Saving Eungi

NICE GUY FF 'Another Ending'

PART 17

 

 

Ada yang bilang jikalau takdir itu ditenun seperti potongan kain, karena itu garis nasib setiap orang selalu mengakar satu sama lain – saling berkaitan.

Tanah, udara dan semua komponen alam turut lebur dalam jalan takdir setiap insan yang memijaknya.

Eungi-ah… aku dengar ada dua jenis takdir di dunia ini.

Ketika yang satu tak bisa diubah, yang lainnya bisa pergi ke arah yang lain.

Kurasa Tuhan memberikan kita sebuah kesempatan untuk pergi ke arah yang lain.

Kau mau mencobanya bersamaku?

Perjalanan ini mungkin akan jadi sangat panjang tapi, aku melihat cahaya di ujung sana, ada akhir dimana benang hidup kita tak akan jatuh terpotong oleh badai musim dingin.

Ada akhir lain untuk kita.

Genggam tanganku dan mari kita mencobanya bersama-sama.

:::

            Aku mengingatnya. Wanita itu. Pertemuan pertama kami dan bagaimana kisah ini bergulir. Antara cinta dan keinginan untuk balas dendam. Si angkuh itu akhirnya mendatangiku. Airmukanya sungguh tidak bersahabat saat itu. Tatapannya bengis dan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya adalah cacian, makian. Tak ada hal bagus disana. Ya, aku ingat kalimat pertamanya pada pertemuan ketiga kami.

“Ah… lelah sekali! Aku harusnya memakai sepatu untuk Hiking ke tempat ini. Apa rumah-rumah disini dibangun dari sisa bahan bangunan? Apa kalian memasak menggunakan tungku?” adalah celoteh kasar yang Ia lontarkan padaku kala itu. Apa yang harus kukatakan? Ia membuatku terkesima, aku baru tahu ada seseorang sejujur dirinya. Ini menarik.

Kami kemudian menjadi dekat karena semua tak-tik kotor-ku. Aku menjatuhkannya dengan sempurna ke dalam perangkap. Bagai peniup seruling dalam legenda sihir, aku membiusnya dengan pesonaku.

“Jatuh cinta adalah hal yang berbahaya, Kang Maroo!”

Aku berusaha keras mengingat kalimat itu. Namun sayangnya aku lupa, aku masih manusia. Segelap apapun hatiku, aku masih manusia dan cinta mendatangiku.

Dunia kelam dimana hanya ada bayanganku seorang, perlahan mulai terkikis. Nerakaku binasa. Wanita itu, Ia yang mulanya kudekap untuk membantuku terjun ke dalam jurang dengan lebih menyenangkan mendadak membantuku merakit sayapku kembali. Bongkahan kebencian yang mengarang di dasar jiwa kami lenyap digerus permainan takdir yang misterius. Sayap kami tumbuh dan mengepak bersamaan. Aku jatuh cinta padanya. Iblis sepertiku menyeretnya Ke Neraka dan Ia membawaku jauh menuju taman Surga.

Seo Eungi. Wanita itu memiliki nama. Ya, namanya Seo Eungi – istriku.

 

Maroo memandangi kumpulan fotonya dan Eungi di dalam kamera. Mulai dari kencan pertama mereka di Jepang beberapa tahun silam hingga liburan terakhir mereka ke San Franscisco kemarin.

“Apa kau sedang menangis di pelukan Choco atau Choco yang sedang menangis di pelukanmu?” Maroo bergumam lirih.

Segala kenangan mereka mengumpara di dalam benaknya. Seperti film, potongan-potongan gambar itu bercerita.

Maroo menunduk dan meraba cincin di jari manisnya. Cincin pernikahannya dengan si wanita di dalam gambar.

 

Ibu, aku ingin mengenal anakku.

Aku tidak ingin meninggalkannya seperti yang telah kau lakukan padaku.

Bisa kau bantu aku memohon pada Tuhan untuk membiarkanku tetap hidup?

 

Maroo terkenang dengan kematian Ibunya. Ia tak pernah mengenal Ibunya karena wanita itu pergi tepat setelah Ia membawanya ke dunia.

 

~oOo~

 

Jae Hee masuk ke dalam kamar Eunsuk. Anak semata wayangnya itu tengah terlelap. Ia lantas duduk di sampingnya dengan tatapan muram. Dibelainya kepala Eunsuk dengan penuh kasih sayang. Airmatanya jatuh. Eunsuk sudah menjadi Yatim di usia sekecil ini dan itu adalah salahnya. Kesedihan dan rasa bersalah Jae Hee semakin menumpuk saat menemukan buku gambar yang berisi keluh kesah Eunsuk. Anak sekecil itu sudah pandai mengungkapkan isi hatinya meski lewat gambar carut marut serta sepotong kalimat sederhana.

“Aku rindu Ayah dan Eungi Nuuna” adalah kalimat yang Jae Hee baca tanpa sengaja di bawah gambar sederhana yang Eunsuk buat.

Jujur saja, Ia bermimpi buruk belakangan ini. Ini sudah kelima kalinya Ia melihat Eunsuk menangis dan menolak keberadaannya. Di suatu waktu, Ia malah bermimpi membunuh Eunsuk. Entahlah pertanda apa, tapi yang pasti Jae Hee tak pernah bisa tidur nyenyak. Ada sebuah kata yang begitu mengerikan baginya. Ia mendengarnya di dalam mimpi. Kata tersebut keluar dari mulut Eunsuk. Sebuah kata yang terdiri dari 8 huruf: P-E-M-B-U-N-U-H.

Handphone Jae Hee berbunyi, sebuah pesan dari seseorang yang tak pernah sekalipun menghampiri kotak masuknya – Seo Eungi.

Selama beberapa tahun ini mereka hanya saling mengetahui nomor masing-masing tanpa pernah tertarik untuk berbincang secara normal tanpa bumbu ancaman.

 

Maroo sudah sadar dan baik-baik saja.

 

Adalah kalimat yang tertera disana.

Jae Hee mendesah lega. Ditatapnya wajah Eunsuk dengan senyuman kecil.

“Dia baik-baik saja, sayang….” Bisiknya.

Jae Hee sejenak teringat pada hari hujan beberapa tahun silam. Hari dimana Ia masih merasa manusia. Hari terakhirnya bersama Maroo. Saat itu Maroo rela menunggunya di depan emperan sebuah toko beratap reyot. Pemuda dengan kacamata dan gaya rambut polos berponi yang terkesan lugu itu berkilah bahwa Ia juga sedang terjebak hujan sepulang dari meminjam buku di Perpustakaan. Jae Hee hanya mengangguk saat itu padahal Ia jelas tahu jika Maroo sengaja menjemputnya untuk pulang bersama. Mereka kemudian tertawa riang sembari berlarian di bawah hujan serta menyempatkan diri untuk mampir dan menikmati semangkok jajangmyun di warung kaki lima. Hari yang menyenangkan. Sudah lama Jae Hee tak merasa sebahagia itu. Ia mungkin bisa membeli sebuah kedai Jajangmyun saat ini, namun euforia itu sirna. Lenyap tak teraba.

Kang Maroo adalah pria baik yang seharusnya tak pernah Ia khianati. Jika mereka masih bersama, jika ambisi Jae Hee tak mengambil alih kebaikan hatinya, mereka pasti hidup dengan bahagia walau sederhana. Tidak ada mimpi buruk dan anak mereka tak akan kekurangan kasih sayang seperti keadaan Eunsuk saat ini.

Untuk pertama kalinya, Jae Hee mengerti filosofi sederhana tentang bagaimana uang hanya dapat menguburmu dalam kesenangan namun tidak ketenangan.

Jae Hee baru saja kembali ke kamarnya saat sebuah panggilan menyapa layar Handphone-nya.

“Eungi menelepon?” Ia melirik heran. Meski ragu, Jae Hee memutuskan untuk menerima panggilan itu. Ia takut ada kabar buruk tentang Maroo yang mungkin saja akan Eungi sampaikan.

“Hallo?” sapa Jae Hee namun hening, tak ada balasan.

Ia diam sejenak, menunggu jawaban Eungi. Dan tak berapa lama, jantungnya tersentak.

Setelah geming untuk sekian sekon, sebuah teriakan menyengat gendang telinganya. Suara Eungi!

Bola mata Jae Hee melenjit penasaran. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apa yang coba Eungi tunjukkan padanya?

Ia terus mendengarkan dan kekagetannya bertambah begitu sebuah suara yang Ia kenal betul milik siapa ikut menghiasi ranah percakapannya dengan Eungi. Han Jae Shik! Kakaknya! Apa yang kakaknya lakukan pada Eungi?

Jantung Jae Hee berdetak cepat. Keringat dingin mengucuri tengkuknya. Kakaknya sedang berusaha mencelakai Eungi? Jae Hee gemetar, Ia melemparkan handphone-nya ke atas meja. Apa yang harus Ia lakukan saat ini? Ia tak bisa berpikir jernih.

Kematian Eungi akan menguntungkannya, tapi sanggupkan Ia seumur hidup dibayangi mimpi buruk? Sanggupkah Ia menerima penolakan dari Eunsuk suatu hari nanti?

Jae Hee mengepalkan tangannya, pandangannya meruncing.

 

~oOo~

 

Eungi melotot marah pada Jae Shik yang mencoba menyuapinya roti namun tak berhasil.

“AAAASSSHHH… KAU KERAS KEPALA SEKALI! KAU BISA SAKIT KALAU TIDAK MAKAN!” Teriak Jae Shik frustasi. Ia melemparkan roti di tangannya ke atas ranjang, di sisi Eungi.

“APA PENGACARA AHN SIALAN ITU YANG MENYURUHMU? KAU MAU MEMBUNUHKU HUH? TOLONG… TOLONG… TOLONG….” Eungi meronta dan Jae Shik mendekat, Ia mencengkeram dagu Eungi dengan jemari kanannya. “Diamlah! Percuma kau berteriak. Tidak ada yang akan mendengarmu! Ini adalah kapal barang jadi tidak ada siapapun yang dapat menolongmu!”

Eungi melotot tajam, mencoba menahan emosinya yang seolah akan meledak dalam hitungan detik.

“Berapa yang kau dapatkan dari Ahn Min Young?”

“Hahaha… kau tanya berapa? Kau ingin bernegosiasi denganku?”

“Ya, Kenapa tidak? Aku dapat memberikanmu lebih jika kau bisa menyeret Ahn Min Young ke dalam penjara.” Eungi menatap serius. Jae Shik termangu dan menggaruk kepalanya. Ia bingung.

“Kau mencoba menipuku? Kau pasti akan menggeretku ke penjara juga setelah ini.”

“Pikirkan baik-baik! Apa aku seorang penipu? Lagipula di antara aku dan Ahn Min Young, siapa yang paling kaya? Dia hanya pekerja di Taesan sementara aku adalah pemiliknya. Kalau kau menerima tawaranku, kau tidak perlu menjadi pembunuh! Kau hanya perlu memberikan kesaksian tentang Min Young dan aku akan membayarmu. Tidakkah ini lebih mudah untuk dilakukan?” Bujuk Eungi.

Jae Shik terlihat ragu, Ia jelas bimbang. Pria berkumis lebat itu mondar-mandir di dalam kamar sementara gelombang air laut tak henti menerjang kapal.

Eungi merasa kepalanya pusing. Ia ingin muntah.

“Huueekk… Huueekk….” Eungi menutup mulutnya dan menelan salivanya susah payah.

Jae Shik menoleh, memandanginya dari atas sampai bawah.

“Kau ingin muntah?”

Jae Shik menghentakkan kakinya dengan geram. Tak ada pilihan lain selain melepaskan ikatan di tangan dan kaki Eungi atau wanita itu akan mengotori kamar pengap tempat persembunyian mereka.

~oOo~

Jae Hee menutup pintu gerbangnya dengan tergesa, kemudian dengan high heelsnya Ia berlari menuju mobil berwarna merah yang terparkir di pinggir jalan dan segera memacu pedal gasnya menuju sebuah tempat yang Ia tahu harus Ia datangi malam ini.

Beberapa meter dari mobilnya, terparkir sebuah mobil berwarna gelap. Lampu depan mobil itu menyala dan mesinnya mendadak menyala. Dua pasang mata di balik kacamata berlensa bening menatap tak nyaman di depan roda kemudinya. Ahn Min Young menekan pedal gasnya dan mengikuti Jae Hee dari belakang secara diam-diam.

Jae Hee membelokkan mobilnya ke halaman Kantor Polisi, dan membuat Pengacara Ahn memberhentikan mobilnya di seberang jalan. Ia mengamati dengan tak tenang. Berkali-kali pria berjaket hitam dengan topi itu mencoba menghubungi handphone Jae Hee, berusaha mencari tahu apa yang tengah Ia lakukan namun nadanya selalu sedang sibuk. Ia tak mengerti, jelas-jelas Jae Hee sedang tidak menggunakan handphone-nya.

Di dalam Kantor Polisi, Jae Hee segera melaporkan apa yang tengah terjadi. Ia menunjukkan Handphone-nya sebagai bukti bahwa Eungi dalam bahaya namun tanpa Ia sadari telepon mereka telah putus dalam perjalanannya kemari.

Jae Hee berusaha menghubungi Eungi lagi, berkali-kali namun hasilnya nihil. Eungi sedang di luar jangkauan. Polisi mengatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan hilang jika tak ada kabar selama 24 jam. Jae Hee berteriak, Ia memaksa para Polisi untuk cepat bergerak atau nyawa Eungi mungkin tak tertolong.

“Apa anda bisa memberikan kami bukti lain? Tidak hanya sekedar dugaan. Seseorang yang bisa bersaksi mungkin?”

Jae Hee menarik napasnya, Ia berpikir sejenak dan mau tak mau hanya ada satu nama yang terlintas di dalam benaknya.

“Kang Maroo!” pekik Jae Hee.

 

~oOo~

 

Angin berhembus kencang, dinginnya menjalari pagar pembatas kapal yang kesemuanya berbahan besi. Bau amis laut serta karat yang mengikis setiap bagian kapal menghujam indera pencium Eungi dengan telak. Wanita hamil itu sempoyongan menahan tubuhnya agar tak jatuh ke dasar laut. Ia menggeratkan pegangannya ada tiang pembatas yang basah dijilat ombak.

Seluruh isi perutnya sepertinya telah terbuang keluar hingga kini hanya tersisa rasa pahit di pangkal lidah. Eungi meraba perutnya, “Kita akan selamat. Jangan cemas! Ibu tidak akan menyerah!” bisiknya. Sekilas, ekor mata Eungi melirik tajam ke samping kanan. Jae Shik yang sedari tadi mengawasinya kini tak nampak disana. Kemana pria itu pergi? batin Eungi.

Ia mungkin tak tahan dengan dinginnya angin laut di tengah malam, selain itu Ia merasa tak perlu mengawasi tawanannya karena toh Eungi tak bisa kabur kemana pun saat ini. Ia terjebak di tengah laut. Meski Eungi adalah perenang yang baik, namun terjun ke laut pada purnama seperti ini bisa dikategorikan tindakan bunuh diri. Sinting! Sakit jiwa! Eungi masih terlalu waras untuk berbuat senekat itu terutama karena bayi di dalam rahimnya.

Eungi merogoh kantong dalam mantelnya. Ia bisa merasakan bahwa handphone-nya masih disana. Entah Jae Shik lupa atau dia terlalu idiot untuk menjadi seorang penculik profesional, nyatanya Eungi dibiarkan memiliki alat komunikasi itu sampai detik ini.

Dilihatnya benda berbentuk kotak dengan wallpaper bergambar foto liburannya bersama Maroo beberapa hari lalu. Ia tersenyum miris, hidup membawanya menuju jalan sepelik dan semisterius ini. Siapa yang menyangka beberapa malam setelah foto itu diambil, Ia akan terdampar di tengah kapal berkarat dengan bau anyir dan amis yang menguar melalui celah-celah kapal rongsokan berlogo Starship Express.

Tunggu, Eungi ingat sesuatu. Starship Express adalah nama perusahaan jasa yang berada di bawah serikat bisnis Taesan group sejak beberapa tahun silam. Eungi memeriksa Handphone-nya. Ia berpikir cepat. Baterainya tinggal 15%, ini aneh! Bukankah baterainya masih penuh saat di Rumah Sakit dan Ia belum menggunakannya sama sekali selain untuk mengirim pesan pada Jae Hee. Jempol Eungi bergegas menekan ikon log panggilan dan ada riwayat percakapannya dengan Jae Hee selama hampir 2 jam.

Eungi mencoba mengirim pesan maupun menghubungi Maroo namun usahanya sia-sia. Tak ada sinyal sama sekali. Berpikir bahwa Ia perlu menghemat baterainya agar nanti dapat melakukan panggilan saat ada sinyal, membuat Eungi segera menyimpan handphone-nya kembali ke kantong paling dalam di balik mantelnya. Ia kemudian kembali dengan agak oleng menuju kamar pengap berhias ranjang dan tumpukan kardus yang mempersempit ruang geraknya. Jae Shik telah menunggu di sana bersama sebilah pisau ‘mainannya’.

 

~oOo~

 

Ahn Min Young menatap cemas dari kaca spion mobilnya. Ia mengikuti kemana Jae Hee pergi setelah dari Kantor Polisi dan makin terkejutlah Ia begitu mengetahui bahwa Jae Hee membawa beberapa Polisi turut serta bersamanya menyambangi Rumah Sakit. Min Young menunggu, Ia tak berani masuk ke dalam. Siapa yang tahu apa yang tengah terjadi, ditambah lagi Ia baru saja menerima email dari salah satu orang kepercayaannya bahwa Apartment-nya baru saja digeledah dan namanya kini masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Min Young menunggu selama nyaris setengah jam sampai Polisi-Polisi itu keluar dan meninggalkan halaman Rumah Sakit. Pria bertopi itu akhirnya membuka pintu mobilnya dan melangkah menuju aula. Ia menanyakan tentang kamar tempat Kang Maroo dirawat.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan kamar Maroo. Ia melangkah pelan, suara sepatunya menggema pada lorong Rumah Sakit yang sepi dan hening. Bayangannya jatuh di atas lantai. Min Young merapatkan tubuhnya ke dinding dan berusaha mencuri dengar percakapan Jae Hee dan Maroo.

Tak banyak yang dapat Ia dengar, namun sejauh ini Ia dapat menangkap dengan jelas kemana inti pembicaraan sepasang mantan kekasih itu. Jae Hee mengakui kesalahannya dan meminta maaf dari Maroo. Ia juga berjanji untuk menebus hutang seumur hidupnya pada Maroo. Jae Hee terisak, Ia menceritakan semua mimpi buruknya tentang Eunsuk. Ia berharap dapat kembali hidup dengan tenang. Ia hanya ingin menjadi Ibu yang baik bagi Eunsuk.

Ia akan menyerahkan dirinya setelah Eungi ditemukan.

“Aku akan menebus hutangku padamu Maroo. Aku akan membawa Eungi kembali hidup-hidup. Aku akan menemui Pengacara Ahn dan memintanya melepaskan Eungi. Jika dia terlalu keras kepala untuk mengakhiri semuanya, aku akan memaksanya atau mungkin menipunya. Aku berjanji padamu. Aku akan membawa Eungi kembali.” Janji Jae Hee.

Min Young melotot tak percaya pada apa yang baru saja Ia dengar. Keringat dingin mengucur deras membasahi tengkuknya.

 

Jae Hee sudah gila… Han Jae Hee pasti sudah gila…

Maroo pasti sudah memanipulasi pola pikirnya…

 

Min Young membalikkan tubuhnya dan di saat itulah Ia berpapasan dengan Jae Gil dan Choco di belakang. Mereka saling pandang dengan tak nyaman, sampai Min Young melangkah pergi secepat kilat, meninggalkan ekspresi curiga di wajah Jae Gil dan Choco.

“Bukankah itu salah satu bawahan Jae Hee? Aku melihatnya dulu saat pernikahan Maroo Oppa.” Tanya Choco diamini oleh anggukan Jae Gil.

Pemuda jangkung dengan rambut blonde itu memimpin Choco memasuki kamar Maroo. Dan makin terkesiaplah mereka melihat kehadiran Jae Hee. Dugaan keduanya salah besar, alih-alih Eungi, malah Jae Hee yang mendampingi Maroo saat ini.

Wanita itu tengah memeluk Maroo dengan terisak.

“Apa yang terjadi disini?” Jae Gil menatap heran.

Jae Hee melepaskan pelukannya dan menunduk canggung.

“Pantas saja kami melihat pria itu di luar.” Ujar Choco.

“Pria itu?” Maroo mengernyit.

 

~oOo~

 

Jae Hee, Maroo, Jae Gil dan Choco berlari menyusuri setiap sudut Rumah Sakit. Jae Gil bahkan sempat salah masuk ke Kamar Mayat. Mereka sedang mencari keberadaan Pengacara Ahn yang beberapa menit lalu masih ada di Rumah Sakit.

“Kalian menemukan sesuatu?” tanya Maroo pada Jae Gil dan Choco yang muncul dari lift di lantai satu. Mereka menggeleng. Tak lama, Jae Hee muncul dari ujung tikungan dan mengatakan hal yang sama.

Maroo mendesah putus asa. Apa mungkin Pengacara Ahn mendengar percakapan mereka dan Ia hendak berbuat nekat karena tahu posisinya telah di ujung tanduk.

Kepala Maroo mendadak pusing. Jae Gil menyadari itu, Ia segera memapah Maroo kembali ke kamarnya, meninggalkan Jae Hee dan Choco berdua di tengah lorong. Jarum jam menghentak angka 12.

:::

 

Jae Hee duduk di samping Choco yang menunduk tanpa suara di taman Rumah Sakit. Perlahan tapi pasti keheningan di antara mereka menghilang digantikan oleh suara tangis Choco. Gadis belia itu mencengkeram ujung bajunya sembari terus menerus mengusap airmatanya yang jatuh bercucuran.

Jae Hee menyodorkan selembar tisu, Choco mendongak. Ia menatap tajam sesaat, namun akhirnya menyambarnya.

“Aku bisa membelikanmu cokelat kalau kau mau?” tawar Jae Hee. Ia ingat, dulu Ia sering membelikan Choco cokelat saat gadis itu menangis karena Maroo terlambat pulang ke rumah.

Choco kembali mendongak, Ia memandang tak suka. Semua orang harusnya tahu, Ia masih menyimpan dendam pada Jae Hee karena sudah mengkhianati Kakaknya. Ia masih sakit hati karena demi seorang Han Jae Hee, kakaknya tega meninggalkannya yang sedang sakit sendirian di tengah malam.

“Kau sedang mengejekku?” Choco bersungut-sungut.

Jae Hee tersenyum kecil, menyadari posisinya yang serba salah.

“Aku tidak punya cukup keberanian untuk melakukan itu.” Ia mengangkat dagunya, menatap ke atas dimana langit terlihat cerah dipenuhi bintang.

“Aku benar-benar ingin mengulang waktu, kembali ke sisi Kakakmu dan membuatnya bahagia tapi itu terdengar seperti aku mengingkari keberadaan Eunsuk. Seolah aku tidak menginginkannya….” Jae Hee membuang pandangannya ke bawah.

Choco menoleh dengan penuh tanya. Mata mereka lantas bertemu, dan segala kenangan dari masa lalu itu mulai merangkai kepingannya kembali.

Choco melihat sosok Jae Hee yang dulu sering menemaninya menunggu Maroo. Jae Hee yang mengajarinya memasak dan membelikannya cokelat setiap kali Ia pulang berkencan dengan kakaknya.

Jujur, saja jika Jae Hee tak pernah berkhianat dan menjadi begitu picik. Choco pasti lebih memilihnya sebagai kakak ipar disbanding Eungi. Ah, pikiran apa ini? Bagaimana bisa Ia tega memikirkan kemungkinan seperti itu sementara Kakak iparnya sedang tak jelas ada dimana. Nasib calon keponakannya pun belum pasti keselamatannya.

Choco kembali meruncingkan sorot matanya, bibirnya mengatup tak suka.

“Aku akan menebus semua dosaku pada Kakakmu… aku akan memastikannya….” Jae Hee menyapu pipi kiri Choco dengan jemarinya yang dingin. Choco masih tak memberikan reaksi apapun. Ia cukup terpaku pada perubahan sikap Jae Hee. Wanita ini tidak sedang beraktingkan?

Di kejauhan, Jae Gil berlari mendekat. Ia ngos-ngosan. Wajahnya terlihat lelah namun rasa kesetiakawanan-nya yang tinggi membuatnya masih terjaga menunggui Maroo.

“Aku terpaksa meminta Suster untuk memberinya obat tidur. Dia tidak mau diam daritadi dan terus memaksa check out dari Rumah Sakit. Aku juga mematikan handphone-nya jadi sekarang jika ada kabar apapun beritahu aku atau Choco saja. Maroo harus menjalani operasinya dengan tenang.” pinta Jae Gil disambut anggukan Jae Hee.

Wanita itu melangkah keluar dari halaman Rumah Sakit, meski belum mengetahu dimana Eungi berada saat ini namun perasaannya terasa lebih tenang. Setidaknya Polisi sudah mulai bergerak dan tak lama lagi anak tirinya itu pasti akan ditemukan.

 

~oOo~

 

Eungi membuka matanya, di bawah ranjangnya terbaring Jae Shik bersama pisau kesayangannya yang terselip di balik jaket kumalnya. Pria itu mendengkur keras. Eungi tak bisa tidur. Ia agak susah untuk bangun dan duduk menyenderi ranjang. Tangan dan kakinya kembali diikat. Eungi sudah mengatakan bahwa Ia tidak mungkin kabur tapi Jae Shik sadar bahwa mangsanya ini tipikal sakit jiwa yang mungkin bisa mengambil alih pisaunya lalu menusuknya saat tidur.

Eungi menyibak mantelnya. Ia bersyukur, Jae Shik tidak mengikat kedua tangannya ke penyangga ranjang seperti sebelumnya, dan memilih untuk mengikatnya ke depan agar Eungi bisa tidur lebih nyenyak.

Baterainya tersisa 9%. Benar-benar sial batin Eungi.

Ya, setidaknya ada sedikit sinyal sekarang. Wanita hamil itu menggigit bagian atas handphone-nya, lantas mengeluarkannya perlahan dari dalam kantong. Ia menjatuhkannya ke atas kasur dan kembali berbaring dengan posisi memunggungi Jae Shik agar perbuatannya tak ketara.

Eungi memencet layar touch screen-nya dengan gemetar. Ia gugup. Karena tak mungkin membuat panggilan dengan kondisi baterai sekarat, Eungi memutuskan untuk mengirimkan pesan. Ia ingin membuat pesan yang panjang namun suara Jae Shik yang menguap lebar, membuat Eungi mengurungkan niatnya. Ia hanya dapat mengetik beberapa kata yang semoga saja dapat membantu Maroo menemukannya.

Eungi menoleh setelah menyimpan Handphone-nya di bawah punggungnya, namun Jae Shik rupanya menyadari ada sesuatu yang salah. Ia mendengar bunyi peringatan baterai lemah yang terpancar dari kotak persegi panjang di bawah tubuh Eungi.

Jae Shik menatap marah, Ia mendorong tubuh Eungi agar berguling ke tepi dan ditariknya kasar benda itu.

“Kau menghubungi Polisi?” bentak Jae Shik panik.

 

~oOo~

 

9 jam kemudian,

Maroo mengibaskan selimutnya pergi. Ia membuka laci meja di samping ranjangnya dan menemukan pakaiannya disana. Dengan cepat pria karismatik itu mengganti seragam pasiennya dengan baju bebas. Ia mencari dompet dan handphone-nya. Cukup lama Maroo mencari sampai Ia berhasil menemukan dua benda itu di laci paling bawah.

Maroo mengaktikan handphone-nya. Ia berjalan keluar menuju halaman Rumah Sakit dengan tergesa sebelum Jae Gil dan Choco kembali dan menemukannya. Sebuah pesan masuk, beberapa huruf berbunyi : “My Wife” muncul di deret paling atas.

Eungi mengirimkan sebuah pesan!

 

Starship Express, Taesan

 

Kening Maroo berkerut, apa arti pesan Eungi sebenarnya. Ia mulai memutar otak.

 

:::

 

Jae Hee berjalan membuka matanya, dan merenggangkan tubuhnya yang beberapa jam ini tertidur di dalam mobil di halaman parkir Rumah Sakit. Ia melirik jam di layar Handphone-nya. Ada 19 panggilan tak terjawab dari sebuah nomor tak dikenal.

Napas Jae Hee tertahan sebentar, Ia merasa tak nyaman. Siapa nomor asing yang begitu berminat untuk berbicara dengannya.

Jae Hee baru saja hendak menghubungi nomor asing itu saat Ia melihat sosok Maroo berjalan keluar dari pintu depan Rumah Sakit.

“Maroo?” panggil Jae Hee. Maroo menoleh. Jae Hee keluar dari mobilnya dan mendekat dengan khawatir.

“Kau tidak seharusnya berada di luar? Bukankah jadwal operasimu malam ini?”

Maroo tak menjawab dan malah mendorong Jae Hee masuk ke dalam mobil. Ia bersembunyi dari tiga sosok yang berjalan tak jauh dari tempatnya berada. Tiga sosok itu adalah Jae Gil, Choco dan Sekertaris Hyun.

Maroo sebenarnya bisa meminta bantuan dari Sekertaris Hyun namun melihatnya bersama dengan Jae Gil serta Choco, keyakinan Maroo untuk ikut dalam upaya pencarian Eungi goyah. Siapa yang akan menjamin Jae Gil tidak meminta Suster untuk memajukan jadwal operasinya agar Ia tidak keluyuran kemana-mana.

 

“Kau bisa membantuku, Nuuna?” tanya Maroo serius.

 

~oOo~

 

Mobil Jae Hee berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Ia berlari bersama Maroo ke dalam. Mereka bergerak menuju ruang kerja milik mendiang Presdir Seo – Ayah Eungi.

Jae Hee memeriksa beberapa tumpukan dokumen di laci dan Maroo fokus pada apapun di atas meja.

“Starship Express!” Jae Hee menunjukkan sebuah dokumen ke hadapan Maroo yang langsung membukanya dengan tak sabaran. Peluhnya menetes dan napasnya ngos-ngosan.

“Kapal pengantar barang? Tapi ini dokumen lama. Apa masih berlaku?” tanya Jae Hee.

“Disini tertulis bahwa masa kontraknya masih berlaku hingga 2016. Jadwal keberangkatan juga diatur disini!” Maroo menunjuk beberapa lembar halaman.

“Apa maksud Eungi dengan mengirim pesan itu?”

“Dia disana. Di salah satu kapal milik Starship Express.” Tebak Maroo yakin.

Siapapun tahu, IQ-nya di atas rata-rata dan pesan Eungi sudah cukup jelas bagi otaknya yang cerdas.

Jae Hee mengangguk takjub, bagaimana Ia bisa lupa kalau mantan kekasihnya ini adalah seorang jenius.

Bibi Penjaga rumah yang mendengar gaduh dari ruangan kerja mendiang Ayah Eungi berjalan masuk dan membuka pintunya.

“Nyonya? Anda masih di rumah?” tanyanya bingung.

“Memang aku harusnya dimana?” Jae Hee balik bertanya.

“Pengacara Ahn bilang bahwa Nyonya menunggu Eunsuk di Bandara. Beliau membawa pergi Eunsuk bersamanya sepulang sekolah.”

Dan lutut Jae Hee gemetar seketika, Ia nyaris jatuh jika saja Maroo tak memeganginya.

“Pengacara Ahn membawa Eunsuk?” Jae Hee berkaca-kaca. Ia syok.

 

~oOo~

 

Maroo memutar roda kemudinya dan menekan pedal gas di bawah kakinya kuat-kuat. Mobil berwarna merah itu melaju cepat menyibak padatnya jalan raya. Di sebelahnya ada Jae Hee yang gemetar tak karuan dengan raut wajah tak tenang. Wanita itu menggigiti ujung jempolnya.

“Pengacara Ahn tak mungkin menyakiti Eunsuk, tenanglah!” seru Maroo.

Sebuah panggilan masuk kembali menyapa layar handphone Jae Hee. Dari nomor asing yang telah 19 kali menghubunginya sejak semalam.

Jae Hee mengangkat teleponnya, Ia tahu itu pasti dari Pengacara Ahn. Maroo menghentikan mobilnya dan ikut mendengarkan percakapan yang diloud-speaker oleh Jae Hee dengan seksama.

“Datanglah seorang diri ke pelabuhan Inyoung! Aku menunggumu di atas kapal Starship Express pukul sebelas atau kau tidak akan dapat melihat Eunsuk lagi.” Pengacara Ahn menutup teleponnya.

Jae Hee merasa sesak, kalimat ‘kau tidak akan dapat melihat Eunsuk lagi’ begitu menganggunya. Maroo tahu bagaimana perasaan itu. Ia mengenggam kedua tangan Jae Hee. Lewat sorot matanya, Jae Hee tahu Maroo sedang mencoba mengatakan bahwa ‘Semua akan baik-baik saja, Nuuna….’ Jae Hee tak kuasa menahan airmatanya, Ia memeluk Maroo dan melepaskan semua beban di dalam hatinya.

Maroo menepuk-nepuk pelan punggung Jae Hee. Mendadak Ia teringat dengan isi dokumen yang tadi Ia baca.

Maroo mengerti sekarang, Ia melepaskan pelukan Jae Hee dan menatapnya penuh keyakinan.

“Kita akan menemukan Eungi dan Eunsuk bersama-sama!”

Maroo menghidupkan mesin mobilnya dan kembali ke tengah jalan. Ia tahu, tak lama lagi Ia pasti akan dapat melihat wajah Eungi.

Eungi-ah…

Di dunia ini ada beberapa takdir yang bisa diubah.

Bersabarlah, aku akan mengubahnya untuk kita…

 

~oOo~

 

Suara berderit dari pintu itu menyita perhatian Eungi. Ia menatap tajam ke sosok bertopi di hadapannya. Eungi meronta tapi usahanya sia-sia. Tangan dan kakinya diikat kuat. Wanita itu tahu 10 menit lalu kapal berhenti untuk menurunkan serta menaikkan barang. Ia hanya tidak menyangka akan bertemu dengan bedebah yang paling ingin Ia leyapkan di dunia – Ahn Min Young. Mantan Pengacara kepercayaan mendiang Ayahnya.

Eungi ingin meludahinya namun tak bisa, Jae Shik menyumpal mulutnya dengan selotip tebal yang akan sangat sakit bila ditarik.

“Direktur Seo, kau menikmati perjalananmu?” tanya Pengacara Ahn dengan seringai licik di ujung bibirnya.

“Mendiang Presdir bilang Ia merindukanmu, Putrinya satu-satunya!”

Dan Eungi tahu maksud kalimat itu.

Maroo… tolong aku….

~oOo~

 

Dan faktanya, meleset pemirsa!

Niat mau selesaiin di chapter 17 eh malah panjang dan aku memutuskan untuk melanjutkannya di chapter 18.

Hahaha…

It is okeh, it is lopeh!

Jujur aja, aku nggak kebayang bakal seribet ini endingnya.

Awalnya aku berniat bikin simple tapi kok ya pengen ribet.

Bersiaplah! Next chapter bakal lebih greget! Preview-nya sih, Eungi dan Eunsuk bakal ketemu di atas kapal. Ditawan bersama. Aku sungguh ingin Eungi lebih dekat dengan Eunsuk dan menyayanginya seperti cara Eunsuk menyayangi Eungi.

Oh ya, agak berasa Rin Tin Tin ya. Dimana Maroo adalah si Detektif dan Jae Hee mengekor kayak anjingnya. Huakakaka… duh, maafkan saya Jae Hee-ah :D

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.