I DON’T WANT THIS BABY, MAROO

NICE GUY FF 'Another Ending'

Part 8

 

“Bayi ini… adalah kesalahan… Aku tidak menginginkannya…

Kau sudah menghancurkan hidupku, Maroo…”

 

*

*

*

 

Beberapa minggu ini hidup kami begitu damai.

Entah Eungi mengalami amnesia lagi atau Ia telah memaafkanku sepenuhnya.

Tak ada yang tahu, karena senyumannya tetap merekah seperti biasa dan kata-kata manis dari bibirnya selalu menghampiri telingaku setiap kali pulang bekerja.

 

Namun malam ini ada yang berbeda, Ia terlihat lebih pendiam dari biasanya.

Ia sepertinya mulai bosan bersandiwara.

Bibirnya mungkin telah lelah berpura-pura tersenyum dan sakit di hatinya tak bisa diredam lagi.

 

“Kau sakit, sayang?” kusentuh dahi Eungi yang sendari tadi hanya duduk pasif memandangi piring di atas meja.

Jaegil dan Choco ikut menatap cemas. Aku tahu tak biasanya Eungi seperti ini, bahkan kemarin dia masih baik-baik saja.

“Apa kau mulai bosan terus berada di rumah dan ingin kembali bekerja di Taesan?” tanyaku padanya.

Eungi menggeleng dan menepis ringan tanganku. Ia tersenyum.

“Aku hanya merasa sedikit tak enak badan. Aku mau tidur saja” ucapnya lalu bangkit dan pergi ke dalam kamar, melukiskan kekhawatiran di wajah kami semua.

Eungi-ah…

Jika bisa, aku ingin memintamu marah padaku saat ini juga.

Tapi, alih-alih terlalu percaya diri dengan keinginanku itu,

Aku sungguh merasa takut, kau mengakhiri sandiwaramu dan pergi meninggalkanku.

Aku jahatkan? Aku pria jahat. Aku tahu itu, jadi bermainlah selama yang kau inginkan.

Sudah kubilang, aku tak akan pergi sampai kau yang mengusirku, Eungi-ku sayang….

 

“Apa yang kau tunggu, Maroo? Sana susul istrimu dan perhatikan dia!” Jaegil membubarkan lamunanku.

“Iya Kak, mungkin Kak Eungi sedang sensitif.

Wanita selalu punya masa-masa sensitif setiap bulan,” Choco ikut menimpali.

Aku mengangguk dan bergegas pergi menyusul Eungi, meninggalkan nasi di piringku yang tersisa separuh.

Aku masuk dengan hati-hati, wanita itu sedang menangis?

Apa yang terjadi padanya?

Haruskah aku menganggunya?

Aku terdiam di ujung pintu selama hampir sepuluh menit, sampai dia mengakhiri tangisannya dan bersikap baik-baik saja.

“Kau merasa sakit? Wajahmu terlihat pucat.” Aku melangkah masuk dan duduk di sampingnya, membuatnya sedikit tersentak kaget.

Aku tak menunjukkan ekpresi apapun tapi perlahan jemariku bergelayut hangat di atas pundaknya, memijatnya agar lebih rileks. Sayangnya, bukannya merasa nyaman, Eungi malah mengibas tanganku dengan kasar dan kali ini giliranku yang tersentak kaget.

“Ada apa?” Aku menatap kedua manik matanya dengan cemas. Detak jantungku menghujam cepat. Dia tidak ingin mengakhiri sandiwara kami secepat ini kan? Pikirku was-was. Sungguh, pria jahat sepertiku merasa tak rela. Aku ingin bermain lebih lama lagi di sisinya.

“Maaf… aku hanya sedang…” Eungi telihat salah tingkah. Ia menyembunyikan genangan kepedihan di kedua pelupuk matanya.

Aku tahu… aku sangat tahu… setiap manusia memiliki batasnya masing-masing. Hanya saja, aku tak siap untuk tahu jika Eungi telah sampai di batas dari kemanusiaannya.

“Sedang?” alisku mengkerut cemas.

Dan Eungi meggeleng. Ia bungkam, tapi dapat kurasakan tangannya menggelayut di atas pundakku, kemudian keningnya tersungkur di atas dadaku.

Ia merebahkan dirinya, memelukku. Hangat… ada kehangatan yang menjalar di sekitar diriku. Airmata Eungi. Tak ada yang bisa kukatakan, kecuali membelai lembut punggungnya dalam hening.

Membiarkannya menangis entah karena apa.

 

Setelah berminggu-minggu ini hidup kami begitu damai

Aku akhirnya sadar jika Ia belum sepenuhnya memaafkanku

Aku tahu, karena senyumannya mulai memudar dan kata-kata manisnya redup nyaris menghilang

Malam ini Ia nampak berbeda, Ia bersikap sebagaimana dia seharusnya

Eungi bosan bersandiwara

Bibirnya  telah lelah berpura-pura tersenyum dan sakit di hatinya kepadaku sungguh tak bisa diredam lagi

Kami tidur dalam hening sementara mataku tetap terjaga, tak beranjak memandangi punggungnya yang enggan berbalik hingga pagi tiba

 

***

 

            “Kau tidak menghabiskan makananmu?” pertanyaan ini terasa seperti pertanyaan wajibku untuk Eungi selama beberapa hari ini.

Sama seperti berhari-hari lalu, wajahnya tak bergairah tapi senyum itu masih bisa kulihat – samar.

“Aku sudah kenyang.” jawabnya datar, meninggalkanku.

“Kalian bertengkar?” Jaegil menatapku dengan curiga.

“Mungkin seperti kata Choco, Eungi sedang sensitif,” Aku menunduk menyembunyikan bathinku yang bergemuruh dihantui kecemasan. Setiap makanan yang ku telan terasa begitu pahit.

Dan hari ini sudah kuputuskan, daripada sekedar larut dalam kecemasan kosong dan tak dapat melakukan apapun. Aku akhirnya memilih untuk menghadapi Eungi.

Sudah satu jam Aku mengawasinya dari balik jendela mobil yang sedikit terbuka.

Menanti dengan sabar di ujung jalan. Seo Eungi, wanita yang kutunggu itu akhirnya keluar setelah sebuah Taksi bergerak perlahan menyisir halaman rumah kami.

Tubuh lemahnya dibalut sweater putih dan sandal rumahan yang berarti Eungi-ku sedang berbohong pada Jaegil dan Choco jika Ia hanya akan pergi berbelanja ke minimarket di seberang jalan.

Taksi miliknya berhenti di depan sebuah Coffee Shop.

Bisa kulihat dari kejauhan jika dia memiliki janji dengan seseorang di tempat ini - Pengacara Park. Pria itu berdiri begitu istriku melangkahkan kakinya melewati pintu masuk.

Entah apa yang mungkin mereka akan bicarakan, tapi aku rasanya tahu. Itu pasti tak jauh-jauh dari diriku, tentangku, kebohonganku dan kejahatanku pada Eungi.

Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya bidadariku itu keluar.

Derap langkahnya tak sebersemangat tadi dan matanya sayu menerawang.  Wajahnya yang pucat dan lelah itu semakin terlihat jelas. Aku sungguh tak menyukainya.

Roh-nya seolah menggantung pada tubuh rapuh tak tertopang. Kakinya bergerak sesuka hati, tabrak sana, tabrak sini.

Dimana aku? Pria jahat ini masih berdiri beberapa meter di belakangnya - setia mengikuti.

Ia terus berjalan hingga hari mulai gelap. Wanitaku itu sepertinya lupa pada dua hal bernama lelah dan lapar.

Dimana aku? Pria jahat ini masih setia menemaninya, menjaganya dalam senyap dan mencemaskannya dalam diam.

Dan kaki lelahnya akhirnya berhenti, memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi jalan.

Wajah pucatnya mendongak ke atas, Ia mulai menyadari jika matahari telah lama sepenuhnya pergi dan langit kini mendua pada kilau sinar rembulan.

Ia mulai oleng. Kepalanya terasa begitu berat.

Perutnya yang kosong ikut meraung dan melemparkannya dalam kesakitan yang luar biasa.

Wanitaku meringis memeluk perutnya, merasa asing dengan apa yang tengah terjadi.

Tubuhnya lemas menggelepar dalam pelukanku yang beruntung – dapat dengan cepat menangkapnya dari belakang.

Kesadarannya menguap, terbang entah kemana, sementara cairan kental berwarna merah berdesir hangat menuruni celah-celah kakinya.

 

Darah…. Aku melihat darah menggenangiku… darah dari tubuh Eungi…

 

***

 

Malam ini adalah malam paling hening dan mencekam untukku – Kang Maroo.

Melebihi ketakutanku pada apapun, kehilangan Eungi adalah satu-satunya hal yang tak bisa ku tolerir. Aku mungkin bisa gila jika hal itu nyata terjadi.

“Anda suaminya?” Seorang Dokter langsung menghampiriku begitu selesai memeriksanya. Aku mengangguk dalam tegang, jantungku berdegup begitu kencang. Tidak siap dengan apapun kalimat selanjutnya dari sang dokter.

 

***

~Author POV~

Eungi membuka matanya dengan lemah, tenggorokannya terasa begitu kering dan pahit sementara sakit di perutnya belum benar-benar menghilang.

Diliriknya selang infus yang kini menggantung di sekitar pergelangan tangannya.

Matanya juga menangkap seorang pria yang tengah duduk tertidur di sampingnya.

Wajah pria itu begitu kusut dan dari desah nafasnya, Eungi tahu betapa lelah pria itu saat ini.

Ingatannya melayang mencari-cari kepingan kejadian sebelum Ia pingsan. Dirabanya perutnya yang datar. Perasaan cemas dengan cepat melingkupi rongga dadanya. Keringat dingin mengucur menuruni tengkuknya dengan deras.

 

Bayinya!

Apa bayinya baik-baik saja?

 

Ia ingat dengan jelas kenapa moodnya menjadi begitu buruk akhir-akhir ini setiap kali melihat Maroo. Bayi itu adalah alasannya. Tepat di tengah rencana pembalasan dendamnya, bayi itu muncul dan menggoyahkan hatinya.

Dua hari kemarin, Ia menyimpannya sendiri. Berusaha acuh dan mengabaikan nyawa lain yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

Ia sibuk berdebat soal haruskah bayi ini lahir ke dunia atau sebaiknya dia tetap merahasiakannya hingga rencananya usai lalu melenyapkannya diam-diam.

Kini, semua kebimbangan itu terasa tak ada gunanya, sebejat apapun pria yang benihnya tengah Ia kandung, Eungi tetap menginginkan bayi darinya tumbuh dengan nyaman.

“Maroo… Maroo…” Suaranya mengalun parau.

Jemari lemahnya menggapai-gapai tangan Maroo yang kini mulai menggeliat mengumpulkan kesadaran.

“Eungi…” pekik Maroo begitu tahu jika wanita yang dicintainya itu telah siuman.

“Aku akan memanggil dokter!” seru Maroo, tapi tangan Eungi bergerak cepat menahannya.

Wanita itu dihantui kecemasan, bibirnya bergetar menahan tangis,

“Bayi… Bayi kita… Maroo…” bisiknya lemah.

Maroo berhenti, sorot matanya berubah aneh. Ada kemarahan dan kekecewaan yang menyembul di sana. Ia menatap Eungi dengan nyaris tak percaya,

“Aku… akan memanggil dokter…” Maroo melepaskan cengkeraman Eungi. Ia berlari keluar, menyandarkan kepalanya ke tembok yang dingin. Ia menyadari sesuatu malam ini, jika -

 

Eungi tahu dia sedang mengandung dan Ia mengabaikan itu

Entah berapa lama Ia sudah tahu ada janin di dalam rahimnya dan Ia tak mengatakan itu

 

~oOo~

 

Kutatap matanya yang masih digenangi oleh butiran airmata. Entah dia sedang berakting atau memang benar-benar menyesalinya. Kami dihimpit keheningan yang menyesakkan. Dokter sudah berlalu pergi sekitar sepuluh menit yang lalu tapi, aku masih belum tahu apa yang kukatakan padanya.

Haruskah aku marah? Atau memeluknya dan mengikuti sandiwara konyolnya itu.

Jika Eungi telah sampai di batas kemanusiaannya beberapa hari yang lalu, kini giliranku. Aku tak bisa menahannya lagi.

“Kau pasti kecewa karena gagal membunuh bayi kita?” kalimat itu lolos dari rongga hatiku begitu saja, meletup di atmosfer kamar sempit ini, mengikat Eungi karena pilihan diksinya. Menohoknya begitu telak.

Aku kecewa, ya aku begitu kecewa padanya. Sorot mataku sendu menghakiminya. Maafkan aku Tuhan tapi, aku ingin sekali mencekiknya hingga sadar. Aku ingin wanita yang kucintai ini tidak kehilangan kewarasannya hanya karena dendamnya kepadaku.

Aku bergetar memendam kemarahan. Sorot mataku menungkik tajam, alisku membentuk kurva sempurna dengan kening mengkerut berlipat-lipat.

“Apa maksudmu Maroo?” suara polosnya menghujamku. Lihatlah, wanita ini masih ingin bersandiwara bahkan setelah kami nyaris membunuh nyawa tak berdosa.

“Berhentilah Seo Eungi! Berhenti!  Kumohon berhenti!”  Aku menatap kedua matanya, nyaris berteriak menganggu pasien lain di kamar sebelah.

Dan Ia menunduk, wanitaku itu akhinya tahu jika dramanya harus berakhir.

Aku sudah mengetahui semuanya.

Lebih dari perasaan marah dan segala kebencian yang selama ini lekat dalam nadinya, kuharap ada perasaan bersalah yang mengoyak bathinnya.

Bukan kepadaku, tapi pada bayi tak berdosa yang mungkin ikut mendengarkan pembicaraan kami.

“Jika kau marah padaku, lampiaskan padaku! Berteriaklah kepadaku! Sakiti aku!

Jangan melukai dirimu sendiri dan bayi tak berdosa itu!” kalimatku menghujam hatinya dengan begitu sempurna. Ini adalah pertama kalinya, aku marah kepadanya seperti ini.

Dan bukannya terdiam, Ia malah melirikku remeh.

“Sejak kapan Kang Maroo mulai memperdulikan Seo Eungi? Bukankah hanya ada Han Jae Hee di dalam hatimu?” tanyanya.

“Eungi-ah…” Aku menggeleng, kehabisan kata atau lebih tepatnya tak tahu harus mengucapkan apa untuk membantah kesalahpahaman di antara kami.

“Bayi ini adalah kesalahan… Aku tidak menginginkannya…

Kau sudah menghancurkan hidupku, Maroo…” Eungi menatapku begitu dingin, melumat habis kemarahanku, melontarkan harapanku entah kemana.

Aku tergelak pahi. Aku sadar telah melupakan sesuatu tentangnya. Seo Eungi – wanita di hadapanku ini adalah seseorang yang pendendam.

Sungguh ini bukan kesalahannya, ini adalah dosaku karena tak mengingatnya.

Cinta? Masih bisakah aku melihat itu di matanya?

 

~oOo~

 

“Jaegil dan Choco tidak perlu tahu tentang apa yang terjadi di antara kita selain tentang bayi itu. Kuharap kau masih bisa bersikap biasa di hadapan mereka.” Aku berbicara pada Eungi yang masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Ia tak menyahut bahkan matanya pun enggan memandang ke arahku.

Dan seperti yang sudah kuduga, begitu tiba Jaegil dan Choco langsung menghambur masuk dengan kekhawatiran luar biasa.

“Kakak!!!” Adik semata wayangku, Choco langsung menghambur dengan suara nyaringnya menghampiri Eungi. Tangannya yang pendek itu terulur tanpa aba-aba dan melingkari tubuh istriku – kakak iparnya.

Hatiku menceplos tanpa alasan melihat mereka berpelukan. Dua wanita yang kucintai, dua alasanku untuk tetap bertahan dalam situasi apapun.

“Tidak apa-apa Choco, tak ada hal buruk yang terjadi…” Eungi berbisik lirih menyambangi telinga Choco. Kuharap sebersit kalimat mengembun dalam benaknya,

Jika Ia meninggalkanku, Ia akan menyakiti Choco juga.

 

~oOo~

 

“Sampai kapan kau akan menunda operasimu?

Kau mau bayi itu lahir tanpa Ayah?” Jaegil langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan begitu kami berada di salah satu lorong Rumah Sakit yang sepi.

Mataku menerawang, sebuah senyuman sarcasm menyusup masuk, menggetarkan bibirku.

“Ayah…” Aku mendesah nanar, mengangguk-angguk dan mulai menggigit ujung bibirku menahan pedih.

“Aku tak pernah berani membayangkan jika seseorang akan memanggilku ‘Ayah’, Jaegil-ah…” ucapku.

“Eungi… dia benar-benar wanita jahat. Daripada Jae Hee yang sudah mencampakkanku, Eungi jauh lebih kejam. Dia harusnya tak pernah kembali, dia harusnya tak memberiku khayalan setinggi ini… Dia jelmaan Iblis, Jaegil-ah!” Aku berteriak penuh amarah, tapi alih-alih terlihat menakutkan. Aku malah terlihat begitu menyedihkan.

“Maroo…” Jaegil menatapku dengan tak nyaman.

Aku menunduk, mencoba menguasai perasaanku yang kini bergejolak tak tentu arah.

“Eungi sudah tahu, ingatannya sudah kembali…

Dia bilang bayi itu adalah kesalahan… Dia bilang hidupnya hancur karenaku…” Jaegil tersentak mendengar ucapanku.

Ia membisu, mungkin baginya masih terlalu pagi untuk mendengar kabar seburuk ini.

“Lalu apa yang akan terjadi pada kalian?” tanyanya, ketakutan sendiri.

Aku masih ingat betapa bahagiannya Ia di hari pernikahanku dengan Eungi.

“Aku tidak tahu.” Aku menelan ludah, pahit. Mataku memerah. Sorot mataku tajam menelanjangi langit.

 

~oOo~

 

~Eungi POV~

 

Dari jendela Rumah Sakit ini, aku bisa melihatnya datang dan pergi.

Pria brengsek itu, dia yang sudah menghancurkan hidupku.

Pria berambut hitam dengan tatapan sayu yang setiap kali aroma tubuhnya kucium, selalu ingin kurengkuh. Dia yang jika mendekat, maka bola mataku akan berpaling ke arah yang lain.

Dia yang setiap kali berbicara, selalu kujawab dengan kosakata tak lengkap serta nada acuh.

Pria yang tak pernah bisa sepenuhnya kubenci.

Pria yang benihnya kukandung.

 

“Kau masih tidak mau menghabiskan makananmu?

Suster baru saja memarahiku tadi karena ini sudah kedua kalinya kau menyisakan makanan.”

Pria itu protes, wajahnya mendongak menatapku yang hanya melirik angkuh.

“Aku tidak suka makan bubur hambar seperti itu,” argumenku sekenanya.

Sebenarnya, aku hanya tak nafsu makan. Terlalu banyak hal yang melintas di dalam benakku dan terus bergelayut kemanapun mataku memandang, salah satunya adalah pria di hadapanku ini.

Dia yang paling mengganggu.

“Bukankah kau ingin balas dendam? Aku sudah tidak sabar dengan apapun rencana balas dendammu itu. Jadi habiskan makanannya dan cepat keluar dari Rumah Sakit ini.” ucapnya seolah menyindir.

Aku hanya bisa melirik dengan tangan ingin meninjunya tapi kuurungkan niat itu, alih-alih ingin memukulnya, tangan ini bisa saja memeluknya tanpa ijin dariku.

Bagian dari diriku yang lain, mungkin berkhianat dan kembali ke pelukannya yang selalu terasa nyaman.

“Buka mulutmu, suster mungkin sedang mengawasi kita!” Ia memenuhi sendok di tangannya dengan bubur yang sempat kuacuhkan tadi.

Jemarinya bergerak cepat mengetuk-ngetuk mulutku, kulirik kehadiran suster lewat jendela kusam rumah sakit ini.

Derap langkahnya ketara sekali, pukul 1 siang sekarang. Waktunya mengganti infus.

Dengan enggan kubuka mulutku yang kering pahit.

Kutatap matanya yang sendu namun penuh perhatian itu. Hampir-hampir lenyap rasanya semua ingatan tentang hari-hari lalu.

 

Dia, bisa jadi Ayah yang baik kan?

 

Jika aku memberinya kesempatan, ya … hanya jika aku memberinya kesempatan.

Tapi, sebelum benakku terlalu jauh melukis kisah tak masuk akal tentang kami. Bubur di piringku sudah habis. Ia bangkit dan menuangkan segelas susu untukku.

“Habiskan juga, ini akan sangat berguna untuk balas dendammu nanti” ujarnya membuatku nyaris tergelak, kalimatnya terlalu santai untuk seseorang yang kepalanya sedang kuincar.

“Kau tidak takut aku membunuhmu seperti saat di terowongan itu?” tanyaku dingin, gelas susu itu masih setengah kuambil alih dari genggamannya.

“Lakukan apapun, asal jangan menyakiti dirimu sendiri.” Ia menatapku datar kemudian pergi menuju meja di sebelah ranjangku. Mengupaskan sebutir jeruk dan sekali lagi, tanpa perlu bertanya, Ia sudah menyodorkannya ke depan mulutku.

Kini, sudah nyaris 3 hari aku terkurung di tempat ini bersamanya. Setiap bangun, ada wajahnya. Setiap kali pergi tidur, juga demikian.

Walau kami begitu hening, walau kami nyaris tak memperbincangkan apapun.

Tapi, jujur saja aku tak pernah merasa kesepian. Sudah kukatakan, ada bagian dari diriku yang mencintainya sepenuh hati.

Bagian itu terus melawan dan menentang dendamku yang kutahu bisa redup lalu menghilang ditiup waktu.

“Dimana Handphone-ku?” pintaku padanya, tepat di malam terakhir kami berada di bilik putih Kamar pemulihan ini.

“Besok kau sudah boleh pulang, saat itu Aku akan memberikannya.” Dia menjawab tanpa membuka matanya yang terpejam di kasur bawah, menemaniku.

Hening kemudian, dan kami larut dibuai mimpi indah bersama-sama.

 

~oOo~

 

            Jae Hee tengah memeriksa beberapa berkas di atas meja kerjanya ketika Pengacara Ahn datang dengan wajah serius dan berkata,

“Eungi masuk Rumah Sakit.”

 

~oOo~

 

Maroo memapah dan merebahkan Eungi di atas ranjang.

Setelah 6 hari 5 malam dirawat, akhirnya Eungi diijinkan menghirup udara bebas.

Ada keengganan dan kebahagiaan yang menggelayut bersamaan di dalam dadanya begitu menatap kamar kosong milik mereka.

Ia benci Rumah Sakit tapi dia juga merasa canggung kembali ke rumah ini, dimana ada banyak mimpi dan harapan mereka mengendap.

“Dokter masih menyuruhmu untuk terus menjaga pola makan dan tidak kelelahan.

Aku tidak akan kabur kemanapun. Jadi jangan terburu-buru!” saran Maroo seraya menyerahkan handphone milik Eungi yang sudah beberapa hari ini ada bersamanya.

Ting Tong… terdengar bel rumah berbunyi.

Maroo beranjak keluar karena tak seorang pun sepertinya mau membukakan pintu.

Dan benar saja, Jaegil maupun Choco hanya diam di depan layar monitor pintu rumah mereka.

Dari raut wajah mereka, Maroo tahu. Pasti bukan tamu biasa.

Jae Hee nampak menanti untuk dipersilahkan masuk. Ia bersama seorang sopir yang bertugas membawa sebuah bingkisan besar.

Maroo sungguh tak ingin untuk berurusan dengannya saat ini.

Kondisi Eungi yang baru pulih ditambah dengan kunjungan Jae Hee adalah ide buruk.

Sementara itu di dalam kamar, Eungi tengah termangu. Handphonenya tergeletak kaku, terabaikan di atas ranjang.

Pengacara Park dan Sekertaris Hyun belum menghubunginya lagi sejak hari dimana Ia masuk Rumah Sakit. Entah apa yang sudah Maroo katakan pada mereka.

Dirabanya perutnya yang terasa dingin, Ia tidak akan pernah lupa jika rencananya menjadi kacau balau karena janin mungilnya ini.

Bayi yang mulanya tak Ia harapkan kini menjadi begitu berharga sejak beberapa hari yang lalu.

Usianya baru 3 Minggu.

Eungi memeluk perutnya, “Haruskan Ibu melanjutkan rencana ini? Kau akan baik-baik sajakan?” tanyanya bimbang.

 

Di saat yang bersamaan, tepatnya di luar rumah.

“Kau tidak perlu repot-repot kemari,” Maroo menatap jengah pada akting sok manis Jae Hee.

Ia ingin wanita itu tahu jika kehadirannya di tempat ini tak pernah diharapkan.

“Apa yang salah? Sebagai Ibunya, aku merasa khawatir dengan Eungi.

Aku dengar jika dia masuk Rumah Sakit, apa yang kau coba sembunyikan?

Kenapa merahasiakannya?” tanya Jae Hee menyelidik.

Maroo terdiam, masih berpikir untuk memilih jawaban yang tepat.

“Apa ingatan Eungi sudah kembali dan kau mencoba menutupinya?” Jae Hee makin meruncingkan kecurigaannya, membuat Maroo melotot marah. Kesabarannya habis.

Nyaris saja tangannya menggeret paksa Jae Hee dan melemparkannya jauh dari depan pintu sampai sebuah sapaan hangat menyeruak, menyela pembicaraan mereka.

Eungi muncul mengumbar senyum polosnya, tangannya hangat merengkuh lengan Maroo. Bergelayut mesra di sampingnya.

“Ibunya Eunsuk? Kenapa tidak mengajaknya masuk, sayang?” tanyanya pada Maroo yang tak tahu harus menjawab apa. Perubahan sikap Eungi ini cukup menyentaknya.

Jae Hee juga nampak terkejut karena itu berarti kecurigaannya tidak benar.

“Kebetulan kau datang kemari, kami punya kabar gembira yang harus dibagi.” Eungi melirik Maroo dengan sumringah. Pipinya merona merah.

“Kabar apa?” tanya Jae Hee mulai tak nyaman.

“Kami akan memiliki bayi. Aku dan Maroo akan jadi orangtua…” Eungi tersenyum mengelus perutnya di hadapan Jae Hee, memamerkan kebahagiaannya.

Sang Ibu Tiri tersentak, matanya melotot menatap Maroo. Ada pemain baru dalam permainan mereka. Sebuah nyawa tak berdosa akan ikut terlibat. Mendadak Ia merasa terancam. Dengan seorang Eungi saja, Ia tak yakin Eunsuk akan mendapatkan posisinya dengan layak, kini ditambah lagi dengan bayi. Calon anak Eungi itu bisa jadi penghalang sempurna bagi Eunsuk, anaknya.

Tidak boleh, Eungi tidak boleh melahirkan bayi itu.

 

~oOo~

BTS :

DAN FAKTANYA, ini part sebenernya sudah ditulis dari beberapa minggu lalu tapi entah kenapa pengen diremake sudut pandangnya sebelum dipublish. Jadilah seperti ini, jujur aja aku sendiri kaget ama kalimat endingnya : “Tidak boleh, Eungi tidak boleh melahirkan bayi itu.”

Berasa dialog-dialog di sinetron PINTU TOBAT. Huakaka~

Baiklah, aku ngerasa ini part kelam banget. Semoga hanya perasaanku. Tapi misal kalian ngerasain tekanan bathin yang sama, jangan salahkan aku please.

SALAHKAN  LAGUNYA ALI – FLOWER THROUGH THE ROCK!

Ceritanya lagi mabuk itu lagu. Hihihi…

Next part entah ada apaan? TO BE CONTINUED TO – “FALSE ALARM”

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Methaalana
FINALLY, I FINISHED WRITING NICE GUY ANOTHER ENDING. Okay, time to move on

Comments

You must be logged in to comment
oladilia1310 #1
Chapter 19: Kenapa baru sekarang aku nemu drama Nice Guy? Sampe udah selese nontonpun malah nyari FFnya.. trus baca FF ini, kepalaku nyut"an gk ada beda sama pas nonton. Alur sama endingnya aja yg beda. Dan harusnya endingnya beginiiiiiiii :'D
Thankyou for making this FF!! Walopun telat tapi aku suka!! 정말 감사합니다~
I will wait your update for another story of EunMaru ㅋㅋ semangat kak! 파이팅!! ♡♡
Lots love, ChaeKi shipper
nandyana #2
Chapter 19: Omg i just found this ff today and read it in one go...i really wish the ending of the actual nice guy drama like this in your story...you are really talented writer...
daragon48 #3
Chapter 19: daebak... andai saja ending drama nice guy kayak gini. TQ for this fanfic neomu joayo!
eonnifan
#4
Chapter 19: eungil.. sempet2nya pengen tidur pas ngelahirin.. *eh wkwkwkwk

wuiiih mantep ikatan batin mereka. maru dan eungi sama2 pernah bermimpi ttg jungwoo

daebak daebak
thanks for making this eunma/chaeki fic/story
good luck utk karyanya ya.. semangat!!
camzjoy
#5
Chapter 19: Aigoooo it's already the end! T.T I'm sad because i'll be missing your updates!
Thank you for creating such a wonderful story, I love how things went for our couple. They deserve all happiness. :) And what, 9 children still? I suppose not all children were born in the house? Haha! I'm also amazed by how you described the birth scene, woah! Keep writing Chaeki ffs please? You're a good authornim! :D
eonnifan
#6
Chapter 18: daebak...
kalau ahn gak sadar2 tuh abis slh bunuh orang kebangetan dah... jd gemes >\\\\<
aku tuh klo bacanya... selalu ngerasa khawatir sm bayi eunmaru lol... takut knp2 apalagi tiap baca part yg eunginya tuh "gak bisa diem" hahaha
pokoknya aku tunggu endingnya yeay
alvionanda #7
Chapter 17: keren banget! ff nya kerenam bangeeeeeet. maaf bary comment dipart ini, soalnya aku saking penasaran jadi langsung klik next.
kenapa ending dramanya nggak kaya gini ajaaaaaa? ini lebih ngreget gitu. ditunggu kelanjutan ceritanya yyaaaaa ^^
charism #8
Chapter 17: ditunggu min lanjutan nya secepetnya yaaa . Deg degan nih bacanya .
eonnifan
#9
Chapter 17: duuuh aku bacanya.... deg2an sambil makan. hahahaha
makin menegangkan.