[ 16 ] Bimbang

Sleep Call

Lelaki itu belum membuka suara sejak mereka memesan makanan lima menit lalu. Suasana canggung terasa begitu kuat hingga membuat yang tertua gelisah di tempat duduknya. Merasa perlu melakukan sesuatu untuk meredakan ketegangan, Jessica menelan ludah dan berdeham, “apa kamu marah?”

“Kenapa aku harus marah?” balasnya balik bertanya menghindari tatapan wanita di seberang meja.

“Setelah putus dengan Yoona aku tidak berniat mempunyai hubungan percintaan dengan lelaki mana pun tapi tiba-tiba sebuah undangan datang lebih cepat dari yang kubayangkan.”

“Kamu mau minum?” sela Taeyeon cepat. Sedikit kandungan alkohol di dalam tubuh dapat membantu orang-orang untuk lebih santai dan terbuka.

“Berikan aku bir dingin.”

Taeyeon bangkit menghampiri lemari pendingin di sudut belakang restoran. Mengangkat dua minuman beralkohol dalam kemasan berbeda. Kemudian dia mengembalikan botol coklat di tangan kanannya setelah Jessica menunjuk kaleng biru di tangan kirinya.

“Jangan begitu,” tegur Jessica ketika melihat lelaki itu membersihkan pinggir kaleng minuman dengan selembar tisu.

“Kenapa? Aku harus membersihkannya untukmu.”

“Apa kamu selalu bersikap seperti ini?”

“Ya, tentu saja.”

“Belum ada rekan kerja yang melakukan hal ini kepadaku. Biasanya mereka hanya memberikan minuman dan aku akan membersihkannya sendiri.”

Taeyeon mendecakkan lidah dan berkata, “perbanyaklah bergaul dengan orang baik seperti diriku.”

“Tapi sebagai seorang wanita, mungkin aku akan cemburu jika melihat kekasihku melakukan hal ini kepada perempuan lain,” sahut Jessica menerima kaleng yang sudah terbuka dan meneguknya dengan cepat hingga tersisa setengah bagian. Dia menatap Taeyeon dan melanjutkan, “jangan bersikap terlalu baik terhadap teman wanita. Kamu harus menjaga perasaan kekasihmu.”

Taeyeon meringis dalam hati mendengar kata kekasih. Sudah satu bulan dia tidak mendengar kabar mantan kekasihnya. “Ternyata untuk menikah itu tidak cukup hanya dengan modal cinta.”

“Itu sudah jelas,” gumam Jessica dengan nada geli mendengar pemikiran anak muda.

Taeyeon mengempaskan punggung ke kursi dan mendesah pelan, “aku ingin menjadi orang kaya. Punya mobil dan rumah besar.”

“Kalau begitu lebih baik kamu berhenti menjadi pengacara dan melakukan pekerjaan lain.”

“Apa?” tanya Taeyeon serius.

“Berkeliling dari rumah ke rumah. Aku bisa bantu menjaga lilin untukmu,” balas Jessica merasa yakin gurauannya akan membuat lelaki itu sebal setengah mati. Dia menutup mulutnya yang tertawa lepas dengan sebelah tangan. “Lihat, telingamu menjadi merah. Kamu pasti sangat kesal.”

“Aku tidak bercanda soal menjadi orang kaya.”

“Aku juga tidak asal bicara memintamu mundur jika tujuan utama kamu adalah menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat. Bahkan seorang pengacara berkewajiban memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu.”

“Ya, aku tahu itu. Tapi bukan berarti tidak bisa, kan? Aku lihat orang-orang datang ke kantor menggunakan mobil pribadi.”

“Setidaknya kamu harus melewati masa magang selama dua tahun. Aku telah memeriksa pekerjaanmu setiap hari dan mungkin aku akan menendangmu keluar pada tahun pertama.”

“Kenapa?”

Jessica menyipitkan mata dan berusaha menahan emosi untuk tidak memukul tengkorak kepala lelaki itu. Astaga, kenapa Taeyeon begitu percaya diri dan tidak menyadari kekurangannya.

“Kamu masih perlu banyak belajar dan itu membutuhkan waktu yang panjang. Bisa kamu lihat bagaimana aku mengoreksi laporanmu dan mencoretnya hampir di setiap halaman. Saranku adalah jangan terburu-buru. Begitu kamu menentukan kasus pertama yang ingin diselesaikan maka kariermu sedang dipertaruhkan. Tidak ada kesalahan, tidak ada kegagalan. Orang-orang hanya mengingat nama pemenang.”

Taeyeon mengangguk, “menurutmu apakah wanita mau menunggu lama?”

“Kamu mau jawaban jujur?”

“Hm..”

“Kamu brengsek.”

“Apa?”

“Kamu memberi Tiffany cincin namun tetap memutuskannya. Jika tahu akan berakhir begitu, aku tidak pernah mau meminjamkan jariku untuk mencoba cincin tersebut.”

“Apa salahnya itu sebagai hadiah kenang-kenangan.”

“Tentu saja salah besar. Ibarat peribahasa kepala dilepas tapi ekor dipegang. Kamu pengecut, tidak berani mengambil risiko. Kalau mau putus ya putus saja. Jangan buat dia menunggumu, apalagi memberi harapan kosong.”

“Aku masih mencintainya,” gumam lelaki itu tanpa sadar.

“Tapi..”

“Hm?”

“Selalu ada kata ‘tapi' terselip di setiap kalimat yang bertolak belakang.”

Taeyeon berpikir sejenak lalu meringis, “tapi orang kaya yang menikah dengan orang miskin hanya ada di dalam drama televisi.”

Jessica mengambil makanan di atas piring dan mengunyahnya perlahan. Ayam goreng tepung memang paling cocok dinikmati bersama minuman beralkohol. Dia meneguk birnya hingga habis lalu berceloteh, “setidaknya umur yang masih muda memberimu banyak kesempatan untuk menemukan kembali cinta yang lain. Kalau berumur tua seperti aku ini, bernafas saja rasanya sudah capek.”

Taeyeon memiringkan kepalanya sedikit. “Tapi sepertinya tadi tidak begitu.”

“Apa?”

“Kamu mengatur nafasmu dengan baik saat berciuman.”

Tatapan tajam yang dilemparkan gadis itu membuat Taeyeon menelan ludah. Diam-diam dia menyingkirkan benda-benda yang mungkin dilemparkan ke wajahnya. Jessica tidak mungkin melempar ponsel, itu terlalu berharga.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Taeyeon menyambar jas dari sandaran kursi dan melangkah lebar keluar dari restoran.

***

Yoona menghela nafas berat. Matanya menatap kosong pada selembar kertas di tangan, bimbang apakah dia harus menandatangani surat gugatan cerai tersebut atau membuangnya ke dalam tempat sampah.

“Yoona,” sapa Seohyun tiba-tiba muncul di ambang pintu ruang kerja.

“Oh?” kata lelaki itu memandang ke depan sambil menggerakkan tangannya dengan cepat menyimpan kertas itu ke dalam amplop.

“Aku sudah memasak ayam kuah pedas favoritmu. Ayo, kita makan malam.”

“Hm, aku akan segera ke sana.”

Ketika pintu tertutup Yoona langsung memejamkan mata dan mengembuskan nafas lega. Dia meremas jantungnya yang berdebar dua kali lebih cepat. Untuk saat ini dia merasa belum siap memberi tahu Seohyun tentang keputusan tersebut. Mungkin setelah kondisi mental gadis itu telah pulih, dia bisa menjelaskannya secara perlahan. Dengan hati-hati Yoona menyimpan amplop coklat itu ke dalam laci dan menguncinya.

“Kenapa kamu masak banyak sekali?” tanya Yoona sambil menggelengkan kepala melihat satu menu makanan dalam porsi besar.

“Ini kesukaanmu jadi kamu harus makan banyak,” balasnya dengan memberikan potongan ayam di atas piring suaminya.

Yoona duduk termenung melihat senyum di wajah gadis itu. Dadanya terasa sesak menerima segala kebaikan yang tidak pantas dia dapatkan. Dia menarik nafas dalam-dalam, memikirkan cara yang tepat untuk membalas kebaikan istrinya.

“Kamu ada waktu di akhir bulan?”

Seohyun terdiam sejenak menggigit ujung sumpit. “Untuk?” katanya balik bertanya.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.”

“Ke mana?” serunya bersemangat.

“Bagaimana dengan pergi berseluncur ketika salju sudah turun?”

“Itu menyenangkan.”

Kenapa malam ini Seohyun terus tersenyum? Itu membuat Yoona kesulitan menyusun kata-kata yang tepat tanpa merusak kebahagiaan di wajahnya. Pembahasan tentang musibah yang menimpa keluarga kecil mereka tidak pernah sampai keluar dari mulut keduanya.

Masih membekas kuat di ingatannya saat menerima telepon dari pihak rumah sakit pada bulan lalu. Yoona nyaris menabrak tiang pembatas jalan jika tidak segera menginjak rem. Hatinya terasa hancur mendengar kabar buruk itu. Yoona mungkin bukan sosok suami yang baik tetapi dia berani bersumpah jika rasa sayangnya terhadap bayi itu melebihi rasa cintanya terhadap dirinya sendiri.

Lalu apa yang terjadi sekarang? Bisikan halus menyusup ke telinganya dan mempermainkan hati manusia yang rapuh. Dia kira itu adalah jawaban dari doanya selama ini untuk kembali ke pelukan Jessica. Terhanyut ke dalam pikiran yang berkabut Yoona tidak bisa membedakan bisikan setan dan malaikat.

“Aku pikir,” kata Seohyun ragu-ragu. “Aku pikir sebaiknya kita mendekorasi ulang kamar sebelah.”

“Kamar sebelah?” ulang Yoona kaget.

Seohyun mengangguk, “mungkin kita bisa mengembalikan cat dindingnya dengan warna putih. Lalu untuk barang-barang yang sudah dibeli bisa didonasikan ke panti asuhan atau pasien di rumah sakit ibu dan anak.”

“Kamu baik-baik saja?” tanya Yoona cemas.

“Kamu tidak perlu khawatir tentang diriku,” balasnya tenang. “Aku yakin putri kita sedang bermain dengan malaikat kecil di sana.”

Tiba-tiba Yoona merasa kepalanya pusing. Pandangannya berhenti pada wajah wanita yang tersenyum simpul dengan sinar mata redup.

Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Aku pasti benar-benar sudah gila jika menceraikan wanita yang begitu sempurna.

***

“Aku tidak tahu jika kamu terlibat dalam proyek ini,” gerutu gadis itu dengan lengan terlipat di depan dada.

Yuri menoleh ke arahnya. “Kaget?”

“Sangat!” Tiffany menyipitkan mata lalu bertanya dengan nada curiga, “katakan apa lagi yang kamu sembunyikan?”

Aku menyukaimu.

Itu adalah rahasia terakhir yang masih Yuri simpan sampai detik ini. Dengan senyum menawan dia menyilangkan kedua tangan dan berkata, “tidak ada.”

“Ayahmu tidak menyampaikan apa-apa?” lanjut Yuri bertanya.

Kali ini Tiffany tidak langsung bersuara. Dia menggaruk dagunya dengan ujung jari telunjuk dan berpikir. Ah, dia ingat sekarang. Ayahnya pernah menyebut tentang anak temannya yang akan bergabung untuk menggantikan arsitek yang mendadak mengundurkan diri dalam proyek pembangunan hotel keluarga Hwang. Dia hanya tidak menyangka jika yang dimaksud adalah anak dari Tuan Kwon yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri.

“Kamu seharusnya memberi tahuku lebih awal. Berapa lama kamu tinggal di sini?” tanya Tiffany, sedikit berharap pria tinggi itu mau tetap tinggal selepas masa kontrak.

“Paling cepat satu tahun kalau tidak ada kendala berat di lapangan. Kenapa? Kamu tidak ingin aku pulang? Aku bisa menetap di San Fransisco jika kamu mau,” balasnya mengangkat bahu ringan.

Tiffany mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dia merasa Yuri bisa membaca pikirannya melalui tatapan mata dan itu berbahaya. Bagaimana jika lelaki itu juga bisa menebak tentang perasaan dirinya yang berbunga-bunga lantaran bertemu dengan teman lama, mungkin? Itu membuatnya merinding.

“Tiffany.”

Gadis bermata indah itu mengerjap dan tersadar kembali dari lamunan. “Hm?” gumamnya sambil menatap Yuri.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?”

Tiffany menyunggingkan seulas senyum kecil dan menjawab, “tidak ada.”

“Ngomong-ngomong, apa kalian..” kata Yuri agak ragu, “masih berkomunikasi?”

Tanpa menyebutkan nama seseorang dengan jelas, perempuan itu tahu siapa yang sedang dibicarakan. Tanpa sadar dia menyentuh cincin di jari manisnya dan mengutuk diri dalam hati. Bodoh, apa yang diharapkan dari mantan pacar yang tidak pernah mengirim pesan apalagi menelepon.

“Tidak,” kata Tiffany dengan nada sambil lalu dan mengibaskan sebelah tangan.

“Kenapa?”

“Entahlah. Dia tidak menghubungiku dan aku tidak mencarinya.”

“Siapa yang memutuskan untuk berpisah? Kamu atau Taeyeon?”

“Apa itu penting?” katanya balik bertanya dengan kening berkerut samar. Gadis itu menatap temannya dan melanjutkan, “aku pikir kalian saling berbagi cerita.”

“Taeyeon tidak mengatakan apa-apa. Dia bahkan tidak mengantar kepergianku ke bandara.”

“Dia tahu kamu pergi ke California?”

Yuri mengangguk kecil, “ya.”

“Lalu apa katanya?”

Mereka saling bertukar pandangan untuk beberapa detik sebelum yang termuda menggeleng pelan. “Tidak ada. Kami jarang menghabiskan waktu bersama semenjak kepergianmu. Taeyeon terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya. Aku yakin suatu hari nanti dia akan menjadi pengacara besar.”

“Begitu rupanya,” gumamnya pelan.

“Jadi siapa, kamu atau dia?”

“Astaga, kamu tidak akan melepaskan aku dari pertanyaan itu bukan?”

“Tentu saja. Aku ingin tahu.”

“Dia,” jawab Tiffany enggan.

“Hm, kamu masih menyimpan perasaan untuknya?”

“Tidak.”

Yuri sungguh tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Dia tersenyum lebar dengan hati yang melambung tinggi. Sementara Tiffany tidak sadar betapa bahayanya satu kata yang terucap. Mulut gadis itu bisa saja membohongi orang lain. Namun, tidak dengan cincin yang melingkar di jarinya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks