“LAST DATE, LAST LOVE”

NICE GUY FF 'Another Ending'

PART 10

 

Last Part Preview:

Polisi-polisi itu menggiring Eungi keluar ruangan, mereka kemudian disambut oleh segerombol wartawan yang seolah mendapat bonus ekstra tentang Headline esok pagi.

Maroo mencoba mengikuti kemana langkah Eungi akan menuju tapi, gagal. Ia sendiri tak bisa melakukan apapun ketika belasan kamera itu menyorotnya dengan lampu berkilat-kilat.

Kepalanya terasa dipukul oleh sebuah palu besar secara bertubi-tubi, dan Ia terhuyung jatuh. Tepat beberapa meter dari Eungi yang tak bisa Ia raih sama sekali.

Pria tinggi dengan wajah tirus pucat itu limbung, tersekap dalam dekapan tangan Jae Hee yang langsung memeluknya dari belakang.

Mereka baru saja menciptakan Headline baru.

 

“Skandal Ibu Tiri dan Menantunya dari Taesan”

 

~oOo~

 

Belum ada bunyi apapun, baik derap langkah ataupun sibakan tirai yang bergelombang kusut dari balik bilik Ruang Emergency. Jae Hee mematuk ujung jemari tangannya penuh kecemasan.

Ia menunggu seseorang, Kang Maroo. Pria yang tadi tergeletak tak sadarkan diri dalam dekapannya. Aroma tubuh pria itu terus menghantuinya, meningkatkan kecemasannya pada tingkat tak terduga-duga.

 

“Kenapa Maroo jadi selemah ini?

Sejak kapan dia mudah terguncang sampai pingsan begini?

Apa cintanya pada Eungi begitu besar?”

 

Pertanyaan itu terus berkelebatan dalam bathinnya.

Seorang pria berkacamata dengan mimik kaku mendekat, menaruh tubuh jenjangnya di sisi Jae Hee dengan tak rela.

Wajahnya hambar sementara tangannya mengulurkan sekaleng kopi dari mesin penjual instant.

“Bu Presdir, kita tidak sebaiknya ada di sini.

Rumor tentang kalian sudah beredar dan jika para wartawan itu tahu maka….”

Ia berhenti bicara, merasa tak nyaman melihat lirikan tajam dari sang Ibu Presdir kesayangan.

“Kau bisa pergi jika kau ingin pergi,” Jae Hee menyahut singkat, tak perduli. Membuat sang pengacara kehilangan talu-nya untuk bicara lebih banyak.

Setelah berpuluh menit berlalu dalam hening, tirai putih itu pun akhirnya terbuka.

Seorang dokter keluar bersama dua orang perawat.

Jae Hee yang mengetahui itu langsung berdiri dari kursinya dan berlari merangsek mendekati sang pria berstetoskop.

“Bagaimana keadaannya?” tanyanya tak sabar.

“Dia sudah siuman tapi sebaiknya jangan dijenguk dulu,”

Jae Hee mengangguk dan membiarkan dokter itu berlalu pergi tanpa banyak pertanyaan.

Ia menatap Pengacara Ahn yang semakin ingin menggeretnya pulang.

“Ini terlalu jauh!

Aku hanya memintamu melakukan sesuatu untuk menyingkirkan Eungi dari Taesan tapi bukan dengan tuduhan seperti ini.”

Pengacara Ahn mengernyit, sudut alisnya bergerak naik menanggapi pertanyaan Jae Hee,

“Aku juga tidak tahu, ini bukan ulahku!” jawabnya, entah sedang berbohong atau tidak.

Jae Hee terdiam, Ia gugup.

“Maksudmu ini ulah seseorang selain kita? Siapa?”

Sementara itu hanya beberapa jengkal dari kaki mereka, Maroo tengah mendengarkan dari balik tirai.

“Eungi… dia melangkah sejauh ini….” gumamnya nanar.

 

~oOo~

 

Eungi masih tak bergeming, keukuh untuk tak membuka mulutku sedikit pun meski tim penyidik sudah lebih dari puluhan kali memintanya menjawab.

Jemarinya tergenggam rapat sementara matanya menyudut dalam kekhawatiran tak terkira.

Pikirannya melayang memikirkan Maroo.

Apa yang terjadi pada pria itu, Ia bertanya-tanya.

Tepat di saat itu, Pengacara Park membuka pintu ruang penyelidikan. Ia membungkuk sejenak, memberi hormat dan mengenalkan dirinya sebagai kuasa hukum dari Eungi, kemudian mengambil alih segala pertanyaan dalam proses penyelidikan.

“Minumlah, anda nampak pucat!” Pengacara Park menyodorkan sekotak jus ke hadapan Eungi begitu proses penyelidikan selesai.

Eungi memandangi kotak jus itu tanpa gairah.

“Ini salahku…” desahnya pelan, membuat sang pengacara mengernyit tak paham.

“Aku yang mengatur semua ini, agar bisa melukai Maroo dan Jae Hee…” ucapnya.

“Maksudmu para wartawan itu, dan penangkapan ini juga?”

“Semuanya. Harusnya aku bahagia kan melihat Maroo sampai seperti itu?

Oppa, harusnya aku bahagia kan? Kenapa rasanya malah sakit?

Kenapa aku malah semakin ingin berlari ke arahnya?

Oppa... aku bahkan mengabaikan keberadaan bayi di dalam kandunganku ini…

Harusnya aku tertawa puas-kan sekarang?

Kenapa rasanya begitu sakit, seperti menusuk jantungku sendiri?

Kang Maroo… dia pria brengsek… aku melakukan hal yang benar-kan, Joon Ha Oppa?” Eungi terisak, Ia membentur-benturkan kepalanya ke atas meja berulang kali. Membuat suara gaduh.

Joon Ha sang pengacara tak kuasa menahan airmatanya juga. Ia menaruh tangannya di antara meja dan dahi Eungi. Membiarkan tangannya menjadi landasan bagi Eungi yang masih terus berusaha melukai dirinya sendiri.

Sang bidadari rupanya menyesal telah menjadi begitu sinting untuk rencana gila semacam ini.

 

~oOo~

 

Maroo menatap sendu ke luar jendela kamar perawatannya. Sekarang pukul 8 pagi.

Hampir semalaman, Ia tidak tidur dan terus memikirkan Eungi.

Ada kemarahan, perasaan bersalah dan kesedihan di dalam dirinya begitu mengingat apa yang telah terjadi.

Awalnya Ia pikir jika ini adalah ulah Jae Hee, tapi hatinya remuk begitu tahu jika ini adalah perbuatan Eungi sendiri.

Maroo memijat-mijat ringan kepalanya yang masih agak-agak pening. Stress membuat kondisinya makin buruk.

Ingin rasanya berlari ke kantor polisi dan memarahi Eungi karena kesintingannya.

Bayi mereka mungkin adalah kesalahan bagi Eungi, tapi lain halnya untuk Maroo.

Bayi itu ibarat harapannya untuk tetap hidup.

Ia – bagaimana pun juga Ingin tahu rasanya dipanggil ‘Ayah’

Sebuah decitan pelan dari ujung ruangan mengusik lamunannya.

Seorang wanita berbaju merah dengan rok setinggi lutut berjalan masuk. Han Jae Hee.

Ia berjalan mendekati ranjang Maroo, agak kikuk dan penuh kecemasan.

“Aku tahu tidak seharusnya aku berada disini tapi aku benar-benar mencemaskanmu, Maroo…” ucapnya.

Maroo tak merespon apapun.

“Kau pasti mengira jika aku yang melakukannya?

Sungguh bukan aku Maroo… Kita dijebak! Eungi juga dijebak!

Ini bukan ulahku, jangan mengutukku dengan tatapan seperti itu!” pinta Jae Hee memelas.

“Pulanglah, aku tahu kau semalaman berada di tempat ini.

Hanya butuh waktu sampai wartawan menemukan keberadaan kita.

Jangan membuatnya semakin rumit!” Maroo memandang hambar.

Ia lelah, sangat lelah. Permainan Eungi… Permainan Jae Hee…

Jika bukan karena bayi dalam kandungan Eungi, mungkin Maroo lebih suka mati.

Decitan lain menyeruak, seorang pria bertubuh jangkung yang mereka kenal betul berlari masuk.

Jaegil, sahabat Maroo.

Ia menatap dengan canggung bercampur kaget seolah mempertanyakan kenapa Jae Hee ada di sini bersama Maroo.

 

“Hmm… aku pergi, Maroo.” Jae Hee melangkah keluar karena merasa begitu tak nyaman.

 

“Apa yang terjadi?” tanya Jaegil begitu Jae Hee meninggalkan ruangan.

Napasnya kembang kempis dirudung cemas.

“Sudah berakhir, permainannya sudah berakhir. Eungi membunuh pion-nya sendiri.” jawab Maroo.

 

“Maksudmu?”

 

“Eungi membuangku,”

 

“Setelah semuanya? Dia mengabaikanmu begitu saja?

 Baguslah, karena kau tidak perlu melindunginya lagi.

Kau harus segera di-operasi Maroo!

Pendarahan di otakmu itu kau pikir lelucon hallowen?” Jaegil berteriak penuh ketegasan dan kali ini Maroo tak mencoba untuk menyanggahnya.

 

Ia termenung, membayangkan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

 

Tanpa mereka tahu, di balik pintu rupanya Jae Hee belum benar-benar pergi. Teriakan Jaegil telah menahan langkahnya.

Ia terenyak. Airmatanya jatuh dalam bingung.

“Maroo… sakit parah?”

 

~oOo~

 

Wanita itu menyandarkan dirinya dengan lemah pada dinding yang dingin.

Ia terpenjara dalam tembok kantor polisi, di balik jeruji besi yang sepi dan menyiksa.

Wajahnya tirus pucat. Gairah hidupnya tak terdeteksi, sementara napasnya naik turun penuh keresahan.

Sudah satu jam ini perutnya terasa diaduk-aduk. Cairan hangat saliva itu menjalar naik berulang kali, terus menggodanya untuk bermalam saja di dalam bilik sempit kamar mandi.

Eungi menutup mulutnya, mencoba menahan muntah.

“Kau mual lagi?” tanya seorang polisi wanita yang kebetulan melintas.

 

Eungi membasuh mulutnya yang kering pahit. Ia mendesah pelan di atas bibir wastafel yang basah.

Dielusnya perutnya yang masih rata. Bayi Maroo mungkin sedang protes di dalam sana.

Ia menunduk, merasa malu dan kejam sendiri pada naluri keibuannya.

“Kau pasti marah pada Ibu… Jangan maafkan ibu…” Bisiknya.

 

~oOo~

 

Tidak seperti hari-hari saat bersama Eungi, setiap jam terasa begitu lama bagi Maroo saat ini. Atmosfer waktu seolah mengambang pada dimensi tak terjamah yang mengulur setiap menitnya menjadi bertele-tele dan tak tentu arah.

Maroo membuka pintu kamarnya perlahan. Ini hari kedua-nya tanpa Eungi. Ketakutannya telah menjadi nyata dan segala mimpi indah akhirnya benar-benar berakhir.

Kosong… sepi… tak ada orang disana.

Ia mengangguk kecil, mengikhlaskan takdir.

Suara derap langkah,

Seorang pria jangkung dengan rambut blonde menepuk pundaknya dari samping.

“Maroo, ada surat untukmu!” ucapnya seraya menyodorkan sepucuk amplop cokelat tua.

Jemari Maroo meraih amplop itu dengan tak bersemangat kemudian menutup pintu kamarnya.

Meninggalkan Jaegil yang masih terpaku begitu cemas.

Rumah ini kembali seperti dulu, hanya ada dia, Choco dan Jaegil.

Dua orang yang tak pernah menghakiminya atas apapun guratan takdir yang Ia buat.

Mereka yang selalu ada di sisinya seburuk dan separah apapun moral Maroo telah terkoyak.

Dibukanya amplop cokelat besar itu dengan gamang,

Seperti yang sudah Ia duga.

Surat Permohonan Cerai, dari Eungi.

Secercah senyum tersungging menarik sudut bibir Maroo. Bukan senyum kebahagiaan tapi senyum keikhlasan dimana dia akhirnya sadar jika mereka telah sampai di batas paling akhir dari takdir masing-masing.

 

“Kau mengingkari janjimu Eungi…” Maroo menunduk memutar-mutar cincin di jari manisnya.

 

Napasnya menderu pelan, matanya terpejam dirasuki rindu yang secara tak terduga menyusup masuk melemahkan semua sistem sarafnya.

Ada bayangan Eungi menginjak-injak kesadarannya. Senyuman wanita itu menghantuinya, berlarian di dalam benaknya.

Dan mimpi indah itu semakin menghambar, lenyap tak tergapai.

Dimana wanita yang menginginkan untuk selalu bersama dengannya itu. Dimana wanita yang mengatakan ingin mencintainya seumur hidup.

Eungi mungkin telah kembali, tapi Maroo merasa jika Ia masih ingin terus menunggunya.

Eungi mungkin telah kembali, tapi Maroo merasa jika Ia masih ingin terus menantinya.

Ia merindukan Eungi…. Ia ingin melihat bayi mereka tumbuh besar nanti…

 

~oOo~

 

Maroo tengah mengepak barang-barang Eungi yang masih tersisa di kamarnya saat Choco melangkah masuk dan duduk di atas ranjangnya dengan muram.

“Kakak, apa kalian benar-benar akan berpisah?” tanyanya mulai terisak.

Ia berlari dan memeluk Maroo dari belakang. Menangis di atas pundak sang kakak yang  kokoh simetris.

Maroo mengusap-usap tangannya yang kini melingkari lehernya.

“Lalu bagaimana nasib calon keponakanku?” Choco menangis makin keras.

Maroo hanya diam, Ia semakin tak berani membayangkan jika adiknya tahu soal penyakitnya nanti.

Hidup mereka – kenapa selalu semalang ini.

 

~oOo~

 

Pengacara Park menunggu di sebuah kafe tak jauh dari perumahan tempat tinggal Maroo.

Ia yang tadi menghubunginya untuk mengepak semua barang milik Eungi karena Ia akan mengambilnya malam ini.

Pukul  enam lewat dua puluh menit.

Pria yang Ia tunggu akhirnya tiba dengan sebuah tas besar di tangan kanannya.

Kang Maroo, Ia berjalan mendekat dan duduk di hadapan Park Joon Ha.

Matanya menatap sayu.

“Apa Eungi baik-baik saja?” tanyanya begitu sampai.

“Dia baik-baik saja, semalam dia sudah keluar dari penjara. 

Lalu bagaimana kondisimu? Aku tahu kau pingsan saat itu.”

Maroo hanya tersenyum, tak menanggapi pertanyaan Joon Ha.

“Aku harusnya tahu Eungi bisa berbuat senekat itu,” desah Maroo tertekan, mengalihkan pembicaraan.

“Ya, seperti itulah Eungi,” sahut Joon Ha, airmukanya seirama dengan Maroo.

Mereka terdiam, bersama-sama menghela napas dalam hening yang begitu menyiksa.

Segala kecemasan mereka bermuara pada satu nama, Seo Eungi.

“Maroo, Eungi belum mengatakan apapun tentang rencananya padaku soal rekaman itu dan aku jadi sangat cemas. Entah kegilaan apa lagi yang akan dia lakukan,” Pengacara Park menunduk dalam penyesalan.

“Apa kau memikirkan hal yang sama?” tanya Maroo.

“Ya, hawa membunuh di matanya itu membuatku merinding setiap kali memandangnya.”

“Dia pasti memilih pulang ke rumahnya daripada tinggal dengan Sekertaris Hyun?”

“Seperti dugaanmu Maroo, dia memilih pulang ke rumahnya, dimana ada Jae Hee disana.

Itu sangat mengangguku…

Eungi dan Jae Hee dalam satu rumah. Aku tidak bisa tidur nyenyak,”

“Kau cemas Jae Hee akan melukai Eungi?”

“Sebaliknya, aku takut Eungi berbuat nekat. Dia bisa saja membunuh Jae Hee…” Park Joon Ha menatap tajam.

“Kau benar, Eungi sanggup melakukannya.” seru Maroo.

 

~oOo~

 

“Ibu… aku melakukan hal yang benarkan?” Eungi menatap tajam pada boneka Barbie di pangkuannya.

“Kurasa aku melakukan hal yang benar, tapi kenapa rasanya sakit?

Seperti aku baru saja terjun ke jurang…” gumamnya tak mengerti.

Diusapnya perutnya yang seharian ini belum terisi apapun kecuali air.

Ia tak nafsu makan. Ditatapnya nampan berisi makanan di atas meja, masih utuh tak terjamah.

 

Sebuah ketukan pelan mencuri perhatiannya. Suara langkah kaki, berderap masuk dan mendekat.

Eungi mendongak, mencari tahu pemilik sosok itu.

 

“Kau terlihat pucat, aku tidak suka melihatnya,”

Maroo menunduk, menatap kedua kelopak mata Eungi yang kini terbelalak lebar menyadari kehadirannya.

Ia berjongkok dan meletakkan telapak tangannya ke atas perut Eungi.

 

“Ibumu yang kejam pasti belum memberimu makan ya, nak?

Bagaimana jika Ayah yang memberimu makan?” tanya Maroo.

Ia kemudian mendongak, menatap lurus ke arah Eungi.

 

“Malam ini bisakah kau berpura-pura masih amnesia dan berkencan denganku?

Aku ingin menjadi Ayah yang baik meski untuk sekali saja….” Maroo mengulurkan tangannya.

 

Kang Maroo…

Pria brengsek yang kucintai sepenuh hati…

Dia memintaku berjalan ke arahnya lagi…

Ibu, aku merindukannya… sangat merindukannya…

Apa yang harus kulakukan?

 

Ketika otak Eungi masih sibuk berdebat dengan perasaan di dalam dirinya tentang benar dan salah, jemarinya rupanya telah bergerak lebih dulu menuju genggaman Maroo.

Alam bawah sadarnya tak dapat bersembunyi lebih lama lagi.

Rasa rindunya pada Maroo mengambil alih.

Eungi menggapai tangan itu. Entah apa rencananya dengan menyanggupi keinginan Maroo malam ini.

Dan sepertinya, sang Cassanova juga tidak perduli dengan apapun yang tengah menggerayangi pikiran Bidadarinya itu.

Bahkan jika wanita itu ingin membunuhnya malam ini.

Ia akan pasrah. Ia akan ikhlas.

Maroo menggenggam hangat jemari Eungi ke dalam dekapannya, mereka beranjak pergi.

Sebuah kencan terakhir, ya sebuah kencan terakhir.

 

Bersambung ke PART 11 :

Maybe We Can Start All Over Again

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.