Don't Leave Me, Eungi

NICE GUY FF 'Another Ending'

Ia melontarkan dirinya terjun bersama-sama dan menghangatkan ranjang nan dingin ini.

Eungi menghilang… menghilang di dekapan Maroo.

Ia raib… raib dalam rengkuhan Maroo.

 

*

*

*

 

Waktu adalah wasit yang paling baik. Ia juga dokter yang paling hebat. Waktu bisa menyembuhkan dan menghakimi sekaligus. Kadang waktu terlihat begitu egois karena tak pernah mau menuruti keinginan kita, kadang terlihat begitu sombong karena tak mau meladeni rengekan kita.

Waktu bagi Maroo adalah bom yang bisa meledak kapan saja. Waktu bisa merenggutnya dari Eungi atau sebaliknya, merenggut Eungi darinya secara tiba-tiba.

Malam ini mimpi indah dari Aomori itu harus Ia akhiri. Waktu membubarkan semuanya.

Kata pernikahan yang terasa manis beberapa minggu terakhir lenyap tak tersisa.

Ingatan Eungi sudah kembali…

Waktu merenggutnya lebih dulu…

Merampas cinta Eungi dari Maroo…

 

Hening menyelimuti meja makan, Maroo menyendok setiap suapan dengan tidak bergairah. Mulutnya terkunci rapat sementara pikirannya kacau balau dihantui ketakutan akan kehilangan Eungi.

 

Wanita di hadapannya itu sedang asyik makan sambil sesekali bercanda bersama Eunsuk yang selalu ingin mencicipi apapun yang kakaknya ambil di atas piring.

Maroo memperhatikan mereka dalam diam. Sedikit berdebat dengan ketakutannya sendiri. Apakah Eungi benar-benar sudah mengingat masa lalunya?

Tapi kenapa dia masih dengan begitu nyaman melemparkan tawa dan celoteh-celoteh riang bersama Eunsuk?

~OoO~

 

 

“Sebaiknya kita bermalam disini saja, hujan masih turun di luar sana, Eunsuk juga sendirian.

Aku kasihan padanya.” Ucap Eungi, Ia menyandarkan punggungnya ke atas dada jenjang sang suami.

“Hmm…” Maroo mengangguk setuju tanpa melontarkan sanggahan apapun. Mereka masih asyik menikmati sandiwara ini.

 

“Hanya hmm?” Eungi berbalik dan mendongak menatap wajah pria brengsek yang dicintainya itu.

“Kau terlihat pucat, apa ada yang salah dengan makanan tadi?” ujarnya menatap cemas.

Ia mulai menyadari gelagat aneh suaminya itu.

Maroo tersenyum dan menggeleng, membelai lembut rambut Eungi. Mengecup pundaknya dengan tenang.

“Aku baik-baik saja.” Jawabnya ringan.

Perasaan aneh itu mendadak menyusup di tengah-tengah mereka dan menciptakan hening ketika bibir Maroo berhasil menggapai lipatan leher Eungi yang putih mulus.

Maroo menyadari sesuatu, Ia merindukan wanita ini. Sangat merindukannya.

“Eungi-ah…” Maroo berbisik sendu.

“Kenapa?” Eungi merasa dadanya berdetak kencang.

“Aku mencintaimu…” ucap Maroo setulus hati.

Kesedihan dengan cepat merayap dan menyandera bathinnya setiap kali kenyataan soal ingatan Eungi yang sudah pulih bersemai dalam benaknya.

 

Bohong… kau sedang berbohong Maroo….

 

Senyum Eungi menghambar dalam pelukan Maroo. Sorot matanya berubah dingin sementara hatinya mengutup pada kebencian.

 

“Aku juga sangat mencintaimu…  Aku merasa beruntung bertemu denganmu…

Kau membuatku benar-benar bahagia, Maroo…” Eungi berbisik, membiarkan Maroo merapatkan pelukannya. Mengecup pundak manisnya sekali lagi.

 

Bohong… kau sedang berbohong, Seo Eungi…

 

Maroo bermonolog, tidak mempercayai apapun yang Ia dengar.

 

Hujan masih belum berhenti meraung di luar sana. Petir yang setia juga tak mau beranjak pergi. Mereka kompak menjerit, memekakkan telinga bagi siapapun yang terjaga malam ini.

 

Sudah pukul 1 dini hari dan Maroo masih asyik memandangi wajah polos Eungi yang nyenyak tertidur di sampingnya.

 

Sandiwara apa yang sedang istrinya mainkan sejauh ini?

Skenario apa yang sedang Ia tulis untuk mereka?

 

Perlahan tangan Maroo berayun naik dan menyapu pori-pori wajah Eungi. Mengusapnya dengan mesra.

Tubuhnya mendekat, bibirnya merapat. Berusaha mencuri ciuman dari sang Putri tidur.

 

Eungi menggeliat dan membuka matanya yang sebenarnya tak pernah benar-benar terpejam.

Pikiran dan hatinya juga bergejolak sejak datang ke rumah ini. Kematian Ayahnya selalu menghantui.

 

Hari itu di malam sebelum ulang tahunnya, Ia meninggalkan rumah. Memilih pria di sampingnya ini, berlari membuang kasih sayang ayahnya demi pria brengsek yang hanya memanfaatkannya.

 

“Kau belum tidur?” tanya Eungi, pura-pura mengantuk.

Ia tak ingin berurusan dengan Maroo malam ini.

 

“Aku mimpi buruk, Eungi… di dalam mimpiku, kau mengabaikanku, meninggalkanku sendirian… aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Aku takut jika ini adalah mimpi dan yang kulihat tadi adalah kenyataan…” cerita Maroo.

 

Eungi terdiam, merasa gelisah.

 

“Katakan padaku jika yang ini adalah kenyataan dan itu hanyalah mimpi…” mohon Maroo setengah berbisik di sekitar telinganya, meciptakan sensasi aneh yang sudah lama tak mereka berdua rasakan.

Eungi menelan ludahnya dalam gamang kemudian Ia mendongak dan memandangi Maroo dengan tersenyum.

Aktingnya telah berkembang menjadi begitu sempurna.

 

“Ini adalah kenyataan…” bisiknya menenangkan.

 

Maroo tersenyum lega, Ia merunduk dan mencium kening istri tercintanya itu.

Ada aroma yang tak bisa Ia jelaskan, yang jelas Maroo seperti terbuai, tergoda dan perlahan tangan kurang ajarnya mulai bergerilya, membuka kancing baju sang bidadari satu persatu.

 

Menariknya pergi dalam satu hentakan.

Bibir nakalnya ikut mencari kesempatan dengan mengecap-ngecap sisa sup yang tadi Eungi makan.

Menekan, menggigit dan menghisapnya tanpa ampun.

 

Ia menggeser posisi tubuhnya agar lebih nyaman sementara lengannya menopang berat tubuh Eungi dengan syahdu.

 

“Maroo…” Eungi mendesah, mencoba menghentikan serangan tak terencana ini.

 

“Kenapa?” bisik Maroo, tak perduli.

 

“Kita tidak sendirian di rumah ini…” Eungi menepis tangan Maroo yang makin intens menggelayutinya.

 

“Tapi aku merindukanmu, Eungi-ah…” Sang Cassanova tak rela berhenti.

Ia merayap naik, merengkuh tubuh lemah namun nikmat di hadapannya.

 

Eungi terdiam, apa yang Ia takutkan akhirnya terjadi.

 

Maroo bukanlah dewa, dia manusia biasa yang dipenuhi hasrat dan nafsu. Ia tidak mungkin hanya sekali meminta Eungi untuk terjaga bersamanya sepanjang malam.

 

“Aku mencintaimu…” bisik Maroo, suaranya yang lembut berhasil menggapai setiap cinta yang Eungi miliki dan melelapkan segala kebencian itu untuk sejenak.

 

Mereka bergulingan di atas ranjang nan empuk yang lama tak terjamah.

Saling mengapit dan mengaduk. Berbagi keringat, berbagi aroma dan seluruh tubuh.

Bergesekan disandera hujan.

 

Basah… hangat… dan menyenangkan…

 

Maroo seperti khilaf sendiri memikirkan jika Eungi sudah mengetahui tentang kebusukannya.

Ia gila sendiri membayangkan sebuah pagi tanpa Eungi di sampingnya.

 

“Jangan Maroo…” Desah Eungi mencoba pergi, tapi pesona Maroo dengan cepat kembali menggapainya.

 

Membantingnya di antara mimpi dan kenyataan. Menyamarkan dendam yang selama beberapa minggu ini tumbuh subur di dalam hatinya.

 

Kebenciannya terkoyak, kemarahannya meredup dan segala sakit hati itu melebur seperti abu dalam haluan mantra cinta. 

Eungi goyah, kewarasannya pergi. Ia tak bisa menyangkal lagi.

Hatinya… cintanya… tubuhnya adalah milik Maroo.

 

Bibirnya yang tadi hanya membisu dihujani kecupan kini mencoba membalas dendam. Tangannya yang tadi hening diborgol kesadaran, kini berjibaku menekuni setiap celah tubuh Maroo.

 

Tercengkeram, tertusuk, saling menyiksa dengan kenikmatan duniawi.

 

Ia melontarkan dirinya terjun bersama-sama dan menghangatkan ranjang nan dingin ini.

Eungi menghilang… menghilang di dekapan Maroo.

Ia raib… raib dalam rengkuhan Maroo.

 

Sungguh, Ia telah kalah telak dari dirinya sendiri malam ini dan berpuluh purnama selanjutnya Ia akan terisak menyesali kebodohannya.

 

~OoO~

 

Maroo terbangun, kepalanya kembali berulah. Setelah sekian lama tidak begitu menyiksa kini sakit kepala nan hebat itu datang lagi. Diliriknya Eungi yang masih terlelap kelelahan di bawah selimut kusutnya.

 

Tidak boleh membuatnya terbangun juga, pikir Maroo. Ia beringsut menuruni ranjang dan merangkak mencari obat di saku jaket, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk meminumnya tanpa suara, mengerang dengan bibir terkatup rapat.

Jemarinya mencengkeram ujung wastafel dengan sangat kesakitan.

 

Sebuah ketukan menyadarkan Eungi dari mimpi indahnya. Ia menggeliat dengan nyaman, mengerjap-ngerjap mencari darimana sumber suara itu berasal.

Maroo tak ada disisinya.

Eungi terbangun, membungkus tubuh tak berbenangnya dengan selimut.

 

Terdengar bunyi gemericik air dari kamar mandi. Ah, suaminya pasti ada di sana.

Dengan agak berat, Ia terpaksa berjingkat menuju pintu kamar. Membukanya sedikit, mengakhiri suara ketukan.

 

Ada Jae Hee disana. Ibu tirinya itu pasti sudah mengetahui tentang keberadaan mereka dari Bibi Jung.

Jae Hee nampak terkejut dan tak nyaman melihat bagaimana tubuh Eungi bersembunyi dibalik selimut.

 

“Ah… aku.. baru datang dan ingin menyapa kalian…” Jae Hee terdiam, cukup terenyak untuk melanjutkan kata-katanya.

 

“Eh, Bibi Jung sudah menyiapkan makan pagi… “ lanjutnya canggung pada Eungi yang hanya menatap datar dan mengangguk.

 

“Iya” jawab Eungi, menutup pintunya kembali.

Meninggalkan sang Ibu tiri yang kini gemetar dipenuhi rasa cemburu.

 

“Siapa?” tanya Maroo penasaran begitu Ia keluar dari kamar mandi.

 

“Ibunya Eunsuk. Dia meminta kita turun dan ikut sarapan.” Eungi menjawab datar.

Maroo mengangguk kecil, sebenarnya daripada sarapan Ia lebih suka terus berada di kamar bersama Eungi.

 

Jujur saja, perasaan bahagia masih begitu memuncah dalam dirinya. Semalam adalah hal yang tak pernah dia pikir bisa terjadi pada mereka setelah ingatan Eungi kembali.

Tangannya menggapai bidadari miliknya lebih dekat dan mencium keningnya begitu hangat.

Menciptakan sensasi merinding di tengkuk Eungi yang langsung teringat tentang kebodohannya semalam.

 

Ia terjebak dalam dekapan Maroo, berakting polos dan mengumbar kemesraan palsu.

Anehnya, alih-alih merasa jijik. Ia justru merasa nyaman. Tangannya merekat, melingkari pinggang Maroo. Untuk sesaat, Ia ingin hanya seperti ini.

 

~OoO~

 

“Selamat pagi…” Maroo menarik kursi di hadapan Jae Hee. Duduk dengan santai dan tak merasa terganggu sedikit pun.

 

“Selamat pagi…” balas Jae Hee hambar. Matanya tajam menatap Maroo.

 

Pria itu menyambar sepotong roti di hadapannya. Mengolesi dengan selai dan menaruhnya di piring lain.

 

“Dimana Eungi?”

 

“Dia akan segera turun.” Jawab Maroo sambil terus mengolesi sepotong roti di tangannya lalu kembali menaruhnya di piring lain, piring untuk Eungi.

 

Jae hee masih mengawasinya dan tak mau berpaling.

 

“Apa aku terlihat begitu mempesona sampai-sampai kau tidak sedetik pun melepaskan pandanganmu dariku?” sindir Maroo sinis.

 

“Apa yang menurutmu akan Eungi lakukan saat ingatannya kembali?”

 

“Kupikir dia akan mulai menendang kita keluar. Apa kau merasa takut?” Maroo melirik santai.

 

 

“Lalu bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja? Eungi pasti mencampakkanmu.”

 

 “Setidaknya kau akan jatuh bersama denganku saat itu.” Sebuah seringai licik, tersungging dari sudut bibir Maroo.

 

“Kang maroo!” pekik Jae Hee hampir lupa jika Eungi mungkin bisa mendengar percakapan mereka.

 

“Pelankan suaramu!” Maroo tersenyum bijaksana.

 

“Baiklah… jika itu memang mau-mu… lagipula permainan ini mulai menyenangkan.

Setidaknya sebelum kita ditendang bersama-sama, aku bisa melihatmu setiap hari…

Apa perlu kusuruh Eungi untuk tinggal disini? Agar kau sadar setiap kali melihatku jika perasaanmu pada  Eungi hanya belas kasihan.” Ancam Jae Hee pada Maroo yang tak bergeming sedikit pun.

 

“Kumohon sadarlah… kau hanya merasa bertanggung jawab pada apa yang menimpa Eungi. Tidak lebih dari itu… aku mengenal dirimu dengan sangat baik.” Jae Hee berkaca-kaca, menggoncang-goncang jemari Maroo yang teruntai bebas di hadapannya.

 

Mereka beradu pandang untuk sejenak sampai derap langkah itu mengusik telinga mereka.

 

Eungi yang baru saja melangkah masuk ke ruang makan melihat itu.

Ia terdiam sebelum akhirnya mengucapkan selamat pagi, membuat Jae Hee dan Maroo sedikit tergagap dan menarik tangannya masing-masing.

 

“Eun..gi…” sambut Jae Hee agak gugup.

 

“Apa kedatanganku menganggu kalian?” Eungi berkelakar sok polos.

Ia mendekat ke sisi Maroo yang langsung menarik kursi untuknya.

 

“Kalian terlihat akrab,” sindir Eungi.

 

“Ah… ya… hehe…kupikir tidak seharusnya aku bersikap sama seperti mendiang Ayahmu.

Aku akan mulai menerima Maroo demi kebahagiaanmu…” Jae Hee salah tingkah sendiri.

 

“Hmm…” Eungi mengangguk dan melirik Maroo yang tak memberikan ekspresi apapun.

 

Ular-ular berbisa…

Kalian pikir aku sebodoh itu?

 

Eungi menggigit rotinya dengan lahap.

Matanya mengamati kedua makhluk di sekitarnya ini dengan tajam.

Dia benar-benar ingin melenyapkan mereka, membunuh mereka saat ini juga.

 

~OoO~

 

“Kau menyukainya?” tanya Eungi pada Sekertaris Hyun yang terharu bahagia mengagumi tas di depan matanya.

“Bu Direktur… bagaimana bisa… tas ini mahal sekali…” pekiknya terharu.

 

“Tapi kau menginginkannya kan?

Dalam perjalanan bisnis kita sebelumnya ke Jepang, kau tak berhenti menatap tas itu di estalase toko.” Jawab Eungi.

 

Dalam sekejap, Sekertaris Hyun langsung sadar tentang siapa yang berada di hadapannya saat ini.

Ia melepaskan tas di tangannya begitu saja dan buru-buru meraih tangan Eungi dengan syok.

 

“Bu Direktur…. Apa… ini berarti ingatan anda sudah kembali?” tanyanya antusias, airmatanya mengalir.

 

“Kau sedang berakting atau benar-benar senang mengetahui kesembuhanku?” Eungi melirik sinis.

 

“Bu Direktur… bagaimana bisa Anda berpikir seperti itu?”

 

“Lalu, bagaimana bisa kau dan Pengacara Park bersekongkol dengan Maroo untuk menipuku?” Eungi memulai tatapan mematikannya.

Sang sekertaris gemetar, Ia takut pada kata pengkhianat yang mungkin akan disematkan Eungi kepadanya.

 

“Maafkan kami Bu Direktur, saat itu kami benar-benar tak ada pilihan apapun karena kondisi…”

Eungi mendesah, menunjukkan ketidak-tertarikannya pada penjelasan sang sekertaris kepercayaan.

 

Saat ini bukan itu yang merisaukan hatinya, Ia hanya ingin tahu apa yang tersembunyi di balik kematian Ayahnya.

 

“Aku mengerti, cukup ceritakan padaku segala hal yang kalian sembunyikan selama aku sakit!” pintanya tegas.

 

~oOo~

“Kalian sedang apa?” tanya Maroo begitu duduk di sisi Eungi dan Choco yang entah sedang sibuk membicarakan apa di ruang keluarga.

Eungi tersenyum dan langsung menunjukkan benda di tangannya, sebuah album foto. Tepatnya album foto masa kecil Maroo.

“Choco menunjukkan ini padaku,” seru Eungi.

“Hei, Kang Choco… kau lancang sekali?” Maroo pura-pura marah sementara dua perempuan kesayangannya itu makin asyik tergelak dan terus membuka lembar demi lembar.

Mereka sampai di foto telanjang Maroo saat bayi.

 

Mata Maroo melotot begitu Eungi menunjuk foto itu dengan antusias, “Lihatlah Kakakmu polos sekali! Haha…” katanya pada Choco yang mengikik puas melihat wajah memerah sang kakak.

“Sudah… sudah… aissshh…” Maroo menarik photo album itu pergi dan mendudukinya di atas sofa.

“Hyaa… kakak kenapa sensitif sekali” ledek Choco yang kemudian beringsut ke sisi Eungi dan memeluk kakak iparnya tersebut dengan manja.

 

“Kakak, aku jadi penasaran. Kalau kalian punya anak, akan mirip dengan siapa?” tanyanya.

 

Eungi yang semula tersenyum ceria kini tertegun, pertanyaan polos dari Choco baru saja menohoknya.

Maroo terdiam, Ia melirik ke arah Eungi, mencari tahu jawaban seperti apa yang akan wanita itu sampaikan.

 

Ingatan Eungi sudah kembali.

 

Kalimat itu muncul lagi, menyiksa perasaannya.

Di luar dugaan, Eungi tersenyum. Tapi kali ini bukannya merasa bahagia, Maroo malah merasa ketakutan.

“Mungkin akan lebih mirip dengan Maroo.” Jawab Eungi malu-malu.

Ia berakting dengan sangat hebat.

 

Maroo menatap dingin, tapi kemudian Ia tersenyum tipis.

“Tidak, dia harus lebih mirip denganmu” sahutnya singkat.

 

Malam ini Maroo tak bisa tidur, Ia selalu dihantui kecemasan akan kehilangan Eungi. Ia takut besok saat pagi tiba, bidadarinya itu akan terbang menjauh dan meninggalkannya sekali lagi seperti saat mereka berada di Aomori.

 

Ditatapnya wajah lelap dan lelah Eungi dalam hening.

 

“Jika kita punya anak, dia harus mirip denganmu agar setiap kali kau melihatnya, dia tidak akan mengingatkanmu kepadaku, Eungi…” bisik Maroo.

 

Ia mendekap tubuh Eungi dan memejamkan mata mengikutinya. Jatuh tertidur tanpa menyadari jika Eungi telah mendengar semua ucapannya, ya bidadari miliknya itu sebenarnya hanya pura-pura tidur.

 

Perasaannya juga kacau balau.

Hatinya tak tenang dan pikirannya tak dimanapun.

Ia diam dalam pelukan Maroo, namun matanya memicing penuh dendam.

 

~oOo~

 

Eungi menatap setumpuk dokumen di tangannya, isi dokumen itu tak jauh berbeda dengan apa yang sebelumnya pernah dia baca dari Pengacara Ahn.

 

Di sisinya ada Sekertaris Hyun serta Pengacara Park. Ia sengaja mengumpulkan mereka hari ini. Pertarungan miliknya harus segera dimulai. Kali ini bukan hanya untuk menghadapi Jae Hee dan Pengacara Ahn, tapi juga sang suami tercinta, KANG MAROO.

 

Gigolo, penipu ulung dan mata-mata perusahaan.

Oh tunggu, seorang pembunuh juga.

 

Eungi tergelak tak dapat mempercayai jika Maroo bisa melakukan hal-hal seperti ini sekaligus.

 

“Kau benar-benar licik, Maroo… bagaimana bisa kau selalu lolos dari jeratan hukum sejauh ini?” Eungi membanting kertas-kertas di tangannya ke atas meja. Matanya menyudut tajam.

 

Ia merasa tertantang untuk menangkap Maroo dan menggeretnya ke penjara atau neraka kalau perlu.

 

“Sayangnya keberuntunganmu sudah habis sejak kau bertemu denganku.

Kau benar, sayang… takdirmu memang baru tertulis saat kita bertemu.

Kau pikir kau yang paling licik, Maroo?

Kau hanya belum bertemu lawan yang tepat.” Sebuah seringai sinis penuh percaya diri tersungging dari ujung bibir Eungi.

Ada rencana buruk, menakutkan dan mematikan merasuki benaknya.

 

~oOo~

To Be Continued to “I DON’T WANT THIS BABY, MAROO”

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.