[ 10 ] Kencan buta

Sleep Call

A/N : multiple update dari chapter 6 - 10


“Halo,” sapanya menjawab sambungan telepon masuk. Ponsel yang terjepit di antara telinga dan bahu kiri membuat Taeyeon kesulitan mengurai ikatan simpul yang mencekik leher.

“Tunggu sebentar.” Taeyeon buru-buru melepas dasi dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Kemudian kembali menempelkan ponsel ke telinga setelah melempar tubuh di atas seprei kotak-kotak. Ah, betapa dia merindukan tempat tidurnya.

“Ada apa menelepon?”

“Terima kasih untuk hari ini,” kata Jessica dengan nada suara pelan. Aneh rasanya mendengar wanita itu berbicara selembut ini padahal dalam kesehariannya Jessica sering kali menembakkan nada tinggi  yang membuat lampu gantung di ruang kerja bergetar halus.

“Hm?”

“Aku bilang terima kasih,” ulangnya sekali lagi dengan suara sedikit lebih keras.

“Apa? Aku tidak dengar. Suaramu terasa jauh dan kurang jelas.”

Jessica mengernyitkan alis menatap layar ponsel yang menyala. Apa yang salah? Jaringan seluler pada sudut kanan atas terlihat normal. Gadis itu melangkah kecil menuju jendela kamar, mendorong bingkai kaca segi empat dan merasakan udara dingin menerpa wajahnya. Dalam satu tarikan nafas dia berteriak, “terima kasih banyak!”

Taeyeon menjatuhkan ponsel dan menggosok daun telinganya. Astaga, apakah ini yang disebut karma dalam waktu singkat? Beginilah akibatnya jika mempermainkan wanita yang lebih tua. Telinganya jelas-jelas tidak bermasalah dan mendengar perkataan Jessica sejak awal.

“Sekarang terdengar sangat jelas.”

“Itu bagus!” teriaknya masih dengan menarik urat leher.

“Ya, lebih baik lagi jika kamu mengecilkan volume suaramu.”

“Seperti ini terdengar jelas?” sahutnya kembali ke nada dasar.

“Sempurna.”

“Jadi, berapa total biayanya?”

“Langit hari ini terlihat sangat cerah.”

“Taeyeon..”

“Lebih dulu mana, ayam atau telur?”

“Aku tutup teleponnya kalau kamu terus mengalihkan pembicaraan.”

“Jangan sering marah dan cobalah untuk tersenyum.”

Jessica mendecakkan lidah dengan pelan. “Kamu pikir karena siapa aku naik darah. Sudahlah, besok pagi akan aku berikan sisa uangnya di kantor.”

“Apabila kamu sungguh-sungguh ingin membayarnya, bagaimana dengan kencan satu hari? Mungkin kalian bisa pergi makan malam atau ke bioskop.”

“Dan siapa yang kamu maksud dengan ‘kalian' di sini?” sela Jessica cepat. Dari nada bicaranya bisa dipastikan gadis itu tidak sependapat.

“Aku punya seorang sahabat, namanya Kwon Yuri. Dia tinggi dan tampan. Jadi aku pikir tidak ada salahnya bagi kalian untuk berkenalan.”

“Dia temanmu?”

“Teman baik. Sahabat.”

“Itu berarti umur kalian sama, kan?”

“Benar, kami lahir di tahun yang sama. Aku bulan Maret sedangkan Yuri bulan Desember.”

“Astaga, apa kamu sadar berapa usiaku? Tiga puluh empat tahun. Aku tidak berkencan dengan anak kecil.”

“Tapi kamu menyewa jasa anak kecil ini untuk berpura-pura menjadi kekasihmu.”

“Itu berbeda,” sanggah Jessica tegas.

“Hari ini aku membuat pengecualian untukmu. Jadi, bisakah kamu juga membuat pengecualian untukku?”

Jessica menatap pemandangan di luar jendela dan mendesah dalam hati. Satu masalah selesai, muncul masalah baru lagi. Dengan suara berat dia berkata, “untuk satu kali saja. Dan ingat, tidak ada pertemuan kedua.”

***

Apa pun yang berkaitan dengan latihan pemandu sorak tidak menarik minat gadis itu seolah-olah posisi puncak yang dia dapatkan dengan memeras keringat bukan lagi hal yang patut dibanggakan. Mahkotanya diturunkan dengan paksa atas harga diri yang diinjak-injak. Winter menjadi paranoid dan mencari tanda-tanda yang mungkin diketahui orang lain di luar lingkaran gadis remaja berpakaian rok mini.

Mungkin saja Karina telah membocorkan peristiwa itu kepada sekelompok remaja kutu buku yang menghabiskan akhir pekan mereka bersama buku-buku di perpustakaan. Winter melempar tas di samping kursi dan menundukkan kepala di atas meja. Samar-samar telinganya menangkap suara tawa dan obrolan anak-anak di ruang kelas, tidak jelas dengan apa yang mereka bicarakan tetapi bisikan tersebut membuat hatinya gusar.

Apakah ruang kelasnya memang selalu seramai ini atau baru-baru saja setelah kejadian memalukan di malam itu? Winter membuka sebelah mata dan mengintip sekilas. Sepertinya ketua kelas mereka tampak enggan menertibkan anak-anak yang cerewet.

Winter menghela nafas lega ketika wali kelas mereka memasuki ruang kelas. Manik mata gadis itu berbinar terang menatap catatan notasi balok yang terselip di antara buku tebal berbahasa asing. Ingin rasanya Winter mengubah semua hari di kalender menjadi hari Senin agar dapat bertemu dengan pelajaran seni musik. Namun itu berarti dia menjadi musuh abadi seluruh umat manusia di muka bumi.

“Apa kalian sudah melihat poster yang ditempel pada dinding pengumuman?” tanya Nyonya Bae yang mendapat tanggapan positif dari para siswa. “Aku harap kelas ini dapat ikut berpartisipasi dalam acara pentas seni akhir tahun karena Ibu tahu kalian memiliki potensi yang besar.”

“Harus berkelompok? Tidak ada bagian untuk penyanyi solo?” tanya Winter dengan tangan kanan terangkat tinggi. Gadis itu merasa sangat bersemangat untuk menggemparkan panggung dengan penampilannya yang spektakuler.

“Sayangnya tidak ada tempat untuk pertunjukan tunggal. Dan seperti yang tertulis pada pengumuman, pihak panitia menetapkan peraturan bahwa masing-masing kelas hanya boleh mendaftarkan dua kelompok sebagai perwakilan. Tidak dibatasi jumlah anggotanya tapi minimal itu terdiri dari dua orang. Bagi siapa saja yang berminat tampil di acara pentas seni, tuliskan nama anggota kelompok kalian pada selembar kertas. Ibu beri waktu lima menit, yang sudah selesai bisa mengumpulkan di meja depan.”

Irene menghitung setidaknya ada tiga murid yang berdiri untuk mengumpulkan catatan nama anggota kelompok beserta jenis pertunjukan yang ingin ditampilkan. Setelah membaca semua kertas di sana, keningnya berkerut samar ketika tidak menemukan nama Kim Winter. Dia tahu seberapa besar bakat yang dimiliki anak itu dalam bidang tarik suara.

“Kita punya lebih dari dua kelompok sehingga perlu dilakukan pemungutan suara terbanyak. Tapi sebelum itu, Ibu akan membacakan siapa saja yang mendaftarkan. Kelompok pertama diisi oleh Karina dan setengah murid di kelas ini yang akan menampilkan pertunjukan paduan suara. Aku tahu kalian pasti akan mendukung kelompok masing-masing. Jadi, tanpa dilakukan pemilihan suara sudah dipastikan kelompok kalian akan lolos sebagai perwakilan kelas dengan jumlah suara terbanyak dari anggotanya sendiri.”

“Yeah!” teriak anak-anak sambil bertepuk tangan.

“Di kelompok kedua kita punya Jaehyun dan Jeno dengan bakat rapper mereka. Sedangkan kelompok terakhir diisi oleh saudara kembar kakak beradik, Chanhyuk dan Suhyun yang ingin menyanyikan lagu duet dengan iringan musik gitar akustik. Langsung saja, siapa yang pilih kelompok dua bisa angkat tangan.”

Secara kasat mata hasilnya sudah jelas. Pesona duo rapper berwajah tampan itu berhasil mencuri hati sebagian besar perempuan yang ada di kelas. Mereka memperoleh dukungan lebih banyak dengan selisih sepuluh suara.

“Baiklah, hasil akhir sudah ditetapkan. Jika butuh bantuan jangan ragu untuk menemui Ibu di ruang guru. Kalian bisa berdiskusi tentang konsep dan pemilihan lagu yang tepat setelah pulang sekolah. Sekarang kita kembali ke pelajaran minggu lalu.”

Tanpa terasa kebersamaan mereka selama sembilan puluh menit harus berakhir ketika suara bel tanda waktu pergantian pelajaran berbunyi nyaring. Erangan panjang terdengar di mana-mana lantaran para siswa masih merasa belum puas menghafalkan beberapa lirik lagu yang tertera di papan tulis.

“Winter dan Karina,” panggil Nyonya Bae sambil merapikan buku pelajaran.

Deg!

Tidak mungkin berita itu sampai bocor ke telinga wali kelas!

“Temui Ibu setelah pulang sekolah,” kalimat terakhir wanita itu sebelum meninggalkan ruang kelas.

Sial!

Winter nyaris mati konyol karena serangan jantung di usia muda.

***

Yoona kembali menyesap kopinya dan mendesah muram. Itu sedikit encer, tidak seperti yang biasa Jessica buat untuknya. Lebih mudah jika lelaki itu meluangkan waktu untuk membeli minuman di kedai kopi. Namun bagaimana pun juga, dia harus menghargai Seohyun yang sudah berbaik hati menyajikan minuman hangat di atas meja.

“Hari ini aku pulang larut malam. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” kata lelaki itu mencari-cari alasan agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah.

Pada umumnya pengantin baru akan mengambil cuti beberapa hari setelah pesta pernikahan. Entah untuk rencana bulan madu ataupun sekedar melepas rasa lelah. Namun kenyataannya di sinilah mereka sekarang, kembali pada rutinitas pekerjaan sehari-hari.

“Menjaga kesehatan itu sangat penting jadi jangan sampai lupa untuk makan tepat waktu. Ngomong-ngomong, jam berapa kamu berangkat?”

“Lima belas menit lagi,” kata lelaki itu sambil menyelesaikan sarapannya.

“Bisakah kamu mengantar aku ke rumah sakit? Tapi jika itu membuatmu terlambat aku akan menggunakan taksi.”

Yoona melirik sekilas pada jam dinding kemudian mengangguk pelan. “Tidak masalah, aku bisa mengantarmu.”

Rumah sakit itu terletak di tengah kota dan searah dengan rute dari rumah menuju kantor kejaksaan. Sepanjang perjalanan Yoona menyibukkan pikirannya dengan kasus utama yang sedang ditangani, berusaha mengabaikan keberadaan wanita yang duduk di kursi penumpang. Sesekali Seohyun berbicara di mana Yoona hanya sekedar memberi tanggapan tanpa umpan balik. Hingga akhirnya mereka tiba di depan rumah sakit, lelaki itu baru bisa mengembuskan nafas lega.

“Seohyun!” teriaknya dari balik jendela pintu mobil yang setengah terbuka. Mendengar panggilan tersebut dokter muda itu terpaksa memutar badan dan berjalan kembali ke tempat semula.

“Ada apa?”

“Minuman tertinggal,” kata Yoona sambil menyerahkan botol minum berwarna hijau muda.

“Oh, itu sengaja aku tinggal untukmu. Minuman herbal itu bagus untuk meningkatkan daya tahan tubuh sehingga kamu tidak mudah lelah meski bekerja hingga larut malam.”

Yoona termenung dan memikirkan mengapa gadis itu masih bersikap baik meskipun telah mendapat perlakuan yang dingin.

***

“Tidak,” ucapnya singkat.

Suasana hati Yuri saat ini sedang bertolak belakang dengan matahari yang bersinar cerah. Wajar saja. Berkaca dari kejadian malam itu, dia secara tidak langsung telah mendengar penolakan dari wanita yang dicintainya selama bertahun-tahun. Dadanya terasa berat setiap kali bertatap muka dengan gadis itu.

“Ayolah. Taeyeon sudah bersusah payah meyakinkan teman perempuannya agar mau makan malam denganmu.”

“Salah sendiri, siapa yang suruh. Aku tidak pernah meminta dia melakukan hal itu,” gerutu Yuri dengan garis rahang yang mengeras.

“Aku yang memintanya,” sahut Tiffany.

Yuri seharusnya marah ketika orang lain berani ikut campur ke dalam kehidupan pribadinya. Namun lidahnya terkunci rapat saat bertatapan langsung dengan mata bulan sabit yang indah. Ya Tuhan, bagaimana lelaki itu bisa melampiaskan kemarahan kepada perempuan yang ada di dalam catatan puisi cintanya.

Raut wajah Yuri melembut. “Kenapa?”

“Kamu tidak bosan hidup sendirian?”

“Aku tidak sendirian. Ada kamu dan Taeyeon. Aku juga punya anak anjing yang lucu.”

“Percayalah, hari-harimu akan lebih berwarna ketika kamu menemukan pasangan hidup.”

Yuri menopang dagu dengan sebelah tangan dan menatap wajah wanita itu. Dia tidak sendirian. Dia menemukan kebahagiaan hidupnya.

“Kwon Yuri.” Ketika Tiffany memanggil pria tersebut dengan nama panjangnya maka tidak ada lagi ruang untuk melarikan diri.

“Hm?”

“Sekali ini saja, ya?”

Yuri memijat pelipisnya dan mendesah keras, “aku tidak tahu apa-apa tentang berpacaran.”

“Tenang saja, ini hanya pertemuan biasa.” Entah bagaimana lelaki pendek itu muncul tiba-tiba dari belakang dan menepuk pundak teman baiknya.

“Hai,” sapa Taeyeon mengecup pipi kekasihnya.

“Bagaimana harimu di kantor?”

“Sedikit menyebalkan tapi kini terasa lebih baik setelah bertemu denganmu.”

Tiffany mengusap wajah Taeyeon dengan kedua tangan dan sahabatnya tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa detik ke depan. Itu bukan pemandangan baru tapi tetap saja menyakitkan untuk dilihat. Yuri membuang muka ke luar jendela ketika Tiffany mencium bibir Taeyeon dengan cepat.

“Oh iya, aku hampir lupa.” Taeyeon menepuk dahinya dan tertawa kecil. “Jessica sedang dalam perjalanan kemari.”

“Jessica siapa?” tanya Yuri waswas.

“Teman kencanmu.”

Matanya berkedip cepat. Untuk sesaat Yuri dilanda kepanikan yang membuat tubuhnya mati rasa. Apa yang harus dilakukan? Dia tidak tahu. Pikirannya kosong.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks