[ 18 ] Awal baru

Sleep Call

Sepasang mata memandang takjub pada spanduk besar yang terpampang di depan sebuah gedung bertingkat. Tiffany hampir tidak mempercayai penglihatannya ketika mereka berdiri di belakang sekumpulan orang yang berbaris rapi untuk memasuki pintu utama. Pertunjukan besar yang diselenggarakan pada malam tahun baru mencuri perhatian banyak penduduk di pusat kota.

“Aku tidak percaya kamu mengajakku ke sini,” kata Tiffany melihat selembar tiket yang terselip di ujung jarinya dengan tatapan mata berkilau.

“Bukankah kamu ingin sekali menonton pertunjukan drama musikal ini?”

“Ya, tadinya aku berencana begitu tetapi tiket pertunjukannya sudah habis terjual dalam hitungan menit. Bagaimana kamu bisa mendapatkannya?”

Yuri tersenyum. “Aku rela melakukan apa saja asalkan bisa membuatmu bahagia,” jawab lelaki itu sambil mengangkat bahu ringan. Tiffany tidak perlu tahu seberapa deras aliran dana yang dikeluarkan Yuri untuk merayu rekan kerjanya agar mau memberikan tiket pertunjukan dengan nilai tukar yang fantastis.

“Aku memang sangat ingin menonton pertunjukan ini,” sahut Tiffany pelan. Suaranya terdengar tidak jelas karena hidung dan mulutnya dibenamkan di balik syal tebal yang melilit leher.

“Sebentar lagi giliran kita masuk,” bisik Yuri sambil menyodorkan sikunya setelah menghitung jumlah kepala yang tersisa di depan mereka. Tanpa ragu Tiffany langsung menyelipkan tangan di lengan sahabatnya.

“Tiffany!” seru seseorang yang berjalan dari arah samping dengan melambaikan tangan.

Tiffany menoleh ke sumber suara dan melihat pria bertubuh tegap mengenakan setelan jas mewah dengan rambut pirang yang mencolok. Dia menepuk lengan Yuri dan berkata, “tunggu di sini. Aku akan menyapa kenalanku sebentar.”

Kakinya melangkah cepat menuju laki-laki yang berdiri di samping jendela. Meski tidak berteman dekat tetapi Tiffany harus menjaga sopan santun terhadap anak dari salah satu rekan bisnis keluarga.

“Hi, Nichkhun,” sapanya ramah.

“Hi, senang bisa bertemu denganmu di sini. Aku tidak menyangka kamu bisa meluangkan waktu untuk datang ke teater padahal biasanya selalu sibuk dengan pekerjaan,” sindir Nichkhun terang-terangan setelah beberapa kali mendapat penolakan dari wanita yang ditaksir.

Tiffany terkekeh pelan, “aku tidak bisa mengabaikan permintaan temanku yang jauh-jauh datang dari Korea.”

“Ya, aku bisa melihat kamu menggandeng seorang teman.”

“Kamu datang sendirian?”

“Aku memang lebih suka pergi sendiri. Kapan-kapan aku akan mengajakmu..”

“Nichkhun,” sela Tiffany dengan cepat memotong kalimat yang belum selesai. “Pertunjukannya akan segera dimulai dan aku harus kembali kepada temanku. Jika ada hal penting yang ingin dibicarakan kamu bisa menemuiku di kantor.”

Setelah mengangguk kecil disertai seulas senyum simpul yang dipaksakan Tiffany bergegas kembali ke tempat asal di mana temannya sedang menunggu. Lelaki itu mengangkat kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Yuri menggeleng, “tidak masalah.”

Tiffany menautkan jemari tangan mereka dan menarik tubuhnya untuk bergerak cepat. “Ayo, kita masuk sekarang.”

Harus diakui bahwa dua jam yang telah berlalu merupakan waktu terbaik dalam hidupnya selama dua belas bulan. Ketika pertunjukan itu usai, penonton dengan antusias bertepuk tangan kepada para pemain yang berdiri di atas panggung untuk memberi hormat. Tiffany bertepuk tangan hingga telapak tangannya merah tetapi dia tidak peduli. Dia sangat puas menikmati drama musikal yang berjudul Chicago.

“Bagaimana pendapatmu?” tanya Tiffany ketika mereka berjalan ke arah pintu keluar.

“Pertunjukannya bagus.”

“Benarkah?”

“Kamu sangat menikmatinya, kan?” kata Yuri menarik kedua sudut bibirnya ketika menyaksikan ekspresi kegembiraan pada wajah teman wanitanya.

“Ya, tentu saja. Itu luar biasa. Aku sempat khawatir kamu akan tertidur di tengah acara.”

“Itu tidak mungkin terjadi.”

“Tapi kamu pernah tidur saat menonton bioskop, ingat?”

“Karena waktu itu sudah ada orang lain yang menjagamu jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk memejamkan mata. Lagi pula salah kalian memilih tayangan film yang membosankan.”

“Dan menurutmu pertunjukan tadi tidak membosankan?”

“Sama sekali tidak.”

“Kenapa?”

Yuri baru saja akan membuka mulut untuk menjawab ketika dia mendengar bunyi desingan yang meletup di udara. Cahaya warna-warni yang ditembakkan pada langit malam merupakan pertanda bahwa waktu telah memasuki pergantian tahun. Yuri menoleh ke samping dan melihat sepasang bola mata yang cantik; terpaku pada berkas-berkas sinar yang meledak menjadi bunga api.

“Karena aku senang menghabiskan waktu selama dua jam untuk melihat wajahmu yang bahagia,” kata Yuri mengagumi kecantikan paras yang rupawan sebelum mengalihkan pandangan menatap pesta kembang api. Menyadari kemungkinan bahwa gadis itu tidak bisa mendengar kata-kata yang terbungkam oleh euforia malam tahun baru, Yuri menjadi sedikit lebih berani untuk melanjutkan tetapi dalam nada suara yang semakin rendah.

“Aku menyukaimu.”

***

Sepasang mata coklat itu masih bersinar terang walaupun jarum pendek pada jam dinding menunjukkan hampir tengah malam. Dia tidak sedang menunggu telepon dari seseorang, kan? Tentu saja tidak. Taeyeon masih belum tidur karena siaran langsung piala dunia yang sedang berjalan. Semua pria berbicara tentang hasil pertandingan tim sepak bola jagoan mereka sehingga Taeyeon bersikeras menonton acara itu sampai selesai meskipun kantong matanya sudah basah dan terus menguap.

Ya, pasti itu alasannya. Bukan karena menunggu telepon dari... Oh!

Taeyeon melompat dari sofa panjang ketika mendengar nada dering yang berasal dari dalam kamar tidur. Dengan cepat dia mematikan saluran televisi di ruang tengah lalu berlari mengunci pintu kamarnya. Nama yang muncul pada layar ponsel membuatnya tersenyum kecil.

“Halo.”

“Belum tidur?” tanya Jessica sambil menarik selimut sebatas leher.

“Ada siaran langsung pertandingan piala dunia.”

“Oh, bukan karena menunggu panggilan dari pelanggan setiamu?” sahut gadis itu dengan nada bercanda.

Taeyeon merebahkan tubuh ke ranjang, berbaring terlentang menatap langit-langit kamar. “Aku tidak menunggu teleponmu,” bantahnya tegas. Jesica tertawa lepas sementara lelaki itu tanpa sadar tersenyum lebar.

“Ibu dan saudara perempuanku datang berkunjung pagi ini.”

“Aku harap bisa mempunyai saudara yang baik seperti adikmu.”

“Jangan mudah tertipu. Krystal hanya bersikap manis di depan pria tampan tapi sebenarnya dia adalah jelmaan kucing orange.”

Taeyeon tertawa. “Ya, bisa kubayangkan repotnya bertengkar dengan saudara yang lebih muda. Terkadang aku dipaksa mengalah walaupun adikku yang salah.”

“Kau tahu, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Krystal bicara tentang jodoh yang turun dari langit. Sudah gila itu anak,” gumamnya menggerutu. Jessica menegakkan tubuhnya kemudian menambah tumpukan bantal di belakang punggung. Dalam posisi duduk bersandar gadis itu melanjutkan, “Krystal bilang bahwa aku tidak seharusnya menolak undangan malam dari laki-laki di luar sana karena bisa jadi jodohku salah satu dari mereka.”

“Nah, kurasa perkataan adikmu itu ada benarnya juga, kecuali jika kamu masih mencintai...”

“Astaga, tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengar nama pria brengsek itu,” bisiknya dengan gigi mengertak.

“Apa kamu tidak merindukan masa-masa bahagia bersama orang lain?” pertanyaan yang lebih cocok ditujukan kepada dirinya sendiri. Jujur saja, jika bukan karena  obrolan ringan mereka sebelum tidur, Taeyeon akan merasa hidupnya benar-benar hampa.

Jessica terdiam sejenak, berpikir keras mencari jawaban yang mampu memberi nilai lebih terhadap statusnya sebagai wanita lajang. Namun pada akhirnya dia mendesah panjang dan menyerah. “Tidak selalu tapi kadang-kadang iya,” akunya pelan.

Berbicara soal pacaran; itu bukan tentang ciuman, bergandengan tangan, kencan romantis, atau bahkan hubungan seksual. Melainkan tentang bersama seseorang yang dapat membuatnya bahagia dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain. Itu tentang bersama seseorang yang dapat menerima gadis itu seutuhnya dengan segala keanehan yang dimiliki.

Menginjak bulan pertama di pergantian tahun, Jessica merasa hatinya telah siap untuk membuka lembaran baru. Pada rentang usia yang tidak lagi muda, dia mencatat berbagai pengalaman hidup yang tak terlupakan. Sejumlah kencan yang kacau dan beberapa kali gagal berpacaran. Satu-satunya orang yang paling besar meninggalkan luka adalah Yoona. Namun, itu tujuh bulan yang lalu. Dia sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk melupakannya; sibuk menikmati pekerjaan, berkumpul bersama keluarga, dan berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

Suatu kebiasaan baru telah terbentuk. Baik Taeyeon ataupun Jessica, tetapi kebanyakan pihak wanita, menelepon setiap malam pada sekitar pukul sebelas. Mereka manusia malam yang cekikikan di telepon selama beberapa waktu hingga salah satu di antara mereka tidur terlelap.

Taeyeon melirik jam yang tergantung di dinding. “Oh, sekarang pukul sebelas lewat sebelas.”

“Angka satu selalu dihubungkan dengan awal baru. Itu sebuah pertanda baik untukmu.”

“Seperti mendapat pacar baru?”

“Aku tidak menyebutkannya secara spesifik,” koreksi Jessica sambil terkekeh. “Tapi jika kamu memiliki pemikiran yang demikian, apakah itu berarti kamu sudah melupakannya? Atau sebaliknya, mungkin kamu masih menunggunya.”

Taeyeon tidak langsung menjawab. Dia memilih diam beberapa saat menikmati denting suara jarum jam yang terus bergeser. Apakah dia telah melupakan mantan kekasihnya? Tentu saja tidak. Gadis itu memiliki tempat tersendiri di hatinya yang mungkin sampai kapan pun Taeyeon tidak akan mampu menghapus kenangan mereka.

Perasaan sayang itu masih ada tetapi dia memutuskan melanjutkan hidup tanpa Tiffany. Ketika cinta hanya membawa luka maka di sana dia harus berhenti. Kegagalan hubungan mereka, tidak hanya sekali tetapi dua kali, membuat dirinya sadar akan tempat dan kedudukan.

“Kalau sedang memikirkan seseorang pada saat waktu menunjukkan sebelas lewat sebelas, itu tandanya mereka akan terus terhubung dalam garis takdir yang panjang.”

“Ah, apakah waktu itu kamu sedang memikirkan seseorang?

“Ya.”

“Tiffany, benar?”

“Bukan,” kata Taeyeon menggelengkan kepala, menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Susah payah lelaki muda itu menelan ludah dan bergumam, “aku memikirkan wanita lain.”

***

Seohyun menggigil begitu melewati anak tangga terakhir setelah keluar dari stasiun kereta bawah tanah. Angin bulan Januari yang berembus kencang membuat dirinya berjalan dengan kepala tertunduk. Dia menjejalkan telapak tangan ke saku mantel sementara kakinya melangkah lebar di sepanjang trotoar.

Lonceng yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring seiring celah yang terbuka sedikit demi sedikit. Tidak banyak perubahan selain warna cat dinding yang memudar. Kedai kecil itu masih mempunyai sepuluh meja dengan empat buah kursi di masing-masing tempat. Dia menghembuskan nafas lega ketika kehangatan menyelimuti tubuh yang mulai mati rasa. Tidak ada yang lebih nyaman daripada pulang ke rumah orang tuanya.

“Selamat— Oh, Seohyun?”

Gadis itu tersenyum dan memeluk tubuh wanita yang lebih tua. “Bagaimana kabar Ibu? Selalu rutin minum vitamin, kan?”

“Tentu saja. Ginseng merah yang kamu kirimkan sangat bagus untuk saya tahan tubuh.”

Seohyun mengganti mantel tebal di pundaknya dengan celemek merah tua. Masih ada waktu untuk membersihkan meja sebelum kedatangan orang-orang pada waktu makan siang.

“Letakkan kain itu. Biar nanti Ibu yang membereskannya. Istirahat saja, kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh.”

“Di mana Ayah? Bukankah dia seharusnya membantu Ibu berjualan?” sahut gadis itu tanpa menghiraukan perintah dari pemilik rumah makan.

Kali ini ibunya dibuat diam tak berkutik seolah lidahnya kehilangan kemampuan untuk berbicara. Dia berdeham sekali. Lalu dua kali. Kemudian berkata pelan, “Kenapa tiba-tiba pulang? Biasanya kamu mengirim pesan terlebih dahulu sebelum datang ke sini.”

“Aku mengkhawatirkan Ibu,” balasnya singkat dan mengembalikan pembicaraan pada titik awal. “Bagaimana jika pergi dari tempat ini dan tinggal bersamaku di Seoul.”

“Kamu tidak perlu cemas."

Seohyun sudah kehabisan jari untuk menghitung berapa kali mendengar kalimat usang yang terus berulang. Dia melampiaskan amarahnya pada sepotong kain yang dilempar ke atas meja. “Kenapa tidak bercerai saja? Aku tidak mengerti mengapa Ibu masih bertahan,” katanya mendengus kesal.

“Bagaimanapun dia adalah ayahmu.”

“Aku tidak menganggapnya seperti itu. Kapan terakhir kali dia menghubungiku? Satu bulan? Dua bulan? Ah, aku ingat. Itu tiga bulan yang lalu ketika memohon untuk dibebaskan dari penjara.”

“Seohyun..”

“Ibu,” sela putrinya dengan cepat sambil mengulurkan tangan meraih jemari yang ditumbuhi keriput halus. “Alasan aku menjadi seorang dokter karena ingin menyelamatkanmu. Namun, jika Ibu bersikeras tetap tinggal di sini maka lebih baik aku tidak lagi mendengar kabar tentang kalian.”

“Jangan bicara seperti itu,” katanya memohon dengan suara serak yang rendah.

“Aku memang egois tetapi pernahkah Ibu sekali saja memikirkan perasaanku? Bagaimana aku bisa menjalani hari dengan tenang setelah melihat Ibu terbaring di rumah sakit. Dokter bahkan tidak perlu menjelaskan apa-apa karena luka memar itu sudah mengatakan semuanya.”

Mereka sama sekali tidak bertukar kata di sepanjang perjalanan. Seohyun hanya duduk diam di pinggir jendela sementara ibunya menundukkan kepala dengan mata terpejam. Sepertinya getaran halus pada bangku kereta menyebabkan rasa kantuk datang lebih awal. Tanpa disadari waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam saat mereka tiba di stasiun.

Seohyun mengerjapkan mata dan tercengang. Dia tidak bisa bergerak ketika seseorang menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Itu bukan sesuatu yang biasa dia dapatkan ketika membuka pintu rumah. Kedua lengan Yoona merangkul tubuhnya dengan mudah seolah-olah dia adalah boneka kecil yang berada di mesin capit.

“Aku kira kamu meninggalkanku.”

Dia mendengar suara berat di samping telinganya tetapi tenggorokan itu terasa kering untuk mengucapkan sepatah kata. Menghirup aroma tubuh Yoona seperti ini membuat nafasnya tercekat. Mereka berpelukan sangat erat sehingga dia bisa merasakan jantung pasangannya yang berdebar kencang. Atau mungkin itu jantungnya sendiri yang berdetak cepat.

“Kenapa berpikir begitu?”

“Kamu tiba-tiba hilang dan tidak bisa dihubungi.”

Ketakutan terbesar mendorong dirinya ke tepi jurang kematian. Dia pernah sekali kehilangan orang yang dicintai dan itu membuatnya terjebak di antara hidup dan mati. Lalu sekarang ketika mimpi buruk itu datang, Yoona merasa tidak akan ada yang sanggup menolongnya. Kali ini dia pasti benar-benar mati.

Itulah mengapa dia tidak ragu-ragu untuk membakar kertas terkutuk yang sempat tersimpan di dalam laci meja.

Perceraian? Omong kosong!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks