Kang Maroo and Seo Eungi

NICE GUY FF 'Another Ending'

Last Part::

Maroo bersama Jae Hee pergi untuk menyelamatkan Eunsuk dan Eungi di atas kapal. Eunsuk terlempar jatuh ke dalam laut dan Maroo ikut terjun untuk menyelamatkannya. Di sisi lain, melihat Eungi sendirian, Pengacara Ahn melancarkan aksi kejamnya. Ia ingin membunuh Eungi namun ternyata Ia salah korban, Jae Hee terkapar berlumur darah di hadapannya.

:::

Cinta adalah kata lain dari kematian. Saat kau jatuh cinta, kau mati. Segala keinginanmu untuk diri sendiri mati kerena kau ingin hidup untuk jiwa yang tumbuh di dalam hatimu.

Seperti awan yang merelakan dirinya pergi untuk bumi. Hujan datang menggantikannya, meneduhkan bumi dari dahaga. Meski bumi tak pernah mengenalnya, awan baik-baik aja. Ia mencintai bumi dan kematian cukup untuknya asal bumi bahagia.

Cinta sejati? Kau percaya itu? Cinta sejati adalah ketika mereka yang pergi akan tetap dikenang. Cinta sejati adalah ia yang sanggup menampar saat kekasihnya terjerat belukar kesesatan.

Eungi, Maroo dan Jae Hee… entah siapa yang awan, siapa yang hujan dan siapa bumi. Takdir mereka saling mengait. Ya, takdir mereka saling mengait sampai salah satu pergi dan binasa.

:::

 

Jae hee meraba perutnya yang basah oleh darah. Bau anyir karat dan asin air laut menguar bersama cairan kental yang mengucur deras dari dalam tubuhnya.

Eungi mendekapnya di belakang dengan tangisan yang melengking penuh amarah serta pertanyaan. Ia mengutuk Pengacara Ahn.

Ah, Jae Hee baru sadar, ini ulah Pengacara kesayangannya itu.

Dengan rasa sakit yang teramat menyiksanya, Jae Hee mencoba tetap bertahan. Kelopak matanya mengerjap lemah menatap sosok bersarung tangan di hadapannya.

Ia ingat kejadian beberapa detik lalu. Bukan salah Pengacara Ahn, sungguh bukan salahnya. Jae Hee sadar, Ia sendiri yang telah bersukarela melemparkan tubuhnya di antara mereka berdua. Ia pikir, Ahn Min Young hanya akan mendorong tubuh Eungi ke dasar laut tapi ternyata dugaannya terlalu sederhana. Min Young mencoba membunuh Eungi dengan belati yang Ia sembunyikan di balik punggungnya.

“Jae Hee… Han Jae Hee… sadarlah!!!” pria dengan sarung tangan penuh darah itu mengguncang-guncang bahunya, keras.

Jae Hee menggigil kedinginan. Suara ombak dan bayang wajah Eunsuk mengufuk di benaknya. Napasnya melemah, putus-putus. Wajahnya pucat pasi. Separuh tubuhnya seolah mati rasa.

Apa aku sudah sampai pada karmaku?

Apa aku akan mati?

Tangan Jae Hee terkulai lemah dan terlepas dari genggaman Eungi.

 

~oOo~

 

Beberapa bulan kemudian,

Eungi menatap 2 foto dalam pigura di balik bingkai kaca di samping tempat abu itu tanpa ekspresi.

“Apa sekarang kalian bahagia disana?” tanyanya lirih.

Ia mengelus perutnya yang terasa semakin berat. Eungi meringis, bayinya baru saja menendang lagi.

“Anakku akan segera lahir, kalian seharusnya disini dan ikut menimangnya,” Eungi mendesah lirih di atas kotak kaca. Ia memejamkan matanya dan segala memori di masa lalu yang telah lama mengakar di dalam rongga dadanya, seolah berputar dan mengurai selaksa kenangan.

Begitu banyak hal buruk terjadi, tapi bagaimana pun juga Eungi tetap bersyukur.

Ia membelai perutnya dan berbisik, “Ibu merindukan mereka,”

Tepat setelah Eungi mengatakan itu, dua buah tangan berpijak di atas bahunya dan meremasnya pelan. Eungi mengangguk.

“Ayo pulang! Cuacanya terlihat menakutkan,” bisik sosok di belakangnya.

Eungi berbalik dan tersenyum. Seorang pria dalam balutan mantel tersenyum menatapnya. Jemarinya menyapu pipi Eungi dengan lembut.

“Maroo,” Eungi memanggil nama pria itu.

“Hmm?”

“Tidak apa-apa, aku hanya suka mendengarmu menyahut saat namamu kupanggil,” jawab Eungi. Maroo tersenyum tipis. Ia paham, bahkan sangat paham sejak kapan Eungi memiliki kebiasaan baru itu.

Pandangan Maroo menerawang menuju balik kotak kaca, bola matanya yang jernih serius menatap dua buah foto di samping tempat abu.

Ayah, Ibu…

Pada kunjungan pertamaku ini,

 ijinkan aku memperkenalkan diri secara resmi sebagai menantu kalian.

Namaku Kang Maroo,

seorang pria yang sangat beruntung karena mendapatkan cinta dari putri kalian, Seo Eungi.

Di depan kalian, aku ingin mengikrarkan berjanji.

Janji yang akan kujaga sampai kematian menjemputku.

Janji yang akan kupenuhi sampai tubuhku lebur dimakan waktu.

Aku berjanji untuk tak akan pernah membiarkan anak kalian menangis.

Aku tak akan pernah membiarkannya merasa kesepian.

Aku akan menjaga Seo Eungi seumur hidupku.

Aku akan memenuhi harinya dengan kasih sayang.

Aku mencintai putri kalian, terima kasih karena telah membawanya ke dunia ini, dunia tempatku berada…

Maroo mengulurkan tangannya pada Eungi yang dengan cepat menyambutnya.

Dan perlahan bayangan mereka luluh digadai waktu.

 

~oOo~

 

Sebuah pintu terbuka, beberapa pasang mata menatapnya. Perasaannya riuh redam tak dapat dijelaskan. Wanita itu bernama Han Jae Hee. Ia melihat sekelilingnya. Sebuah spanduk besar terpantri di atas selayang pandangnya sementara puluhan orang berjalan di sekitarnya dengan pakaian yang sama.

Rasanya masih agak aneh, hanya seminggu dari saat ia meringkuk di tempat ini. Ia harus mengikuti acara seperti ini. Acara rutin Kepolisian untuk mempererat persahabatan di antara Narapidana dan menghibur mereka yang terperangkap jauh dari dunia luar.

Jae Hee menghembuskan nafasnya lemah, ia tidak tertarik sama sekali dan memilih untuk duduk saja di sudut paling sepi ruangan ini. Tak ada keinginan sedikitpun untuk maju ke depan, ikut bernyanyi ataupun menikmati makanan yang terhidang di atas meja panjang.

Ia meraba perutnya, bekas luka itu masih di sana.

Ia ingat perasaan itu, di atas geladak kapal yang dingin. Ketika nafasnya terasa semakin berat dan kesadarannya direnggut perlahan-lahan.

Kupikir aku akan mati, tapi Tuhan rupanya masih mengasihi jiwa kotorku ini.

Jae Hee termenung dalam kesendirian. Di saat bersamaan, sebuah bayangan menjejak di sisinya. Sesosok pria yang tak disangka akan ia temui di tempat ini, muncul dan menaruh segelas teh hangat di sisinya.

“Sialan! Udaranya dingin sekali,” maki pria itu, ia mengedarkan tatapannya ke sekitar, tak ingin menatap Jae Hee secara terang-terangan.

Jae Hee menoleh, netranya memaku wajahnya penuh pertanyaan.

“Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak tahu kenapa rasanya tidak normal dan aneh sekali bagi seorang kakak sepertiku untuk memberikan segelas teh pada adiknya. Ah… ini salah siapa, hubungan kita tak seperti kakak beradik sewajarnya, huh?!?” Jae Shik mengomel sendiri, masih tak ingin menatap Jae Hee yang mulai berkaca-kaca.

“Kalau ada yang menganggumu di penjara, beritahu padaku! Aku akan memberinya pelajaran! Aku serius!” Jae Shik berlalu pergi, tanpa menoleh sedikitpun.

Jae Hee memandang punggungnya hingga pria itu benar-benar menghilang dari hadapannya. Jemari Jae Hee lantas menyentuh gelas teh yang uapnya masih mengepul panas.

“Dasar bodoh! Ini teh panas bukan teh hangat!” runtuk Jae Hee namun dengan senyuman di bibirnya.

Ia tak pernah lupa bahwa Jae Shik-lah yang telah mendonorkan darahnya saat tubuhnya sekarat akibat insiden di atas kapal. Kakak laki-lakinya itu, pria yang seumur hidupnya tak mau pergi ke Rumah Sakit, merelakan jarum menembus kulitnya dan menghisap darahnya demi adiknya yang kejam dan tak tahu diri.

“Terima kasih….” Jae Hee bergumam pelan seraya meniup-niup tehnya.

Sementara itu, beberapa meter di belakangnya, seorang pria berkacamata tengah menatap punggungnya dengan wajah sendu.

“Kau tidak mengambil tempat duduk?” tanya seorang Sipir kepadanya.

Min Young menggeleng pelan lantas berbalik menjauhi lokasi acara, “Aku akan ke ruang kesehatan saja,” jawabnya lemah.

Ia belum siap untuk bertemu Jae Hee, perasaan bersalah itu selalu menguntitnya.

Aku hampir membunuh wanita itu, wanita yang kucintai….

~oOo~

Eungi memandang keluar jendela mobil yang mengembun dikecup serpihan salju. Jalanan memutih bersama dengan tumpukan salju yang menyelimuti hijaunya dedaunan. Maroo meliriknya heran saat mereka sampai di sebuah lampu merah.

“Apa yang kau lihat? Daritadi tidak bicara dan sibuk sendiri memandang keluar,” tegur Maroo.

“Tiba-tiba aku ingin mengunjungi rumah lamamu,” ucap Eungi.

Maroo mengernyit.

~oOo~

“Sudah kubilang, jalanan akan licin. Kau keras kepala sekali!” Maroo mengomeli Eungi di sampingnya. Tangannya memegang erat tangan dan pinggang wanita yang tengah hamil tua itu. Setelah perjalanan yang amat hati-hati dan cukup melelahkan, mereka sampai di depan pagar rumah Maroo.

Langkah Eungi terhenti, ia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang membuncit.

“Kenapa?” Maroo menatap was-was.

“Menendang lagi seperti semalam,” pekik Eungi.

“Hyaaa… kau keras kepala! Kita pulang saja!” Maroo hendak menarik Eungi untuk berbalik turun ke tempat semula, namun wanita itu keukeuh berada di tempatnya.

“Sudah menghilang! Tidak apa-apa,” ucapnya bersikeras. Maroo hanya bisa menggeleng.

“Kita sebentar saja! Sekarang sudah sore, salju bisa semakin lebat kalau malam,” ujar Maroo yang sama sekali tak digubris oleh Eungi. Wanita dengan dress berwarna kuning muda dan sweater tebal bergaris cokelat itu membuka engsel pintunya yang tak terkunci dan berjalan masuk.

“Apa pintu rumahnya juga tak dikunci?” tanya Eungi.

“Apa yang membuatmu tertarik dengan rumah lamaku?” tanya Maroo. Ia menatap Eungi masih dengan heran.

“Aku harus menemukan sesuatu di sini,” jawab Eungi. Maroo mengernyit, “Apa itu?”

“Buka saja pintunya! Nanti kau akan tahu,”

Maroo membuka pintu rumahnya yang ternyata tidak dikunci. Sudah berapa lama ia tidak ke tempat ini – rumah masa kecilnya yang menyimpan begitu banyak kenangan.

Dan, salah satu dari kenangan yang tak bisa enyah dari benaknya itu adalah kenangan di hari hujan. Ketika Eungi datang menemuinya dengan bertelanjang kaki.

Salju yang menumpuk dan mengotori celah-celah pintu tak menghalangi langkah kaki keduanya untuk masuk.

“Hei, Nyonya Kang! Tidak ada apapun disini! Apa yang kau cari?” Maroo mendengus kesal dari ruang tamu ketika Eungi sibuk memeriksa sesuatu di dalam kamarnya.

“KETEMU!” teriak Eungi girang, Maroo sontak mendekat.

“Apa itu?” tanyanya.

“Album fotomu! Hehehe… Kau ingat album foto yang dulu ditunjukkan oleh Choco? Dia bilang masih ada satu dan lupa terbawa ke rumahmu yang baru,” Eungi menatap ceria.

Maroo menggeleng tak habis pikir.

“Ckckck… kau benar-benar gila, Seo Eungi,”

“Itu pujiankan?” sahut Eungi sok polos.

“Sudahlah! Salju semakin lebat di luar,” Maroo menggandeng Eungi keluar dari dalam bekas kamarnya.

“Awwhh…” Eungi mendadak menjerit.

“Kenapa?”

“Dia menendang lagi, sangat keras. Perutku nyeri.” Eungi menunduk menahan sakit, jemarinya meremas lengan Maroo.

“Kita ke Rumah Sakit ya?”

“Tidak, tung-gu seben-tar….” Eungi mengatur nafasnya. Keringat dingin jatuh di atas keningnya.

“Sudah tidak apa-apa,” ucap Eungi.

“Kau yakin?”

“Iya, kita pulang ke rumah saja!”

“Tidak ke Rumah Sakit? Baiklah, kita pelan-pelan saja,” Maroo mengambil album foto dari tangan Eungi dan mulai memapah wanita yang sangat dicintainya itu dengan penuh kasih sayang.

Sesekali langkah mereka terhenti saat Eungi merasa bayinya bergerak tak wajar.

Ada banyak kenangan di pemukiman ini. Mereka melewati sebuah tikungan dimana tulisan bersejarah buah tangan Eungi ada disana.

Eungi berhenti sejenak, di bawah serpihan salju yang turun semakin lebat.

“Kenapa? Kontraksinya semakin parah?”

“Tidak,” Eungi menggeleng, matanya menatap pada dinding di sisi kirinya.

“Kang Roo Ma,” ucap Eungi, Maroo tertegun. Ia baru menyadari bahwa mereka berdiri di tempat Eungi menuliskan namanya setelah kecelakaan.

Maroo tersenyum dalam haru, ia merapatkan pelukannya pada pinggang Eungi. Mereka saling menatap dengan sumringah di bawah payung warna merah.

Terimakasih karena tidak menyerah pada kenangan kita dan mencariku hari itu.

Jika kau tak pernah datang ke tempat kotor ini, aku akan tetap menjadi pria brengsek selamanya, Seo Eungi….

 

Tentang siapa yang menggeret siapa keluar dari lorong gelap, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa sekarang kita sudah bersama-sama melihat matahari. Kau menyelamatkanku, Maroo….

 

~oOo~

 

Dua jam setelah pulang ke rumah, kontraksi yang dialami Eungi semakin parah. Maroo ingin sekali membawa Eungi ke Rumah Sakit namun dahsyatnya badai salju telah berhasil menutup sebagian akses jalan besar. Sedari tadi Maroo sibuk menghubungi Jaegil dan Choco yang rupanya tertahan di sebuah tempat wisata bersama Eunsuk. Hari ini mereka berjalan-jalan ke Taman Fantasy.

“Eungi sepertinya akan melahirkan, kalian dimana?” tanya Maroo begitu Jaegil mengangkat teleponnya.

“Mela-hirkan??? Kami masih di dalam Taman Fantasy, menunggu badai berhenti,” jawab Jaegil.

“Baiklah, kalian disana saja sampai jalanan aman dari salju! Jaga Eunsuk baik-baik!” ucap Maroo lantas mematikan teleponnya karena Eungi terus berteriak kesakitan dan memanggil-manggil namanya.

“Hyaa… Maroo?? Kang Maroo??? Bagaimana kondisi Eungi??? Hallo???”

Tut… tut… tut…

Jaegil mendesah frustasi. Ia cemas.

“Kenapa, Oppa?” tanya Choco yang datang dengan menggandeng Eunsuk. Mereka baru saja kembali dari membeli lollipop.

“Maroo baru saja menelepon, katanya Eungi merasa mulas,”

“Apa bayinya akan lahir???” Choco berteriak penuh semangat, lupa jika mereka ada di tempat umum.

“Bayi???” Eunsuk menatap polos.

~oOo~

“Maroo, rasanya sak-kit… hiks… aaaarrrgghhh….” Eungi terus menggeliat di atas ranjang yang telah basah oleh keringat.

Maroo dengan cepat mengambil posisi di belakangnya dan memberi pijatan pelan pada punggung dan bahunya.

“Aku disini… tenanglah… aku disini… tidak akan kemanapun…” Maroo mencoba menenangkan Eungi yang terus berteriak kesakitan. Perutnya terasa tak karuan. Bayinya bergerak sesuka hati, mencari celah untuk keluar menuju dunia nyata.

“Kau- sud-ah telepon am-bulan? Aaarrghhh….” pekik Eungi. Ia mencengkeram kuat lengan Maroo hingga menimbulkan bekas kemerahan.

“Sebentar lagi akan datang,” bohong Maroo. Ia tidak mungkin menambah kecemasan Eungi dengan mengatakan bahwa jalanan sedang ditutup total karena badai.

Mata Eungi menyipit menikmati rasa sakitnya. Kedua tungkai kakinya menggesek-gesek ranjang hingga kusut.

Ia tak pernah merasa sesakit ini. Rasanya seperti akan mati saja.

Hampir tiga jam berlalu sejak pukul 7 malam. Eungi masih tersiksa oleh kontraksi yang semakin sering muncul. Jarum jam terus berdetak maju dan sekarang tepat pukul 12 malam. Salju masih turun lebat di luar sana. Eungi tak dapat menahannya lagi. Setelah berjongkok, menungging bahkan meringkuk untuk mencari posisi nyaman, wanita hamil itu tak mampu bertahan.

“MAROO… BAYINYA… AAARRRGHHH…”

Maroo dengan cepat menuju bawah kaki Eungi dan menarik celana dalam istrinya pergi.

“APA YANG KA-U LAK-KUKAN???” teriak Eungi bingung.

“Kau akan melahirkan di sini!” jawab Maroo sembari menyingkap dress dari atas pahanya. Eungi melotot. Bagaimana bisa, pikirnya. Melahirkan di rumah? Itu ide gila! Siapa yang akan menolongnya? Maroo? Baiklah, suaminya memang pernah sekolah kedokteran tapi tidakkah ini berlebihan?

“Percayalah padaku!” pinta Maroo, jemarinya memeriksa seberapa lebar jalan lahir di bawah perut Eungi telah terbuka.

“Masih belum, tahanlah!” perintah Maroo.

Ia berlari keluar dan memanggil Bibi penjaga rumah yang sedari tadi menunggu depan pintu dengan cemas, karena Eungi tak mengijinkan siapapun masuk ke dalam kamar kecuali Maroo.

“Tolong siapkan air hangat dan beberapa handuk tebal,” pinta Maroo.

“Baik Tuan,”

Maroo kembali ke dalam kamar karena Eungi tak henti meneriakkan namanya. Wanita itu bahkan mulai memaki dan mengomel tak karuan. Ia sangat kesakitan.

“Ini salah-mu Maroo… Aaarrghh…” Eungi menggigit bantal yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar.

“Tenanglah! Tarik nafasmu! Hembuskan perlahan! Kau harus tenang Eungi!” Maroo mengusap kepala Eungi dan mencium keningnya berkali-kali sementara sebelah tangannya mengusap perut Eungi yang sesekali menegang dan mengendur.

“Kita lepas saja bajumu!” ucap Maroo. Eungi setuju, dress-nya telah basah oleh keringat. Ia juga merasa akan lebih leluasa melahirkan tanpa busana. Toh, mereka di rumah dan hanya ada Maroo dalam ruangan ini.

Maroo menaikkan suhu ruangan, menghindari dingin yang mungkin akan menyerang mereka berdua mengingat badai salju masih asyik berdansa di luar sana.

Pintu kamar diketuk tepat setelah Eungi melepaskan semua bajunya. Perutnya yang buncit terlihat bergejolak bersama buah dadanya yang penuh dan siap memberi air kehidupan pada calon anaknya bersama Maroo.

Maroo berlari menuju pintu dan kembali dengan sebaskom air hangat serta beberapa handuk bersih.

Ia meletakkan benda-benda itu di atas meja, kemudian bergerak menuju ranjang dengan sebuah handuk. Tangannya sibuk menyeka keringat dari kening serta leher Eungi.

“Ya, Tuhan… Maroo… berapa lama???” pekik Eungi kesakitan. Ia menangis. Rambutnya lepek dan bibirnya terus mengaduh.

“Bertahanlah! Sebentar lagi, sayang!” bisik Maroo. Ia tak lelah memberikan semangat setiap kali Eungi ingin nekat mengejan.

“Pembukaannya belum sempurna, atur nafasmu dan jangan mengejan dulu!” Maroo terus mengingatkan Eungi.

Detik seolah berdetak begitu lambat, ini sudah ketiga kalinya Maroo mengganti handuk untuk menyeka tubuh Eungi.

Dan saat Maroo sedang sibuk mengambil handuk yang baru di atas meja, Eungi berteriak keras.

“MAROO… ADA YANG PECAH!”

Maroo sontak tergopoh menghampiri Eungi.

Ia melihat air mengucur deras dari bawah perut istrinya itu. Tak salah lagi, ini waktunya, batin Maroo.

“Kenapa?” Eungi menatap ketakutan.

“Itu air ketuban! Kau boleh mengejan sekarang!” ucap Maroo. Ia memposisikan kedua tungkai kaki Eungi agar berjarak selebar mungkin.

“Mengejanlah saat kontraksinya datang, okay?” perintah Maroo.

Ia menopang berat tubuh Eungi dari belakang, merasakan raga wanita itu mengeras dan melemah dalam pelukannya. Jemari Eungi mengepal kuat, giginya gemeretak dan tenggorokannya pasti sangatlah kering akibat terlalu lama berteriak.

“Aaaarrggghhh… Maroo… kapan ini selesai???” Eungi memekik lemah.

Ingin sekali ia menekan perutnya kuat-kuat agar bayinya dapat segera terdorong keluar, tapi ia sadar itu berbahaya.

Maroo tak menjawab, ia merasa sangat bersalah dan tak tega melihat upaya keras Eungi demi melahirkan bayi mereka.

Eungi mengangkat tubuhnya agak tinggi, kontraksinya terasa begitu hebat. Ia dapat melihat bahwa apapun di dalam perutnya telah menciptakan semacam gelombang.

“Marrrroooo….” Eungi mendorong bayinya sekuat yang ia bisa.

Bersamaan dengan itu, sesuatu meluncur dan menganjal di antara kedua pahanya. Maroo sadar akan hal itu, Ia berbisik, “Aku akan membantumu mengeluarkan bayi kita, tetaplah kuat!”

Eungi mengedipkan matanya, menyatakan setuju.

Maroo meninggalkan Eungi untuk mengejan sendirian, ia beralih pada bagian bawah Eungi. Matanya melihat sesuatu. Ada kepala kecil yang telah ditumbuhi rambut halus tengah ikut berjuang untuk keluar dari sarangnya yang nyaman selama 9 bulan ini.

Tangan Maroo terasa gemetar menyongsong kepala yang baru muncul sedikit itu.

“TERUS DORONG!” teriak Maroo gugup, tapi Eungi tak menjawab. Ia terengah kelelahan.

“SEO EUNGI!! EUNGI???” Maroo mendongak. Eungi tak merespon.

Perasaan takut menjalari hati Maroo, keringat dingin mengucuri tengkuknya.

“EUNGI!!! SEO EUNGI!!!” Maroo terus menguncang bahu Eungi, ia menepuk pipinya agar tetap terjaga.

“Maroo…” Eungi membuka matanya. Suaranya lemah memanggil.

“Aku mengantuk…” adu Eungi.

“TIDAK BOLEH! KAU TIDAK BOLEH KEHILANGAN KESADARAN! BAYI KITA! JANGAN MENYERAH SEKARANG!!!” Maroo menatap tegas.

“KAU HARUS MENDORONGNYA!!! AYO SAYANG!!!” pinta Maroo, peluh menetes di sekujur tubuhnya sementara tangannya bersiap untuk menyambut kepala sang jabang bayi yang nyaris keluar dari lubang milik Eungi.

Lubang itu telah terbuka sempurna dan menjadi begitu elastis sebagai jalan bayi mereka menuju dunia.

Air ketuban mengucur tanpa henti seiring tubuh mungil itu bergerak keluar. Kepala bayi Maroo yang semula menghadap belakang kini berputar dan menunjukkan wajahnya. Eungi terus mendorong dengan segenap sisa tenaganya.

Wajah wanita itu memerah dan seluruh otot di tubuhnya menegang. Kedua kakinya menekan kuat atas seprei hingga membentuk cekungan.

Maroo mengulurkan kedua tangannya dan menarik bayinya pergi dari sela kaki Eungi begitu bahunya menyembul keluar.

Ia kemudian menyeka tubuh mungil itu dengan handuk yang sebelumnya telah dibasahi air hangat. Merasa lingkungan asing, bayi Maroo menangis. Dan tersenyumlah kedua orangtuanya.

Setelah menyelimutinya dengan handuk kering, Maroo memberikannya dalam dekapan Eungi yang langsung memberikan air asi-nya pada si bayi.

Maroo termangu menatapnya. Ia masih tak percaya, begitu juga Eungi yang seolah mendapatkan kembali tenaganya.

“Dia laki-laki atau perempuan, sayang?” tanya Eungi.

Maroo tersadar, ia lupa memeriksa jenis kelamin bayi mereka.

Dengan gugup, ia menyingkap kain penutup di atas tubuh si bayi. Maroo tersenyum, ia terharu luar biasa.

“Dia akan menjadi teman bermain bola bagi Eunsuk,” jawab Maroo sembari mengecup kening Eungi dan bayi mereka.

Eungi tersenyum sumringah, dan mendekap bayinya makin erat.

Tak lama setelah itu, Eungi merasa mulas lagi dan ia mengejan. Keluarlah plasenta yang selama ini menemani bayi mereka di dalam rahimnya. Selesai sudah perjuangan Eungi malam ini.

Sebuah hari yang panjang. Hampir 6 jam ia bertahan melawan kuatnya kontraksi.

“Kapan kau siap untuk anak kedua? Bukankah kau ingin sembilan anak?” goda Maroo beberapa jam setelah kelahiran anak mereka.

Eungi tak menjawab, hanya tatapannya yang berubah menakutkan. Maroo tak tahu harus tergelak atau merasa takut.

Ia menatap bayinya yang tidur pulas di samping Eungi. Sebentar lagi matahari akan terbit.

“Menurutmu siapa namanya?” tanya Maroo.

Eungi terdiam sejenak, ia berpikir.

“Kang Jung Woo?” tanya Eungi.

“Jung Woo-ah?” Maroo agak kaget, ia seperti pernah mendengar nama itu. Ia ingat mimpinya, di dalam mimpinya Eungi memanggil anak mereka dengan nama Jung Woo.

“Kau tidak suka?” tanya Eungi.

“Kenapa kau ingin nama Jung Woo?”

“Saat kau belum siuman setelah operasi, aku bermimpi melihatmu menggendong seorang anak laki-laki seumuran Eunsuk dan memanggilnya Jung Woo. Kang Jung Woo,” jawab Eungi.

Maroo tersenyum dan mengecup mesra bibir Eungi.

“Aku menyukainya, Kang Jung Woo,” bisik Maroo.

 

~oOo~

 

4 tahun kemudian,

“Jung Woo-ah!!!” Choco bersama Eunsuk sibuk memanggil nama itu berulangkali, ke seantero penjuru rumah namun yang dipanggil tetap tak terlihat.

Eungi yang mendengar ribut-ribut segera keluar dari kamarnya dengan perutnya yang membuncit.

“Kalian berisik sekali? Ada apa?” tanya Eungi.

“Jung Woo….” Choco menelan salivanya dengan gugup sementara Eunsuk menunduk takut-takut.

“Jung Woo di sini!” Seorang pria berkacamata keluar dari dalam ruangan bersama Jung Woo dalam gendongannya. Pria itu Kang Maroo.

Eungi mengacak pinggangnya dan menggeleng geram, “Bukankah kalian sudah berjanji menjaga Jung Woo? Ayahnya sedang belajar untuk ujian besok dan tidak boleh diganggu!”

Melihat itu Maroo tersenyum dan memberikan kode agar Choco maupun Eunsuk menyingkir ke halaman.

“Ayah Jung Woo sudah selesai belajar, lagipula IQ-ku sangat tinggi Nyonya Kang! Aku yakin akan lulus dan menjadi Dokter yang hebat, iyakan Jung Woo sayang?” Maroo mengayun-ayunkan Jung Woo dalam gendongannya. Anak laki-lakinya itu tertawa bahagia.

“Ah, jadi Ayah Jung Woo sudah selesai belajar?” Eungi mendekat dengan gaya sok menyelidik.

“Ya!” Maroo menjawab penuh percaya diri.

“Ayah Jung Woo merindukan Ibu Jung Woo!” Maroo menarik pinggang Eungi lebih dekat dengannya dan mencium bibirnya tanpa aba-aba.

Eungi spontan melotot kaget, sedang Jung Woo menutup matanya dengan tangan.

Mengetahui itu terang saja, Eungi dan Maroo tergelak.

“Hyaaa… Jung Woo-ah, buka matamu!” pinta Maroo usil.

“Kenapa kau menutup matamu? Siapa yang mengajarimu?” tanya Eungi penasaran sambil mengelus perutnya yang terasa berat.

“Bibi Choco menyuruhku menutup mata saat ia mencium bibir Paman Jaegil,” jawab Jung Woo polos. Maroo mendelik mendengarnya, Eungi juga sama kagetnya.

Sementara itu, di halaman Choco melambaikan tangannya pada sosok Jaegil yang muncul dari ujung pintu gerbang.

Ia menyuruh Eunsuk untuk naik dan mengerjakan PR-nya kemudian berlari menuju arah Jaegil yang menyambutnya dengan senyuman lebar.

“Oppa!” Choco memeluk Jaegil.

“Kau merindukanku?” bisik Jaegil malu-malu. Choco mengangguk, sekilas mereka melihat ke sekitar dan setelah memastikan keadaan aman. Jaegil segera memeluk Choco dengan erat.

“Apa setelah ini kalian akan berciuman dan aku harus menutup mataku???” teriak Maroo dari atas balkon. Ia berdiri berdua bersama Eungi dalam dekapannya.

Jaegil dan Choco langsung menjauhkan diri mereka masing-masing dengan salah tingkah.

“Maroo… aku bisa menjelaskannya…” teriak Jaegil begitu gugup, Choco juga demikian.

Maroo menatap dingin selama sekian detik sampai akhirnya ia tersenyum, begitupun Eungi. Keduanya tertawa renyah.

“Haruskah kami menutup mata sekarang, Jaegil?” tanya Maroo.

Jaegil terlihat bingung, ia melirik Choco. “Menutup mata?” tanyanya.

“Kurasa Jung Woo membocorkan kejadian kemarin, Oppa,” bisik Choco.

“BAIKLAH! KALAU BEGITU KALIAN SAJA YANG MENUTUP MATA!” teriak Maroo memperingatkan.

Ia mengalihkan netranya dari halaman menuju wajah Eungi. Wanita itu sedang hamil anak kedua dan ketiga mereka. Bingung maksudnya? Ya, Eungi sedang mengandung bayi kembar.

“Seo Eungi-sshi, Kang Roo Ma merindukanmu!” Maroo menarik Eungi lebih dekat dan meremas pelan bibir milik Bidadari kesayangannya. Eungi tak mau kalah, ia mengalungkan tangan-nya melingkari leher Maroo dan membalas tiap lumatan yang suami tercintanya berikan.

“Mereka semua membuatku iri,” desah Jaegil, ia menunduk, mengintip isi kantongnya. Sebuah undangan pernikahan yang tadi ia temukan di dalam kotak surat, menyembul disana. Undangan dari Pengacara Park. Pria baik itu akan menikah dengan seorang Dokter yang beberapa tahun lalu merawatnya di Rumah Sakit. Mereka berdua terlibat cinta lokasi.

“Aku juga merasa begitu,” sahut Choco, lemah.

“Kalau begitu, ayo kita menikah dan membuat mereka iri,” ucap Jaegil penuh semangat, membuat Choco nyaris tersedak salivanya sendiri.

“Oppa?” ia menoleh dengan tak percaya.

Jaegil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya, lantas ia mengandeng tangan Choco erat dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Dimana ada Eunsuk dan Jung Woo yang menyambut keduanya dengan celoteh riang serta canda tawa.

“PAMAN JAEGIL PULANG… SIAPA YANG INGIN BERMAIN???” Teriak Jaegil ceria.

FIN

Huakakakaka… endingnya aneh? Absurd? Maksa?

Hihihihi…

Ya, intinya NICE GUY ANOTHER ENDING resmi aku akhiri seperti ini.

Lagi buntu… tapi maksa nulis, jadi begini hasilnya.

Okay, segala caci maki akan kutampung dengan sepenuh hatiku. Hehehe~

Intinya biar lebih jelas aku kasih gambaran singkatnya.

Jae Hee selamat setelah diberi donor darah oleh kakaknya Jaeshik yang akhirnya tobat. Mereka berdua dipenjara. Jae Hee mengakui kesalahannya. Maroo berhasil dioperasi dan nggak pakai sok amnesia-amnesiaan. Aku capek main alur ala sinetron Indonesia. Cekaka~

Pengacara Ahn Min Young juga tobat dan masuk penjara.

Eunsuk diasuh oleh Eungi yang memboyong seluruh keluarga Maroo termasuk Jaegil ke rumahnya yang megah.

Taesan bangkrut dan berganti menjadi perusahaan cireng. Eh, bercanda deh. Cekaka~

Taesan masih ada kok, cuma Eungi udah nggak jadi Direktur bla bla. Dia Cuma jadi pemegang saham dan itu cukup buat hidup 7 turunan tanpa kerja. Hahaha~

Maroo menggapai mimpinya lagi buat sekolah lanjut sekolah Kedokteran setelah nama baiknya dipulihkan. Eungi mendukungnya sepenuh hati. Mereka tetap pada rencana semula, memiliki 9 anak!

Asyik!!!

Setelah ini, aku mungkin fakum dari dunia per-FF-an karena pengen fokus menelurkan karya yang bernilai rupiah. Hehehe~

Terima kasih bagi para pembaca setia yang mengikuti sampai akhir. Aku bukan penulis yang baik, tapi setiap komentar kalian selalu membuka ruang di hatiku agar tetap bersemangat menuntaskan segala karya.

Terima kasih sekali lagi. Aku mencintai kalian dari lubuk hatiku yang paling dalam.

SALAM CHAEKI SHIPPER^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.