[ 5 ] Titik terang

Sleep Call

“Bibi, satu botol soju lagi” ulang gadis itu sambil menggoyang-goyangkan botol kosong berwarna hijau.

“Kamu sudah minum terlalu banyak” sela Yuri meneguk minuman yang baru saja dituangkan ke dalam gelas.

“Memangnya kenapa? Aku belum mabuk” katanya mendengus kesal.

Tiffany mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap minuman beralkohol. Satu botol soju tidak akan membuatnya tumbang. Dia masih bisa berdiri tegak, berbicara dengan jelas dan pandangan mata yang fokus. Sedikitnya dia perlu menghabiskan dua botol.

“Sebaiknya kita pulang”

“Tidak. Kalau kamu mau pulang, pergi saja. Tinggalkan aku sendiri di sini”

Yuri terdiam memperhatikan temannya meneguk soju yang tersisa dalam botol sampai habis, kemudian menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan lengan tertutup. Di saat Yuri mengira gadis itu mulai hilang kesadaran, dia dikejutkan oleh pemandangan pundak yang berguncang dengan suara isak pelan.

“Jangan menangis” kata Yuri sambil mengelus lembut puncak kepala teman wanitanya.

“Dia tidak tahu seberapa keras aku memperjuangkannya di hadapan kedua orang tuaku”

“Itu juga tidak mudah bagi Taeyeon. Dia sangat sensitif terhadap masalah ini. Aku tidak memihak siapa pun. Kalian sama-sama terluka”

“Aku tidak sengaja melukai harga dirinya. Menurutmu dia akan memaafkan aku?”

“Mungkin, yang aku tahu Taeyeon sangat mencintaimu”

“Kami sudah tidak bertukar kabar selama dua minggu. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Bagaimana jika dia meminta putus?”

“Apa kamu akan mengabulkannya?” kata Yuri membalikkan pertanyaan.

“Entahlah” kata terakhir yang terucap dari bibir gadis itu sebelum kelopak matanya tertutup rapat.

Sangat sulit menjalankan sebuah perahu dengan satu dayung. Terkadang itu hanya berputar-putar di tempat yang sama. Sekalipun ada kemajuan, perahu tersebut akan berjalan sangat lambat.

Bagian tersulit menolong sahabatnya ketika mabuk bukanlah tentang berat badan yang berada di punggungnya, melainkan seberapa kuat mentalnya mendengar jeritan hati yang tersayat. Yuri berhenti sejenak memperbaiki posisi tubuh Tiffany yang miring ke kanan. Kemudian melangkahkan kaki kembali menyusuri koridor yang sunyi.

“Astaga!” teriak Yuri terkejut melihat sosok lelaki yang duduk dalam kegelapan  ketika membuka pintu apartemen.

“Berapa banyak yang dia minum?” tanya Taeyeon menyalakan lampu ruang tengah dan membuka pintu kamar. Dengan hati-hati dia memindah berat tubuh itu ke atas tempat tidur.

“Dua botol soju” ucapnya pendek lalu berdeham. “Mau minum bir?”

 “Sepertinya masih ada beberapa kaleng di dalam kulkas” kata Taeyeon berjalan keluar menutup pintu kamar diikuti Yuri di belakang.

Lelaki tinggi itu berdiri dekat jendela memandangi deretan pohon pada tepi jalan dengan sekaleng bir dingin di tangan kanan. Dia masih ingat peristiwa enam tahun lalu di atap gedung sekolah. Andai saja waktu dapat berputar kembali, bisa dipastikan dia akan mengambil pilihan yang berbeda.

“Tinggalkan dia” kata Yuri dengan nada suara rendah.

Taeyeon menyesap minumannya secara perlahan. “Hm?”

“Tiffany menangis. Kamu tidak menepati janjimu”

“Ah, kamu masih mengingatnya” kali ini Taeyeon menangkap ke mana arah pembicaraan mereka. Janji di antara dua lelaki yang mencintai satu wanita.

“Tentu saja” alasan kuat mengapa dirinya masih berstatus lajang.

“Aku pikir setelah sekian lama kami berpacaran kamu akan menyerah”

“Aku hampir menyerah jika saja tidak melihat Tiffany menangis malam ini”

“Aku datang ke sini untuk meminta maaf”

“Apa itu berarti kamu ingin melanggar perjanjian kita?” suaranya mulai pecah menahan amarah dalam dirinya.

“Lelaki sejati akan memperjuangkan cintanya dengan sekuat tenaga”

“Itu yang aku lakukan sampai detik ini”

“Omong kosong. Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu tidak melakukan apa-apa selama bertahun-tahun”

“Aku menulis puisi untuknya” sanggah Yuri. Itu adalah selembar kertas tak bernama yang terselip di laci meja sekolah.

“Aku menyanyikan lagu favoritnya”

“Aku menjaga Tiffany dari patah hati”

“Aku yang mengobati luka itu ketika dia dicampakkan oleh Nichkhun”

“Lucu, pada akhirnya kamu memberikan luka yang sama” Yuri tertawa kering mengejek lelaki itu.

“Kami belum putus. Aku sedang berusaha memperbaiki hubungan ini”

“Dengan cara apa? Menggandeng tangan perempuan lain saat menonton film di bioskop? Atau memeluk tubuh wanita muda yang menangis karena patah hati? Seberapa keras kamu menyangkalnya, itu tidak mengubah fakta bahwa kamu  berselingkuh. Kamu yang terburuk, Taeyeon”

Di saat mereka berdua tenggelam dalam pertengkaran sengit, tanpa mereka sadari seorang wanita menangis di balik selimut. Tiffany menutup mulutnya dengan telapak tangan menahan air mata yang terus mengalir.

***

Tidak semua romansa percintaan berjalan bahagia layaknya cerita dongeng putri kerajaan yang hidup bersama pangeran berkuda putih. Riwayat asmara Romeo dan Juliet dikenang tragis di bawah pusaran kematian. Kisah cinta Jack dan Rose tenggelam bersama kapal Titanic di dasar laut. Lalu mungkin, perasaan Yoona dan Jessica akan terkubur di kaki Gunung Fuji.

Dari sekian banyak liburan yang mereka habiskan bersama, perjalanan kali ini mengukir kenangan yang tak terlupakan. Jessica bukan tidak melihat gelagat aneh kekasihnya yang tampak jelas sejak awal. Yoona selalu menghindari kontak mata secara langsung. Gadis itu bertanya-tanya apa yang salah pada hubungan mereka. Itu tidak masuk akal.

Jesica kebingungan menangkap kata-kata yang keluar dari bibir pria tersebut. Pandangannya menatap lekat pada pupil mata yang bergetar; mencari setitik harapan jika semua ini hanya ilusi belaka. Raut wajahnya terlihat lelah dan pucat. Dia diam tak bersuara sementara Yoona menjelaskan apa yang perlu diungkapkan.

Konon katanya, lama masa berpacaran akan berbanding lurus dengan lama masa merelakan. Itu berarti dia membutuhkan waktu empat tahun untuk melupakan segala kenangan, mimpi dan harapan. Ironisnya, gadis itu tidak diberikan cukup waktu untuk menerima kenyataan.

“Ini kamu serius minta putus?”

“Maaf ya”

“Kenapa?”

“Kamu berhak bahagia bersama lelaki lain yang lebih baik”

that !

Kebahagiaan seperti apa yang bisa dia percaya saat ini setelah hatinya hancur berkeping-keping. Semua lelaki sama saja; brengsek. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sana. Jessica memaksa kakinya berjalan tanpa menoleh ke belakang. Setidaknya dia tidak menangis atau begitulah kesan yang dia tinggalkan di mata pria itu. Dia harus terlihat kuat meski nyatanya air mata tidak berhenti mengalir setelah dia membalikkan tubuh.

Yoona menarik nafas dalam-dalam menatap punggung Jessica yang pergi menjauh. Ada jenis cinta yang ditakdirkan untuk hidup terpisah. Tidak bisa memiliki raga satu dengan lainnya walaupun hati mereka berteriak. Mustahil rasanya untuk bisa bersama. Hingga pada akhirnya Yoona memilih untuk melepaskan dan menyimpan rindu seumur hidup.

Bagaimana pun masa kehamilan terus berjalan seiring bertambahnya waktu. Karena pola makan bertambah pada tubuh Seohyun yang langsing, perubahan bentuk di perutnya mulai terlihat samar ketika memasuki usia kandungan empat bulan. Oleh sebab itu, Yoona tidak bisa mengulur waktu lebih lama.

***

“Seohyun” panggil Sunny lebih keras sambil menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan tatapan mata yang kosong.

“Maaf. Sampai mana tadi kita bicara?”

“Kamu melamun lagi”

“Banyak hal yang sedang kupikirkan” katanya agak ragu mempertimbangkan apakah perlu bercerita tentang masalah hidupnya yang rumit. Tiba-tiba ponsel yang berdering nyaring mengalihkan perhatian gadis itu.

“Siapa?” tanya Sunny tanpa berhenti mengunyah makanan di dalam mulut. Alih-alih menjawab, Seohyun justru pergi menjauh dari kafetaria.

“Halo” katanya menempelkan ponsel ke telinga.

“Ini aku, Yoona. Apa kamu sibuk?”

“Sekarang aku sedang istirahat makan siang. Kamu ingin bertemu?”

“Tidak. Aku masih berada di Jepang. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa..” terdapat jeda tiga detik sebelum Yoona melanjutkan “..hubunganku telah berakhir”

Tidak ada kebahagiaan yang layak di atas penderitaan orang lain akan tetapi dia merasa lega masalahnya menemukan titik terang. “Terima kasih” ucap Seohyun tulus.

“Bisakah kamu mengurus sisanya?”

“Ya, tentu saja. Persiapannya sudah mencapai sembilan puluh persen”

“Hari ini aku pulang dengan penerbangan terakhir. Kita bisa bertemu lusa”

“Hm, apa ini berarti aku sudah boleh menyebar undangan? Aku merasa tidak nyaman menyembunyikan hal ini terlalu lama dari sahabatku”

“Tidak masalah”

“Baiklah. Kalau begitu sampai bertemu dua hari lagi” kata Seohyun mengakhiri sambungan telepon dan berjalan masuk menuju meja di sudut ruangan.

“Malam ini Yonghwa mengajak minum di tempat biasanya. Kamu ikut, kan?”

“Nah, aku sudah berhenti minum alkohol”

Sunny menempelkan telapak tangan di kening temannya. “Kamu sakit?”

“Aku baik-baik saja” kata Seohyun seraya menepis tangan itu dengan ringan.

“Tidak ada manusia yang mau berhenti minum-minum kecuali sedang berumur pendek”

“Atau mungkin dia itu ingin menerapkan pola hidup sehat”

Sunny tersentak kaget mendengar suara malaikat pencabut nyawa di belakang tengkorak kepala. Dia tidak habis pikir dari semua kursi kosong di kafetaria mengapa Dokter Choi memilih duduk di sampingnya.

“Menu makan siang hari ini sangat istimewa jadi aku buru-buru kemari setelah melakukan operasi panjang. Oh iya, bentar lagi masa magang kalian akan selesai. Sudah memutuskan untuk bergabung di bagian mana?”

“Aku ingin mengambil spesialis anak” jawab Sunny penuh keyakinan.

“Kenapa bukan spesialis jantung? Aku sudah sering mengajakmu bergabung melihat operasi secara langsung. Asal kalian tahu saja, kami adalah bagian terbesar yang menghasilkan pemasukan di rumah sakit ini”

“Terima kasih, Dokter Choi. Aku dapat belajar banyak hal berkat kesempatan yang kamu berikan. Namun, ini adalah impianku. Melihat anak-anak tersenyum lucu tanpa rasa sakit” Sunny mengatakan alasan sebenarnya selain fakta lain yang tersembunyi. Dia merasa cukup tertekan bekerja sama dengan lelaki itu.

“Begitu rupanya. Sejak awal aku tidak memiliki peluang untuk mengubahnya. Bagaimana denganmu?” kali ini Sooyoung melempar pertanyaan kepada junior lain yang diharapkan mau bergabung. Jujur saja dia mulai kewalahan menangani jumlah pasien yang semakin banyak.

“Aku terpaksa menunda itu sampai dua atau tiga tahun ke depan”

“Kenapa?”

Seohyun menarik nafas dan tersenyum kecil. “Aku harap kalian bisa datang di acara pernikahanku”

***

Sepatu hitam itu terasa lebih berat dari yang biasa digunakan sehingga dengan wajah tertunduk Karina menyeret telapak kakinya secara bergantian, menendang permukaan lantai di sepanjang lorong menuju ruang kelas. Ingatannya tidak bisa menghapus peristiwa mengerikan yang terjadi minggu lalu. Itu memalukan.

Pepatah mengatakan gunakan mata untuk berjalan. Akibat kecerobohannya sendiri, tubuh Karina sedikit terhuyung ke belakang ketika menabrak seseorang. Dia hampir terjatuh tetapi pertolongan datang dengan cepat mengembalikan keseimbangan tubuhnya.

“Te..” tiba-tiba kalimatnya tersangkut di tenggorokan. Karina tercengang melihat wajah siswa yang menolongnya. Gadis berseragam warna-warni dengan rok pendek di atas lutut; Winter.

“T-terima k-kasih” ucapnya terbata-bata.

Winter berjalan tegak meninggalkan Karina tanpa sepatah kata. Tatapan mata dingin itu menyiratkan seluruh kata yang tak terucap. Amarah dan kebencian.

Luar biasa. Bagaimana bisa mereka bertukar tempat? Biasanya Karina yang merasa kesal melihat wajah Winter tersenyum palsu. Namun sekarang dia merasa malu untuk sekedar bertatap muka.

Ya Tuhan, bisa-bisanya dia mencium ketua regu pemandu sorak. Tapi di atas itu semua, kenapa Winter membalas ciumannya? Mengapa gadis itu tidak mendorong tubuhnya atau menampar wajahnya?

Kening Karina berkerut dalam mencari kepingan memori yang tertinggal. Saat itu dia mendorong tubuh Winter ke dinding. Kedua telapak tangannya mengambil seikat kain di pinggang gadis itu. Lalu kejadian selanjutnya berjalan begitu cepat. Bibir mereka bersentuhan dan lengan Winter melingkar di lehernya.

Tunggu, apa dia membayangkan hal yang benar? Karina takut jika itu adalah ilusi yang keliru. Tapi semuanya tampak nyata. Dia tidak mungkin salah merasakan jari-jari tangan yang terselip di belakang ikal rambut untuk menarik kepalanya lebih dekat.

Apa arti semua ini? Bisa jadi, ya mungkin saja, Winter juga menginginkan ciuman itu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks