Come Back Home

NICE GUY FF 'Another Ending'

Part 12

“Come Back Home”

“ – just like these cups of coffee, loving you is as bitter as it, but I love it and it addicts me.”

.

.

Seperti semilir angin yang berhembus sejuk di akhir Oktober, begitulah perasaan Maroo saat ini. Tenang namun tak tenang dan waras tapi penuh igauan.

 

Matanya yang selalu terlihat sendu itu menengadah, menjamahi langit. Mencoba menikmati tetesan air hujan yang jatuh merasuki tanah dan membasuh jiwa-jiwa yang lelah.

 

Ia berdiri di tepian taman rumah sakit, sendirian. Bermain-main dengan hujan yang rintiknya merembes menyerbu telapak tangan.

Ada desah panjang yang terulur menyeka atmosfer ketika Maroo memejamkan matanya dalam diam.

 

Di sisinya ada 2 gelas kopi yang menguap panas, aromanya yang sepekat mendung menyeruak dan membumbung tinggi, tersesap indera penciuman Maroo. Ia terlena sejenak dalam nuansa syahdu nan menenangkan yang terhampar menyelubunginya saat ini.

 

Punggungnya lalu membungkuk, meraihnya 2 gelas kopi itu, menatapnya sekian sekon kemudian pergi. Kakinya berderap menaiki tangga, menuju satu-satunya wajah yang ingin Ia lihat, menuju satu-satunya hati yang ingin dia gapai dan menuju satu-satunya wanita yang ingin Ia lindungi seumur hidupnya.

 

SEO EUNGI – Wanita yang Ia tuju itu tengah duduk tertidur menekuri kursi ruang tunggu di depan kamar perawatan Pengacara Park. Wajahnya lelah dan pucat.

 

Maroo meletakkan 2 gelas kopinya perlahan di sisi dan menempatkan dirinya di samping Eungi. Dengan hati-hati, Ia melingkari tubuh Eungi dengan lengannya kemudian membiarkan wanita itu pulas menjajah bahunya.

 

Mereka tetap dalam posisi yang sama selama sekian dekade menit, bahkan hingga 2 gelas kopi di sisi Maroo diruntuk dingin serta terlalu hambar untuk disesapi pahitnya.

CODE BLUE… CODE BLUE…

Suara itu memekak cepat, menggugah kesadaran Eungi dan Maroo. Beberapa suster dan dokter berlarian di sekitar mereka.

 

Eungi yang kaget, langsung terjaga. Ia bangkit seketika, merasa kalut. Maroo mengumbar ekspresi yang sama. Sepasang pecinta itu dilanda kecemasan.

Ia tahu CODE BLUE itu artinya pasien sedang dalam masa kritis atau artikanlah nyaris mati.

Setelah sekian menit berlalu, barulah kelegaan menghampar sempit menghampiri hati Eungi dan Maroo.

 

Eungi membanting dirinya ke atas kursi dengan lega, jantungnya nyaris menceplos keluar jika saja terjadi sesuatu pada Pengacara Park.

 

“Aku kira terjadi hal buruk pada Pengacara Park…” desahnya.

 

“Tenanglah, sekarang Ia baik-baik saja.” Bisik Maroo.

 

Ia bergeser agar lebih dekat, membawa Eungi dalam pelukannya.  Wanita itu mengangguk, untuk sesaat Ia terlihat tenang. Namun rupanya Maroo salah besar, alih-alih bisa bernapas dengan nyaman, hati Eungi justru tengah berkecambuk. Ketara sekali Ia sedang memikirkan sesuatu. Bola matanya yang tadi berpendar dalam diam kini berganti rupa. Sorot matanya yang tadi tak bergairah kini meruncing penuh amarah.

 

Dari bibirnya yang tipis, Maroo bisa mendengar dua nama; Han Jae Hee dan Ahn Min Young.

 

Dua manusia biang petaka. Eungi sangat tahu, jika semua ini bukanlah tanpa alasan. Insiden pagi ini terang-terang mencurigakan. Kisah perampokan itu fiktif belaka. Ia sadar betul, Pengacara Park terbaring seperti ini karena terlibat terlalu jauh dalam masalahnya.

 

“Kau tahu-kan jika mereka yang melakukannya?!” Eungi mulai meruntuk. Surainya yang sepanjang bahu itu terkibas seiring gusar menerkam bathinnya.

 

Maroo mengangguk, Ia ingin sekali berbohong tapi tak bisa. Eungi melotot, jemarinya mengepal kuat – yang tandanya wanita itu tengah bersiap untuk memburu 2 nama yang kini bergelayut menganggu benaknya.

 

Ia akan pergi menemui mereka lalu menyeret 2 manusia pesakitan itu ke dalam penjara, bahkan mungkin Eungi sanggup menghujamkan belati ke dada mereka saat ini juga. Semua orang tahu siapa Eungi. Dia tak waras dan akan menjadi lebih tak waras lagi jika Maroo mengijinkannya pergi.

 

“Aku muak! Benar-benar muak! AKU AKAN MEMBUNUH MEREKA!” Eungi berteriak lantang, tak dapat mengontrol emosinya. Ia bangkit dan mencoba pergi, sayangnya cengkeraman Maroo lebih dulu menggapai lengannya.

 

Iris karbon mereka bersirobok, menciptakan getaran aneh yang sekali lagi bersinggungan antara satu sama lain. Tak tepat, sungguh tak tepat percekcokan mereka dilakukan di dalam keheningan Rumah Sakit.

 

“Kau sudah gila? Dimana akal sehatmu? Kau pikir mereka akan mengakuinya dengan mudah? Kau pikir mereka tidak akan membunuhmu lebih dulu?” bentak Maroo. Ia membanting tubuh rapuh Eungi ke atas kursi.

 

“AKU TIDAK PERDULI! AKU AKAN MENGIRIM MEREKA KE GERBANG NERAKA SEKARANG JUGA!!!” Eungi berontak.

 

Ia bersikeras untuk pergi namun kedua tangan Maroo malah menekan pundaknya kuat-kuat. Pria tampan itu memandangnya lekat, tak perduli pada aura membunuh dari sang wanita yang kini meledak dan menghambur menghentak jiwanya.

 

“SEO EUNGI!!!” Maroo berteriak, nyaris menampar pipi wanitanya itu.

“LEPASKAN AKU MAROO!!! AKU HARUS MEMBUNUH MEREKA!!!” Eungi menggila, Ia mendorong Maroo pergi hingga lelakinya itu hampir terjungkal ke belakang.

 

“BAYIKU! ADA BAYIKU DI DALAM TUBUHMU! KAU INGIN MEMBUNUHNYA JUGA?!” Maroo melotot.

 

Kesepuluh jemarinya menangkup wajah tirus Eungi, meremasnya begitu kuat dengan napas memburu. Ia lantas menempelkan ujung hidungnya ke atas bangir hidung sang bidadari. Berbagi hembusan napas dengan sangat jelas. Kegilaan Eungi mengerucut seiring jemarinya terpelanting jatuh ke atas kursi.

 

Kemudian tak ada dialog. Mereka hanya saling pandang hingga aura membunuh di wajah Eungi perlahan mengabur lantas hilang.

Wanita menangis sekali lagi, memaki dirinya sendiri.

 

“Aku ibu yang buruk… benar-benar ibu yang buruk… Aku wanita kejam… Ini semua salahku… Pengacara Park seperti ini juga salahku… Bunuh aku Maroo… Kau harusnya membunuhku….”

 

Eungi memukuli kepalanya sendiri. Ia meracau, menarik remanya yang telah kusut itu menjadi semakin berantakan.

Maroo mengatur napasnya, Ia harus lebih tenang. Ia juga sedang kacau, hanya saja Eungi lebih kacau dan jika Ia tidak bisa menahan emosinya maka bisa dipastikan pihak Rumah Sakit akan mengusir mereka.

 

“Eungi…” Maroo menatap Eungi dalam-dalam.

 

“Kita akan memenangkan peperangan ini bersama-sama. Aku berjanji untuk menggeret mereka pergi dari hidupmu. Han Jae Hee dan Ahn Min Young akan membayar dosa mereka. Aku berjanji padamu…” Maroo membenamkan Eungi dalam pelukannya dan mengecup lembut dahinya dengan mata terpejam.

 

“Aku berjanji….” Bisiknya sekali lagi.

 

~oOo~

 

Maroo POV

Ini masih seperti mimpi, sepertinya baru semalam matanya berkilat penuh dendam ke arahku dan kini kami saling pandang bersama senyum yang merekah.

Kugenggam tangannya dengan erat, sementara fokus kami larut menerka kumparan siluet hitam di dalam monitor kecil berjuluk layar USG itu.

 

“Panjangnya sudah sekitar 3 inci lebih, kalian bisa melihatnya?” Dokter menunjuk setitik buih hitam yang tak terlalu jelas bentuknya – bayiku dari Seo Eungi.

 

Ini aneh, perasaan aneh seperti ini benar-benar pertama kali merangsek masuk ke dalam hatiku. Ada girang yang bertalu-talu bersama resah yang mengelegi dalam pilu.

 

“Apa bayinya sehat?” tanyaku antusias.

 

“Detak jantungnya kuat, namun tetap saja semua tergantung pada sang Ibu. Ini pertama kalinya kalian memeriksakan kandungan-kan sejak kejadian malam itu?”

 

Aku mengangguk, menatap Eungi yang tertunduk merasa bersalah. Seketika terbayang dengan jelas malam naas itu, ketika Eungi terkulai penuh darah di dekapanku. Kami nyaris menjadi musuh selamanya jika saja jagoan kecilku ini tidak selamat.

 

“Sebaiknya sebulan sekali periksa ke Dokter, demi kesehatan bayi dan Ibunya juga.” Dokter bermarga Choi itu tersenyum dan mengakhiri sesi pemeriksaannya. Lantas kupapah Eungi keluar dari dalam kamar pemeriksaan itu, kami berjalan berdua menuju mobil. Eungi diam saja, tapi jemarinya erat mengerati tanganku. Aku tersenyum tipis meliriknya.

 

“Kau marah karena aku menyuruhmu istirahat di rumah?” tanyaku.

 

Eungi menggeleng, langkahnya terhenti dan Ia menatapku tajam. “Maroo, kau harus menepati janjimu. Kau akan membuat mereka merasakan tinggal di Neraka. Kau harus membuat mereka lebih sengsara dari anjing jalanan.”

 

Giliranku yang terdiam, entahlah. Aku bukannya takut pada kegilaan serta dendam dalam sorot mata Eungi. Aku justru merasa gemas. Ia masih Seo Eungi yang sama. Wanita gila yang kucintai setengah mati. Ibu dari calon anakku.

 

“Kau tahukan ini tidak gratis? Kau masih ingat aku pria yang jahat?”

 

“Maksudmu?”

 

Aku tak memberikan jawaban maupun ekspresi apapun. Aku hanya menarik tubuhnya lebih dekat dan kubasuh kerinduan kami dengan sapuan hangat dari bibirku. Seo Eungi, aku merindukannya – sangat merindukannya.

 

Kuremas setiap inci bibirnya dengan milikku. Kuhirup wangi aromanya yang lama tak menggoda detak jantungku. Di luar ekspektasiku, Ia menyambutnya. Ia menekan bibirku lebih kuat dan dalam. Kami jatuh cinta lagi, sekali lagi, berkali-kali – pada jiwa yang sama.

 

“Ijinkan aku kembali padamu, Seo Eungi.” Pintaku mengakhiri ciuman kami.

 

Mencintai Eungi itu seperti meneguk kopi, meski pahit tapi membuatku ketagihan.

.

.

Eungi POV

Ia membaringkan tubuh lelahku di atas ranjang yang hangat. Mengusap dahiku dengan penuh kelembutan, sementara matanya tak henti memandangku. Setiap gesekan dari jemarinya yang menyeka pelan kulitku, terasa begitu menakjubkan. Seolah tak perduli pada caraku memandangnya yang masih sedikit angkuh, Maroo membelai perutku. Memusatkan perhatiannya pada janin kami di dalam sana.

 

Aku belum menjawab permintaannya untuk kembali bersama. Aku masih terlalu marah meski, harus kuakui, aku merindukan Maroo. Aku gila tanpa Maroo dan aku terobsesi padanya melebihi apapun di dunia ini.

 

“Apa rencanamu?” tanyaku.

 

“Kau ingat saran Dokter, Eungi? Jangan terlalu stress. Jangan membebani pikiranmu dengan apapun. Cukup rawat dirimu dengan baik, sisanya biar jadi urusanku. Okay?” Maroo tersenyum, tulus. Seperti terhipnotis aku mengangguk dan dapat kulihat senyumnya semakin lebar.

 

“Maroo…” kutarik tangannya begitu Ia akan beranjak pergi.

 

Maroo menoleh, dan kukatakan isi hatiku, “Tinggallah disini! Bersamaku!”

.

.

Maroo menutup pintu kamar Eungi, Ia harus pulang untuk mengambil pakaiannya lantas kembali sebelum makan malam karena Eungi memintanya tinggal bersama di rumah ini. Pria berwajah manis itu terlihat lebih hidup dari beberapa hari yang lalu. Ia sedang didekap perasaan bahagia sampai suara pintu gerbang terbuka. Maroo tahu, Ibu Tiri Eungi pasti baru saja tiba dari sandiwara singkatnya bersama Pengacara Ahn di ruang perawatan Pengacara Park.

 

Maroo jelas tahu, karena Ia meminta Sekertaris Hyun untuk menjaga di Rumah Sakit sementara Ia mengantar Eungi pulang. Han Jae Hee… nama itu mendadak mengganggu bathinnya. Melesakkan getir di dalam kabut kebahagiaan yang tengah Ia hirup. Maroo ingat janjinya pada Eungi. Langkahnya yang ringan menjadi berat kembali. Ia tak mungkin lupa bahwa keintiman yang menghampirinya dan Eungi hari ini hanyalah fatamorgana. Ia diburu waktu, Ia harus mengenyahkan dua manusia tengik bermarga Han dan Ahn itu sebelum Tuhan menutup buku takdirnya yang berarti – kematian.

 

Maroo turun, berjalan pelan menuju pintu depan. Dan benarlah dugaannya, wanita itu tengah berbincang di depan pintu bersama Pengacara Ahn. Mereka berbisik seolah tak ingin didengar oleh penghuni rumah. Jae Hee nampak tak nyaman. Dengan hati-hati, Maroo mencuri dengar dari balik tembok.

 

Samar, suara dua komplotan itu menggaungi gendang telinganya.

“Aku tidak suka permainan kita menjadi sejauh ini.” desis Jae Hee.

 

“Lalu kau mau masuk penjara? Membiarkan Eungi menguasai semuanya? Meninggalkan Eunsuk sendirian di rumah ini?”

 

Jae Hee terdiam, Ia gemetar hanya dengan membayangkannya saja.

 

“Aku takut… Bagaimana jika Ia mati?”

 

“Bukankah itu tujuan kita?”

 

“Tujuanmu! Ini gila! Aku tidak mau masuk penjara!”

 

“Tenanglah! Tidak akan ada yang masuk penjara. Kau, aku dan Eunsuk. Kita akan menjadi pondasi dari kejayaan Taesan di masa mendatang. Jangan cemaskan apapun. Aku akan mengurus sisanya. Aku!” Maroo mendelik, merasa jijik saat Min Young memeluk Jae Hee.

 

Ia mundur beberapa langkah, menanti Jae Hee menemukan keberadaannya. Ini akan jadi kejutan yang manis bagi wanita itu.

 

Pengacara Ahn akhirnya pergi dan Jae Hee bergegas masuk ke dalam rumah dengan penuh keresahan. Ia menaiki tangga dengan tergesa dan nyaris saja jatuh jika tangan Maroo tak muncul dan merengkuh pinggangnya dari belakang.

 

“Kau sedang tidak sehat, Nuuna?” suara Maroo menyentak Jae Hee. Janda beranak satu itu tak pernah membayangkan akan mendapati kehadiran Maroo kembali di rumah ini.

 

Ia mundur seketika, tapi Maroo tak mau melepaskan tangannya dari pinggang Jae Hee. “Apa yang kau lakukan, Maroo?” Jae Hee melotot seraya memekik lirih, tak ingin menarik perhatian seisi rumah.

 

“Aku menyelamatkanmu. Memangnya apa yang aku lakukan, Ibu Mertua?” Maroo sengaja menggoda. Ia menarik tubuh Jae Hee lebih dekat dalam dekapannya.

Jae Hee ingin meronta, Ia merasa terancam oleh perubahan sikap Maroo yang tiba-tiba.

 

“Apa aku terlihat menakutkan di matamu? Atau kau takut kita terlihat oleh seluruh penghuni rumah ini? Kau takut terlihat oleh Eungi? Eunsuk? Pengacara Ahn?”

 

Maroo menyeringai, licik.

 

“Semua orang sudah mengetahuinya, Nuuna. Jadi apa lagi yang kau cemaskan?” bisik Maroo seraya melepaskan tubuh Jae Hee dan berdiri dengan santai seolah begitu menikmati ketidaknyamanan di wajah sang cinta pertamanya itu.

 

“Apa yang kau lakukan disini, Maroo?” Jae Hee mengernyit, matanya memicing penuh keraguan.

 

“Menemani istriku, Seo Eungi.” Jawab Maroo.

 

“Apa maksudmu?”

 

Jae Hee tahu bahwa Eungi pindah ke rumah ini sejak beberapa hari lalu. Mereka mungkin belum bertegur sapa karena Ia memilih untuk mengasingkan diri sejenak di Villa keluarga Seo. Namun kembali dengan kabar soal kepindahan Maroo juga ke rumah ini bukankah terlalu ajaib. Eungi dan Maroo sedang di ujung perceraian. Ia punya mata-mata yang mengatakan bahwa Eungi sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan.

 

“Kau pasti berbohong?!” Jae Hee masih tak percaya.

 

“Kau pikir begitu, Nuuna? Kenapa tidak menanyai Eungi saat makan malam nanti?” Maroo menyeringai tipis. Ia kemudian pergi meninggalkan Jae Hee yang terpaku di tangga, tak bisa bergerak.

.

.

“Eungi benar-benar menyuruhmu kembali bersamanya, Maroo?” Jae Gil duduk di tepi ranjang, mengawasi Maroo yang sibuk menata baju ke dalam tas.

 

“Iya, kami akan tinggal bersama lagi di rumahnya.” Jawab Maroo tanpa ekspresi.

 

“Lalu operasimu? Bagaimana dengan operasimu? Eungi tahu?”

 

“Aku menundanya. Masih banyak yang harus kulakukan Jae Gil.” Maroo menghindari tatapan Jae Gil. Ia tahu kawan karibnya itu pasti akan mengomel sebentar lagi.

 

“KAU MENUNDANYA??? MAROO!!! KAU BISA SAJA MATI!”

 

“Pelankan suaramu! Siapa yang tahu Choco sudah pulang!”

 

“TIDAK BISA! AKU AKAN MENGGERETMU SEKARANG JUGA KE RUMAH SAKIT!” Jae Gil merebut tas dari tangan Maroo dan melemparkannya ke lantai. Ia kemudian mencengkeram lengan Maroo dan berusaha menggeretnya pergi.

 

“JAE GIL!” Maroo berteriak, menghempaskan Jae Gil menjauhinya. Pria berambut blonde dengan tinggi mengangkasa itu jatuh menabrak kursi. Ujung bibirnya berdarah. Ia terengah memandangi Maroo yang sama terkejutnya.

 

“Maaf… Maafkan aku… tapi aku harus membersihkan kotoran yang sudah kutumpahkan.” Maroo bergegas pergi, meninggalkan Jae Gil yang menyumpah-nyumpah di belakangnya.

 

“MAROO… JIKA KAU NEKAT PERGI, PERSAHABATAN KITA PUTUS!!! KANG MAROO!!!” Jae Gil terisak, menangisi ketidakmampuannya membujuk Maroo. Ia ketakutan sendiri membayangkan bagaimana maut akan memisahkan suatu hari nanti.

.

.

Jae Hee mengandeng Eunsuk menuruni tangga, mereka menuju ruang makan dimana Eungi telah menunggu sendirian disana. Rasanya benar-benar tak nyaman.

 

“Ibu kenapa?” Eunsuk menangkap kecemasan dalam raut wajah Jae Hee.

 

“Ibu tidak suka Eungi Nuuna ada di rumah?” Eunsuk bertanya dengan polos. Jae Hee langsung tersenyum, mengubah ekspresinya menjadi cerah. Ia berjongkok dan balik menatap anak semata wayangnya itu.

 

“Kenapa Eunsuk bertanya seperti itu?”

 

“Bibi Penjaga bilang bahwa Ibu dan Eungi Nuuna sedang bertengkar.” Lagi-lagi Eunsuk menjawab polos.

 

Jae Hee mengumbar tawa renyah sejenak, berakting segala hal lumrah.

 

“Bibi Penjaga pasti salah. Ibu dan Eungi Nuuna baik-baik saja.” Jawabnya. Eunsuk mengangguk, patuh. Ia tersenyum dan kembali menggandeng tangan Jae Hee menuju meja makan, menghampiri Eungi.

 

Wanita hamil itu sedang menatap sebuah foto saat Jae Hee dan Eunsuk tiba disana.

“Eungi Nuuna….” Eunsuk langsung memeluk Eungi dengan ceria. Eungi tersenyum dan memeluk Eunsuk penuh kasih sayang.

 

“Eunsuk….” Jae Hee memberi kode agar Eunsuk segera menuju kursinya dan tidak menganggu Eungi.

 

“Biarkan saja, tidak apa-apa. Aku ingin lebih dekat dengan Eunsuk. Setidaknya saat hanya ada kami berdua di Taesan, Ia tidak kesepian.” Eungi tersenyum dan membelai rambut Eunsuk.

 

Jae Hee menelan ludahnya pahit. ‘Hanya ada kami berdua di Taesan’ itu terdengar seperti sebuah ancaman.

 

“Eunsuk…” Jae Hee agak berkeras memanggil Eunsuk untuk duduk di sebelahnya namun sekali Ia tidak digubris.

 

Lelaki kecil kesayangannya itu malah duduk di sebelah Eungi.

“Aku ingin duduk di sebelah Eungi Nuuna….” Ia merengek.

 

Jae Hee mengepalkan tangannya, menahan amarahnya. Eungi menyeringai kecil, Jae Hee tahu anak tirinya itu tengah mengejeknya.

 

Bukan salah Eunsuk sebenarnya, Jae Hee yang terlalu sibuk. Ia jarang meluangkan waktunya bersama Eunsuk. Ditambah beberapa hari ini Eungi kembali dan berhasil merebut hati Eunsuk yang sedari dulu memang sudah sangat menyukainya.

 

Ketegangan meredup sejenak saat Bibi Penjaga Rumah datang dan membawakan beberapa piring hidangan untuk makan malam. Bel rumah berbunyi setelah itu dan tanpa perlu menunggu lama. Kang Maroo sudah datang ke hadapan mereka.

 

Ia lantas mengambil kursi di sebelah Eungi. Mereka – Eungi, Maroo dan Eunsuk membuat Jae Hee terlihat sendirian di sisi yang berseberangan.

 

“Sepertinya semua anggota keluarga sudah hadir, jadi bagaimana kalau kita mulai makannya?” tutur Eungi berbasa-basi.

Jae Hee tak menjawab, matanya erat mengawasi Maroo yang bertingkah sok polos.

 

“Ah, aku melupakan sesuatu. Tunggu sebentar!” Eungi menatap tajam ke arah Jae Hee. Seorang pria dengan setelan jas dan kacamata yang sangat familiar hadir di tengah-tengah mereka. Pengacara Ahn Min Young.

 

“Aku mengundangnya, untukmu Ibu! Silahkan duduk Pengacara Ahn!”

 

Tak ada yang dapat menggambarkan situasi makan malam keluarga Seo malam itu. Sekawanan musuh, duduk satu meja untuk pertama kalinya tanpa rahasia tentang masa lalu.

Siapa yang akan tahu kalimat-kalimat seperti apa yang akan menyelinap dalam nikmat jamuan mereka. Eungi dan Maroo benar-benar baru memulainya.

Lantas, ketika Maroo terang-terangan menggenggam jemari Eungi di atas meja, Pengacara Ahn dan Jae Hee sebaliknya. Mereka hanya bisa saling menguatkan diam-diam, dalam kegelapan.

:::

 

Wah, sudah berapa lama ini kisah mangkrak?

Cekaka~

Jujur aja aku kehilangan taste akhir-akhir ini ama EUNMAROO dan mood itu terbangun lagi setelah kemarin nukerin DVD Marriage Without Dating perkara subnya nggak keluar eh malah disuruh tuker ama judul lain perkara nggak ada stok. Akhirnya milih nukerin ama sekeping dvd NICE GUY. Cekaka~ Aku tahu aku aneh tapi aku daridulu emang incer DVD NICE GUY yang sekeping aja perkara DVD Nice GuyKu yang 4 keping itu mulai binasa dimakan usia.

 

Okreeeh deh, beritahu aku!

Apa Maroo harus pergi ke sisi Jae Hee demi membalaskan dendam Eungi atau berada di sisi Eungi dengan resiko Ia bisa mati kapan saja sebelum menyingkirkan para begundal itu dari Taesan?

Pengacara Park enaknya mati nggak nih?

Give me your thoughts and reasons, CHAEKI SHIPPER!

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.