] Pendekatan

Sleep Call

“Kalian berdua dipanggil kemari karena Ibu ingin melihat anak-anak menyalurkan bakat mereka dengan benar. Bukankah menyenangkan jika kalian bisa bekerja sama?”

Tidak!

Winter berteriak keras tanpa suara. Celaka, terakhir kali mereka diberikan tugas kelompok, itu menjadi bencana besar. Kepanikan dalam dirinya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih menakutkan.

“Aku pikir kelompok paduan suara sudah mempunyai formasi yang lengkap jadi suaraku tidak dibutuhkan di sana,” kilah Winter mencari-cari alasan untuk bisa melarikan diri.

“Oh percayalah, warna suaramu dapat diterima dalam semua aliran musik. Lagi pula tidak ada kerugian menambah satu anggota baru. Apa kamu keberatan, Karina?”

Tolong katakan iya!

“Tidak,” jawab Karina menggeleng pelan.

Sial! Buku-buku jari tangannya mengepal kuat hingga aliran darahnya membeku. Winter membuang nafas kesal karena berada di jalan buntu. Keinginan untuk tampil di acara pentas seni tidak seperti yang dibayangkan. Semua orang tahu bahwa gadis itu punya bakat turunan dalam dunia tarik suara. Mungkin berasal dari ayahnya yang merupakan mantan pemain gitar pada salah satu grup musik di lingkungan anak sekolah.

“Jadi tidak ada masalah di sini. Winter bisa bergabung dan mulai latihan. Ibu akan mengumpulkan beberapa lagu untuk dipilih.”

“Hm, maaf Nyonya Bae, tapi sepertinya aku kesulitan mengikuti jadwal latihan. Akhir-akhir ini rutinitas pemandu sorak sangat padat. Mungkin lebih baik aku tidak mengacaukan latihan mereka,” jelas Winter panjang lebar, menemukan alasan tambahan setelah melihat Pelatih Kang melempar topi di atas meja kerjanya.

“Kang Seulgi.”

Saat itu ruang guru di sekolah mereka terlihat sepi. Tidak ada pengajar lain di sana kecuali guru seni musik dan guru olahraga. Lelaki yang duduk di barisan paling belakang menoleh mendengar panggilan tersebut. “Apa?” gumamnya.

“Bisakah kamu membebaskan Winter dari jadwal latihan?”

“Tidak,” balas Seulgi tegas.

“Aku wali kelasnya.”

“Aku mempunyai hak yang sama sebagai pelatih cheerleaders. Winter adalah ketua jadi sudah sepatutnya dia mencontohkan hal yang benar.”

“Baiklah, aku mengerti. Winter tidak bisa terbebas dari latihan pemandu sorak yang ketat. Namun, barangkali kamu bisa memberinya sedikit kelonggaran.”

“Sudah kubilang, apa pun alasannya tidak bisa.”

“Tunggu sebentar anak-anak,” desis Irene sambil meninggalkan tempat duduknya. Dia berjalan pelan menghampiri meja kerja di sudut belakang lalu berbisik lirih di telinga lelaki itu disertai tawa kecil yang renyah. Mungkin sesuatu yang lucu sedang dibicarakan hingga membuat wajah Kang Seulgi merah merona.

Dalam nada suara berat khas pria dewasa pelatih itu mengatakan, “Winter tidak perlu datang untuk latihan tambahan di akhir pekan.”

***

“Hai, bisa bicara sebentar?”

“Tidak,” bentak Winter memutar bola matanya berlebihan.

“Kita harus bicara tentang peristiwa yang tidak seharusnya... Kau tahu, itu terjadi di luar kendali.”

Demi Neptunus, dia mengakui mulut kotornya yang sulit dikendalikan.

Winter melempar buku-buku tebal ke dalam tas dengan kasar. Lalu melakukan hal yang sama pada peralatan tulis yang tidak bersalah. Dia mencoba mengusir dengungan keras yang menebar racun di dalam kepalanya.

“Aku tidak tahu apa yang... hm, membuat diriku berani melakukan hal itu padahal kamu tahu, ya semua orang tahu, kita selalu ribut dan bertengkar tapi aku... tidak bermaksud melecehkanmu hari itu jadi di sini aku... menyesal dan... maaf,” kata Karina menghela nafas lega setelah berhasil menyelesaikan kalimatnya meski terbata-bata.

Oh, menyesal? Gadis sialan hanya ingin lepas tangan setelah menyebar berita murahan!

Winter tidak peduli dengan permintaan maaf yang terdengar putus asa karena ketika gosip itu menyebar tidak ada yang tersisa selain kebencian gadis itu sendiri terhadap mantan sahabatnya.

“Kamu punya nyali besar untuk berbicara sekarang,” sindirnya tanpa belas kasihan.

“Aku benar-benar minta maaf.”

“Kamu pikir itu cukup?”

“Dengar, aku tidak ingin kita bertengkar.”

“Kalau begitu menyingkirlah. Dan jangan berani muncul di hadapanku.”

***

“Katakan pada Jessica bahwa dia sangat cantik,” kata Taeyeon melalui sambungan telepon yang terhubung dengan teman baiknya di dalam restoran.

“Jangan memuji wanita seperti itu. Dia akan merasa tidak nyaman,” sahut Tiffany memukul lengan kekasihnya. Kepala Yuri terasa pusing membayangkan pasangan itu memulai perdebatan yang konyol.

“Semua wanita senang dipuji,” protes Taeyeon mengeluarkan pendapatnya.

“Mereka baru pertama bertemu.”

“Percaya saja padaku, rayuan ini selalu berhasil.”

Melihat reputasi Taeyeon yang dikenal sebagai pria romantis maka Yuri percaya sepenuhnya dengan apa pun yang keluar dari mulut lelaki itu. Dengan malu-malu Yuri mengatakan, “kamu sangat cantik malam ini.”

Andai saja kalimat manis itu terdengar pada saat Jessica masih berusia belasan tahun, mungkin riasan di pipinya akan terlihat lebih terang. Namun, fase itu telah berlalu dan Jessica tumbuh menjadi wanita dewasa seutuhnya sehingga kata-kata yang baru saja dia dengar terasa menggelikan.

“Terima kasih,” balasnya sopan. “Kamu masih kuliah?”

“Ya tapi aku pastikan lulus tahun ini.”

“Astaga, Yuri membual. Dia bahkan tidak mengerjakan tesisnya dengan benar,” bisik Taeyeon terdengar jelas di telinga orang lain. Yuri memberi catatan khusus untuk mencekik leher pria pendek itu.

“Tanyakan apakah dia punya alergi makanan? Itu penting. Aku hampir mati karena tersedak biji kacang.”

“Kapan aku memberimu makanan yang mengandung kacang?” tanya Tiffany heran. Bahkan sebelum mereka resmi berpacaran, gadis itu sudah hafal tentang jenis makanan yang tidak boleh Taeyeon konsumsi.

“Itu cerita masa laluku.”

“Jadi sampai saat ini kamu masih ingat semua kenangan bersama mantanmu?”

Untuk sementara waktu Yuri harus merelakan sebelah telinganya menjadi panas mendengar keributan di seberang sana. Mengikuti saran sahabatnya Yuri berkata, “apa makanan favoritmu? Ada alergi tertentu?”

“Aku bukan pemilih. Aku makan semua jenis makanan kecuali mentimun dan melon.”

“Kenapa? Apa yang terjadi jika tidak sengaja menelannya?”

“Apa kamu percaya jika aku tidak pernah memakannya sama sekali?”

“Sungguh? Sejujurnya rasa buah melon tidak terlalu buruk.”

“Entahlah tapi aku tidak suka baunya yang menyengat.”

“Aku bahkan tidak sadar jika itu memiliki aroma tertentu. Ngomong-ngomong, apa kamu tertarik pergi ke galeri seni?” tanya Yuri dengan inisiatifnya sendiri karena sampai detik ini lubang telinganya masih menangkap pertengkaran kecil yang tidak penting.

“Oh, aku suka melihat lukisan.”

“Ada pameran yang akan digelar selama satu minggu penuh. Jika ada waktu kosong, mau pergi ke sana?”

Sejenak Jessica termenung menatap cairan bening yang berkilau di dalam gelas kaca. Sepertinya Taeyeon lupa mengatakan jika tidak ada pertemuan kedua di antara mereka. Akan lebih mudah jika menolak pertemuan itu sejak awal sehingga Jessica tidak perlu merasa pusing untuk menyelesaikan permainan.

“Aku penasaran, apa yang ada di pikiran anak muda tentang pasangan wanita yang lebih tua?”

Yuri tidak bisa berkata apa-apa. Selama ini dia hanya menaruh perasaan kepada satu wanita dengan selisih usia yang tidak terlalu jauh; empat bulan. Terima kasih kepada malaikat yang mengirimkan pertolongan tepat waktu. Menyadari keheningan yang berlangsung cukup lama, Taeyeon segera mengambil alih pembicaraan.

“Usia tidaklah penting. Itu cuma sekadar angka yang bertambah setiap tahunnya,” jawab Yuri mengulang kalimat yang sama persis dengan yang Taeyeon katakan.

“Sayangnya, aku punya pemikiran yang berbeda. Rentang usia yang terlalu jauh akan menguras banyak energi. Anak muda pada umumnya, katakanlah yang berusia di bawah tiga puluh tahun, cenderung mengedepankan perasaan. Emosinya tidak cukup stabil untuk mengimbangi pola pikir yang realistis. Aku khawatir kamu akan menyesal di kemudian hari.”

“Apa itu berarti kamu tidak akan pergi bersamaku melihat pameran?”

“Maaf, mungkin lain kali.”

Tiffany mengerang keras dan mengusap wajahnya dengan kasar. Dia paham situasi yang terjadi di sana. Ketika wanita mengatakan lain kali, itu berarti tidak ada kesempatan sama sekali.

***

Yoona terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Sudah tiga minggu berlalu usai pesta pernikahan mereka dan tidak ada satu hari pun dia mendapatkan tidur malam yang nyenyak. Mimpi buruk itu tidak selalu menggambarkan wajah mantan kekasihnya meskipun pada banyak kesempatan gadis itu sering muncul dengan berbagai skenario yang menakutkan.

Seperti malam ini, Yoona bermimpi menggendong seorang bayi. Tidak terlalu jelas apakah itu bayi perempuan atau laki-laki. Pada mulanya tidak ada yang aneh. Semua berjalan wajar dengan suara tawa bahagia hingga kemudian datang seorang perempuan yang mengambil anaknya. Apakah Seohyun? Dia tidak yakin. Mimpinya menjadi kabur dan hilang begitu saja.

“Kamu baik-baik saja?” tanya wanita di sampingnya dengan sebelah mata terbuka. Seohyun terkejut karena merasakan guncangan besar di atas tempat tidur.

“Maaf membuatmu terbangun. Itu hanya mimpi buruk. Tidurlah kembali.”

Gadis itu mencoba kembali tidur tetapi suara langkah kaki yang keluar dari pintu kamar membuatnya tetap terjaga. Dia membuka selimut dan menarik nafas panjang. Seperti inikah kehidupan rumah tangga? Dadanya terasa sesak.

Telapak tangannya berputar-putar di atas perut yang membesar seolah berkata pada anaknya jika semua baik-baik saja. Sepuluh menit waktu berlalu dan lelaki itu belum kembali. Seohyun memutuskan untuk memeriksa keadaan di luar sana.

“Jangan minum itu,” kata Seohyun sambil berjalan menuju dapur. Menuangkan segelas susu lalu menghangatkannya dengan microwave. Setelah menunggu satu menit, dia menghampiri Yoona dan mengambil gelas di tangannya. “Alkohol mungkin membuatmu terlelap tapi pada keesokan harinya kepalamu akan terasa sakit. Minum susu hangat ini agar tidurmu lebih tenang.” 

“Terima kasih.” Keheningan di antara mereka berdua membuat Yoona merasa tidak nyaman. “Kamu bisa tidur lebih dulu.”

Seohyun mendesah, “aku takut kamu mengambil kembali botol minuman keras itu. Haruskah aku membuat peraturan dilarang membawa alkohol ke dalam rumah?”

“Kamu bisa mengumpulkan banyak uang jika menetapkan denda atas peraturan tersebut karena aku pasti melanggar itu,” balasnya tertawa kecil.

“Aku ingin mengenalmu lebih jauh selain nama dan informasi umum lainnya.”

Yoona berdeham dan bergumam pelan, “sejujurnya aku sudah membaca biodata dirimu secara menyeluruh. Aku telah melakukan penyelidikan khusus terhadap latar belakang kehidupanmu sebelum kita menikah.”

“Apa?”

“Maaf tapi aku harus menjamin jika kamu bukan seorang kriminal.”

“Karena kamu seorang jaksa?”

“Ya begitulah.”

“Itu tidak adil. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu.”

“Memangnya apa yang ingin kamu tahu tentang diriku?”

Seohyun menopang dagu dengan kedua tangan. “Semuanya.”

***

Jessica nyaris terjatuh jika bukan karena tangan Taeyeon yang bergerak cepat menahan berat badannya. Permasalahan yang sedang ditangani menyita seluruh perhatian, waktu dan tenaga. Tuntutan jaksa penuntut umum tidak main-main, hukuman mati untuk kasus dugaan korupsi oleh salah satu pejabat negara.

Kembali pada masa remaja, gadis itu mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pengacara atas dasar keadilan sosial. Itu tidak bertahan lama ketika dihadapkan pada kenyataan pahit. Kebanyakan kasus yang masuk berkaitan dengan kotoran hidup manusia. Terlalu naif jika harus menolak itu semua sementara Jessica masih membutuhkan uang untuk biaya hidupnya sendiri.

“Aku ambilkan minum,” kata Taeyeon setelah memastikan gadis itu duduk dengan benar.

“Tadi pagi sudah sarapan?” lanjutnya sambil meletakkan segelas air mineral di atas meja.

Jessica menggeleng, “belum.”

“Pantas saja wajahmu kelihatan pucat. Mau makan apa? Biar aku belikan di luar.”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja,” jawab gadis keras kepala itu dengan mata terpejam.

Tiba-tiba saja Jessica terkejut merasakan telapak tangan dingin yang berada di atas keningnya. “Singkirkan tanganmu,” geram perempuan tersebut menangkis lengan Taeyeon.

“Syukurlah kamu tidak demam.”

“Keluar.”

“Apa?”

“Keluar dari ruanganku sekarang. Dan ingat, gunakan panggilan formal di dalam kantor.”

Taeyeon terkekeh, “baiklah Nona Jung.”

Jessica memejamkan mata kembali dan merasakan sekelilingnya berputar. Sakit kepalanya bertambah buruk ketika sedang datang bulan. Istirahat selama beberapa menit akan sangat membantu memulihkan kondisi tubuhnya yang kurang sehat.

Selang tiga puluh menit waktu berjalan Taeyeon mengendap-endap memasuki ruangan tanpa suara. Dia melihat gadis itu tertidur di tempat yang sama sehingga tangannya bergerak dengan hati-hati meletakkan sekotak makanan di atas meja. Dan Taeyeon sudah memastikan tidak ada mentimun di dalamnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks