FALSE ALARM

NICE GUY FF 'Another Ending'

Part 9

 

Para pria bertubuh tegap itu menyeret Eungi semakin cepat, menggeretnya masuk ke dalam mobil sementara Aku tak dapat melakukan apapun kecuali tersungkur dalam hangat pelukan Jae Hee. Kemudian segala hal terasa kabur, tak teraba dan nyaris kasat mata. Seiring suara teriakan Eungi yang redup menghilang, lamat-lamat aku menyadari sesuatu.

Ini mungkin adalah pertemuan terakhir kami.

.

.

.

Ada suatu masa ketika Maroo berpikir jika Eungi akan memaafkannya sepenuh hati lalu dengan sumringah manisnya yang lebih memabukkan dari wangi kasturi, wanita itu akan berlari menyongsongnya. Sekali lagi menyematkan tittle sebagai seorang istri yang baik.

Tapi, layaknya candu senda yang terkikis kuningnya persawahan ketika musim panen tiba. Itu hanya delusi konyol seorang Kang Maroo. Karena pada akhirnya Ia harus kembali terjerembab dalam sederet frasa berbunyi;

 

“Sejak kapan kau mendapatkan apa yang kau inginkan, Maroo?”

 

Sore ini ada getar yang mengikat dua sisi paru-paru Maroo, hingga napasnya yang biasa panjang itu pun hanya membias sejemang di udara. Siapa lagi pelakunya kalau bukan seorang Seo Eungi.

Nyatanya meski, Maroo sangat tahu jika Ia dan wanita itu terikat dalam tarikan magnet yang mengiblat pada dua sisi berbeda. Keduanya tak bisa dipisahkan begitu saja. Selain atas dasar sumpah di atas altar, ada alasan lain. Janin kecil yang terus tumbuh dan bergerak di dalam rahim si wanita. Buah cinta mereka.

Namun, jika boleh saja jujur – lebih dari alasan mendasar apapun itu, perasaan mereka sendirilah yang tak bisa serta merta berpaling. Bayi itu bukanlah alasan utama Eungi maupun Maroo untuk bertahan. Ada hal yang masih begitu membara; Cinta.

Kata yang seolah lenyap dan raib belakangan ini oleh segala gumul kegaduhan yang sengaja Eungi ciptakan. Jarak tak terlihat selalu wanita itu suguhkan tak kala Maroo mendekatinya maupun mengajaknya bicara.

Sama seperti saat ini, ketika Ia mendapati sang bidadari tengah meneguk segelas air di dapur, sendirian. Ada gelitik kecil menyusuri simpul-simpul neutron di otak Maroo untuk memulai suatu konversasi, meski ya – Ia tak yakin Eungi akan menanggapinya dengan cara seorang istri selayaknya memperlakukan suami mereka.

“Kau sengaja melakukannya?” Suara Maroo menggema di hening dinding dapur mereka, beberapa menit setelah kepergian si tamu tak diundang – Han Jae Hee.

Pria itu tak mengharap banyak. Harapannya hanya satu, mendengar suara dari mulut Eungi yang akan secara magis mengatakan jika mereka masih benar-benar hidup bersama, meski si wanita nampaknya tak terlalu sudi untuk mengingat maupun menikmatinya.

“Kenapa? Kau tidak menyukainya? Bukankah ini menyenangkan juga untukmu?” Eungi menjawab ketus, lupa pada segala sumpahnya di atas altar sebagai seorang istri.

Ia meletakkan gelasnya dengan congkak, kemudian mengarak wajahnya ke hadapan Maroo. Lewat sorot matanya yang setajam elang afrika itu, Ia sekali lagi menegaskan aroma kebencian yang masih menjalar hangat bagi sosok sang Cassanova.

“Apa maksudmu dengan ini menyenangkan juga untukku?” Alis Maroo mengkerut tajam.

“Kang Maroo, yang bertindak sejauh ini demi Han Jae Hee…  Kang Maroo, yang melakukan apapun demi Han Jae Hee… Kang Maroo, yang terjebak di sisi Eungi karena Han Jae Hee…

Bukankah ini menyenangkan?” Cemoh Eungi dengan senyum sarcastik.

Ia tekun dengan setiap usahanya untuk menelanjangi rentetan ekspresi yang mungkin Maroo buat.

Sayangnya daripada tersulut oleh segala kecurigaan sang istri, si Casanova justru tergelak tipis. Setipis pertemuan matahari dan rembulan yang tak pernah terjadi secara kasat mata.

“Ya, Kang Maroo mencintai Han Jae Hee…” bisiknya tajam, menikam relung paling dalam milik sang dewi yang beberapa malam ini betah memunggunginya.

Pria itu, Kang Maroo… Ia lebih suka menuruti semua prasangka buruk Eungi daripada berdebat dengan segala dendam dan kebencian yang mengerat di antara mereka.

Eungi tersenyum makin lebar, menutupi hatinya yang tercabik rata akibat igauan Maroo.

“Kau pasti sangat tersiksa berada di sisiku kan?” tuduhnya, santai.

Maroo terdiam untuk sejenak, lalu nyaris dengan tanpa ekspresi, mulutnya membisikkan sebait kalimat, “Iya, aku sangat tersiksa.”

Seperti menghisap helaian kapas. Bagi Eungi – jawaban Maroo terdengar ringan tapi juga menyesakkan.

“Kau pasti ingin membunuhku? Bukankah membunuh itu hal mudah bagimu, Kang Maroo?” sindir Eungi yang kini basah dihujani delusi dan segala elegi tentang kejahatan Maroo di masa lampau.

“Aku sangat ingin melakukannya, tapi untuk saat ini aku masih ingin bermain denganmu, Seo Eungi.”

Mata mereka beradu, memercikkan kebencian semu pada siluet masing-masing, kemudian pada sekon ke sepuluh, Eungi menghentak segala perdebatan di antara mereka dengan ancaman fana-nya.

“Baguslah, tapi bagaimana ini? Aku ingin membunuhmu dan semua iblis laknat itu saat ini juga?”

Maroo tak merespon apapun, hanya saja jika Eungi tahu. Ada genangan air disana. Bukan di tempat yang bisa Ia lihat, tapi di dalam hati Maroo.

Entah sejak kapan hubungan mereka jadi seperti ini.

Rasanya baru kemarin, Maroo bisa bebas mencium dan mengecap aroma manis Eungi kapan saja. Namun kini, mereka malah saling tindih dalam perdebatan kusir serta ancaman-ancaman serupa gertak sambal.

Tak berguna tapi menyakitkan.

 

Dan malam itu Eungi kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang nan dingin sendirian. Menatap kosong pada langit-langit kamar yang kusam dan menyesakkan. Pipinya terasa hangat, ada sekelompok pengkhianat yang terjun menghujam pori-pori kulitnya. Seorang Seo Eungi tak pernah menangis. Bagian dari tubuhnya itu baru berguna setelah Ia bertemu Maroo.

“Kau mendengarnya juga? Ayahmu selalu mencintai wanita itu.” bisiknya.

 

~oOo~

 

Jika langit ingin mencatat siapa sekumpulan biotik paling terusik oleh cara alam menjaga keseimbangan ekosistem pertumbuhannya melalui kehamilan Eungi. Maka dua makhluk ini adalah jawaban paling sempurna. Ahn Min Young dan Han Jae Hee. Sekutu bengis tak berperasaan yang mengikat dirinya satu sama lain dengan partikel takdir di singgasana Iblis.

Sudut alis Pengacara Ahn berkedut jamak ketika kalimat Jae Hee menyambangi kedua gendang telinganya. Kacamatanya melenceng beberapa inci.

Kumpulan fragmen berbunyi, “Eungi sedang mengandung anak Maroo” telah berhasil menekan sendi-sendi peredaran darahnya untuk sesaat. Mata aslinya yang selalu terlindung di balik potongan kaca itu terbelalak tak percaya. Sama seperti sosok di hadapannya, Ia dihantui perasaan cemas.

“Kau yakin itu bukan taktik lain mereka?”

“Tidak, ingatannya bahkan belum kembali. Jadi dia hanya seorang Seo Eungi yang polos sekarang. Tapi, ada satu hal yang sangat mengangguku.” kalimat Jae Hee terhenti.

Ia mendesah panjang sebelum akhirnya menambah kerutan di kening Pengacara Ahn dengan potongan fragment selanjutnya;

“Jika ingatannya kembali, aku tak tahu dia akan jadi monster semacam apa. Dia bahkan jauh lebih menakutkan dari kakakku Jaeshik. Kau tahu kan, Eungi itu sakit jiwa.”

“Lalu kau takut?” Pengacara Ahn menarik langkahnya lebih dekat.

“Takut? Apa ini saatnya aku merasa harus takut? Lebih dari perasaan takut, aku justru mengkhawatirkan Eunsuk. Dia wanita gila yang akan menerkam siapapun bahkan saudaranya sendiri.”

“Tenanglah Presdir, Aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Tidak akan pernah…” Sorot mata Pengacara Ahn menajam, dan itu artinya Ia punya rencana.

 

~oOo~

 

~MAROO POV~

Aku sedang duduk di ruang tamu dan menasehati Jaegil soal pekerjaan apa yang harus Ia ambil saat suara itu menganggu konsentrasi otakku.

Tanpa perlu dua kali kalimat yang sama dari mulut Jaegil untuk melakukan sesuatu, aku sudah berlari dengan sigap menuju sumber kegaduhan itu. Namanya Seo Eungi, wanita yang kusayangi melebihi diriku sendiri. Dia tengah terbatuk-batuk kepayahan di atas bibir wastafel. Jemarinya yang kurus itu mencengkeram tepiannya dengan sangat tersiksa. Ah, inikah yang disebut Morning Sickness?

Ternyata separah ini. Kuhampiri tubuhnya yang rapuh dan kupijat-pijat pelan tengkuknya. Ia tidak menolak dan aku suka karena dia menikmatinya. Setelah nyaris sepuluh menit kami menghabiskan waktu di bilik kamar mandi yang sempit, akhirnya aku memapahnya kembali dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang hangat kami.

Kutekuri lengkuk-lengkuk wajahnya yang kelelahan. Wanitaku pasti sangat menderita.

“Kau mau kuambilkan air hangat?” tanyaku dan dia tidak mengangguk ataupun menggeleng. Maka kuanggap saja artinya Iya.

Dengan kecepatan penuh yang tak kusangka-sangka bisa datang dari diriku. Aku pergi ke dapur, menuang segelas air dan kembali ke kamarnya dalam sekon yang tak main-main. Kilat.

Ia cukup terkejut dan nyaris tak menyangka.

Tak perlu banyak kalimat karena napasku sudah ngos-ngosan. Aku hanya menyodorkan gelas berisi air hangat itu ke atas tangannya. Ia menerimanya dan aku merasa lega.

Pagi ini tidak terlalu burukkan, bagi kami?

Lalu entah dari sudut diriku yang sebelah mana, keberanian itu merangkak naik, menggerakkan salah satu tanganku dengan statis. Menghinggapkannya ke atas perut Eungi yang dingin.

Belum ada gerakan apapun disana, tapi hatiku sudah membuncah-buncah.

“Jadilah anak yang baik, jangan seperti Ayah yang selalu membuat Ibumu menderita,” kubisikkan kalimat itu dengan begitu tulus dan Eungi terenyak.

Wanitaku itu tak mengatakan apapun.

Kutarik telapak tangan kananku dari atas tubuhnya. Jemariku bergeming menangkup gelas kosong dari tangannya. Aku berdiri, dan tiba-tiba saja Ia sudah memeluk pinggangku. Tak ada dialog dari diagram delusi dan mortal pertemuan diri kami saat ini. Tapi bisa kurasakan jantungku berdetak melewati irama.

 

~EUNGI POV~

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ada bagian dari diriku yang gemar berkhianat. Bagian itu pagi ini lepas kendali. Tak ada yang bisa kusalahkan, bahkan perhatian Maroo sekalipun. Aku mungkin akan berusaha menyumpahi diri sendiri setelah ini tapi, biarlah untuk sekian sekon yang tak mau kuhitung dampaknya. Aku akan larut, menenggelamkan diriku dalam pelukan seorang pria jahat seperti Kang Maroo.

Tak ada suara apapun kecuali desau wajahku yang bergesekan dengan bajunya. Kurasakan tangan pria itu memeta di balik punggungku. Mengusapnya pelan dan seiring kesadaranku beringsut kembali memenuhi atmosfer kamar ini. Kukendurkan lenganku dari pinggangnya. Nyaris tanpa ekspresi aku menjumput sebait monolog singkat untuk kami, “Terima kasih.”

~Author POV~

Dipimpin oleh bunyi gemeretak gelas yang beradu singkat di atas meja. Ingatan Maroo memulas database-nya dan melemparkan sebagian dirinya kembali menuju lorong Rumah Sakit yang sepi, beberapa jam setelah Eungi siuman.

Ada bayangan Pengacara Park dengan kerut-kerut kecemasan di atas dahinya beserta tetesan keringat membasahi tengkuknya.

Pria dengan tingkat pendidikan serta adat sopan santun yang tak akan pernah sanggup Maroo gapai itu mengulur napas gelisah. Ujung bibirnya berlenjitan dipasung kalut yang menikam. Malam itu setelah tahu dampak dari pernyataan-nya pada Eungi. Ia segera berlari menyonsong pengap udara Rumah Sakit. Lalu mengukir sebuah pengakuan mencengangkan.

Dan kini Maroo tengah menggenggam prasasti dari pertemuan mereka saat itu. Sebuah tape recorder. Katanya, isi dari tape ini sama persis dengan isi dari tape yang sudah Ia berikan pada Eungi. Rekaman di malam kematian Ayahnya, dimana ada dua makhluk penuh tipu daya di sana; Han Jae Hee – Ahn Min Young.

Mau tak mau ucapan Pengacara Park menggema di benaknya sekali lagi;

“Kau tahu Eungi itu wanita seperti apa. Aku sungguh menyesal sudah memberitahunya soal ini. terutama setelah aku tahu dia sedang mengandung. Dia bisa bertindak nekat, Maroo… Kumohon, jangan mengabaikannya. Hanya kau yang bisa mengawasinya…Kumohon padamu.”

Maroo menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya kembali dengan perasaan dingin yang menyeruak.

“Kesalahanmu Maroo… Kau yang membuat semuanya seperti ini….”

Kalimat itu mengepungnya tanpa peringatan takkala manik matanya menumbuk siluet-nya sendiri di bening dinding gelas. Ia masih tak percaya Jae Hee bisa melakukan hal seperti itu. Keterlibatannya dalam kematian Ayah Eungi adalah hal yang paling menusuk jantungnya di antara semua hal busuk yang pernah wanita itu lakukan.

Dari awal segalanya sudah salah.

Ia yang membuat semuanya berjalan tak semestinya. Menebus dosa Jae Hee saat itu adalah keegoisannya sendiri. Ia salah mengartikan cinta. Ia terlalu sombong.

Sang Cassanova terdiam dalam kumparan ketidaknyamanan, hingga seorang gadis bersurai panjang dengan boneka rakoon kesayangannya menyembul di kedua pelupuk matanya – menarik kesadarannya dari awang-awang.

“Kakak hari ini pergi ke kantor?” tanya gadis itu polos.

“Hmm, kenapa?”

“Aku ada tiket nonton untuk dua orang tapi kupikir aku tidak bisa pergi hari ini, bagaimana jika Kakak pergi saja bersama Kak Eungi?

Bukankah kalian tidak pernah menonton bioskop berdua?”

Kang Choco mengedipkan matanya dengan dua buah tiket melambai-lambai di tangan.

 

~oOo~

 

~Eungi POV~

“Kenapa kalian menghindariku?” adalah kalimat pertama yang kulemparkan ke wajah mereka. Dua sekutu yang beberapa hari terakhir ini terasa seperti Pengkhianat.

“Apa yang sudah Maroo katakan pada kalian? Apa kali ini, kalian juga sedang menipuku?” Aku menggertakkan gigi, menegaskan jika julukan ‘Anjing gila’ yang selama ini melekat pada diriku, tak akan pernah hilang.

Dan mereka terdiam, ada keresahan serta ketakutan. Aku memberi waktu, hingga setelah beberapa dekade sekon berlalu, salah satu dari keduanya menjawab;

“Kali ini, biarkan Kang Maroo membantu kita Bu Direktur….

Jangan terlibat dalam hal yang membahayakan lagi, anda sedang hamil!”

Aku tersenyum, antara merasa konyol dan jijik mendengar kalimat Sekertaris Hyun.

“Kalian mempercayai pria itu?” tanyaku.

“Bukan begitu tapi, dia yang paling banyak berkorban untuk anda sejauh ini…” Pengacara kesayanganku ikut buka suara.

Amarahku meluap dan hal selanjutnya yang aku ingat adalah tiga cangkir teh di hadapan kami nyaris melompat dari atas meja dengan isi yang menciprat kemana-mana.

“PENGACARA PARK!” teriakku, emosional.

 

~oOo~

 

Pria itu, sedang duduk mematung di depan meja kerjanya saat kakiku melangkah masuk. Entah apa yang sedang Ia pikirkan; aku, dirinya atau calon bayi kami. Tak ada gairahku untuk bertanya atau sekedar menabur hawa sok perhatian padanya, karena pada akhirnya toh aku sendiri yang akan tenggelam dalam pesona dan segala tipu daya pria itu.

“Good Morning” sapaku ramah, seolah kami adalah sepasang kekasih yang baru saja bercumbu pagi tadi.

Pria itu tersentak, Ia cukup terkejut mendapati istri yang seharusnya berada di rumah sekarang berdiri tak kurang dari 1 meter di hadapannya.

Wajahnya mengkerut cemas dan dengan segera dua tungkai jenjangnya meluruhkan jarak di antara kami.

“Kau kemari? Kenapa tidak istirahat di rumah?” tanyanya dengan sebuah tangan mulai menghampiri lenganku.

Aku hanya melirik datar, “Kenapa? Apa aku tidak boleh kemari, suamiku?” ada gelombang sindiran yang terbingkai nyata saat kuletupkan kata ‘suamiku’ kepadanya.

Ia terdiam, melepaskan genggamannya dari lenganku. Bukankah sudah cukup jelas jika wanita di hadapannya ini sedikit berpribadian ganda. Dia mungkin mengira pelukan hangatku tadi pagi adalah sebuah isyarat rujuk. Sayangnya saat itu aku hanya sedang tidak waras.

Aku – Seo Eungi masih begitu ingin melemparnya ke neraka.

Kuamati sudut demi sudut ruangan kerjanya. Kuayunkan kakiku selangkah demi selangkah bak seorang guru yang tengah menginspeksi isi tas muridnya. Dan perhatianku terhenti pada sebuah pigura kecil di atas meja. Foto pernikahan kami yang sangat bahagia. Kuraih benda itu perlahan, kupandangi sejenak lalu dengan senyum sarcasm kutaruh kembali kayu persegi panjang itu ke atas mejanya.

“Aku yang terlampau bodoh atau kau yang terlalu pintar berakting saat itu?” tanyaku, dengan punggung yang masih enggan berbalik.

Pria itu tak menjawab, tapi dapat kudengar suara sepatunya mendekat dan bayangannya mulai menjamah bayanganku. Tak perlu segala penjelasan jarak dari rumus Fisika untuk memberitahuku soal kemungkinan hidung kami akan bersentuhan jika aku nekat berbalik.

Ada desah napasnya menapak hangat di sekitar tengkukku. Suaranya yang pelan nan sendu itu seolah ingin menikam segala gamang dan dendam di dalam sukmaku.

“Bagaimana aku harus menjawabmu agar kau merasa puas, Seo Eungi?” tanyanya setengah berbisik.

Kuukir dua langkah jeda menjauhinya lalu kuberanikan diriku untuk berbalik. Kusuguhkan tatapan tajam khas seorang Seo Eungi di hadapannya.

Sayangnya, alih-alih menjauh dia justru mendekat – sekali lagi mengikis jarak di antara kami. Aku sudah berpikir dia akan menciumku tapi nyatanya dia hanya berbisik,

“Baguslah, melihat caramu menatapku seperti ini. Artinya kau sudah tidak sesakit tadi pagi. Bayiku mendengarkan Ayahnya dengan begitu baik.” Ia menyemai seringai tipis seraya menarik tubuhnya mundur. Membuatku merasa kalah telak tanpa alasan.

“Jadi karena kau sudah repot-repot mengunjungiku, kenapa tidak sekalian menemaniku makan siang?” Ia menunjukkan dua tiket bioskop padaku, yang entah sejak kapan sudah Ia persiapkan.

Namun, sebelum tangan lancangnya berhasil mengait pada salah satu lenganku, ada suara langkah kaki. Sesosok wanita yang sangat kukenali aroma kelicikannya, hadir menyela ‘romantisme’ kami.

“Kang Maroo… kita perlu bicara tentang Eungi!” katanya.

“Berbicara tentangku?” Aku menyahut sok polos, mengagetkan sang pemilik suara yang langsung mematung tak dapat melanjutkan kalimatnya.

Kalian tertangkap basah!

Aku menatap tajam, sengaja mengintimidasi lewat semburat kecurigaan yang kulontarkan ke atas wajahnya. Ia tercekat, bola matanya menari dalam bingung ke arah suamiku.

“Eun..gi? Kau di sini?” suaranya terdengar parau, mungkin syok yang kutimbulkan akibat kedatanganku sudah mengendurkan pita suaranya.

“Apa karena kubilang aku akan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Maroo, itu berarti aku tidak boleh menjejakkan kakiku disini lagi, Presdir?” tanyaku yang jika saja Jae Hee sedikit lebih pintar, maka dia akan segera tahu jika itu adalah sebuah sindiran halus.

“Ah… bukan… bukan begitu Eungi, hanya saja…” Wanita itu berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Maksudku setelah mendengar jika kau sedang hamil, aku berpikir untuk memberitahu Maroo agar lebih menjagamu.”

Aku nyaris tergelak mendengar jawaban dangkalnya. Kulirik Maroo yang masih betah menonton ‘telenovela’ kami.

“Kau dengar Sayang? Ibu tiriku ini begitu perhatian-kan? Ayahku memang pintar memilih simpanan.” Aku tersenyum sementara dia yang ku’puji’ mengernyit bingung oleh tatanan diksiku yang serupa sampah serutan pensil – kasar dan bergerigi.

Aku tahu dia pasti sedang menerka-nerka siapa yang sebenarnya tengah berdiri di hadapannya saat ini. Si anak tiri yang sakit ingatan atau si anjing gila bernama Seo Eungi, musuh bebuyutannya.

“Cukup Eungi!” Suamiku yang sedari tadi diam rupanya tak kuasa memendam lagi isi hatinya. Ia mencengkeram lenganku menahan amarah, matanya menyorot tajam. Mungkin dia juga terganggu karena hinaanku pada wanita yang sangat Ia cintai itu.

“Kenapa? Kau tak suka wanitamu kuhina, Kang Maroo?” kutepis cengkeramannya dengan santai, kuamati kedua wajah berselubung topeng di hadapanku ini.

Dan bibirku perlahan mengulum senyum sarcastik.

“Well, sebenarnya kedatanganku hari ini bukan hanya untuk bersenang-senang bersama kalian berdua. Ini rasanya kurang adil jika aku hanya membagi kebahagiaan untuk kita bertiga. Jadi, bisa tolong luangkan waktu kalian sebentar?” pintaku misterius.

 

~oOo~

~Maroo POV~

Ia berjalan masuk mendahuluiku dengan tatapan dingin namun penuh percaya dirinya itu. Iya, kalian benar. Aku sedang membicarakan Seo Eungi. Dia yang hari ini tiba-tiba saja menampakkan dirinya di Taesan dan bersikap begitu misterius.

Tak ada hal yang bisa kubagi pada kalian kecuali kegundahanku akan firasat buruk ini. Aku merasa jika Eungi sudah mulai mengeluarkan senjatanya – yang entah pada leher siapa senjata itu akan Ia todongkan. Kuharap Eungi-ku masih ingat tentang malam itu. Detik dimana kami nyaris kehilangan bayi di dalam rahimnya. Aku berdoa semoga, jalan apapun yang tengah Ia tempuh saat ini, tak akan melukai dirinya sendiri.

Gaduh! Selain kecemasan dan rasa penasaran. Ada dawai kegaduhan menghiasi sudut demi sudut ruangan tempatku berada saat ini. Sekali lagi, kutegaskan. Ini semua ulah Eungi. Tubuh lemahnya yang tadi pagi terlihat begitu tak berdaya kini seolah bermetamorfosa menjadi seorang ditaktor yang mendoktrin semua staff dewan direksi untuk melakukan pertemuan secara mendadak.

Dan aku adalah salah satunya, aku ikut terjebak di tempat ini. Menuruti kemana takdir gubahannya akan menyeret langkahku pergi. Kupandangi tirus wajahnya yang sebenarnya terlihat lelah itu. Ketara sekali Ia hanya pura-pura sehat.

Ah, hatiku semakin tak nyaman.

Eungi-ah… apa kau bisa berhenti sekarang?

Ingin sekali kutarik tangannya menjauhi tempat ini, menyadarkannya dengan cara apapun. Namun, nyatanya tak ada yang bisa kulakukan kecuali terus mengikuti pola permainannya.

Satu persatu orang yang Ia undang memasuki aula rapat. Nampak Pengacara Ahn dan Pengacara Park di antara mereka. Ketika Pengacara Park memilih tempat di sampingku, maka si Pengacara senior lebih memilih untuk bersanding di sisi Jae Hee – majikannya. Berbanding terbalik dengan segala deru kecemasan yang terukir nyata di wajah mereka, aku justru tak menampakkan reaksi apapun atas tindakan Eungi saat ini. Aku – Kang Maroo, lebih memilih untuk menunggu kematian dengan tenang.

“Selamat Siang semuanya….” Suara Eungi memecah desing kegaduhan yang tersamar lewat segala sopan santun di tempat ini. Ia membungkuk dengan penuh ketenangan. Airmukanya teduh tapi juga mengancam.

“Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian yang berharga untuk hadir di ruangan ini.”

Eungi-ku tersenyum. Sejenak dia menoleh ke arahku, seolah berusaha menyampaikan sederet umpatan beraroma ancaman;

“Kang Maroo, tunggu dan nikmati kematianmu!”

Namun setelah Ia melanjutkan pidatonya kembali. Alih-alih mempermalukanku, Ia malah membuatku tercengang. Kegilaan apa yang sebenarnya bermukim di dalam otaknya. Tunggu sebentar, wanita-ku itu tidak sedang pura-pura amnesia lagi kan setelah Ia menombak Jae Hee dengan sindiran kasarnya 30 menit yang lalu.

Seo Eungi, dia baru saja menyatakan jika Ia ingin secara resmi mundur dari perusahaan. Ia bahkan menyerahkan sebuah surat berisi pengalihan kuasa miliknya kepadaku di hadapan seluruh dewan direksi. Ini tidak masuk akal. Ia baru saja menunjukku sebagai Direktur menggantikannya.

Ini mimpi, pasti ini mimpi. Aku tak tahu harus berkata maupun bereaksi seperti apa, saat semua mata memandangku dan mulai bertepuk tangan. Sama seperti roman ganjil di kedua sorot mataku, Jae Hee, Pengacara Park dan Pengacara Ahn menyuguhkan reaksi yang tak jauh berbeda.

Lalu tiba-tiba saja pintu rapat terbuka, ada lebih dari 5 pria bertubuh tegap dengan wajah mengerucut kaku memaksa masuk. Salah satu di antaranya mengacungkan selembar kertas berstempel Kepolisian Republik Korea Selatan. Mereka mencari sebuah nama,

“Seo Eun Gi, kami mendapat laporan tentang penggelapan dana perusahaan yang anda lakukan dan ini adalah surat perintah penangkapannya!”. 

Aku tercekat, sekali lagi berharap jika ini hanyalah mimpi. Tapi, sekeras apapun kucoba untuk menyangkalnya, ini bukanlah mimpi. Bidadariku terenyak di tempatnya, senyum yang Ia semai seketika raib.

Kulirik Pengacara Ahn dan Jae Hee dengan penuh curiga.

Ini ulah mereka?

Bersama Pengacara Park, aku mencoba menghentikan penangkapan Eungi tapi sia-sia saja. Langkah kami terhalang di pintu keluar.

Kejutan lainnya! Ada Banyak wartawan menyemut di sana.

Mereka sepertinya sudah menunggu sejak tadi dan menjadi gaduh begitu wajahku muncul dari balik pintu.

Kuputar memoriku akan berbagai kejadian janggal selama beberapa puluh menit yang lalu. Dimulai dari kehadiran Eungi, pengalihan kuasa darinya, kedatangan para polisi dan wartawan-wartawan ini.

Apa Eungi yang merencanakan semuanya? Atau Ia juga korban?

Segala sel di otakku masih berjibaku dengan beragam spekulasi mentah, saat pertanyaan menyentak dari seorang wartawan mendadak memblokade konsentrasi-ku lewat kilatan kameranya yang tanpa manusiawi memperkosa mataku.

Rumor kisah cinta masa lalu-ku bersama Jae Hee baru saja ikut ditarik masuk.

Tubuhku terdorong dan terhimpit kesana-kemari.

Kepalaku terasa ditusuk ribuan jarum. Penyakitku kambuh di saat yang tidak tepat.

Para pria bertubuh tegap itu menyeret Eungi semakin cepat, menggeretnya masuk ke dalam mobil sementara Aku tak dapat melakukan apapun kecuali tersungkur dalam hangat pelukan Jae Hee. Kemudian segala hal terasa kabur, tak teraba dan nyaris kasat mata. Seiring suara teriakan Eungi yang redup menghilang, lamat-lamat aku menyadari sesuatu.

Ini mungkin adalah pertemuan terakhir kami.

“Eungi-ah…kuberitahu satu hal padamu.

Orang-orang itu berbohong saat dia mengatakan padaku bahwa waktu bisa menghapus kenangan dan menyembuhkan luka.

Nyatanya, waktu hanya mampu menggantikan kenangan,

 tapi tak pernah bisa mengusirnya pergi.”

 

-KANG MAROO-

 

~oOo~

 

 

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.