Gone

Faded

*** 

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 KST.

 

Malam yang semakin gelap, dan angin yang kian menusuk kulitku. Aku memandang ke arah langit yang kosong tanpa bintang. Bahkan, bulan pun tidak terlihat malam itu. Seakan Semesta sedang bersedih bersama perasaanku.

 

Aku berdiri sambil menyilangkan kedua tanganku di dada. Berusaha untuk tegar tanpa menjatuhkan airmata sedikit pun.

 

Suasana begitu hening di jalanan kosong yang masih dalam perbaikan ini.

 

Hanya ada aku dan dia.

 

Jiyong.

 

Saat aku menerima teleponnya beberapa jam lalu, aku jelas tepergok olehnya bahwa aku sedang berada di depan gedung agensinya.

 

Dan, ia mengajakku untuk bertemu. Masih ada yang perlu dibicarakan, katanya.

 

“Bagaimana kabarmu, Taeng?”

 

“Baik,” jawabku pelan.

 

“Bagaimana kegiatanmu bersama SNSD?”

 

“Itu juga baik,” jawabku seadanya.

 

Samar-samar, aku mendengar suara tawa kecil dari arah laki-laki yang sedang berdiri di sampingku.

 

“Kita hanya berpisah dalam hitungan hari, dan kini seolah seperti menjadi orang asing yang tidak saling mengenal,” ucapnya.

 

Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya,”Sadar ‘kah kau, bahwa kau yang membuat hubungan kita jadi seperti ini, Jiyong.”

 

Ia terdiam. Langsung menoleh ke arahku.

 

Mata kami bertemu sepersekian detik, sebelum akhirnya aku mengalihkan pandanganku darinya.

 

“Apa yang masih perlu dibicarakan?” tanyaku dengan cepat. Aku tidak ingin berlama-lama dengannya saat ini.

 

Aku takut.

 

Aku takut akan semakin tidak bisa melupakannya.

 

“Jika aku dan Kiko tidak...” Jiyong menggantungkan kalimatnya. “Taeng, apa hubungan kita saat ini jika hal ‘itu’ tidak terjadi antara aku dan Kiko?”

 

Aku menelan ludah kering. Pikiranku berputar-putar dengan pertanyaan yang baru saja diajukan Jiyong.

 

Apa hubungan kami jika hal itu tidak terjadi?

 

“Untuk apa kau bertanya?”

 

“Aku hanya ingin memastikan, bahwa perasaanmu benar untukku, Taeng.”

 

Aku menoleh dengan tatapan sinis,”Kau adalah manusia egois, Jiyong.”

 

Jiyong menoleh dengan cepat tepat setelah aku menyelesaikan kalimatku.

 

“Egois?” tanyanya dengan dahi berkerut.

 

Aku mengangguk,”Kau ingin memastikan bahwa perasaanku untukmu. Di saat yang sama pula, kau tidur bersama orang lain dan menyakitiku. Apa kau pikir perasaanku hanyalah mainan yang bisa seenaknya kau buat senang dan sedih, Jiyong?”

 

“Taeng, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku minta maaf untuk hal ini. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyakitimu,” katanya dengan mata berkaca.

 

“Tidak bermaksud? Lalu, ini apa, Jiyong? Kau datang dan mengubah perasaanku. Dan, kau tinggalkan aku dengan cara menyedihkan seperti ini.”

 

“Taeng, aku salah.”

 

“Ya, memang itu salahmu.”

 

Jiyong memajukan tubuhnya untuk lebih dekat denganku. Sedangkan aku, hanya mematung dengan kaki yang bergetar.

 

“Aku salah sudah tidur dengan Kiko. Saat itu aku mabuk, Taeng. Aku tidak sadarkan diri. Dan, malam itu semua terjadi begitu saja, Taeng. Aku bersumpah bahwa –“

 

Stop, Jiyong.” Aku memotong ucapannya. “Berhenti membuatku terjatuh terlalu dalam dengan perasaanku. Kau sudah jelas menyakitiku. Dan, aku tidak membutuhkan alasan apapun darimu.”

 

“Taeng...” Jiyong mencoba meraih tanganku, namun dengan cepat ku tepis tangannya.

 

“Kenapa kau masih menyimpan nomorku? Bukan ‘kah kita sudah berjanji untuk saling menghapus kehadiran satu sama lain di antara kita?” tanyaku dengan nada bergetar.

 

Tatap mata kami kembali bertemu. Semilir angin malam semakin menusuk ke dalam kulitku.

 

“Dapat ‘kah kau menghapusku dari hidupmu, Taeng?”

 

“Jelas bisa. Aku tidak punya alasan untuk mempertahankanmu dalam hidupku,” ucapku tegas.

 

“Lalu, sedang apa kau malam ini di depan gedung YG? Bukan ‘kah kau datang untuk melihatku?”

 

Aku mematung.

 

Skakmat.

 

“A-Aku hanya lewat,” jawabku gugup.

 

“Lalu, bagaimana kau tahu bahwa tadi aku meneleponmu? Bukan ‘kah seharusnya kau sudah menghapus kontak nomorku dari ponselmu? Kau ingat, saat aku meneleponmu, kata yang pertama kau ucapkan adalah memanggil namaku?”

 

Aku kembali mematung. Otakku berpikir keras mencari jawaban yang bertolak belakang dengan apa yang sedang ku rasakan saat ini.

 

“Akuilah, bahwa kau tidak dapat menghapus kehadiranku dari hidupmu begitu saja, Taeng. Karena, aku juga tidak bisa melakukan itu.”

 

Jiyong kembali mencoba meraih tanganku. Kali ini, ku biarkan ia menggenggam tanganku.

 

Entahlah, seolah tubuhku semakin menolak segala hal yang ingin ku lakukan.

 

Aku ingin pergi, namun tubuhku memutuskan untuk berdiri di sini.

 

Aku ingin berlari, namun sisi lain dari diriku memutuskan untuk mendengarkan semua alasan klisenya saat ini.

 

“Aku bisa menghapusmu, Jiyong. Bagiku, kau bukan apa-apa. Dan, aku tidak memiliki perasaan apa-apa untukmu,” aku menyentak tanganku, melepaskan tangan Jiyong yang menggenggamnya dengan erat.

 

Dengan nada bergetar dan airmata berlinang, aku menatap Jiyong.

 

“Aku harap, ini adalah kali terakhir aku melihatmu.”

 

Aku mengepalkan tanganku, mencoba untuk menahan airmata yang siap terjatuh.

 

“Pergilah, Jiyong. Bahagialah. Dan, lupakanlah aku.”

 

Jiyong menatapku dengan tatapan tidak percaya,”Taeng, jawab aku dengan jujur.”

 

Aku memundurkan posisiku berdiri dari Jiyong. Berusaha untuk menahan diri agar tidak terpengaruh dengan ucapannya kali ini.

 

“Pernah ‘kah perasaanmu berubah untukku? Sekali saja. Hanya sekali, Taeng. Pernah ‘kah kau mencintaiku? Setelah apa yang kita lalui bersama. Pernah ‘kah?”

 

Aku terdiam sejenak. Menatap mata Jiyong lamat-lamat. Di sana, aku menemukan kerinduan yang hilang selama beberapa hari ini. Rasanya, ingin aku berlari ke dalam pelukannya dan menumpahkan segala rasa rinduku.

 

Tapi, tidak.

 

Hubungan kami harus berakhir di sini.

 

“Tidak, Jiyong,” aku menggeleng dengan berbohong. “Aku tidak pernah memiliki perasaan sedikit pun untukmu.”

 

Jiyong menundukkan kepalanya. Tersirat rasa frustasi dari balik matanya.

 

“Baiklah. Akan ku turuti maumu.”

 

Aku terdiam melihat laki-laki itu kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum.

 

“Aku akan melupakanmu. Aku akan menghapus nomormu. Dan, aku akan melupakan semua tentang kita. Aku juga akan melupakan semua perasaanku padamu.”

 

Deg.

 

Dadaku terasa sakit.

 

Sangat sakit, hingga membuat airmataku terjatuh lagi.

 

“Dan, akan ku pastikan ini pertemuan terakhir kita.”

 

Tanganku bergerak perlahan, ingin rasanya aku menahan kepergiannya. Ingin rasanya aku berteriak dan mengungkapkan perasaanku padanya.

 

“Selamat tinggal, Taeyeon-ssi.”

 

Taeyeon-ssi?

 

Ia memanggilku Taeyeon-ssi? Ini terdengar sangat asing di telingaku. Kemana panggilan Taetae untukku?

 

Airmataku berderai menyaksikan Jiyong pergi dan membelakangiku.

 

Kakiku lemas, sampai membuatku tak mampu berdiri. Aku terduduk di atas aspal yang terasa dingin malam itu.

 

Sambil menyaksikan kepergiannya yang tidak lagi menoleh ke arahku.

 

“Selamat tinggal, Kwon Jiyong,” ucapku lirih.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
nkrksw
I think, i will make a sequel for this story. What do you think? Comment below.

Comments

You must be logged in to comment
soshifiedpixie #1
Chapter 20: The story is so good! Thank you for the update. A sequel will be very nice!
utamitaaa #2
Chapter 20: yess please make the sequel
yeoboya #3
Chapter 13: Wah ceritanya makin mendebarkan. Aku tunggu kelanjutannya ya!
yeoboya #4
Chapter 6: Authornim~~~~
Ini bagus banget! Tapi sampai chapter ini aku masih bingung gimana sih sebenernya hubungan Taeyeon sama Jiyong disini. Di satu waktu kayaknya Taeyeon yang leading hubungan mereka, tapi di waktu lain Jiyong yang ngeleading...
soshifiedpixie #5
Chapter 12: This is really good. Thankfully Chrome has translate. Thank you for this story authornim!