Mr. and Mrs. San Franscisco

NICE GUY FF 'Another Ending'

Prolog

Beberapa orang mengatakan bahwa segala hal selalu tepat waktu, sesuai rencana Tuhan. Bahkan pagi pun tunduk pada jelma sang malam.

Namun aku tak mempercayainya karena di matamu aku melihat cinta menjadi begitu abadi. Dan jika kau dapat melihat tentang betapa kuatnya pesonamu bagiku.

Kau sungguh akan tahu, bahwa kekasihmu ini tidak berdusta. Tentu saja, ya tentu saja akan ada saat dimana kita pasti akan berpisah.

Saling melambaikan tangan lantas menyerukan selamat tinggal. Kala itu, walau kita mencoba untuk melawan sekuat apapun.

Tuhan akan tetap menang dengan takdirnya. Kita akan kalah, Eungi… Kita akan kalah…

Takdir itu disebut kematian.

~oOo~

 

Russian Hill adalah sebuah kawasan terpencil di ujung selatan Franscisco. Lokasinya dipenuhi bukit nan indah dengan candu deburan pantai yang memagari setiap kelok tanjungnya. Maroo menatap gelombang pasang yang menghujam bibir pantai di luar Villa tempatnya dan Eungi tengah bernaung. Eungi memeluk tubuh Maroo dari belakang, memagut dagunya di atas bahu sang Rama. Mereka saling tersenyum. Jemari Maroo mendekap rapat dua tangan Eungi yang melingkari perutnya.

“Kau ingin jalan-jalan?” tanya Maroo.

Eungi menggeleng, “Aku lelah, lagipula bukankah besok terasa lebih tepat? Aku dengar ada Festival tahunan yang akan diadakan di kota.” Maroo mengangguk datar, Ia berputar dan menatap cantik wajah Sinta miliknya. Ditangkupnya kedua pipi Eungi dengan tangannya yang hangat.

“Mau tidur sekarang? Masih pukul tujuh malam.”

Eungi mengangguk, kedua tungkai kakinya beranjak naik ke atas ranjang yang berada di depan perapian. Maroo melingkarkan lengannya mengelilingi pundak Eungi, dan mengikutinya. Mereka rebah bersama di bawah nyamannya selimut. Eungi menyandarkan kepalanya di atas lengan kiri Maroo. Ia merasa begitu damai seperti ini. Belaian tangan kanan Maroo konsisten menjamah punggungnya. Naik turun…

Pria itu menempelkan dagunya di atas kening Eungi. Ia mulai mendendangkan sebuah lagu. Eungi merapatkan pelukannya dan mulai memejamkan mata.

“So let’s leave now again…

I miss you again today…

Because you remain in my heart and I can’t erase you, really…

I am hurting like this…

Because I love you, tears fall…

In case I lose you again, in case I lose you again…

I only look at you…

Even if I were born again, even if I were born again after the death,

it is always be you… Seo Eungi-sshi…”

 

“Kau mengubah liriknya, huh?” Eungi melirik Maroo yang hanya tersenyum tipis.

“Tidurlah! Aku mulai lelah terus membelai punggungmu!”

Eungi tersenyum, Ia mengecup bibir Maroo cepat lalu membenamkan wajahnya kembali ke dalam pelukan Maroo.

“Heh, kau baru saja mencuri ciuman dariku Nyonya?” Maroo merengut.

Ia beringsut turun, menyejajarkan wajahnya dengan paras sang istri yang kini pura-pura terlelap.

“Jangan membuatku marah ya!” seru Maroo sok mengancam. Ia mengangkat dagu Eungi lantas menciumnya tanpa peringatan.

Bibir mereka saling memagut dalam hening malam yang hanya dihiasi oleh lantunan ombak semusim. Kaki mereka saling mengait sementara tangan kanan Maroo menopang belakang leher Eungi. Ciuman singkat mereka berubah menjadi semakin ganas. Maroo mulai turun dan menikmati mulus leher sang Bidadari. Ia membubuhkan jejaknya di sana, lalu sekali lagi dengan tanpa peringatan mulai membuka satu persatu kancing piyama Eungi. Jemarinya berkelisik ke sela-sela seiring napasnya terhembus di luar kendali. Maroo berhasil membuka seluruh kancing dari piyama Eungi. Ia menatap keindahan tubuh Eungi yang kini hanya dibalut oleh lingerie tipis berwarna putih. Bagian perutnya terbuka. Maroo menaruh kedua telapak tangannya disana. Menyentuh permukaan kulitnya yang menonjol tak rata. Ada gerakan kecil dari si buah hati.

Rasanya jantung Maroo berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Hatinya menceplos bahagia.

“Hi… apa yang sedang kau lakukan disana?” bisik Maroo di atas pusar Eungi.

Ia merebahkan kepalanya di atas dada Eungi. Merasakan getar napas wanita itu sementara tangannya mengusap pelan perut Eungi dengan mata terpejam.

Jemari Eungi membelai lembut kepala Maroo. Kebahagiaan menyusup hangat dalam hatinya. Ia tak pernah tahu impiannya beberapa tahun silam saat mengetuk pintu rumah Maroo di bawah guyuran hujan akan menjadi kenyataan. Setelah begitu besarnya badai yang menghantam perahu cinta mereka, Eungi sangat bersyukur Maroo dan dirinya masih tetap terjaga mengarungi samudra.

“Maroo… kau sudah mengabulkan keinginanku untuk memiliki anak bersamamu. Sekarang kau hanya perlu menua bersamaku. Dan kau harus menepatinya…” seru Eungi.

Maroo terdiam, matanya berkaca-kaca seketika. Ia sungguh ingin mewujudkannya namun, soal kematian. Ia tak berani menjanjikan apapun.

“Maroo? Kau tidak tertidurkan?” bisik Eungi.

Maroo tak menjawab.

“Beraninya kau tertidur setelah melucuti pakaianku, huh?” Eungi menggeleng namun Ia tak berniat untuk membangunkan Maroo dan hanya terus membelai lembut kepala pria itu hingga Ia sendiri jatuh terlelap dalam pelukan mimpi.

:::

Angin menari, derunya menyapu lancap helaian daun dari pepohonan di luar Villa bertingkat dua milik Eungi dan Maroo. Petir memekak keras membelah kelamnya langit tanpa bintang. Maroo menggeliat pelan, merasa terusik oleh dinginnya angin dari jendela di dekat ranjang yang rupanya terbuka. Tirai putihnya berkibar tak tentu arah.

Dan Maroo baru sadar jika Eungi tak ada di sampingnya. Ia mengerjap cepat, mengumpulkan kesadarannya lantas beranjak turun dari ranjang.

Ada bercak darah mengotori lantai. Maroo mengernyit, hatinya tak tenang seketika. Mulutnya meneriakkan nama Eungi, berharap wanita itu segera muncul di hadapannya namun tak ada jawaban. Nihil!

Maroo memutuskan untuk mengikuti kemana tetesan darah itu bermuara. Ia berlari menuruni tangga dan melewati beranda yang sunyi senyap. Kini, kaki terhenti di ambang pintu keluar yang sedikit terbuka. Tetesan darah itu menghilang di sana.

Hujan mulai turun dengan derasnya. Samar, Maroo dapat mendengar namanya mengumpara ke angkasa. Suara Eungi! Itu suara Eungi! Bola mata Maroo terbelalak, jantungnya berdetak kencang. Ia tak perduli pada badai yang mencoba menghadang langkahnya.

Maroo mencari dimana asal suara itu. Ia menyerbu pantai, dimana ada siluet bayangan dua orang manusia dari kejauhan. Setelah cukup dekat, akhirnya Maroo tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Petir meraung keras, cahayanya menghentak tanah dan menerangi pantai untuk sejenak. Saat itu, dengan jelas Maroo dapat melihat wajah Pengacara Ahn. Pria itu menggeret Eungi menuju tengah pantai. Maroo berlari sekuat yang Ia bisa namun jarak mereka bukannya makin dekat, malah terasa semakin jauh. Darah mengucur deras dari bawah perut Eungi. Memerahkan kakinya. Maroo berteriak, Ia mengejar bayangan Pengacara Ahn yang perlahan raib bersama Eungi dalam gulungan ombak.

Braaakkkk….

Suara jendela yang terbuka dan menghantam dinding melontarkan Maroo dari mimpi buruknya. Ia terbangun dengan terengah, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

“Eungi…” Maroo sadar Eungi menghilang dari sisinya. Ia menatap keluar jendela. Badai… akan ada badai seperti di mimpinya. “SEO EUNGI!!!” Maroo berlari keluar Villa setelah tak menemukan Eungi dimanapun. Ia berlari dan terus berlari tanpa alas kaki. Hujan merabas deras mengguyur Russian Hill. Angin dan ombak berlomba-lomba menjadi yang paling kencang. Petir sesekali meledak menerangi angkasa. Maroo masih berlari meski kakinya berdarah dan perih akibat tajam kerikil jalanan.

“EUNGI… SEO EUNGI… EUNGI… SEO EUNGI….” Maroo kesetanan, Ia menggila.

Sudah lebih dari 20 menit Ia mencari kesana-kemari, bahkan menyusuri pantai yang gelap gulita di tengah malam seperti ini namun tak ada yang dapat Ia temukan.

Maroo kelelahan, Ia duduk di depan gerbang. Hujan mulai reda meski rintiknya masih konsisten menghujam tanah. Seorang wanita berpayung merah muda menghampirinya. Tangan kirinya menenteng sebuah keresek berlogo Minimarket.

Wanita itu menunduk, menyapa Maroo yang terpejam di bawah hujan.

“Sayang? Kau sedang apa? Kau berjalan sambil tidur?” tanya Eungi keheranan. Maroo membuka matanya, Ia bangkit dengan cepat dan segera memeluk Eungi yang tak terdiam tak tahu harus bagaimana.

“AKU MEMBENCIMU SEO EUNGI!” teriak Maroo, meluapkan kekesalannya.

:::

“Kau tidak melihat pesan yang kutinggalkan di atas meja. Kau bahkan tidak mengangkat telepon-ku dan membuatku pulang sendiri dari Minimarket di ujung jalan. Lalu sekarang kau marah-marah tidak jelas?” Eungi memberikan segelas teh hangat pada Maroo yang telah berganti baju dan kini tengah menggigil kedinginan di depan perapian.

“Wanita hamil macam apa yang pergi keluar sendirian di tengah malam badai seperti ini?” Maroo mengomel sebelum menyesap teh buatan Eungi.

“Aku terbangun di tengah malam karena lapar! Bayimu minta makan. Dan aku tidak tega membangunkanmu, lagipula saat aku keluar badai belum datang.” Eungi mencoba membela diri. Ia menyodorkan selimut tebal kepada Maroo yang langsung mengambilnya dan menyelimuti tubuhnya dengan tak sabar. Giginya gemeretak kedinginan.

“Mulai sekarang jangan pergi kemana pun tanpa ijinku! Aku khawatir terjadi sesuatu pada bayi kita!”

Eungi yang tengah memeras kain di atas baskom berisi air hangat mendengus, wajahnya berubah masam.

“Jadi kau cuma khawatir padanya? Tidak padaku?” Ia duduk di hadapan Maroo, meletakkan kain basah di tangannya ke atas telapak kaki Maroo yang terluka. Dengan agak kasar Ia menyeka luka-luka itu.

Maroo menaruh gelas tehnya. Ia menatap wajah galak Eungi. Wanita itu sedang berkonsentrasi untuk mengobati luka di kakinya. Sekilas ini nampak seperti de javu.

Apa Tuhan sedang mencoba membuatku menebus segala kesalahanku di masa lalu?

Apa Tuhan sedang menukar posisiku dengan Eungi beberapa tahun silam saat gadis itu pergi bertelanjang kaki di tengah hujan ke rumahku?

Maroo membelai lembut pipi Eungi, menangkup dagunya dan memaksanya memandang ke arahnya.

“Bagaimana bisa seorang Ibu cemburu pada bayinya sendiri?” goda Maroo mencoba mencairkan suasana.

Eungi menunduk, menghindari tatapan Maroo. Ia tidak ingin menjawabnya dan fokus membalut luka di kaki Maroo dengan perban dari kotak P3K.

“Kau tahu aku juga mengkhawatirkanmu. Aku mimpi buruk dan saat bangun, aku tidak menemukanmu. Aku jadi sangat ketakutan.”

“Ah, sudah selesai. Besok jangankan hanya berjalan, kau bisa berlari sejauh yang kau mau!” Eungi meletakkan sisa perban ke dalam kotak.

Ia bangkit untuk mengembalikan kotak P3K ke dalam lemari.

“Memangnya apa yang terjadi padaku di dalam mimpimu?” tanya Eungi ringan.

“Aku melihat Pengacara Ahn membunuhmu dan aku terlambat menyelamatkanmu….” Desah Maroo sedih, ingatan tentang mimpi itu membuatnya murung.

Eungi terdiam, Ia berbalik dan menatap wajah sendu Maroo yang sedikit pucat karena kedinginan.

“Aku senang mendengarnya.” Seru Eungi, Ia tersenyum santai.

“Maksudmu?” Maroo mengernyit.

“Itu berarti Kang Maroo sangat mencintai Seo Eungi….”

Eungi duduk di hadapan Maroo dan menyandarkan punggungnya ke dadanya yang bidang. Ia menarik kedua lengan pria itu untuk menyelimutinya.

Maroo sedikit tergelak, Eungi benar-benar sakit jiwa pikirnya. Bagaimana bisa dia memandang mimpi buruk itu dari sudut pandang yang berbeda dan bersorak karenanya.

“Terserah padamu saja, tapi yang jelas mulai sekarang jangan pernah menghilang dari pandanganku ataupun melepaskan tanganku tanpa ijin. Kau mendengarku Seo Eungi?”

“Kau cerewet sekali, Tuan Kang!” ledek Eungi.

“Memang.” Maroo melirik datar, cuek.

“Kalau begitu kau juga tidak boleh terluka tanpa ijinku!” Eungi menoleh ke belakang dan tanpa disangka-sangka Maroo memanfaatkan momen itu untuk menumbuk lembut bibirnya.

“Kau baru saja mencuri ciuman dariku, huh?”

“Aku hanya membalas dendam. Bukankan Seo Eungi juga suka membalas dendam?”

Eungi mengangguk gemas mendengar kalimat Maroo, matanya memicing penuh arti dan ya, Ia balas meremas bibir Maroo dengan bibirnya yang kenyal. Mereka bercumbu di depan hangat perapian.

:::

Pengacara Ahn meremas ponselnya, Ia baru saja mendengar kabar bahwa Pengacara Park telah dipindahkan dari Rumah Sakit tempatnya dirawat. Matanya menunduk, menatap sebingkai foto di dalam laci. Fotonya dan Pengacara Park dahulu kala saat masih begitu akrab. Jauh sebelum Jae Hee masuk ke dalam hidupnya.

Ucapan Juniornya itu kembali terngiang di dalam ingatannya.

 

“Kita sama, tidakkah kau menyadarinya bahwa kita sama saja Kak!

Hal yang membuat kita berbeda adalah karena kau bertemu dengan Jae Hee dan aku bertemu dengan Eungi. Kau pergi ke arah yang salah dan aku memilih untuk tetap tinggal di jalanku.

Aku menunggumu untuk kembali menjadi dirimu yang dulu. Bukankah melepaskan orang yang kita cintai itu juga bagian dari cinta? Apa yang kau perjuangkan selama ini bukan cinta tapi obsesi dan di dalam cinta yang sebenarnya tak ada obsesi.”

 

“Bukan aku yang salah melangkah. Kau yang bodoh dan membiarkan Eungi menghancurkan jalan hidupmu. Kau terbaring koma seperti itu juga karena mencoba melindungi cinta tak terbalasmu pada Eungi. Tapi kau tenang saja, aku tidak akan mengusikmu lagi. Aku akan membiarkanmu beristirahat dengan tenang.”

Pengacara Ahn menutup lacinya dan mengalihkan pandangannya menuju sebuah foto di atas lemari kaca. Foto para petinggi Taesan yang diambil pada perayaan ulang tahun perusahaan beberapa tahun lalu. Ada sosok Eungi di sana. Pengacara Ahn melepaskan kacamatanya, matanya awas memandangi Eungi yang tengah tersenyum di sebelah Ayahnya.

“Presdir Seo pasti kesepian tanpa putri kesayangan-nya di alam sana.” Gumam Pengacara Ahn dingin.

:::

 

Selain terkenal oleh keindahan bukit serta pantainya. Russian Hills juga terkenal dengan festival balap kereta keledai tahunannya yang dipadu dengan festival potong rambut. Terdengar aneh? Namun itulah keunikan Russian Hills. Konon, tradisi itu bermula saat sekelompok imigran pada abad ke 17 menginjakkan kaki mereka di Russian Hill. Perjalanan dengan jalur laut yang memakan waktu berbulan-bulan membuat wajah mereka tak terurus, dipenuhi jenggot dan rambut tumbuh lebat – berantakan. Kemudian diadakanlah acara potong rambut beramai-ramai. Soal festival balap kereta keledai, itu pun memiliki kisahnya tersendiri. Sejak Russian Hills adalah tempat terpencil dimana transportasi masih sangatlah minim, maka di masa lalu masyarakat setempat menggunakan keledai sebagai tenaga pengangkut. Hal ini menjadi lumrah karena harga keledai yang jauh lebih murah daripada kuda.

Eungi melingkari pinggang Maroo dengan lengan kanannya sementara pria itu menaruh tangan kirinya di atas pundaknya. Mereka berjalan bersama menembus keramaian Russian Hills yang semarak oleh Festival. Begitu banyak warga berkumpul, mereka tumpah ruah ke jalanan. Balon-balon berbagai warna diterbangkan bersama musik yang mengalun riuh dari rombongan drum band berpakaian merah tua.

Maroo mencoba menyelinap, mencari tempat paling depan seraya berusaha melindungi wanita bergaun putih dengan jaket rajut berwarna merah muda di belakangnya.

Setelah berusaha cukup keras, Maroo akhirnya dapat membawa Eungi menempati posisi paling depan yang dipagari oleh pita panjang sebagai batas bagi penonton. Ia berdiri di belakang Eungi dan memeluknya dari belakang.

Beberapa orang pria berpakaian petani khas Russian Hills lengkap bersama sepatu bootnya mendekat. Mereka menyebar ke berbagai arah dan salah satunya berjalan menuju barisan Eungi.

Pria itu meneriakkan beberapa kalimat dalam bahasa Inggris yang kurang lebih berisi tantangan bagi para penonton untuk ikut bertaruh dalam perlombaan kereta keledai yang akan dimulai sebentar lagi.

Eungi berbisik, “Haruskah kita ikut juga?”

Maroo hanya memandang datar, “Bagaimana kalau kalah? Kau bukan penebak yang ulung. Sudahlah kita menonton saja!” jawabnya tak tertarik.

“Ah, kau pesimis sekali! Biar kutunjukkan pesona Dewi Keberuntungan Seo Eungi.” Eungi menepuk dadanya penuh percaya diri lantas melambaikan tangannya. Semua orang tahu, Ia seorang pembangkang dan kali ini Ia mengabaikan ucapan Maroo.

“Which one that you choose, Miss?” Pria berbaju petani itu tersenyum ramah pada Eungi yang langsung memilih angka 7.

“Here you go!” Petani itu menyetempel punggung tangan Eungi dengan angka 7.

“Kau benar-benar keras kepala. Ckckck….” bisik Maroo. Eungi menahan senyumnya, berpura-pura tak mendengar.

Peraturannya mudah saja, jika pilihan Eungi benar. Maka Ia berhak mendapatkan sekantong besar roti gandum khas Russian Hills. Namun jika Ia salah, maka Ia harus mendatangi posko-posko yang tersebar di setiap sudut jalan demi menghapus stempel di tangannya dan tentunya harus dihukum. Hukumannya sederhana saja, memotong rambut. Karena itu Festival ini disebut Festival Run and Cut.

Pertandingan pun dimulai, belasan kereta yang ditarik oleh masing-masing 2 ekor keledai berusia 1-2 tahun itu meluncur cepat dan saling berlomba untuk sampai lebih dulu di garis finish. Eungi merengut kesal karena kereta pilihannya hanya berhasil menduduki peringkat ke-4.

Maroo tersenyum di sebelahnya. Mereka melangkah menuju salah satu posko panitia di depan sebuah toko permen. Lebih dari 15 orang telah berbaris di sana menunggu giliran untuk mendapatkan hukumannya.

“Dewi keberuntungan Seo Eungi, huh? Aku kan sudah bilang jangan ikut bertaruh. Kau itu tidak punya bakat untuk memilih yang baik dan buruk!” Maroo menyenggol lengan Eungi dengan sikunya.

“Kata siapa? Buktinya aku memilihmu!” Eungi menyenggol balik, melotot.

Mereka sampai di depan posko dimana salah seorang panitia langsung menyambutnya dengan sumringah. Panitia berambut blonde kemerahan dengan gunting potong rambut di tangannya itu membimbing Eungi menuju salah satu kursi yang terjajar rapi di sekitar posko. Maroo menunggu dengan melipat tangannya di kejauhan. Ia mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya beberapa kali sementara salah satu tangannya masuk ke dalam saku celana.

Saat itulah, seorang pria berwajah asia dengan jeans dan jaket kulit menghampirinya. Mereka bersalaman dengan akrab laksana kawan lama yang terpisahkan. Eungi mengamati dari kejauhan selagi rambutnya perlahan-lahan dipangkas beberapa centi.

Mereka berbincang cukup lama sebelum akhirnya berpisah.

Selang beberapa menit kemudian Eungi yang sudah berganti penampilan datang dan menegur Maroo yang masih setia menungguinya.

Maroo berbalik dan cukup takjub dengan penampilan baru istrinya itu. Rambutnya yang panjang telah dipotong sebahu. Aura Eungi terasa lebih segar dan ceria.

“Kau menyukainya?” Eungi mengedipkan matanya. Maroo tergelak dan mengangguk lantas menggandeng tangannya kembali.

Selepas dari tempat itu, mereka mencicipi buah-buahan serta kue tradisional yang disediakan gratis di sepanjang jalan sembari menikmati pertujukan musik yang dipadu dengan pagelaran tari khas Russian Hills yang begitu mengundang decak kagum.

 

If you're going to San Francisco

Be sure to wear

Some flowers in your hair

If you're going to San Francisco

You're gonna meet

Some gentle people there

 

For those who come

To San Francisco

Summertime

Will be a love-in there

In the streets of San Francisco

Gentle people

With flowers in their hair

 

All across the nation

Such a strange vibration

People in motion

There's a whole generation

With a new explanation

 

 

Di penghujung sore, ketika keramaian mulai menyurut. Eungi duduk berdua di bawah rindangnya pohon bersama Maroo yang merebah di atas pangkuannya sembari mengelus-elus pelan perutnya. Mereka menikmati lantunan lagu melalui headshet serta berbagi Cotton Candy yang tadi sempat Maroo beli di sebuah toko permen milik seorang sepasang suami istri keturunan Afrika.

“Apa bayinya sekarang senang?” tanya Maroo pada Eungi yang asyik mencabik Cotton Candy.

“Dia bilang Ayahnya terlalu lambat.”

“Benarkah? Tapi harusnya dia senangkan? Ayahnya jauh-jauh terbang ke San Franscisco untuk membelikannya Cotton Candy.”

Eungi tergelak, Ia baru tahu Maroo bisa melucu.

Dijejalkannya sejumput Cotton Candy ke dalam mulut Maroo yang kemudian mengulumnya dengan ekspresi aneh.

“Kenapa?” tanya Eungi heran.

“Kenapa rasanya tawar ya?” Maroo mengecap-ngecap lidahnya, Ia bangun dan duduk menghadap Eungi.

“Bagaimana bisa?”

Eungi menyobek Cotton Candy-nya dengan ukuran yang lebih besar lantas merasakannya lagi. Saat itulah, Maroo dengan cepat menjerat bibirnya dengan kecupan.

“Ini baru manis!” bisik Maroo disambut gelak tawa Eungi.

Mereka berbagi ciuman sekali lagi dengan Cotton Candy sebagai pihak ketiga.

 

:::

 

Ada satu hal tentang Eungi yang selalu Maroo kagumi hingga detik ini. Hal tersebut begitu menakutkan pada mulanya namun, kini menjadi hal yang begitu Maroo syukuri. Cinta gila milik wanita itu. Kang Maroo adalah cinta pertama bagi seorang Seo Eungi. Cinta yang lebih sering menawarkan racun daripada madu pada awalnya. Cinta yang mengubah Eungi menjadi seseorang yang lebih terbuka pada dunia. Seorang Kang Maroo menarik Eungi dari dunia gelapnya, sama seperti bagaimana Eungi mengeluarkan Maroo dari lorong suram berjuluk masa lalu.

Dan hari ini, setelah sekian lama, saat yang paling Maroo hindari akhirnya tiba. Ketika Eungi berhasil mengusik hatinya untuk menceritakan semuanya lewat sebuah pertanyaan sederhana berbunyi;

“Siapa pria yang kau temui tadi di Festival?”

“Namanya Yoo Ah In. Dulu kami satu sel di penjara.” Jawab Maroo santai di sela makan malam.

Kening Eungi mengerut, wanita itu tahu bahwa suaminya adalah seorang pembunuh. Ia hapal betul setiap kejahatan maupun penipuan yang telah Maroo lakukan.

Eungi diam, mengunyah nasinya dalam hening. Perasaannya bergejolak, Ia ragu untuk bertanya lebih jauh. Ia tak mau merusak suasana romantis makan malam mereka.

Maroo mendongak, meletakkan sendoknya dan menatap wajah Eungi.

“Kau tidak ingin bertanya kenapa aku bisa masuk penjara? Kenapa aku didakwa atas kasus pembunuhan?”

Eungi menghentikan makannya, maniknya tajam menatap Maroo.

“Kupikir kita tidak perlu membahasnya. Itu adalah masa dimana kita belum saling mengenal. Sebejat apa kau di masa lalu serta seburuk apa dirimu dulu. Aku tidak berhak menghakimimu. Yang aku perdulikan adalah saat ini, masa depan kita.” Eungi mengusap perutnya sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Dan – kupikir, sebaiknya kita merahasiakannya. Aku tidak mau anak kita berpikiran buruk soal Ayahnya.” Eungi melanjutkan makannya.

“Tidak Eungi, ada banyak hal yang perlu kujelaskan padamu. Ada banyak hal yang perlu kau tahu tentangku. Agar nanti, saat aku sudah tidak ada dan  kau mendengar hal buruk tentangku, kau tahu harus mempercayai siapa.”

Eungi mengernyit,

“Saat kau sudah tidak ada? Aku tidak suka kalimat itu! Membayangkannya saja membuatku kehilangan selera makan.” Eungi menyandarkan punggungnya ke kursi, menahan emosinya.

“Apa kau punya rencana untuk meninggalkanku, Kang Maroo?” tanya Eungi menyudutkan. Hamil membuatnya menjadi lebih sensitif.

“Aku hanya berjaga-jaga, bukankah kematian bisa datang kapan saja? Siapa yang tahu ini menjadi makan malam terakhir kita?”

“BRENGSEK! Kau benar-benar merusak nafsu makanku!” Eungi membanting sendoknya.

Ia meninggalkan meja makan dan duduk di depan perapian dengan dongkol.

Maroo mengikuti, mengambil tempat di hadapan Eungi.

“Dengarkan aku!” Ia menangkup wajah Eungi dengan kedua tangannya dan menatapnya penuh kelembutan sementara Eungi membalas tatapannya dengan tak bersahabat.

“Aku tahu, kau pasti sudah menyelidiki semua hal tentang suamimu ini. Kang Maroo yang pembunuh, pemeras, gigolo, mata-mata perusahaan bahkan penipu. Kau pasti sudah mengetahui semuanya.” Maroo menunduk sejenak, menarik seuntai senyum tipis di ujung bibirnya. Ia sendiri terpukau oleh begitu banyaknya tinta hitam yang telah Ia torehkan di masa lalu.

“Dengarkan aku! Dahulu kala ada seorang pria naif. Ia begitu lugu dan polos. Ia adalah seseorang yang bahkan tak pernah berpikir untuk melanggar rambu lalu lintas sekalipun. Ia adalah seseorang yang percaya bahwa dunia ini indah.” Maroo menarik napasnya sejenak, rasanya sakit mengingat masa lalu. Ia kemudian menggenggam tangan Eungi dan lanjut bercerita. Rasanya lebih baik seperti ini, pikir Maroo. Keberadaan Eungi memberinya kekuatan.

“Suatu malam, pria itu mendapat telepon dari kekasihnya yang tengah menangis. Pria lugu itu lantas segera berlari keluar rumah dengan penuh kecemasan. Ia bahkan tega meninggalkan adiknya yang tengah sakit keras demi wanita tersebut.” Pandangan Maroo menerawang menuju awal kehancuran hidupnya.

“Pria lugu itu kemudian menemukan wanita yang Ia cintai tengah menangis di depan sesosok tubuh berlumuran darah. Si lugu mendadak menjadi begitu sombong. Ia memaksa untuk mengambil alih kesalahan kekasihnya, merelakan dirinya masuk ke dalam penjara.”

Mata Eungi mulai berkaca-kaca.

“Hidup menjadi begitu gelap setelahnya. Kekasihnya berkhianat, adiknya sakit keras dan Ia dikeluarkan dari Universitas. Si lugu yang dikuasai kesombongan itu tak punya pilihan lain kecuali menjual tubuhnya pada para wanita kesepian demi melunasi biaya pengobatan adik kesayangannya. Setiap hari Ia berharap Tuhan dapat segera mencabut nyawanya, menghilangkan penderitaannya. Ia hidup hanya karena belum saatnya mati – seperti cangkang kosong. Lalu suatu hari, Ia bertemu kembali dengan mantan kekasihnya di dalam sebuah pesawat. Dari pria lugu yang sombong, Ia menjelma menjadi pria jahat dan mulai menyusun rencana pembalasan dendam. Ia berpikir bisa memanfaatkan anak tiri dari mantan kekasihnya tersebut. Gadis itu naif tentang cinta. Ia juga kasar, angkuh, sombong dan arogan. Pria jahat itu terlalu percaya diri. Ia pikir ini akan mudah. Ia pikir, Ia tidak akan jatuh cinta pada gadis itu. Namun, sekali lagi. Tuhan menamparnya. Si jahat itu mulai bersimpati pada si gadis naif. Seseorang yang mengingatkannya pada dirinya di masa lalu. Pria itu kemudian memutuskan untuk mendorong si gadis naif pergi sebelum menghancurkan hidupnya terlalu jauh. Namun, gadis itu tetap kembali padanya. Pria jahat itu perlahan menemukan kembali arti hidupnya. Ia ingin hidup. Ia benar-benar ingin hidup dan melindungi gadis itu selama mungkin. Ia ingin menikah dengannya, memiliki anak dan menghabiskan masa tua bersama….” Cerita Maroo terhenti, Ia menyeka airmata yang mulai mengucur mengotori wajahnya.

“Seo Eungi, di dunia ini aku hanya menceritakan ini padamu. Bahkan Chocho pun tidak tahu. Aku tidak perduli sejijik apa pandangan dunia padaku, asal kau tahu yang sebenarnya dan asal anak kita tidak berpikiran buruk tentang Ayahnya. Aku sudah cukup bahagia….” Isak Maroo.

“Maroo…” Eungi kehabisan kata.

“Aku tidak menyesal Eungi, aku tidak menyesalinya sama sekali karena segala hal buruk itu membawaku menemuimu. Aku bahagia saat ini. Aku benar-benar bahagia….” Maroo mendekap Eungi dalam pelukannya.

“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu….” Bisik Eungi, Ia mengecup kening Maroo penuh perasaan kemudian memeluknya lagi, lebih erat, lebih hangat.

 

:::

 

Jae Hee menatap dua buah tiket di atas meja. Tiket pesawat tujuan Swiss.

“Apa maksudmu memberikanku ini?” tanya Jae Hee pada Pengacara Ahn di hadapannya. Pagi ini secara mendadak Pengacara Ahn datang menemuinya di rumah yang kebetulan sepi karena Eunsuk sedang pergi ke sekolah bersama Bibi penjaga.

“Aku menyuruhmu untuk pergi berlibur. Bawalah Eunsuk juga.”

Jae Hee menatap sinis, “Apa karena sekarang aku sudah diberhentikan dari jabatanku di Taesan lantas kau merasa berhak mengatur-ngatur hidupku?” tanyanya.

“Bagaimana jika kubalik pertanyaanmu dengan kalimat ‘apa karena Kang Maroo tinggal di rumah ini maka kau tidak mau pergi keluar negeri?’”

Jae Hee tersentak, matanya memicing tak suka pada nada bicara Pengacara Ahn yang Ia rasa telah begitu lancang akhir-akhir ini.

“Apa yang kau rencanakan sebenarnya? Kenapa ingin menyingkirkanku keluar negeri?”

“Ada beberapa hal yang harus kubereskan. Kau tidak lupakan bahwa kau memohon dan meminta bantuanku dulu? Kuharap kau tidak lupa bahwa kita berdua berkubang dalam genangan lumpur yang sama. Ambil tiket itu, pergilah berlibur bersama Eunsuk dan aku menjanjikanmu kemenangan saat kau kembali nanti. Jangan mengabaikanku karena ini untuk kebaikanmu juga. Besok, pukul tujuh malam. Aku menunggumu di Bandara. Aku akan mengantarkan kepergianmu.”

Pengacara Ahn bangkit dari hadapan Jae Hee dan pergi dengan ekspresi kaku di wajahnya.

Jae Hee menunduk, menatap 2 buah tiket yang kini berada di genggamannya.

Ia merasa kehilangan hak atas hidupnya. Sekilas, wanita itu tergelak tipis. Mengejek dirinya sendiri yang terjebak dalam lingkaran setan seperti ini.

Jae Hee tak punya pilihan lain, demi masa depan Eunsuk. Ia akan melakukan apapun, bahkan jika harus menikah dengan Pengacara Ahn pada akhirnya. Ia mungkin harus melakukannya.

 

:::

Eungi menatap pantulan dirinya di cermin. Ia tersenyum, menyukai penampilan barunya. Maroo menatapnya dari belakang, Ia mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai sembari memperhatikan tingkah Eungi.

“Kau masih perlu berapa lama lagi, Nyonya? Kita bisa ketinggalan pesawat!” sindir Maroo.

Eungi melirik pantulan Maroo di dalam cermin dengan kesal.

Maroo mendekat dan menaruh dua tangannya di atas bahu Eungi.

“Apa yang kau perhatikan sejak tadi di depan cermin?” tanya Maroo.

“Perutku! Kenapa masih belum besar ya?” Eungi menyentuh perutnya, cemas.

Maroo tersenyum, bagaimanapun juga Ia seorang calon dokter dulu. Ia tahu jawaban yang tepat atas pertanyaan Eungi.

“Masih lima bulan, sayang. Perutmu akan mulai nampak saat usianya enam bulan. Kau tidak sabaran sekali?” Maroo memagut dagunya di atas kepala Eungi, ikut memandangi cermin bersamanya.

“Aku bingung. Aku merasa tidak sabar untuk segera merasakan perutku membesar tapi di sisi lain aku juga merasa cemas.”

“Cemas?”

“Aku pasti akan menjadi gendut dan kau tidak suka lagi padaku.” Eungi merengut.

Maroo mengangguk datar, “Kau benar, aku sangat menyukai wanita seksi. Bagaimana ini?” sahut Maroo serius.

Eungi melotot, Ia berbalik dan menghujam Maroo dengan tatapannya yang galak.

“Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku?”

Maroo tertawa pelan, “Aku hanya bercanda.” Bisiknya.

“Bercandamu sungguh tidak lucu!”

“Hei, kenapa kau jadi pemarah akhir-akhir ini?” goda Maroo tenang.

 “Aku sudah pemarah sejak dulu. Aku juga kasar, sombong dan berpikiran sempit. Kau menyesal menikahiku?” semprot Eungi.

Maroo terdiam, agak salah tingkah. Sungguh ini pertama kalinya Ia merasa kehabisan kata menghadapi seorang wanita. Ia yang biasanya begitu lihai dalam menaklukkan hati wanita kini tak tahu harus bagaimana.

“Hyaaa.. Seo Eungi, kau mulai berlebihan.” Pekiknya.

“Tidak! Aku tidak berlebihan! Kau sendiri yang bilang bahwa aku tidak akan menarik lagi di matamu. Kau akan berpaling pada wanita lain dan mengacuhkanku! Kau juga….”

Tak perlu menunggu Eungi menghabisinya dengan seribu tuduhan tak logis lainnya, Maroo segera membekap Eungi dengan sebuah ciuman. Meski awalnya merasa terganggu, namun pada akhirnya Eungi takluk dan membalas setiap lumatan yang Maroo berikan.

Ya, Maroo memang licik dan Eungi menyukai kelicikannya.

:::

Seorang Pramugari melintas bersama kereta dorongnya. Ia memberikan makanan penutup kepada semua penumpang kelas VIP, termasuk pada Eungi yang tengah menyandarkan kepalanya di atas bahu empuk Maroo. Jemari mereka mengait rapat.

“Maroo… tidakkah kita kembali terlalu cepat?” desah Eungi. Ia melirik ke arah Maroo yang menjadi begitu hening sejak mereka masuk ke dalam pesawat beberapa jam lalu.

Maroo sebenarnya sedang menahan sakit dan tak ingin wajahnya yang pucat terlihat oleh Eungi.

“Aku – ingin ke toilet, seb – bentar….” Ijin Maroo, Ia bangkit dari kursinya dan beranjak menyusuri kabin pesawat menuju toilet di ujung lorong.

Eungi merasa aneh sebenarnya terutama karena tangan Maroo begitu dingin.

Ia menunggu, sudah hampir 30 menit berlalu namun suaminya belum juga kembali. Eungi memutuskan untuk meninggalkan kursinya dan menyusul ke Toilet.

Ia mengetuk tapi tak ada jawaban. Eungi yang mulai panik segera mengadu pada seorang Pramugari di ujung kabin. Tak butuh waktu lama, seorang pria yang merupakan kru pesawat datang. Ia akan membuka paksa toilet dengan kunci cadangan.

Eungi meremas tangannya dengan tak tenang. Jantungnya berdetak cepat. Pintu toilet akhirnya terbuka dan alangkah terkejutnya Ia saat mendapati suaminya terbaring tak bergerak di atas lantai bersama genangan darah yang mengucur deras dari kedua rongga hidungnya.

Eungi berteriak, Ia bersimpuh memeluk Maroo yang entah pingsan, entah telah meninggal.

Airmatanya jatuh, Ia menangis histeris meminta Dokter namun tak ada salah satu pun dari penumpang yang merupakan seorang Dokter. Eungi mulai marah, Ia meneriakkan segala sumpah serapah pada kru pesawat yang tak bersalah.

“Calm Down, Missis… Please Calm down. We will reach Korea in an hour. Now, let’s take your husband out from there so we can take care of him.”

Eungi akhirnya menurut, dengan sesunggukan Ia mengikuti kemana para kru pesawat menggotong Maroo pergi.

 

:::

Taksi yang ditumpangi Jae Hee berhenti tepat di depan pintu kedatangan Bandara. Wanita bermantel serta kacamata hitam itu lantas keluar bersama Eunsuk. Ia menggeret sebuah koper. Satu jam lagi pesawat tujuan Swiss-nya akan segera terbang landas.

Sebuah ambulan berhenti, menggantikan tempat dimana Taksi Jae Hee tadi terparkir. Beberapa orang pria berpakaian perawat bergerak cepat melewatinya dengan sebuah ranjang beroda. Mereka nampak sangat diburu waktu. Jae Hee dan beberapa orang di sekitar tempat itu memandang penasaran. Tak lama, para petugas medis itu kembali.

Mulanya Jae Hee sama sekali tak tertarik sampai Ia melihat sosok Eungi tengah menangis bersama seorang petugas medis yang kewalahan untuk menenangkannya dan membuatnya berjalan lebih pelan mengingat kondisinya yang tengah mengandung.

“Ibu, bukankah itu Eungi Nuuna?” tunjuk Eunsuk.

Jae Hee mengangguk cemas. Sebuah panggilan masuk dari Pengacara Ahn semakin mengacaukan pikirannya. Pria itu ingin memastikan apakah Ia dan Eunsuk sudah tiba atau belum di Bandara.

Jae Hee terdiam selama sekian detik sampai Ia memutuskan untuk menutup telepon dari Ahn Min Young. Jae Hee mengandeng Eunsuk dan berlari menuju Ambulan yang pintunya hampir menutup.

“Eungi, apa yang terjadi pada Maroo?” tanya Jae Hee. Ia melompat masuk bersama Eunsuk ke belakang Ambulan.

Eungi tak kuasa untuk menjawabnya, Ia hanya terus menangis sambil mendekap jemari Maroo ke atas dadanya.

Jae Hee ikut merasa sesak, airmatanya leleh melihat kondisi Maroo yang begitu memilukan seperti ini.

Perlahan jemari Jae Hee merengkuh bahu Eungi dan memeluknya penuh simpati.

“Dia akan baik-baik saja… Kang Maroo pasti baik-baik saja…” bisiknya.

Tuhan, kumohon jangan membawanya pergi secepat ini. Aku belum membalas semua kebaikannya. Aku belum menebus dosa-dosaku padanya. Dia pria baik… Kang Maroo pria yang baik… Ijinkan dia untuk bahagia… Kumohon padamu….

Jae Hee memejamkan matanya, menggumamkan sebuah doa.

Kang Maroo, bagaimana pun juga pria itu adalah cinta pertamanya. Satu-satunya cinta yang Ia punya selama hidupnya.

 

~oOo~

 

Okreh disini aku berusaha membuat semua karakter menjadi manusiawi. Hihihi…

Aku yakin Han Jae Hee pun bukan orang yang jahat. Ia hanya terjebak dalam lingkaran setan. Hoaaaaa…

Semoga aku bisa mengemas ending dari drama ini dengan begitu memuaskan.

Okay, FF ini akan segera berakhir.

Support me with your comments^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.