[ 19 ] Dunia (END)

Sleep Call

A/N : Update chapter 18 - 19 (END). Satu chapter lagi untuk epilog


Matematika tidak pernah menjadi  pelajaran yang dikuasai Winter tetapi dia jelas dapat berhitung sampai empat belas karena tepat pada angka tersebut telah digambar lingkaran tebal dengan warna merah. Saat ini para remaja khususnya yang memiliki pasangan atau mungkin seseorang yang ditaksir, menantikan kedatangan tanggal di pertengahan bulan Februari sebagai ajang pertunjukan cinta dan kasih sayang; tidak terkecuali bagi anak bungsu dari keluarga Kim.

Coklat, itu sudah biasa. Dia tidak ingin hadiahnya bernasib tragis seperti para pecundang yang terbuang. Walaupun Karina bukan gadis populer yang sering menjadi bahan obrolan panas di sekolah, tumpukan coklat yang berada di lokernya membuktikan jumlah yang cukup banyak untuk menjadi saingan.

Bunga, sangat romantis tetapi Winter mencoretnya dari daftar hadiah. Sampai detik ini hubungan mereka masih sebatas teman dan seikat bunga mawar terkesan melewati garis. Lagi pula dia tidak terlalu menyukai bunga. Winter pernah hampir muntah saat melihat kakaknya membawa karangan bunga untuk calon kekasihnya. Seratus mawar merah, yang benar saja.

Terdesak oleh keterbatasan waktu yang singkat, gagasan aneh itu muncul pada menit-menit terakhir. Ekspresi wajahnya yang tegang selaras dengan jejak sepatu kaku yang tertinggal di sepanjang lorong sekolah. Winter mengembuskan nafas lega saat menemukan kelas dalam keadaan kosong. Tentu saja, tidak ada murid yang datang pagi-pagi buta selain...

“Hai, selamat pagi.”

...ketua kelasnya.

Nyawa gadis itu hampir melompat dari tengkorak kepala saat Karina menyapa di balik pintu ruang kelas. Dengan senyum canggung dia membalas, “selamat pagi. Kamu cepat sekali datang ke sekolah.”

“Aku selalu tiba tiga puluh menit lebih awal atau bahkan lebih pagi dari ini.”

“Kamu tidak berniat menyapu seluruh lantai di gedung ini, kan?” gurau Winter meninggalkan tas di bangkunya.

“Akan aku pertimbangkan jika mendapat upah yang layak. Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu datang secepat ini?”

“Tidak ada salahnya sesekali mencoba suasana baru. Aku bosan mendengar ocehan Pelatih Kang karena datang terlambat tetapi itu bahkan bukan sebuah pelanggaran. Aku melewati gerbang sekolah tepat di saat lonceng berbunyi.”

Karina terkekeh. “Sudah mengerjakan tugas biologi?”

“Ada tugas?” tanya Winter dengan mata melebar. Astaga, dia sama sekali tidak ingat. Dia mengeluarkan semua isi tas ke atas meja yang sempit dan menyebabkan kekacauan dimana-mana.

“Kamu bisa menyalin tugas milikku,” kata Karina menepuk pundak gadis itu. Dia hendak mengambil catatan di dalam tas tetapi matanya terpaku pada salah satu buku yang terjatuh di lantai. “Kamu masih menyimpan ini? Aku kira kamu tidak suka menulis di buku harian,” lanjutnya sambil mengusap sampul berwarna cokelat muda yang tampak pudar.

Kembali pada masa kecil dulu, anak-anak perempuan sangat gemar mengoleksi lembaran kertas harum dengan corak warna-warni. Penyebab utama mereka sering berlama-lama menghabiskan waktu di toko perlengkapan alat tulis. Itu  tidak bertahan lama sampai mereka menemukan hobi baru; saling bertukar buku harian di akhir pekan.

Baiklah, sekarang waktu yang tepat. Tidak ada murid di dalam kelas selain mereka berdua. Winter berdeham dan tersenyum kikuk. “Happy valentine day! Sepertinya aku tidak perlu repot-repot menyerahkan kado itu,” katanya melirik benda yang ada di tangan Karina.

“Untukku?”

Winter mengangguk, “untukmu.”

Ada kilatan kegugupan yang tersirat di matanya, tetapi gadis itu dengan yakin membuka kunci pengait. Rasanya sulit untuk menahan senyuman ketika melihat tulisan anak kelas enam sekolah dasar. Namun, itu bukan pemandangan baru karena dia telah membaca sebagian besar cerita konyol yang tertulis di sana.

“Kamu pernah berhenti sebelumnya,” gumam Karina menyadari lompatan besar pada periode waktu tertentu.

“Hm, aku sempat berhenti menulis.”

“Lalu apa yang membawamu kembali?”

“Ada alasan mengapa kalimat ‘selamat datang duniaku' tertulis pada halaman pertama di buku harian ini.”

“Apa?” tanya Karina penasaran.

Winter mencondongkan tubuh ke depan, menopang siku di atas meja dengan kedua tangan yang saling meremas.

“Kamu,” sahutnya pelan. “Kamu adalah duniaku.”

Karina terdiam. Matanya terbelalak lebar menatap wajah putih yang merona. Dia yakin itu bukan sebuah lelucon karena bulan April masih empat puluh lima hari lagi. Jantungnya terasa berhenti berdetak selama dua detik sebelum berdebar kembali dengan kecepatan penuh.

Dia memalingkan wajah kembali melihat pada lembaran buku yang terbuka lebar seolah-olah sedang membaca kunci jawaban untuk mencari kata-kata yang tepat. Namun, tulisan yang ditemukan pada halaman belakang menjadi akhir dari segala kekacauan.

Will you be my valentine?”

Selama bertahun-tahun duduk di bangku sekolah, Karina belum pernah mendengar pelajaran tentang perasaan manusia yang menggebu-gebu sehingga dia tidak yakin bagaimana menggambarkan perasaannya saat ini; yang pasti pipinya terasa hangat.

Yes.”

***

Untuk kesekian kalinya Tiffany menatap bayangan pada cermin yang tergantung di dinding. Rambut hitam bergelombang tergerai melewati bahu yang terbalut gaun malam berwarna merah marun. Semua orang pasti setuju bahwa putri keluarga Hwang memiliki penampilan yang sempurna. Jenis kecantikan yang menonjol, menarik perhatian dan kadang-kadang mengintimidasi.

Pada dasarnya Tiffany adalah wanita yang penuh percaya diri tetapi saat ini harus diakui bahwa nyalinya sedikit menciut. Dia memeriksa penampilannya berulang kali; jangan ada lipatan di baju ataupun riasan yang tidak rata. Konyol. Itu tidak seperti dia makan bersama pejabat dari istana presiden. Dan kenyataan bahwa makan malam mereka telah selesai lima menit lalu membuat gadis itu terlihat sangat putus asa.

Tiffany mengerang dalam hati menyesali kebodohannya sendiri sementara dia berjalan dengan enggan keluar dari pintu toilet wanita. Entah itu perasaannya saja atau memang restoran lebih ramai pada malam ini. Dia menghampiri lelaki yang duduk menatap ke luar jendela.

“Kita pulang sekarang?” tanya Yuri segera bangkit dan mengantongi ponsel ke dalam saku celana.

Skenario makan malam berdua di sebuah restoran mewah memang tergambar jelas di kepalanya tetapi kembali pulang ke rumah tanpa kepastian status hubungan mereka tidak terlintas dalam pikiran yang rumit. Mungkin dia berharap terlalu tinggi setelah dengan berani melepaskan cincin di jari manisnya. Ya, sejak kejadian malam tahun baru, Tiffany mulai membayangkan hal-hal di luar akal sehat yang membuat jantungnya berdebar dengan cara yang aneh.

“Oh, lihat. Salju!” seru Tiffany menatap ke luar jendela. Dia bergegas mengenakan mantel dan berjalan ke luar restoran. Itu adalah salju terakhir yang turun di bulan Maret. “Aku ingin jalan-jalan sebentar di sekitar sini,” katanya sembari menangkap butiran halus yang jatuh dari langit.

“Lebih baik menggunakan mobil agar tidak kedinginan.”

“Tenang saja, mantelku cukup tebal dan hangat.”

“Tapi kamu lupa menggunakan sarung tangan,” gumam Yuri mengangkat jari-jari lentik yang berada dalam genggamannya.

“Aku memang sengaja meninggalkannya di rumah.”

“Kenapa?”

Tiffany menoleh ke samping menatap lelaki yang lebih tinggi dengan senyum termanis. “Mungkin agar kamu ada alasan untuk memegang tanganku.”

Apa yang akan terjadi jika waktu berhenti berjalan? Atau setidaknya Yuri merasa benda-benda di sekelilingnya berhenti bergerak. Tidak terdengar suara deru mesin kendaraan bermotor maupun alas sepatu yang menggesek permukaan tanah. Dunianya terhenti.

“Ada apa?” matanya menatap khawatir pada tubuh yang berdiri kaku.

“Aku belum pernah mengatakannya tapi aku sudah menyukaimu sejak dulu.”

“Sungguh?”

“Kamu pikir kenapa aku terus berteman denganmu selama hampir dua puluh tahun? Aku bahkan menyusulmu sampai ke belahan dunia yang berbeda.”

“Dan kamu memutuskan mengatakannya sekarang di tepi jalan? Aku pikir laki-laki akan memilih tempat romantis untuk menyatakan cinta,” guraunya tersenyum kecil.

“Sepertinya kamu tidak terkejut.”

“Jadi aku harus bereaksi bagaimana?”

Kepalanya menggeleng pelan bersama kedua bahu yang terangkat. Yuri tidak berpengalaman dalam hal percintaan. Lebih tepatnya, ini kali pertama dia menyatakan cinta. Gugup dan tegang.

“Kurasa..” Tiffany menunduk sesaat lalu mendongak menatap mata Yuri yang bersinar terang, “aku juga menyukaimu.”

***

Setelah menghabiskan waktu selama tiga puluh menit di bawah permukaan air hangat, Seohyun menemukan suaminya sedang mengetik judul film menggunakan remote TV. Ruangan itu dipenuhi aroma manis yang berasal dari tengah meja; popcorn dengan taburan karamel dalam mangkok porselen besar. Dia juga melihat enam kaleng minuman bersoda yang baru dikeluarkan dari lemari es.

“Kamu sudah menemukan film yang cocok?” Seohyun mengambil tempat kosong di sofa dan membuka dua kaleng minuman.

“Aku tidak punya referensi tentang film yang sedang naik daun saat ini jadi ya, aku hanya ingat beberapa di antaranya yang sempat dibicarakan banyak orang.” Yoona kembali duduk di samping istrinya setelah mematikan lampu ruang tengah. Satu-satunya sumber penerangan berasal dari layar televisi.

Seohyun memicingkan mata membaca tulisan yang melayang, “Fifty Shades of Grey?”

“Hm, kamu sudah menontonnya?” kata Yoona balik bertanya sambil melempar berondong jagung ke dalam mulut.

“Sudah lama sekali mungkin sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku bahkan sudah menyelesaikan trilogi film ini.”

“Sepertinya aku ketinggalan banyak hal yang menyenangkan. Mau ganti film?”

Kepalanya menggeleng. “Ini tontonan yang bagus. Aku tidak akan bosan mengulangnya sampai puluhan kali.”

“Siapa nama pemeran utama wanita?” tanya Yoona begitu adegan pertama muncul di layar kaca.

“Dakota.”

“Dia mendapat penghargaan dari film ini, kan?”

“Kalau tidak salah dia masuk di beberapa nominasi tapi aku tidak tahu hasilnya.”

“Kamu mau memakai selimut?”

“Tidak.”

“Mau popcorn?”

“Hm..”

Yoona meletakkan mangkok itu di atas bantal persegi, kemudian merentangkan sebelah tangan yang disambut hangat oleh pasangannya. Seohyun mengatur posisi tubuh agar nyaman bersandar di pundak yang lebih tinggi.

“Kamu mengganti sampomu?” tanya Yoona menghirup wangi yang berbeda.

“Temanku merekomendasikan sampo ini. Katanya bagus untuk memperkuat akar rambut.”

Yoona mengecup puncak kepala gadis itu dan berkata, “aku suka aromanya.”

Sepanjang film berputar lelaki cerewet itu terus membicarakan hal-hal lain seperti cuaca yang mulai hangat di musim semi, kemacetan lalu lintas yang sering terjadi membuat kesabarannya setipis tisu toilet yang terbagi dua, serta hobi barunya memancing ikan di laut. Dia tidak peduli dengan cerita yang ada di layar televisi hingga pada menit ke empat puluh muncul sebuah adegan yang membuat nafasnya tercekat.

Yoona mengembalikan popcorn ke atas meja lalu menghabiskan minumannya dengan cepat. Tersedak di antara hidung dan tenggorokan membuatnya hampir mati. Namun, itu tidak menghentikannya untuk mengambil kaleng minuman kedua yang langsung mendapat tepisan keras dari tangan sang istri.

“Astaga, film luar negeri terlalu banyak mempertontonkan adegan semacam ini,” gumam Yoona dengan suara berat.

“Bagian itulah inti dari cerita ini.”

“Seharusnya wanita itu melarikan diri setelah tahu sisi gelap kekasihnya.”

“Mereka saling mencintai. Lagi pula itu bukan tindak kejahatan, kan?”

“Tapi dia menyakitinya.”

“Dari mana kamu tahu itu menyakitkan?”

“Dia menggunakan kekerasan.”

“Setiap orang mempunyai batas toleransi terhadap rasa sakit.”

“Jadi menurutmu itu tidak sakit?”

“Kenapa kamu tidak mencari tahunya  sendiri?” balas Seohyun menatap wajah yang kebingungan dengan garis miring di bibirnya.

Sial, Yoona menelan ludah dengan susah payah. Senyuman itu; berbahaya dan mematikan. Apa lagi ditambah ujung jari telunjuk yang bermain-main di sekitar daun telinganya. Tuhan, selamatkan dia malam ini atau mereka akan tenggelam dalam sisi dunia yang terpendam.

Namun, sekali pun dia diberi kebebasan untuk memilih, Yoona tidak akan menolak seteguk anggur yang memabukkan. Janji pernikahan mereka bukan sekedar bualan semata. Lidahnya selalu tersandung di antara ribuan kata manis tetapi dia tidak kehabisan akal untuk menyampaikan perasaan. Dan Seohyun berterima kasih atas segala bentuk perhatian yang lebih berharga dari sekedar kata-kata.

***

Selama beberapa bulan terakhir Taeyeon diam-diam memerhatikan kebiasaan wanita berambut cokelat, seperti ujung jarinya yang suka memutar-mutar pena atau pantatnya yang tidak bisa diam di kursi ketika melakukan pembicaraan di telepon. Seperti saat ini, Jessica berjalan mondar-mandir tak tentu arah dengan ponsel yang menempel di telinga kiri dan gulungan tembakau terselip di sela-sela jari tangan. Kepulan asap putih melayang di udara mengundang suara batuk yang tertahan.

Jessica menjepit ujung rokok pada lipatan bibir yang mengatup rapat sementara telunjuknya menyemprot pengharum ruangan beraroma biji kopi. Kemudian dia berjalan menjauh dan berdiri di samping jendela yang terbuka. Setelah melalui beberapa perdebatan sengit, wanita itu memutuskan sambungan telepon pada menit ke lima belas.

“Sangat susah meyakinkan pria tua yang cerewet,” gerutunya sambil menggosok seperempat batang rokok yang menyala ke dalam wadah cekung tembus pandang.

“Tuan Lee?” tanya Taeyeon. Gambaran laki-laki tua bertubuh kurus dengan kacamata tebal melintas di kepalanya.

Jessica mengangguk. “Salah satu kerabat Tuan Lee sedang mendapat masalah dan dia menunjuk aku sebagai penanggung jawab kasusnya.”

“Itu bagus.”

“Oh, tidak. Kasus yang sekarang saja sudah membuatku sakit kepala. Aku tidak mau mendapat lingkaran hitam di bawah mataku.”

“Nah, kamu pasti terlihat lucu seperti seekor beruang cina.”

“Maksudmu panda?”

“Panda itu untuk jenis kelamin laki-laki  sedangkan perempuan disebut manda,” ucap Taeyeon dengan permainan seribu kata absurd yang bisa memancing emosi semua orang kecuali satu. Gadis itu pasti sudah kehilangan akal sehat sehingga tanpa sadar telah menarik kedua sudut bibirnya terhadap sebuah kalimat yang sama sekali tidak lucu. Taeyeon tampak berpikir sejenak dan melanjutkan, “atau aku bisa memanggilmu beku.”

“Beku?” ulangnya tidak mengerti.

“Ya, beku. Beruang kutub.”

Jessica tertawa kecil dan menggeleng pelan. “Tidak ada beruang kutub yang mempunyai lingkar mata hitam.

“Tapi itu cocok untukmu.”

“Kalau begitu aku akan memanggilmu bedu. Beruang madu. Rambut coklat dan mata coklat.”

Di sana Taeyeon berusaha meredam tawa tanpa suara tetapi lengkungan pada garis bibirnya merupakan bukti kegagalan yang nyata. Astaga, mereka bertingkah konyol. Nama julukan biasanya diberikan oleh sepasang kekasih namun mereka bahkan tidak menjalin hubungan yang romantis. Atau mungkin belum? Dinding kamar pun akan mengolok-olok mereka jika bisa berbicara.

Jessica merapikan meja yang berantakan lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Memoles sedikit riasan di bibir sebelum mengenakan mantel yang senada dengan warna pakaian bawahnya. “Jadi ke mana kamu akan mentraktirku makan malam?”

“Baru-baru ini ada rumah makan yang sedang populer di kalangan remaja.”

“Dan kamu pikir tempat itu akan sesuai dengan usiaku?”

“Ayolah, kamu tidak setua itu. Kamu masih terlihat sangat cantik.”

“Terserah padamu saja. Hari ini adalah perayaan dua tahunmu setelah bekerja keras,” katanya sambil menyerahkan kunci mobil.

“Terima kasih atas kebaikan Nona Jung yang tidak menendang pantatku keluar dari perusahaan,” gurau lelaki itu dengan membungkukkan badannya sembilan puluh derajat seolah-olah sedang memberi hormat kepada ibu negara.

Jessica memandang ke sekeliling restoran yang menurut Taeyeon adalah tempat favorit anak-anak muda yang baru saja diresmikan bulan lalu di sekitar kawasan pusat perbelanjaan terbesar. Melihat seberapa banyak pengunjung yang makan di sana, Jessica berasumsi jika tempat itu memang layak dikunjungi. Mungkin karena konsep tempatnya yang unik atau cita rasa masakannya sangat lezat.

“Selamat datang, mari saya akan bantu pesanannya. Meja untuk berapa orang?” sambut pelayan wanita yang berdiri di ambang pintu masuk.

Taeyeon menjawab, “dua orang.”

“Saat ini kami memiliki promo dengan berbagai potongan harga hingga seratus persen yang dapat diperoleh setelah melewati tantangan. Apa Anda tertarik untuk mencobanya?”

“Tentu saja,” balasnya tanpa ragu. Dia sudah tahu jenis tantangan yang ramai dibicarakan di media sosial.

Enam tiang besi disusun tegak lurus dalam satu baris membentuk sebuah pagar dengan lima celah yang berbeda ukuran. Pada bagian atas tertulis jumlah potongan secara berurutan mulai dari angka terkecil hingga yang terbesar. Semakin sempit celah yang dilewati maka semakin besar potongan yang didapat.

“Biar aku saja,” kata Jessica menahan tangan temannya. Bukan terkait masalah uang tetapi jiwa kompetitif itu sudah melekat sejak lahir. Dan ya, gadis itu tidak suka menerima kekalahan.

Ruang kecil di urutan pertama tidak bisa dikatakan sebagai rintangan karena itu terlalu mudah. Melompati celah kedua diperlukan usaha tambahan dengan sedikit tekanan pada bantalan tubuh bagian bawah. Lalu celah sempit nomor tiga adalah lubang setan yang terkutuk! Segala bentuk sumpah serapah terucap di dalam hati ketika dadanya terasa sakit membentur tiang besi keparat! Dengan kedua tanduk kecil yang tumbuh di atas kepala, Jessica mendorong tubuh lelaki malang itu untuk melanjutkan usahanya.

Mempunyai tubuh kurus tidak selamanya membawa nasib sial karena pada saat itu Taeyeon mendapat kemudahan sehingga membawa dirinya selangkah lebih dekat pada celah keempat yang mempunyai potongan sebesar lima puluh persen. Namun, sepertinya keberuntungan itu hanya berlaku satu kali.

“Aku mau keluar.”

“Tidak. Ini tinggal sedikit lagi,” kata gadis itu sambil mendorong tubuh Taeyeon yang terjepit di tengah-tengah.

“Jessica, hentikan sekarang atau kamu akan membuatku impoten,” desisnya dengan nada suara rendah yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua. Nyawanya setengah melayang menahan rasa nyeri pada pergesekan yang terjadi di dalam kain segi tiga. Mau tidak mau Jessica terpaksa mundur ke belakang.

“Akhir pekan ini ada acara ke mana?” kata Taeyeon mengawali obrolan ketika duduk menikmati pesanan di atas meja.

“Tidak ada. Kenapa?”

“Mau pergi ke taman hiburan?”

“Maksudmu bermain rollercoaster dan sejenisnya? Tidak, terima kasih. Kamu seharusnya menjaga kesehatan jantung orang tua.”

“Kamu terlalu sering mengaitkan segala sesuatu terhadap angka.”

“Faktanya tiga puluh lima tahun bukan usia anak muda, kan?”

“Apa yang salah? Usia tidak menghalangi seseorang untuk melakukan hal yang menyenangkan.”

“Anak muda selalu berpikiran dangkal dan bertindak ceroboh. Katakan lagi hal itu nanti ketika usiamu menginjak kepala tiga. Kamu akan sering mengeluh tentang sakit pinggang dan nyeri leher. Apa kamu sudah kehabisan ide untuk mengajaknya berkencan?” selidik Jessica dengan mata menyipit.

Tiga bulan lalu Taeyeon menjatuhkan bom di telinganya yang membuat Jessica melompat dari tempat tidur. Lelaki itu mengatakan bahwa dia sedang menyukai seorang wanita yang hingga detik ini tidak dibocorkan namanya. Sebagai pengacara yang sebagian besar menggunakan otak kiri untuk menganalisis kasus berdasarkan fakta di lapangan, Jessica harus banyak bersabar menghadapi sikap temannya yang bertindak di luar nalar. Jadi di sinilah mereka sekarang terikat dalam suatu hubungan tolong menolong; Jessica akan membantu lelaki bodoh itu untuk lebih memahami tentang preferensi wanita dewasa.

“Kamu tidak menyukainya?”

“Aku sarankan kamu mengajaknya pergi ke tempat sepi dan tenang. Keramaian bukan pilihan yang bagus.”

“Hotel?”

“Oh, demi Tuhan. Apakah kamu benar-benar harus menyebutkan tempat seperti itu?” gerutu Jessica mengibaskan rambutnya ke belakang.

“Aku hanya bercanda,” ucapnya dengan rahang terbuka lebar. Itu membutuhkan waktu beberapa saat untuk membuatnya berhenti tertawa. “Menurutmu apakah dia akan menerima perasaanku?”

“Tidak,” jawab gadis itu tanpa perasaan bersalah. Dia sangat menjunjung tinggi arti kejujuran. Usia yang terpaut jauh dikhawatirkan tidak dapat mengimbangi pola pikir masing-masing individu yang terlibat dalam hubungan percintaan.

Taeyeon menatap wajah di depannya dengan perasaan campur aduk, “karena aku belum dewasa?”

“Sejujurnya aku pikir kamu mempunyai pandangan yang luas.”

“Benarkah?”

“Hm.. Kamu yakin pada perasaanmu?” Sejujurnya Jessica sangat penasaran tentang wanita yang berhasil menarik perhatian teman lelakinya tetapi untuk sekarang dia akan menggigit lidahnya atas pertanyaan tersebut.

“Ya. Kenapa?” tanya Taeyeon heran.

“Bukan sekedar pelampiasan sesaat? Kamu terlihat sangat mencintai Tiffany pada waktu itu.”

“Kamu masih menyimpan perasaan kepada Yoona?”

“Tidak,” jawabnya santai.

“Begitu pula denganku.”

“Tapi itu dua cerita berbeda.”

“Dengan akhir yang sama,” sela Taeyeon cepat. Dia menegakkan punggung pada sandaran kursi dan menatap ke dalam lingkaran hitam yang berkedip pelan. “Aku berharap dia menyukaiku.”

Kamu terlihat sangat menyedihkan atau cari saja wanita lain yang lebih muda; dua komentar paling rasional pada pikiran gadis itu tersangkut di tenggorokan. Ada apa dengan sosok pengacara yang dikenal tidak segan-segan membuat orang lain menangis di persidangan? Tampaknya harimau betina itu telah kehilangan taring dan cakarnya di hadapan seekor anak serigala.

Ekspresi Jessica melunak dalam sekejap seiring suaranya yang mengalun lembut. “Kamu tidak jatuh cinta pada istri orang lain, kan?” guraunya tertawa kecil.

“Sejauh yang aku tahu tidak ada cincin yang melingkar di jari manisnya.”

“Kalian berkomunikasi secara teratur?”

Taeyeon memiringkan kepala, “hampir setiap malam.”

“Oh, apa kamu meneleponnya terlebih dahulu sebelum menerima panggilan dariku?” tuduhnya dengan alis terangkat samar. Bodoh, seharusnya dia tidak perlu menanyakan hal yang aneh. Jessica tidak suka melihat senyum polos di wajah lelaki itu. Dan kenyataan bahwa Taeyeon tidak mengatakan sepatah kata pun membuat kebocoran halus di hati yang terdalam. Tidak terasa sakit tapi cukup menyengat.

“Kamu masih sering memberinya hadiah atau kejutan?” tanya Jessica mengingat salah satu saran yang pernah dicetuskan pada obrolan mereka di tengah malam.

“Ya.”

“Ditolak, dikembalikan atau dibuang?”

“Tidak, dia sangat menyukai bunga. Aku lihat itu diletakkan di tengah ruang kerja.”

“Itu pertanda baik. Sepertinya kamu tidak akan mengalami patah hati.”

“Berapa besar kemungkinan aku diterima?”

Jessica berpikir sejenak lalu menjawab, “sembilan puluh persen.”

“Baiklah, aku akan mencoba peruntungan nasibku malam ini.”

“Aku mendoakan yang terbaik tapi tolong jangan meneleponku jika itu berhasil. Aku tidak mau mendengar suara tawamu yang menyebalkan.”

***

Dalam kegelapan malam yang berselimut bintang Jessica mengerang panjang ketika ponsel sialan itu tiba-tiba berdering di tengah mimpi indah. Astaga, dia terpaksa membuka kelopak matanya yang lengket dan bersiap membuat perhitungan pada siapa pun yang berani menelepon pukul dua dini hari. Namun, nama yang muncul pada layar ponsel adalah pengecualian.

“Halo.”

“Sudah larut malam. Kenapa masih belum tidur?” tanya Jessica tanpa basa-basi.

“Aku hanya ingin mendengar suaramu.”

Keningnya berkerut dalam memikirkan skenario buruk yang mungkin terjadi. “Dia menolakmu?”

“Andai kamu berasa di posisinya, apakah kamu akan menolakku?”

“Tidak.”

“Terima kasih.”

“Apa?” tanya Jessica tidak mengerti.

“Terima kasih karena telah menerima perasaanku.”

“Hah, itu lelucon yang bagus. Aku harus kembali tidur sekarang.”

Kemampuan otaknya berada pada tingkat terendah ketika dia nyaris tidak bertahan melawan beban yang menggantung di kelopak mata. Dia akan membayarnya besok pagi. Mungkin dengan secangkir kopi hangat atau sebungkus permen jelly berbentuk beruang atau..

“Aku menyukaimu.”

Keheningan di seberang sana membuat Taeyeon bertanya-tanya apakah dia telah melakukan sebuah kesalahan dengan mengatakan yang sejujurnya. Atau barangkali gadis itu sedang tertidur pulas mengingat seberapa sering Jessica tiba-tiba menghilang di tengah obrolan yang berlangsung. Dia mengembuskan nafas berat, sedikit berharap kemungkinan itu yang kedua.

“Kau tahu, aku tidak bisa benar-benar tidur sebelum menerima telepon darimu. Kenapa dia begitu terlambat. Apakah dia sudah sampai rumah dengan selamat. Bagaimana dia bisa melewatkan makan malam. Pertanyaan semacam itu terus berputar dari waktu ke waktu. Aku tidak memikirkan apa-apa selain dirimu.”

Taeyeon merapikan selimut abu-abu yang menutupi setengah badan. Kemudian menyingkirkan satu bantal di belakang punggung agar lebih rendah. Perlahan dia merebahkan tubuhnya, tidur terlentang menatap langit-langit kamar.

“Semalam aku kehabisan mawar jingga di toko biasanya. Aku akan mencari tempat lain sebelum karangan bunga di ruang kerjamu menjadi layu. Ah, sepertinya aku juga harus menuliskan nama dengan jelas pada kartu ucapan. TK bukan singkat dari Tyler Kwon melainkan Taeyeon Kim.”

Kesunyian semakin terasa menyelimuti dirinya dalam setiap embusan nafas yang terdengar secara konstan. Siapa yang mengira bahwa lelaki itu akan jatuh cinta kepada wanita keras kepala, bermulut pedas dan suka memerintah. Dulu dia sering melarikan diri ketika radarnya menangkap kehadiran gadis berambut pirang dari radius ratusan meter. Namun sekarang dia selalu mencari-cari alasan agar dapat dipersilahkan masuk ke dalam ruangan kerja bernuansa putih tulang. Lucu melihat bagaimana dunianya terbalik dalam waktu dua tahun.

“Aku terlalu banyak bicara, bukan? Akan kututup teleponnya sekarang. Selamat malam, Jessica. Aku mencintaimu.”

“Selamat malam, Taeyeon..” jawabnya selang tiga detik setelah sambungan terputus.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onesleven
#1
Chapter 20: Hahaha bisa-bisanya Taeng kira itu covid test, kacau-kacaaau 😆
Untung Sica emosinya lagi labil kalo gak udah di keplak kepalanya Taengoo haha
Makasih sudah kasih happy ending buat Taengsic, selamat tahun baru juga!
onesleven
#2
Chapter 19: Antara Yuri dan Sica, gak tau deh mana yang paling tolol, Fany sama Taeyeon sudah kasih clue disana-sini sampai akhir gak ngeh juga, kasian..
Semoga akhirnya TaengSic jugs bahagia seperti yang lain. Terima kasih sudah update ceritanya~
sabeth #3
Chapter 14: Kenapa anak Seohyun dan Yoong harus mengalami jantung berhenti.

Semoga saja Yoong berubah menyayangi Seohyun.
onesleven
#4
Chapter 10: Hai, gue hampir gak pernah baca ff snsd bahasa indonesia tapi cerita lu ini asik. Gue suka cara menulisnya mirip kayak novel remaja jaman dulu pas gue smp, bahasanya baku tapi tetap enak pas di baca. Mudahan ada terusannya, makasih~
sabeth #5
Chapter 10: Kasihan si Seohyun. Itu kalau Yoona cuek begitu, bagaimana nanti si Seohyun melahirkan. Kan Seohyun hamil anak dia kenapa perlakuan Yoona begitu. Sesak nafas bacanya.
sabeth #6
Chapter 3: Ceritanya bagus. Jangan lama2 ya up date. Thanks