Percakapan Tiga Pagi
RemajaDiunggah tanpa diedit dan dibaca ulang
“Tidur, bego. Gimana nggak tambah tebel tuh kantong mata?”
Chaeyeon menoleh sekilas ke balik punggungnya. Yena dengan mata setengah tertutup mendorong tubuhnya bangkit, mengucek matanya pelan sebelum menyandarkan tubuh pada dinding di sebelah tempat tidur, “Dingin banget nih tempat kosong sebelah gue. Tidur dong Yang, kesepian nih gue.”
“Kok omongan lo kayak tante-tante nggak bener sih?” ujarnya sambil bersungut-sungut, sementara yang dikatai cuma tertawa. Tawanya berhenti setelah lemparan pulpennya tepat mengenai kening gadis itu.
“Sakit, woy!”
“Ya salah lo sendiri!” Chaeyeon kembali menatap layar laptopnya yang dipenuhi tulisan rapat-rapat dengan font dua belas, “Kayak sendirinya nggak sering kerja lembur aja. Event jam sepuluh malem juga dikejar, jam satu atau dua pagi baru kelar. Paling cepet kelar jam sebelas, terus lo nggak berani pulang ke rumah karena kejauhan.
“Menurut gue sih harusnya lo ikut patungan buat bayar kosan gue, Yen,” gadis itu berkata. Pukul dua belas kurang sedikit, Chaeyeon mendengar suara motor dari arah luar. Tak lama, suara mesin berhenti, digantikan derit pagar yang terdengar. Lalu, suara ketuk halus diiringi suara serak yang memanggil namanya terdengar.
Yena, dengan riasan wajah lengkap dan pakaian super necis berdiri di depan pintu kamarnya. Tanpa basa-basi, gadis itu melangkah masuk dan merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Chaeyeon bahkan mesti memaksa gadis itu untuk bersih-bersih. Ini bukan pertama kalinya Yena mengetuk pintu kamarnya di jam-jam tak normal, dan tiap kali pula Chaeyeon mesti mengingatkan gadis itu bahwa tidur dengan riasan wajah lengkap tak baik untuk kesehatan kulitnya.
“Inget ya, lu semua juga sering banget tuh masuk rumah gue kagak bilang-bilang. Inget ‘kan kue kering gue buat sebulan abis dalam sehari? Lu semua mestinya juga ikut bayarin listrik sama air, bre.”
“Si paling dendam,” Chaeyeon terkekeh, sejenak menghentikan jemarinya yang sedari tadi berlarian di atas keyboard. Ia meregangkan tubuh, meringis saat bunyi keretek pelan terdengar dari pinggang dan punggungya.
“Remako lu.”
“Ngaca,” Chaeyeon mendengkus geli, lantas menyandarkan punggung pada kaki tempat tidur. Ia menatap nanar tulisan dalam layar kaca.
Jangan ngaret lagi ya Nak, ia ingat orangtuanya berkata, Ayah sama Mama tahu kok kalau skripsian nggak mudah. Sambil skripsian, Kakak juga sedang melakukan hal lain yang bisa bantu Kakak buat meraih mimpi. Ayah sama Mama nggak marah, tapi Ayah sama Mama ingin anak Ayah sama Mama setidaknya punya gelar sarjana.
Diam-diam, Chaeyeon menghela napas. Ia merasa konyol—konyol dan tersesat. Yang orangtuanya tahu, progres skripsinya terhambat karena ia sedang giat-giatnya berlatih di akademi tari yang ia ikuti sejak awal kuliah. Yang orangtuanya tahu, progres skripsinya terhambat karena Chaeyeon ikut kompetisi ini dan itu hingga namanya mulai dikenal di kalangan penari profesional. Yang orangtuanya tahu, progres skripsinya terhambat karena untuk pertama kalinya, Chaeyeon jenuh dalam menjalani hidupnya hingga mempertanyakan jalan yang ia tempuh.
Yang orangtuanya tidak tahu, progres skripsinya terhambat karena hatinya patah sepatah-patahnya. Yang orangtuanya tidak tahu, progres skripsinya terhambat karena ada emosi yang meledak setelah lama ia sembunyikan dengan rapi. Yang orangtuanya tidak tahu, progres skripsinya terhambat karena manusia yang dulu menghujaninya dengan sayang nyatanya diam-diam melepas panah beracun yang menghunjam hatinya.
Dan untuk itu, ia merasa konyol—kenapa urusan percintaan masa muda bisa memengaruhinya sedemikian hebat? Kenapa ia yang biasanya bisa mundur sejenak untuk melihat masalah dari luar malah babak belur berusaha menyelesaikan masalah dari dalam?
Mungkin karena kali ini, yang bertindak bukan kepalanya. Kali ini, perasaannya mengambil alih.
Dan untuk itu, ia merasa konyol—kenapa patah hatinya mesti sedemikian hebat hingga ia tak sanggup bertatap muka d
Comments